Kamis, 28 April 2016

MEMBACA AL-QURAN DENGAN SUARA KERAS

MEMBACA AL-QURAN DENGAN SUARA KERAS
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Renungan
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
إنه ليأتي الرجل العظيم السمين يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضةٍ إقرءوا إن شئتم (فلا نقيم لهم يوم القيامة وزنا)
“Sesungguhnya pasti akan dating di hari kiamat, seorang laki-laki besar lagi gemuk, tetapi di sisi Allah hanya setimbang dengan sehelai sayap nyamuk. Jika kalian mau silahkan baca ‘dan Kami tidak akan mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat’ (QS. Al-Kahfi ayat 105)” (HR. Bukhari, Muslim no. 2785)
Imam Al-Qurthubi berkata :
والمعنى أنهم لا ثواب لهم, وأعمالُهم مُقابلةٌ بالعذاب, فلا حسنة لهم تُوزَنُ في موازين القيامة ومن لا حسنة له فهو في النار
Maknanya bahwa mereka tidak memiliki pahala, dan amalan mereka hanya dibalas dengan siksaan, sehingga tidak ada kebaikan yang akan ditimbang pada timbangan amal pada hari kiamat nanti, sedangkan orang yang tidak mempunyai kebaikan maka tempatny adalah neraka.
[Tafsir Al-Qurthubi 11/177]

Membaca Alqur’an Dengan Suara Keras
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
ما أذن الله لشيء ما أذن لنبي حسنِ الصوت يَتَغَنَّى بالقرأن, يجهربه
“Tidaklah Allah berkenan mendengarkan sesuatu seperti Dia mendengar nabiNya yang membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an sambil melagukannya, kemudian ia mengeraskan bacaannya tersebut” (HR. Muslim no. 792; An-Nasa’I no. 1017; Abu Dawud no. 1473)

Rasulullah pernah melewati seorang shabat yang sedang membaca Al-Qur’an, beliau bersabda,
يَرْحَمُهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا آيَةً
“Semoga Allah merahmatinya. Sungguh, ia mengingatkanku dengan ayat ini dan itu. ” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi  berkata mengomentari hadits di atas:
فِي هَذِهِ الْأَلْفَاظِ فَوَائِدُ مِنْهَا جَوَازُ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالْقِرَاءَةِ فِي اللَّيْلِ وَفِي الْمَسْجِدِ وَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِذَا لَمْ يُؤْذِ أَحَدًا وَلَا تَعَرَّضَ لِلرِّيَاءِ وَالْإِعْجَابِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
“Dari lafazh-lafazh hadits tadi terdapat beberapa faidah di antaranya bolehnya mengeraskan suara dalam membaca Al-Quran di malam hari dan di masjid. Dan itu tidak makruh jika tidak mengganggu orang lain dan tidak mengantarkan kepada riya, bangga dan semacamnya. (Syarh Shahih Muslim juz 6 hal 76)


Membaca Al-Quran Yang Menyebabkan Terganggunya Orang Yang Sedang Shalat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
"Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan mengeraskan bacaan Al Qur’annya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah dan Aisyah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1951)

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata,
اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلاَةِ
Saat Nabi Shallallahu ‘laihi wasallam ber I’tikaf di masjid, beliau mendengar para sahabat beliau mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain” (HR. Abu Dawud no. 1332; Ibnu Khuzaimah no. 1100; Ahmad no. 12219)

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menceritakan :
Sa’id bin Musayyab pada suatu malam di salam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar Umar bin Abdul Aziz RA membaca keras di dalam shalatnya dan ia bagus suaranya. Maka Sa’id berkata kepada budaknya, “Pergilah kepada orang yang sedang shalat itu, perintahkan agar ia merendahkan suaranya”. Maka budak itu berkata, “Masjid ini bukan milik kita, dan seseorang mempunyai bagian padanya”. Lalu Sa’id mengeraskan suaranya dan berkata,
يا أيها المصلي إن كنت تريد الله عز وجل بصلاتك فاخفض صوتك وإن كنت تريد الناس فإنهم لن يغنوا عنك من الله شيئاً
“Hai orang-orang yang sedang shalat, jika kamu dengan shalatmu menghendaki Allah Azza wajalla, rendahkanlah suaramu. Dan jika kamu menghendaki manusia, maka sesungguhnya mereka itu tidak akan menjadikanmu kaya (tidak butuh) kepada Allah sedikitpun”
Maka Umar bin Abdul Aziz diam dan meringankan shalatnya. Ketika ia lelah, lalu membaca salam, kemudian ia mengambil sepasang sandalnya dan pergi. Pada waktu itu ia adalah gubernur di Madinah.
[Ihya ‘Ulumiddin 2/273

Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وَالْجَهْرُ بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ
"Dan membaca dengan keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh –sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu' dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram" (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158)

Sayyid Sabiq berkata :
يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم
Mengeraskan suara sehingga menyebabkan orang lain yang sedang shalat terganggu adalah diharamkan, meskipun yang dibaca itu al-quran, kecuali jika sedang mempelajari suatu ilmu.
[Fiqiih Sunnah 1/373].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, dalam kitab Fathul Mu’in, ketika membahas tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at, berkata :
ويُكرَهُ الجهرُ بقراءةِ "الكهف" وغيره إن حصل به تَأَذٍّ لِمُصَلٍّ أو نائم  كما صرّح النووي في كتبه  وقال شيخنا في شرح العباب: ينبغي حُرْمَةَ الجهرِ بالقراءة في المسجدِ. وحُمِلَ كلامُ النوويّ بالكراهة: على ما إذا خَفَّ التأذّي، وعلى كون القراءة في غير المسجدِ
Makruh membaca surat Al-Kahfi atau surat lainnya dengan suara keras sekira hal itu dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau sedang tidur, sebagaimana penjelasan An-Nawawi dalam kitab-kitabnya.
Dalam Syarah Al-‘Ubah, syaikhuna berkata, “Semestinya mengeraskan suara itu hukumnya haram, bila membacanya di masjid. Mungkin maksud Imam Nawawi mengatakan makruh itu bila tidak terlalu mengganggu serta membacanya bukan di masjid. [Fathul Mu’in 1/467]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengeraskan bacaan baik ketika shalat atau keadaan lainnya, sedangkan ada orang lain sedang shalat di masjid, lalu dia mengganggu mereka dengan mengeraskan bacaan tadi. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui beberapa orang yang sedang shalat di bulan Ramadhan dan mereka mengeraskan bacaannya. Lalu Nabi shallallahu berkata pada mereka,
 “Wahai sekalian manusia. Kalian semua sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Oleh karena itu, janganlah di antara kalian mengeraskan suara kalian ketika membaca Al Qur’an “
Beliau rahimahullah mengatakan, “Dari sini tidak boleh bagi seorang pun mengeraskan bacaan Al Qur’an-nya sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/64)

Kesimpulan
1.       Para ulama sepakat bahwa membaca Al-Qur’an dengan suara keras dibolehkan, bahkan dalam kondisi dan keadaan tertentu dianjurkan.
2.       Mayooritas ulama berpendapat bahwa mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur’an (termasuk dzikir, shalawat, bersyair) sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat atau sedang tidur, diharamkan.
Wallahu a’lam.


SHALAT ISYRAQ

SHALAT ISYRAQ
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Allah subhanahu wata’ala, melalui rasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan balasan yang sangat besar bagi orang-orang yang shalat shubuh berjama’ah, kemudian duduk berdzikir di masjid sampai matahari terbit, dan mengerjakan shalat isyraq dua rekaat setelah matahari terbit.

Asal Penamaan Shalat Isyroq
Penyebutan shalat ini dengan shalat isyraq berdasarkan penamaan sahabat Ibnu ‘Abbas.
Dari ‘Abdullah bin Al Harits, ia berkata,
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ لاَ يُصَلِّي الضُّحَى حَتَّى أَدْخَلَنَاهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ فَقُلْتُ لَهَا : أَخْبِرِي ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَا أَخْبَرْتِينَا بِهِ ، فَقَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ : دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي فَصَلَّى صَلاَةَ الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ ، وَهُوَ يَقُولُ : لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا عَرَفْتُ صَلاَةَ الإِشْرَاقِ إِلاَّ السَّاعَةَ {يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ} ، ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذِهِ صَلاَةُ الإِشْرَاقِ
Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka’at.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi).”1 Ibnu ‘Abbas menyebut shalat ini dengan SHALAT ISYROQ.2

Keutamaan Shalat Isyraq
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna
[HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.; HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403)].
Dalam redaksi yang lain, Dari Abu Amamah dia berkata, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ".
Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah di masjid, menetap di dalamnya, kemudian dia shalat dhuha, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna haji dan umrahnya“ [HR ath-Thabrani ]
Al-Mubarakhfuri dalam kitab Tuhfatul ahwadzi” (3/157) berkata :
Ath-thiby berkata :
وَهَذِهِ الصَّلَاةُ تُسَمَّى صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ وَهِيَ أَوَّلُ صَلَاةِ الضُّحَى
Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama dengan shalat  isyraq  (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha [Tuhfatul ahwadzi” (3/157)]

Syaikh Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadis ini, bahwa keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
أولها: أن يصلي الفجرَ في جماعة، فلا يَشْمَلُ من صلى منفرداً، وظاهر الجماعة يشمل جماعةَ المسجدِ وجماعةَ السفرِ وجماعةَ الأهلِ إن تُخَلَّفُ لعُذْرِ،
Pertama, Shalat subuh secara berjamaah. Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
ثانياً: أن يجلس يذكر الله، فإن نام لم يَحْصُلْ له هذا الفضلُ، وهكذا لو جلس خاملاً يَنْعَسُ فإنه لا يحصل له هذا الفضل، إنما يجلس تالياً للقرآن ذاكراً للرحمن، أو يستغفر، أو يقرأ في كتب العلم، أو يذاكر في العلم، أو يُفْتِي، أو يَجِيْبُ عن المسائل، أو يَنْصَحُ غيره، أو يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر،
Kedua, duduk berdzikir. Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, berfatwa, diskusi masalah agama, memberikan nasihat, atau amar ma’ruf nahimungkar.
الثالث: أن يكون في مصلاه، فلو تَحَوَّلَ عن المصلى ولو قام يأتي بالمصحف فلا يحصل له هذا الفضل؛ لأنه فضلٌ عظيم، وهو حجةٌ وعمرةٌ تامةٌ تامةٌ، فهذا فضل عظيم، وهو قوله: .( ثم جلس في مصلاه )، فلذلك يَلْزَمُ المصلى؛ لأنه فضل عظيم، وتحصيلُ الفضلِ العظيمِ يكون أكثر عَنَاءً وأكثر نصباً، فيحتاجُ إلى أن يَتَكَلَّفُ العبدُ في إصَابَةِ ظاهرِ هذهِ السنةِ،
Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari. Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna”

Dan dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
رابعاً: أن يصلي ركعتين.وهاتان الركعتان هما ركعتا الإشراق، وهناك من يطلق ركعة الإشراق على الركعة التي تكون بعد اِرْتِفَاَعِ الشمسِ بين الضحى وبين طلوع الشمس، أي: بعد اِرْتِفَاعِهَا قَيْدِ رُمْحِ
Keempat, shalat dua rakaat. Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari antara waktu dhuha dan terbitnya matahari, yaitu setinggi tombak.
[Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68].

Al Hafidz Ibn Rajab Al Hambali mengatakan,
انَ النَّبِيّ  لا يقوم من مصلاه الَّذِي يصلي فِيهِ الصبح أو الغداة حَتَّى تطلع الشمس ،
ومعلوم ؛ أَنَّهُ  لَمْ يكن جلوسه فِي الموضع الَّذِي صلى فِيهِ ؛ لأنه كَانَ ينفتل إلى أصحابه عقب الصلاة ويقبل عليهم بوجهه
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak bangkit dari tempat shalat subuh sampai terbit matahari. Dan diketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena setelah shalat (wajib), beliau berpaling dan menghadapkan wajahnya kepada para sahabat radhiallahu’anhum.
[Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28].

Mula Ali Al Qori mengatakan,
ثم قعد يذكر الله أي اسْتَمَرَّ في مكانه ومسجده الذي صلى فيه فلا يُنَافِيْهِ القيام لطواف أو لطلب علم أو مجلس وَعْظِ في المسجد بل وكذا لو رجع إلى بيته واستمر على الذكر حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين
“…kemudian duduk berdzikir… maksudnya adalah terus-menerus di tempatnya dan masjid (yang dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal ini tidaklah (menunjukkan) terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf, belajar, atau mengikuti majlis pengajian, selama masih di dalam masjid. Bahkan andaikan orang itu pulang ke rumahnya sambil terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, dia masih (mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadis ini.” [Mirqatul Mafatih, 4:57].

Kesimpulan
1.     Allah Subhanahu wata’ala memjanjikan balasan berupa pahala ibadah haji dan umroh bagi orang yang shalat shubuh berjama’ah lalu berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, dan dilanjutkan dengan shalat isyraq dua rekaat.
2.    Mayoritas ulama berpendapat, shalat isyraq adalah shalat yang dikerjakan pada awal waktu dhuha, setelah shalat shubuh berjama’ah dan berdzikir di dalam masjid.
Wallahu a’lam.


YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...