Minggu, 22 Juli 2018

YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT


YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Yang Diwajibkan Shalat Jum’at
Dari Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الْجُمُعَةُ عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ
Shalat jum’at wajib atas orang yang mendengar seruan adzan (HR. Abu Dawud)

وَالدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ فِيهِ: «إنَّمَا الْجُمُعَةُ عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ» .
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni, dia berkata : “Sesungguhnya diwajibkan shalat jum’at atas orang yang mendengar adzan”

Asy-Syaukani berkata :
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَجِبُ إلَّا عَلَى مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ، حَكَى ذَلِكَ التِّرْمِذِيُّ عَنْهُمْ، وَحَكَاهُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ عَنْ مَالِكٍ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَاوِي الْحَدِيثِ. وَحَدِيثُ الْبَابِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ الْمَقَال الْمُتَقَدِّم فَيَشْهَد لِصِحَّتِهِ قَوْله تَعَالَى: {إذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ} . الْآيَة. إِلِى أَنْ قَالَ: وَقَدْ حَكَى الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ أَنَّهُمْ يُوجِبُونَ الْجُمُعَة عَلَى أَهْل الْمِصْر وَإِنْ لَمْ يَسْمَعُوا النِّدَاء
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat jum’at tidak wajib kecuali atas orang yang mendengar adzan. Demikian pendapat Asy-Syafi’i, Ishaq dan At-Tirmidzi yang menuturkan pendapat dari mereka, juga yang diceritakan oleh Ibnu Al-Arabi dari Malik, serta Abdullah bin  Amr yang meriwayatkan hadits ini. Hadits tersebut meskipun diperbincangkan oleh para ahli hadits, namun kesahihannya diperkuat oleh firman Allah Ta’ala,, “Apabila diseru untuk menunaikan shalat  pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah,” (QS. Al-Jumu’ah : 9).
Al-Iraqi mengemukakan di dalam Syarah At-Tirmidzi dari Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal, bahwa mereka mewajibkan Jum’at atas setiap penduduk kota walaupun tidak mendengar suara adzan.  [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/25].

Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
Jum’atan adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349)
قَالَ: وَطَارِقُ بْنُ شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - وَلَمْ يَسْمَع مِنْهُ شَيْئًا.
Abu Dawud mengatakan : Thariq bin Syihab memang pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ia tidak pernah mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
[Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/24].

Ancaman Bagi Yang Meninggalkan Shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 أَلَا هَلْ عَسَى أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَّخِذَ الصُّبَّةَ مِنْ الْغَنَمِ عَلَى رَأْسِ مِيلٍ أَوْ مِيلَيْنِ فَيَتَعَذَّرُ عَلَيْهِ الْكَلَأُ فَيَرْتَفِعُ وتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلا يَشْهَدُهَا، وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا، حَتَّى يَطْبَعَ عَلَى قَلْبِهِ.
 “Ada seseorang yang membawa sekumpulan kambing sejauh jarak 1 atau 2 mil tidak mendapatkan padang gembalaan sehingga naik ke atas lagi kemudian datang waktu sholat Jumat dia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, sampai hatinya menjadi tertutup”. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim)
Asy-Syaukani berkata :
وَالْحَدِيثُ فِيهِ الْحَث عَلَى حُضُورِ الْجُمُعَةِ وَالتَّوَعُّدُ عَلَى التَّشَاغُلِ عَنْهَا بِالْمَالِ. وَفِيهِ أَنَّهَا لَا تَسْقُط عَمَّنْ كَانَ خَارِجًا عَنْ بَلَد إقَامَتهَا وَإِنَّ طَلَبَ الْكَلَأ وَنَحْوه لَا يَكُون عُذْرَا فِي تَرْكهَا
Hadits ini mengandung anjuran untuk menghadiri shalat jum’at dan ancaman bagi yang meninggalkannya karena alasan sibuk mengurusi kekayaan. Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban melaksanakan shalat jum’at tidak gugur dari orang  yang berada di wilayah tempat tinggalnya, diluar walaupun  ia sedang mencari rumput atau lainnya, karena hal itu tidak termasuk udzur yang membolehkannya meninggalkan shalat jum’at. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/26].

Abu Hurairoh dan Ibnu Umar bahwa keduanya pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda diatas mimbar bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ، ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Hendaklah orang-orang itu menghentikan perbuatan meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan mengunci hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أَعْظَمِ الزَّوَاجِرِ عَنْ تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالتَّسَاهُلِ فِيهَا، وَفِيهِ إخْبَارٌ بِأَنَّ تَرْكَهَا مِنْ أَعْظَمِ أَسْبَابِ الْخِذْلَانِ بِالْكُلِّيَّةِ، وَالْإِجْمَاعُ قَائِمٌ عَلَى وُجُوبِهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ
Hadits ini merupakan ancaman yang paling besar dari meninggalkan shalat jum’at dan menggampangkannya. Di dalamnya ada khabar bahwa meninggalkannya merupakan sebab yang paling besar bagi kehinaan. Kita telah mengetahui barangsiapa yang menggampangkan shalat jum’at dalam satu minggu sampai minggu berikutnya sampai kemudian ia diharamkan untuk menghadiri shalat jum’at, karena kehinaan yang menyeluruh. Dan ijma’ telah ditetapkan tentang wajibnya shalat jum’at. [Subulussalam, 1/690].

Hukum Shalat Jum’at Bagi Musafir
Dari Umar bin Khattab RA,
أَنَّهُ أَبْصَرَ رَجُلًا عَلَيْهِ هَيْئَةُ السَّفَرِ فَسَمِعَهُ يَقُولُ: لَوْلَا أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ جُمُعَةٍ لَخَرَجْتُ، فَقَالَ عُمَرُ: اُخْرُجْ فَإِنَّ الْجُمُعَةَ لَا تَحْبِسُ عَنْ سَفَرٍ.
Bahwa ia melihat seseorang yang akan melakukan perjalanan, kemudian beliau mendengar ucapannya, “Seandainya hari ini bukan hari jum’at, niscaya aku akan bepergian’. Maka Umar berkata, “Silahkan engkau pergi, sesungguhnya shalat jum’at tidak menghalangimu dari bepergian”. (HR. Syafi’i dalam musnadnya)

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” (HR. Ad Daruquthni, namun sanadnya dho’if)
Dari Jabir radliyallah 'anhu, dia berkata,
"Ketika sampai di perut lembah pada hari 'Arafah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam singgah lalu menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Setelah beliau selesai berkhutbah, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamah. Selanjutnya beliau menunaikan shalat Dhuhur. Setelah itu, Bilal mengumandangkan Iqamah lalu beliau menunaikan shalat 'Ashar." (HR. Muslim no. 1218)

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وَالْمُسَافِرُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُورُهَا، وَهُوَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ مُبَاشِرُ السَّفَرِ، وَأَمَّا النَّازِلُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ وَلَوْ نَزَلَ بِمِقْدَارِ الصَّلَاةِ، وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ وَغَيْرِهِمْ، وَقِيلَ: لَا تَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ دَاخِلٌ فِي لَفْظِ الْمُسَافِرِ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ أَيْضًا، وَهُوَ الْأَقْرَبُ؛ لِأَنَّ أَحْكَامَ السَّفَرِ بَاقِيَةٌ لَهُ مِنْ الْقَصْرِ وَنَحْوِهِ وَلِذَا لَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى الْجُمُعَةَ بِعَرَفَاتٍ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ مُسَافِرًا وَكَذَلِكَ الْعِيدُ تَسْقُطُ صَلَاتُهُ عَنْ الْمُسَافِرِ وَلِذَا لَمْ يُرْوَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى صَلَاةَ الْعِيدِ فِي حَجَّتِهِ تِلْكَ، وَقَدْ وَهَمَ ابْنُ حَزْمٍ فَقَالَ: إنَّهُ صَلَّاهَا فِي حَجَّتِهِ وَغَلَّطَهُ الْعُلَمَاءُ.
Tidak wajib bagi musafir untuk menghadiri shalat jum’at. Ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah orang yang betul-betul melakukan perjalanan. Adapun orang yang berhenti dalam perjalanan maka wajib baginya shalat jum’at walaupun ia hanya berhenti dalam ukuran satu shalat. Pendapat ini telah didukung oleh sekelompok ulama dari Ahlul Bait dan selain mereka. Dikatakan juga tidak wajib atasnya karena ia masih termasuk dalam lafadz musafir, dan pendapat ini didukung oleh ulama Ahlul Bait dan selain mereka. Dan ini yang paling mendekati kebenaran, karena hukum-hukum perjalanan masih tetap baginya seperti mengqashar shalat dan semisalnya, karenanya tidak dinukil bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat jum’at di Arafah pada haji wada’, karena beliau sedang musafir, demikian juga shalat ied digugurkan atas orang yang musafir. Karena tidak diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat Ied ketika menunaikan haji. Telah keliru Ibnu Hazm ketika ia berkata, “Sesungguhnya beliau shalat Ied ketika berhaji”. Dan para ulama menegurnya dengan keras.
[Subulussalam, 1/724].

Sayyid Sabiq berkata :
فإن أكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه: لان النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافر فلا يصلي الجمعة فصلى الظهر والعصر جمع تقديم ولم يصل جمعته، وكذلك فعل الخلفاء وغيرهم
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib mengerjakan shalat jum’at, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dalam perjalanan tidak mengerjakan shalat jum’at. Begitu juga pada saat beliau memgerjakan haji wada’ di Arafah yang jatuh pada hari jum’at, beliau hanya mengerjakan shalat dzuhur dan ashar secara jamak takdim dan tidak melakukan shalat jum’at. Demikian pula para khalifah setelah kewafatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
[Sayyid Sabiq, 1/461].

Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...