Jumat, 26 Agustus 2016

QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH

QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

 Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (subuh). Sebagian Ahli ilmu berpendapat bahwa qunut ada pada shalat subuh, dan sebagian berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin.

Hadits-hadits Tentang Qunut Dalam Shalat Shubuh
Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. 
(HR. Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoyalisy no.1328, Tirmidzi berkata : SHAHIH)
[Nailul Authar, hadits no. 1114]
Dalam lafadz Ibnu Majah,
أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟ .
Dalam lafadz Ibnu Majah, “Apakahmereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”.
[Nailul Authar, hadits no. 1115]
وَالنَّسَائِيُّ وَلَفْظُهُ قَالَ : صَلَّيْت خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْت خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْت خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْت خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْت خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ : يَا بُنَيَّ بِدْعَةٌ .
Dalam lafadz Nasa’i : “Aku sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam, beliau tidak berqunut, Aku shalat di belakang Abu Bakar, beliau tidak berqunut , aku shalat dibelakang‘Umar, beliau tidak berqunut; aku shalat di belakang ‘Utsman, beliau tidak berqunut; dan ‘aku shalat di belakang Ali radhiyallahu ‘anhum, beliau tidak berqunut. Kemudian  dia berkata : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah bid’ah”.  [Nailul Authar, hadits no. 1116]
Dari Anas radiallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ ? قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ
“bahwasanya rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam  melakukan qunut selama satu bulan kemudian beliau meninggalkannya”. (HR: Ahmad) [Nailul Authar, hadits no. 1117]

وَفِي لَفْظٍ : قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ .
Dalam lafadz lain  “bahwasanya rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam  melakukan qunut selama satu bulan mendoakan celaka bagi perkampungan dari perkampungan-perkampungan arab, kemudian beliau meninggalkannya”. (HR: Ahmad, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
[Nailul Authar, hadits no. 1118]
Dari Anas radiallahu ‘anhu,
كَانَ الْقُنُوتُ فِي الْمَغْرِبِ وَالْفَجْرِ .
“bahwasanya rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam  melakukan qunut pada shalat maghrib dan shalat shubuh”. (HR: Bukhari) [Nailul Authar, hadits no. 1120]
Dari Bara bun Azib,
أَنَّ النَّبِيَّ ? كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَالْفَجْرِ .
“bahwasanya rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam  melakukan qunut pada shalat maghrib dan shalat shubuh”.  (HR: Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan dia menshahihkannya)
[Nailul Authar, hadits no. 1121]

Dari Anas radiallahu ‘anhu,
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”. (HR. Ahmad 3/162, Ath-Thohawy 1/244, Ibnu Syahin no.220,)
Sayyid Sabiq berkata :
Dalam sanad hadits ini terdapat seorang yang bernama Ja’far ar-Razi. Ia bukan seorang yang kuat, dan haditsnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Sebab tidak masuk dalam akal kita bahwa sepanjang hidupnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam membaca qunut pada saat mengerjakan shalat shubuh, sementara para khalifah dan sahabat sesudah kewafatan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam hamper tidak pernah berqunut. Bahkan, ada keterangan bahwa Anas sendiri tidak pernah berqunut setiap mengerjakan shalat shubuh.
[Fiqih Sunnah 1/286].
Asy-Syaukani berkata :
Namun hadits ini tidak shahih, karena diriwayatkan dari jalur Abu Ja’far Ar-Razi. Mengenai Abu Ja’far Ar-Razi ini, Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa ia tidak kuat. Ali bin Al-Madini mengatakan bahwa dia ‘mukhtalath’ (hafalannya kacau setelah lanjut usia). Abu Za’rah mengatakan bahwa ia sering menduga-duga. Amr bin Ali Al Falas mengatakan bahwa ia jujur namun hafalannya buruk. Ibnu Ma’in mengatakan bahwa ia ‘tsiqoh’ namun sering keliru, ia dininai ‘tsiqoh’ oleh lebih dari satu ahli hadits.
Al-Hafidz mengatakan : Riwayatnya janggal karena adanya hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khathib dari jalur Qais bin Ar-Rabi’, dari ‘Ashim bin Sulaiman, ia menuturkan, “Kami katakana kepada Anas, ‘Ada sekelompok orang yang menyatakan bahwa Nabi Shallallau ‘alaihi wasallam elalu membaca qunut pada shalat shubuh’. Anas mengatakan, ‘Mereka berdusta. Beliau hanya pernah membaca qunut selama satu bulan untuk mendo’akan keburukan bagi suatu suku di antara suku-suku kaum musyrikin’. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 1/610]

Pendapat Para Ulama Tentang Qunut Dalam Shalat Shubuh
Syaikh Zadah Al-Hanafi (w 1078 H) berkata :
ولا يقنت في صلاة غيرها أي غير صلاة الوتر عندنا قال الإمام: القنوت في الفجر بدعة خلافا للشافعي فإن القنوت في صلاة الفجر في الركعة الثانية بعد الركوع مسنون عنده
Dan tidak disyariatkan qunut pada selain witir dalam madzhab kami,  Imam Abu Hanifah berkata: “qunut pada shalat subuh bid’ah”, berbeda dengan Syafii yang yang berpendapat bahwa qunut subuh disunnahkan setelah ruku’ pada raka’at kedua.


Ibnu Abdi Al-Barr Al-Maliki (w 463 H) mengatakan:
ويقنت في صلاة الصبح الإمام والمأموم والمنفرد إن شاء قبل الركوع وإن شاء بعده كل ذلك واسع والأشهر عن مالك القنوت قبل الركوع
Dan dianjurkan bagi imam, makmum atau orang yang shalat sendirian untuk melakukan qunut dalam shalat subuh, jika ia mau, sebelum ruku’ atau setelah ruku’, semua itu ada keluasan, dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah sebelum ruku’.

Imam An Nawawi Asy-Syafi’Ii (w 676 H) di dalam kitabnya Al Majmu’ menyebutkan:
القنوت في الصبح بعد رفع الرأس من ركوع الركعة الثانية سنة عندنا بلا خلاف وأما ما نقل عن أبي علي بن أبي هريرة رضى الله عنه أنه لا يقنت في الصبح لأنه صار شعار طائفة مبتدعة فهو غلط لا يعد من مذهبنا
Qunut pada shalat subuh setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada raka’at kedua sunnah dalam madzhab kami tanpa ada perbedaan, adapun yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Hurairah radiallahu ‘anu bahwa tidak qunut pada shalat subuh, karena hal itu sudah menjadi syi’ar kelompok ahli bid’ah maka itu salah dan tidak termasuk madzhab kami.

Imam Al-Mardawi Al-Hanbali (w 885 H) berkata :
ولا يقنت في غير الوتر، الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها، وعليه الجمهور
Dan tidak dianjurkan qunut pada selain shalat witir, pendapat yang shahih dalam madzhab (hanbali) yaitu dimakruhkan qunut pada shalat subuh seperti makruhnya qunut pada shalat-shalat yang selain subuh, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
[Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajihi Min Al Khilaf jilid 2 Hal. 174}

Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya berkata :
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (subuh), sebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat subuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i. Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)
  
Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah  berkata :
اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان، وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه
 “Mereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.”
[Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 10

Ibnu Hazm (w 456 H) dari madzhab dzahiri mengatakan:
والقنوت فعل حسن، بعد الرفع من الركوع في آخر ركعة من كل صلاة فرض - الصبح وغير الصبح، وفي الوتر، فمن تركه فلا شيء عليه في ذلك
Dan qunut adalah perbuatan yang baik, setelah bangkit dari ruku’ pada setiap raka’at terakhir shalat fardhu, baik subuh atau selainnya dan juga pada shalat witir, siapa yang meninggalkannya maka tidak apa-apa. [ Al Muhalla Bi Al Atsar jilid 3 Hal 54]

Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar :
قَوْلُهُ : ( يَا أَبَتِ إنَّك قَدْ صَلَّيْت خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ) إِلَى آخِرِهِ . قَالَ الشَّارِحُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ مَشْرُوعِيَّةِ الْقُنُوتِ وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ . إِلِى أَنْ قَالَ : الْحَقُّ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ مَنْ قَالَ : إنَّ الْقُنُوتَ مُخْتَصٌّ بِالنَّوَازِلِ وَإِنَّهُ يَنْبَغِي عِنْدَ نُزُولِ النَّازِلَةِ أَنْ لَا تُخَصَّ بِهِ صَلَاةٌ دُونَ صَلَاةٍ .
Ucapan Abu Malik kepada ayahnya, (Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat dibelakang Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam….dst.) Pensyarah (Asy-Syaukani) mengatakan: Hadits ini menunjukkan tidak disyari’atkannya membaca qunut. Demikian pendapat mayoritas ahli ilmu. Namun pendapat yang benar, adalah pendapat yang mengatakan, bahwa qunut dikhususkan pada saat terjadi bencana. Saat itulah disyari’atkan untuk membaca qunut Nazilah, dan pembacaannya tidak dikhususkan pada suatu shalat saja.

Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
القنوت في صلاة الصبح غير مشروع إلا في النوازل ففيها يقنت فيه وفي سائر الصلوات كما تقدم. روى أحمد والنسائي وابن ماجة والترمذي وصححه.
عن أبي مالك الاشجعي
 “Qunut Shubuh tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun dilakukan di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Diriwayatkan dari Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan dia menshahihkannya, dari Abu Malik Alasyja’i.” [Fiqhus Sunnah (I/285)].

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
وقنت في الفجر بعد الركوع شهرا ثم ترك القنوت ولم يكن من هديه القنوت فيها دائما
 “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada shalat shubuh sesudah ruku’ selama sebulan kemudian meninggalkannya. Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus.”
[Zaadul Ma’aad (I/271 & 283)].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وَقَدْ ذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَأَبُو يُوسُفَ : إلَى أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ ، وَكَأَنَّهُمْ اسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ
Abu Hanifah, Abu Yusuf berpendapat dilarang melakukan qunut pada shalat subuh. Mereka berdalila dengan Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i. (lihat hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’I di atas. Pen) [Subulussalam 1/495]


Sikap Para Ulama Dalam Menghadapi Perbedaan
Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu berkata, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat subuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Imam Ahmad bin Hambal berkata, sebagaimana dikutip oleh  Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)


Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata :
وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” [Majmu’ Fatawa, 5/185].

Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia berkata :
وبالجملة فتخصيص صلاة الصبح بالقنوت من المسائل الخلافية الاجتهادية، فمن صلى وراء إمام يقنت في الصبح خاصة قبلالركوع أو بعده فعليه أن يتابعه، وإن كان الراجح الاقتصار في القنوت بالفرائض على النوازل فقط.
“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.”
[Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’, No. 902].

Imam Al-Mardawi (w 885 H) setelah mengemukakan pendapatnya bahwa qunut pada shalat shubuh itu makruh, beliau berkata :
لو ائتم بمن يقنت في الفجر تابعه، فأمن أو دعا
Jika ia bermakmum dengan orang yang melakukan qunut pada shalat subuh ia harus mengikutinya dengan mengaminkan atau berdo’a.
[Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajihi Min Al Khilaf jilid 2 Hal. 174}
Sayyid Sabiq berkata :
ومهما يكن من شئ فإن هذا من الاختلاف المباح الذي يستوي فيه الفعل والترك وإن خير الهدي محمد صلى الله عليه وسلم
Akan tetapi bagaimanapun perselisihan para ulama dalam hal ini, maka qunut (dalam shalat shubuh)  itu termasuk sesuatu yang mubah. Dengan kata lain, ia boleh dilakukan atau ditinggalkan. Hanya saja yang sebaik-baiknya adalah mengikuti keterangan dan perbuatan yang berasal dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (tidak berqunut). [Fiqih Sunnah 1/286].

Kesimpulan
1.     Para ulama berselisih pendapat tentang hokum membaca do’a qunut pada shalat shubuh, sebagian ulama berpendapat sunnah, dan sebagian berpendapat bid’ah, makruh bahkan dilarang (haram).
2.    Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang mengerjakan qunut shalatnya sah, begitu juga orang yang tidak mengerjakan qunut, shalatnya juga sah.
3.    Mayoritas ulama berpendapat Orang yang tidak berqunut boleh bermakmun pada orang yang berqunut dan mengaminkan do’anya, sebaliknya orang yang berqunut boleh bermakmum pada orang yang tidak berqunut.
Wallahu a’lam.


Selasa, 02 Agustus 2016

MENGHAJIKAN ORANG LAIN

MENGHAJIKAN ORANG LAIN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Sayyid Sabiq mengatakan, “Barangsiapa yang telah memiliki kesanggupan untuk pergi haji kemudian berbalik lemah karena sakit atau usia lanjut, wajiblah ia mencari pengganti yang akan mengerjakan haji atas namanya, karena ia tidak mungkin lagi melakukannya sendiri karena kelemahannya, hingga tak ubahnya seperti orang yang meninggal dunia dan digantikan oleh orang lain” [Fiqih Sunnah 1/314]

Hadits-hadits dan Pendapat Ulama Tentang Menghajikan Orang Lain
Dari Ibnu Abbas ra:
إنَّ امْرَأَةً مِنْ خَتْعَمٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِى أَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةُ اللهِ فِى الْحَجِّ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَيَسْتَطِيْعُ أَنْ يٍَْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيْرِهِ قَالَ فَحُجِّى عَنْهُ
 "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (HR. Tirmidzi 928; Ahmad 1818. Abu Isa berkata : Hadits hasan shahih)
 Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
إِنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَّةً ؟ أُقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
" Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam, ia bertanya: "Wahai Nabi, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (HR. Al Bukahri 1852; Baihaqi 12978; dan An Nasa’i)

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ النَّاذِرَ بِالْحَجِّ إذَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ أَجْزَأَهُ أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ وَلَدُهُ وَقَرِيبُهُ ، وَيُجْزِئُهُ عَنْهُ وَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ التَّحْجِيجِ عَنْ الْمَيِّتِ سَوَاءٌ أَوْصَى أَمْ لَمْ يُوصِ ؛ لِأَنَّ الدَّيْنَ يَجِبُ قَضَاؤُهُ مُطْلَقًا وَكَذَا سَائِرُ الْحُقُوقِ الْمَالِيَّةِ مِنْ كَفَّارَةٍ وَنَحْوِهَا .وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَالشَّافِعِيُّ .
Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa apabila seseorang bernadzar untuk menunaikan ibadah haji namun ia belum menunaikannya, maka diperbolehkan bagi anaknya untuk mewakilinya menunaikan ibadah haji.
Hadits ini juga menjelaskan wajibnya menunaikan haji atas nama orang yang telah meninggal, baik orang tersebut telah berwasiat atau tidak, karena bagaimanapun hutang harus dibayar, begitu juga dengan semua jenis tanggungan keuangan seperti kafarat atau sejenisnya. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Asy-Syafi’i. [Subulussalam 2/203]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus-sunnah berkata :
وفي الحديث دليل على وجوب الحج عن الميت ، سواء أوصى أم لم يوص ، لان الدين يجب قضاؤه مطلقا ، وكذا سائر الحقوق المالية من كفارة ، أو زكاة ، أو نذر . وإلى هذا ذهب ابن عباس ، وزيد بن ثابت ، وأبو هريرة ، والشافعي
Hadits ini menunjukkan bahwa menggantikan orang yang telah meninggal, hukumnya wajib, baik diwasiatkan atau tidak. Karena utang itu harus dibayar secara mutlak, begitu pula kewajiban-kewajiban lain mengenai harta, seperti kafarat, zakat dan nazar.
Pendapat diatas menjadi madzhab Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Syafi’i
[Fiqih Sunnah 2/314]

Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar :
وَأَحَادِيثُ الْبَابِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ الْحَجُّ مِنْ الْوَلَدِ عَنْ وَالِدِهِ إذَا كَانَ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى الْحَجِّ ، وَقَدْ ادَّعَى جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ خَاصٌّ بِالابنِ
قَوْلُهُ : « أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ » . فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ حَجٌّ وَجَبَ عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يُجَهِّزَ مَنْ يَحُجَّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ كَمَا أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ دُيُونِهِ .
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil dibolehkannya seorang anak melaksanakan haji untuk orang tuanya jika ia tidak mampu melaksanakannya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal itu adalah khusus untuk anak.
Sabda beliau (apakah engkau akan melunasi hutangnya?) mengandung dalil bahwa orang yang meninggal dunia dan ia wajib melaksanakan haji tetapi belum melaksanakannya, maka walinya harus mempersiapkan pelaksanaan haji untuknya dengan mengambil bekal dari hartanya sebagaimana jika ia mempunyai hutang. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 2/443]

Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu anhu, dia berkata,
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا
Ketika kami duduk di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya, ‘Sesungguhnya saya bersadakah budak untuk ibuku yang telah meninggal.' Beliau bersabda, ‘Anda mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada anda warisannya.' Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungngan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?' Beliau menjawab, ‘Puasakan untuknya.' Dia bertanya lagi, ‘Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya? Beliau menjawab, ‘Hajikan untuknya.’ (HR. Muslim, 1149)
An-Nawawi rahimahullah berkata,
فِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور ، أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْحَجّ جَائِزَة عَنْ الْمَيِّت وَالْعَاجِز الْمَأْيُوس مِنْ بُرْئِهِ
"Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama bahwa mengghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.  [Syarh An-Nawawi Ala Muslim, 8/27]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وَاتَّفَقَ مَنْ أَجَازَ النِّيَابَة فِي الْحَجّ عَلَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئ فِي الْفَرْض إِلَّا عَنْ مَوْت أَوْ عَضْب ، فَلَا يَدْخُل الْمَرِيض لِأَنَّهُ يُرْجَى بُرْؤُهُ وَلَا الْمَجْنُون لِأَنَّهُ تُرْجَى إِفَاقَته وَلَا الْمَحْبُوس لِأَنَّهُ يُرْجَى خَلَاصه وَلَا الْفَقِير لِأَنَّهُ يُمْكِن اِسْتِغْنَاؤُهُ ، وَاللَّه أَعْلَم
"Orang yang membolehkan menghajikan orang lain bersepakat, tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan sembuh. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena ungkin dia menjadi kaya. Wallahu a’lam" [Fathul Bari, 4/70]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يستنيب في الحج الواجب من يقدر على الحج بنفسه إجماعا قال ابن المنذر : أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإسلام وهو قادر على أن يحج لا يجزئ عنه أن يحج غيره عنه
"Tidak dibolehkan melakukan haji wajib untuk menggantikan orang yang mampu melaksanakan haji sendiri berdasarkan ijma."
Ibnu Munzir berkata, "Para ulama sepakat (ijmak) bahwa orang yang wajib melaksanakan haji fardhu sementara dia mampu untuk melaksanakan haji, tidak sah kalau dihajikan oleh orang lain."
[Al-Mughni, 3/185]

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliu berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berkata: "Labbaika 'an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanMu atas nama Syubrumah", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Siapa Syubrumah?", laki-laki itu menjawab: "Saudaraku atau kerabatku", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sudah berhajikah kamu?", laki-laki menjawab: "Belum", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berhajilah atas dirimu kemudian hajikan atas Syubrumah". (HR. Abu Daud 1811; Ibnu Majah 2903; Daruquthni 270)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Saudi Arabia :
لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه، والأصل في ذلك ما رواه ابن عباس رضي الله عنهما « أن النبي صلى الله عليه وسلم سمع رجلًا يقول: لبيك عن شبرمة، قال: "حججت عن نفسك؟" قال: لا، قال: "حج عن نفسك، ثم عن شبرمة
"Seseorang tidak dibolehkan menghajikan orang lain sebelum dirinya melakukan haji."
Landasan dari hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendengar seseorang mengatakan, "Labbaik an Subrumah (Saya penuhi panggilan-Mu, melakukan haji untuk Subrumah)" Beliau bertanya, "Apakah anda telah menunaikan haji?" Dia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Lakukan haji untuk dirimu dahulu, kemudian untuk Subrumah." (HR. Abu Daud 1811; Ibnu Majah 2903; Daruquthni 270)
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,no.  2200]

Imam Nawawi berkata: Imam Asy-Syirazi berkata :
وان أحرم بحجتين أو عمرتين لم ينعقد الاحرام بهما
"Jika Seseorang haji dengan 2 niat ihram (Untuk dua Badal atau lebih) maka hukumnya tidak sah" (al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, 7/231)

Kesimpulan
Mayoritas Ulama berpendapat :
1.     Seseorang boleh menghajikan orang lain karena usia lanjut dan sakit yang tidak ada harapan sembuh.
2.    Orang yang menghajikan orang lain harus terlebih dahulu melaksanakan ibadah haji untuk dirinya.
3.    Seseorang tidak boleh menghajikan orang lain karena sakit yang ada harapan sembuh.
4.    Seseorang tidak boleh menghajikan orang lain karena miskin yang ada harapan untuk kaya (mampu).
5.    Seseorang tidak boleh menghajikan orang lain yang mampu mengerjakan sendiri, baik secara fisik maupun ekonomi.
6.    Tidak sah menghajikan dua orang atau lebih.
Wallahu a’lam.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...