YANG
DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Oleh : Masnun Tholab
Segala
puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu
’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Yang Diwajibkan
Shalat Jum’at
Dari
Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الْجُمُعَةُ عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ
Shalat
jum’at wajib atas orang yang mendengar seruan adzan (HR. Abu Dawud)
وَالدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ فِيهِ: «إنَّمَا الْجُمُعَةُ عَلَى مَنْ سَمِعَ
النِّدَاءَ» .
Diriwayatkan
juga oleh Ad-Daruquthni, dia berkata : “Sesungguhnya diwajibkan shalat jum’at
atas orang yang mendengar adzan”
Asy-Syaukani
berkata :
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَجِبُ إلَّا
عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
وَإِسْحَاقُ، حَكَى ذَلِكَ التِّرْمِذِيُّ عَنْهُمْ، وَحَكَاهُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ
عَنْ مَالِكٍ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَاوِي
الْحَدِيثِ. وَحَدِيثُ الْبَابِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ الْمَقَال الْمُتَقَدِّم
فَيَشْهَد لِصِحَّتِهِ قَوْله تَعَالَى: {إذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ} . الْآيَة. إِلِى أَنْ قَالَ: وَقَدْ حَكَى الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ
التِّرْمِذِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ أَنَّهُمْ
يُوجِبُونَ الْجُمُعَة عَلَى أَهْل الْمِصْر وَإِنْ لَمْ يَسْمَعُوا النِّدَاء
Hadits
ini menunjukkan bahwa shalat jum’at tidak wajib kecuali atas orang yang
mendengar adzan. Demikian pendapat Asy-Syafi’i, Ishaq dan At-Tirmidzi yang
menuturkan pendapat dari mereka, juga yang diceritakan oleh Ibnu Al-Arabi dari
Malik, serta Abdullah bin Amr yang
meriwayatkan hadits ini. Hadits tersebut meskipun diperbincangkan oleh para
ahli hadits, namun kesahihannya diperkuat oleh firman Allah Ta’ala,, “Apabila
diseru untuk menunaikan shalat pada hari
jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah,” (QS. Al-Jumu’ah : 9).
Al-Iraqi
mengemukakan di dalam Syarah At-Tirmidzi dari Syafi’i, Malik dan Ahmad bin
Hanbal, bahwa mereka mewajibkan Jum’at atas setiap penduduk kota walaupun tidak
mendengar suara adzan. [Bustanul Ahbar
Mukhtashar Nailul Authar, 2/25].
Thariq bin
Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ
إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan
adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat
(golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu
Dawud dalam as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam
al-Majmu’ 4/349)
قَالَ: وَطَارِقُ بْنُ شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم
- وَلَمْ يَسْمَع مِنْهُ شَيْئًا.
Abu Dawud
mengatakan : Thariq bin Syihab memang pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, namun ia tidak pernah mendengar langsung dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam.
[Bustanul Ahbar
Mukhtashar Nailul Authar, 2/24].
Ancaman
Bagi Yang Meninggalkan Shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah beliau berkata
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
أَلَا هَلْ
عَسَى أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَّخِذَ الصُّبَّةَ مِنْ الْغَنَمِ عَلَى رَأْسِ مِيلٍ
أَوْ مِيلَيْنِ فَيَتَعَذَّرُ عَلَيْهِ الْكَلَأُ فَيَرْتَفِعُ وتَجِيءُ
الْجُمُعَةُ فَلا يَشْهَدُهَا، وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا، حَتَّى
يَطْبَعَ عَلَى قَلْبِهِ.
“Ada seseorang yang membawa sekumpulan kambing
sejauh jarak 1 atau 2 mil tidak mendapatkan padang gembalaan sehingga naik ke
atas lagi kemudian datang waktu sholat Jumat dia tidak mendatanginya, datang
Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak
mendatanginya, sampai hatinya menjadi tertutup”. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim)
Asy-Syaukani
berkata :
وَالْحَدِيثُ فِيهِ الْحَث عَلَى حُضُورِ الْجُمُعَةِ وَالتَّوَعُّدُ عَلَى
التَّشَاغُلِ عَنْهَا بِالْمَالِ. وَفِيهِ أَنَّهَا لَا تَسْقُط عَمَّنْ كَانَ
خَارِجًا عَنْ بَلَد إقَامَتهَا وَإِنَّ طَلَبَ الْكَلَأ وَنَحْوه لَا يَكُون
عُذْرَا فِي تَرْكهَا
Hadits
ini mengandung anjuran untuk menghadiri shalat jum’at dan ancaman bagi yang
meninggalkannya karena alasan sibuk mengurusi kekayaan. Hadits ini menunjukkan
bahwa kewajiban melaksanakan shalat jum’at tidak gugur dari orang yang berada di wilayah tempat tinggalnya,
diluar walaupun ia sedang mencari rumput
atau lainnya, karena hal itu tidak termasuk udzur yang membolehkannya
meninggalkan shalat jum’at. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/26].
Abu
Hurairoh dan Ibnu Umar bahwa keduanya pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda diatas mimbar
bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ
لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ، ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
”Hendaklah orang-orang itu
menghentikan perbuatan meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan mengunci hati
mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR.
Muslim)
Imam Ash-Shan’ani
dalam kitab Subulussalam berkata :
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أَعْظَمِ الزَّوَاجِرِ عَنْ تَرْكِ الْجُمُعَةِ
وَالتَّسَاهُلِ فِيهَا، وَفِيهِ إخْبَارٌ بِأَنَّ تَرْكَهَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ
الْخِذْلَانِ بِالْكُلِّيَّةِ، وَالْإِجْمَاعُ قَائِمٌ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى
الْإِطْلَاقِ
Hadits
ini merupakan ancaman yang paling besar dari meninggalkan shalat jum’at dan
menggampangkannya. Di dalamnya ada khabar bahwa meninggalkannya merupakan sebab
yang paling besar bagi kehinaan. Kita telah mengetahui barangsiapa yang
menggampangkan shalat jum’at dalam satu minggu sampai minggu berikutnya sampai
kemudian ia diharamkan untuk menghadiri shalat jum’at, karena kehinaan yang
menyeluruh. Dan ijma’ telah ditetapkan tentang wajibnya shalat jum’at.
[Subulussalam, 1/690].
Hukum
Shalat Jum’at Bagi Musafir
Dari
Umar bin Khattab RA,
أَنَّهُ أَبْصَرَ رَجُلًا عَلَيْهِ هَيْئَةُ السَّفَرِ فَسَمِعَهُ يَقُولُ:
لَوْلَا أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ جُمُعَةٍ لَخَرَجْتُ، فَقَالَ عُمَرُ: اُخْرُجْ
فَإِنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَحْبِسُ عَنْ سَفَرٍ.
Bahwa
ia melihat seseorang yang akan melakukan perjalanan, kemudian beliau mendengar
ucapannya, “Seandainya hari ini bukan hari jum’at, niscaya aku akan bepergian’.
Maka Umar berkata, “Silahkan engkau pergi, sesungguhnya shalat jum’at tidak
menghalangimu dari bepergian”. (HR. Syafi’i dalam musnadnya)
Dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Tidak
ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” (HR. Ad Daruquthni, namun sanadnya
dho’if)
Dari
Jabir radliyallah
'anhu, dia berkata,
"Ketika
sampai di perut lembah pada hari 'Arafah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam singgah
lalu menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Setelah beliau selesai
berkhutbah, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamah. Selanjutnya beliau
menunaikan shalat Dhuhur. Setelah itu, Bilal mengumandangkan Iqamah lalu beliau
menunaikan shalat 'Ashar." (HR. Muslim no. 1218)
Imam Ash-Shan’ani
dalam kitab Subulussalam berkata :
وَالْمُسَافِرُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُورُهَا، وَهُوَ
يَحْتَمِلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ مُبَاشِرُ السَّفَرِ، وَأَمَّا النَّازِلُ فَيَجِبُ
عَلَيْهِ وَلَوْ نَزَلَ بِمِقْدَارِ الصَّلَاةِ، وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ جَمَاعَةٌ
مِنْ الْآلِ وَغَيْرِهِمْ، وَقِيلَ: لَا تَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ دَاخِلٌ فِي
لَفْظِ الْمُسَافِرِ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ أَيْضًا، وَهُوَ
الْأَقْرَبُ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ السَّفَرِ بَاقِيَةٌ لَهُ مِنْ الْقَصْرِ
وَنَحْوِهِ وَلِذَا لَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
صَلَّى الْجُمُعَةَ بِعَرَفَاتٍ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ
مُسَافِرًا وَكَذَلِكَ الْعِيدُ تَسْقُطُ صَلَاتُهُ عَنْ الْمُسَافِرِ وَلِذَا
لَمْ يُرْوَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى صَلَاةَ
الْعِيدِ فِي حَجَّتِهِ تِلْكَ، وَقَدْ وَهَمَ ابْنُ حَزْمٍ فَقَالَ: إنَّهُ
صَلَّاهَا فِي حَجَّتِهِ وَغَلَّطَهُ الْعُلَمَاءُ.
Tidak wajib bagi
musafir untuk menghadiri shalat jum’at. Ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud
adalah orang yang betul-betul melakukan perjalanan. Adapun orang yang berhenti
dalam perjalanan maka wajib baginya shalat jum’at walaupun ia hanya berhenti
dalam ukuran satu shalat. Pendapat ini telah didukung oleh sekelompok ulama
dari Ahlul Bait dan selain mereka. Dikatakan juga tidak wajib atasnya karena ia
masih termasuk dalam lafadz musafir, dan pendapat ini didukung oleh ulama Ahlul
Bait dan selain mereka. Dan ini yang paling mendekati kebenaran, karena
hukum-hukum perjalanan masih tetap baginya seperti mengqashar shalat dan
semisalnya, karenanya tidak dinukil bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam shalat jum’at di Arafah pada haji wada’, karena beliau sedang
musafir, demikian juga shalat ied digugurkan atas orang yang musafir. Karena
tidak diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan
shalat Ied ketika menunaikan haji. Telah keliru Ibnu Hazm ketika ia berkata,
“Sesungguhnya beliau shalat Ied ketika berhaji”. Dan para ulama menegurnya
dengan keras.
[Subulussalam,
1/724].
Sayyid Sabiq
berkata :
فإن أكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه: لان النبي صلى الله عليه وسلم
كان يسافر فلا يصلي الجمعة فصلى الظهر والعصر جمع تقديم ولم يصل جمعته، وكذلك فعل
الخلفاء وغيرهم
Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib mengerjakan shalat jum’at, sebab
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dalam perjalanan tidak mengerjakan
shalat jum’at. Begitu juga pada saat beliau memgerjakan haji wada’ di Arafah
yang jatuh pada hari jum’at, beliau hanya mengerjakan shalat dzuhur dan ashar
secara jamak takdim dan tidak melakukan shalat jum’at. Demikian pula para
khalifah setelah kewafatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
[Sayyid Sabiq,
1/461].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar