BERSETUBUH KETIKA BERPUASA
Oleh
: Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian
alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Bersetubuh
Dengan Sengaja Ketika Berpuasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا
صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً
تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ
مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ،
فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ
فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ
أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ
مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ
الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ «
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria
menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
“Wahai
Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?”
Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang
budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa
dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi
makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu
Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya
tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah
dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada
orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang
lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi
taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada
keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Pendapat Para Ulama Tentang Kaffarat (denda)
Bagi Yang Bersetubuh Ketika Berpuasa
Al-Kasani Al-Hanafi dalam kitab Fathul Qadir
berkata :
ثُمَّ عِنْدَنَا كَمَا
تَجِبُ الْكَفَّارَةُ بِالْوِقَاعِ عَلَى الرَّجُلِ تَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ .
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي قَوْلٍ : لَا تَجِبُ عَلَيْهَا
لِأَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْجِمَاعِ وَهُوَ فِعْلُهُ وَإِنَّمَا هِيَ مَحَلُّ
الْفِعْلِ
Kemudian
menurut kami kewajiban kafarat itu dibebankan kepada istri sebagaimana
dibebankan pula pada suami. Imam syafii mengatakan tidak wajib bagi sang istri
untuk membayar kafarat. Karena kafarat itu berhubungan dengan jima’ yang
dilakukan oleh sang suami. Sedangkan sang istri itu hanya tempat melakukan jima
saja. [ Badai’
As-Sonai’, jilid 2 hal. 681]
Imam
An-Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan :
فِي الْكَفَّارَةِ
ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ (أَصَحُّهَا) تَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ
خَاصَّةً
(وَالثَّانِي) تَجِبُ عَلَيْهِ عنه
وَعَنْهَا (وَالثَّالِثُ) يَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ
Kewajiban
kafarat ada tiga pendapat. Yang pertama dan ini adalah pendapat yang benar
mengatakan bahwa kafarat wajib bagi sang suami saja. Pendapat kedua mengatakan
bahwa kafarat wajib atas suami untuk dirinya dan istrinya. Pendapat
ketiga mengatakan bahwa suami dan sang istri masing-masing
wajib
membayar kafarat. [Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab 7/189]
Imam An-Nawawi juga
berkata :
(أَمَّا) أَحْكَامُ
الْفَصْلِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى
هَذِهِ الْكَفَّارَةُ مُرَتَّبَةٌ كَكَفَّارَةِ الظِّهَارِ فَيَجِبُ عِتْقُ
رَقَبَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ الْمَذْكُورِ
Dalam fasal ini Asy-Syafi’i dan para sahabat beliau
rahimahumullah berkata : Kafarat ini adalah berurutan seperti kafarat dzihar,
maka ia wajib memerdekakan budak, jika tidak mampu, maka ia harus berpuasa dua
bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka ia harus memmberikan makanan
kepada enam puluh orang miskin, sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang tersebut
di atas.
[Al-Majmu’
Syarah Al-Muhadzdzab 7/194]
Al-Mardawi Al-Hanbali
berkata :
قَوْلُهُ
(وَلَا يَلْزَمُ الْمَرْأَةَ كَفَّارَةٌ مَعَ الْعُذْرِ) هَذَا الْمَذْهَبُ، نَصَّ
عَلَيْهِ. وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ، وَذَكَرَ الْقَاضِي رِوَايَةً
تُكَفِّرُ
Tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat jima’. Ini adalah
pendapat madzhab. Dan ini juga pendapat sebagian besar ashab. Al-qodhi berkata:
ada pendapat lain mengatakan bahwa sang istri harus membayar kafarat. [Al-Inshaf fi
Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf, jilid 3
hal. 313]
Bersetubuh
Karena Lupa Ketika Berpuasa
Imam
Asy-Syaukani juga mengatakan :
قَالَ في الاخيارات: وَمَنْ أَكَلَ فِي شَهْرِ رَمَضَان مُعْتَقِدًا
أّنَّهُ لَيْل فَبَانَ نَهَارًا فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ. وَكَذَا مَنْ جَامَعَ
جَاهِلاً بِالوَقْتِ أَوْ نَاسِيًا وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ
أَحْمَدٍ..
Disebutkan dalam
Al-Ikhtiyarat : Barangsiapa yang makan di siang hari bulan ramadhan dengan
segaja karena menduga malam hari, namun ternyata itu siang hari, maka ia tidak
wajib qadha. Demikian juga orang yang menyetubuhi istrinya karena tidak
mengetahui waktu atau lupa. Demikian menurut salah satu dari pendapat Ahmad. [Bustanul
Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 2/368].
Imam Nawawi dalam
kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
فَمَنْ جَامَعَ نَاسِيًا، لَا يُفْطِرُ عَلَى الْمَذْهَبِ، فَلَا
كَفَّارَةَ
...maka barangsiapa
yang melakukan hubungan suami istri sedangkan dia lupa, maka menurut madzhab
bahwa puasanya tidak batal, maka tidak wajib kaffarat. [Rhaudhatuth Thalibin
2/378].
Beliau juga berkata :
إِذَا ظَنَّ أَنَّ الصُّبْحَ لَمْ يَطْلُعْ، فَجَامَعَ، ثُمَّ بَانَ
خِلَافُهُ، فَحُكْمُ الْإِفْطَارِ سَبَقَ، وَلَا كَفَّارَةَ لِعَدَمِ الْإِثْمِ
Apabila seseorang
menyangka bahwa waktu shubuh belum tiba, kemudian dia bersetubuh lalu
prasangkanya tersebut salah dan waktu shubuh telah tiba, maka hukum batal
puasanya telah dijelaskan, tidak ada kaffarah bagi orang yang tidak berdosa.
[Rhaudhatuth Thalibin
2/385].
Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ menyatakan, kaum
Muslimin sepakat (ijma’), bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika
dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka
puasanya batal.
Sedangkan bila menggauli istrinya dalam keadaan lupa,
bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadhan, maka ini tidak membatalkan
puasa dan tidak terkena kafarat, sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas
ulama). Pendapat ini berdalil kepada
keumuman firman Allah :
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ
أَخْطَأْنَا
“(Mereka
berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
bersalah”. [Al Baqarah : 286].
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي
الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya
Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan”. [HR Ibnu
Majah].
Juga
dengan hadits :
مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ
نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة
“Siapa
yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha
dan tidak ada kewajiban kafarat”. [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990] [Maratib Al
Ijma’, no.39 ]
Kesimpulan
1. Para Ulama
berpendapat, Bersetubuh dengan sengaja ketika berpuasa adalah berdosa dan
membatalkan puasa.
2. Mayoritas ulama
berpendapat hanya suami yang dikenai kafarat jika bersetubuh dengan istrinya di
siang hari bulan ramadhan.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar