Sabtu, 28 Juli 2018

HUKUM PUASA BAGI ORANG LANJUT USIA

HUKUM PUASA BAGI ORANG LANJUT USIA

Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Hukum Puasa Bagi Orang Lanjut Usia
Allah Ta’ala berfirman :
…. وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"……. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah: 184). 

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir berkata :
عَنْ عَطَاءٍ: سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ قال ابن عباس:
ليست منسوخة، هو الشيخ الكبير والمرأة الكبيرة يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
Dari Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca ayat: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”) Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin.” Demikian pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ibnu Katsir, Al-Baqarah : 184]

Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata :
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
 “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وَأَمَّا الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ اللَّذَانِ لَا يَقْدِرَانِ عَلَى الصِّيَامِ: فَإِنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا عَلَيْهِمَا إِذَا أَفْطَرَا، فَقَالَ قَوْمٌ: عَلَيْهِمَا الْإِطْعَامُ. وَقَالَ قَوْمٌ: لَيْسَ عَلَيْهِمَا إِطْعَامٌ. وَبِالْأَوَّلِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَبِالثَّانِي قَالَ مَالِكٌ إِلَّا أَنَّهُ اسْتَحَبَّهُ.
وَأَكْثَرُ مَنْ رَأَى الْإِطْعَامَ عَلَيْهِمَا يَقُولُ: مُدٌّ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، وَقِيلَ: إِنْ حَفَنَ حَفَنَاتٍ كَمَا كَانَ أَنَسٌ يَصْنَعُ أَجْزَأَهُ
Tentang orang yang lanjut usia, ijma’ ulama menetapkan bahwa orang lanjut usia boleh berbuka.
Kalau dia berbuka, apa kewajiban berikutnya?
Menurut Syaf’I dan Abu Hanifah, wajib membayar fidyah.
Menurut Malik, tidak boleh membayar fidyah namun disunatkan membayarnya. Ketentuan fidyah tersebut menurut informasi mayoritas ulama adalah satu mud untuk jatah sehari. Sebagian pendapat mengatakan cukup diperkirakan, misalnya beberapa ciduk tangan seperti yang pernah dilakukan oleh Anas.

وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمُ اخْتِلَافُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا - أَعْنِي: قِرَاءَةَ مَنْ قَرَأَ {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ} [البقرة: 184]- فَمَنْ أَوْجَبَ الْعَمَلَ بِالْقِرَاءَةِ الَّتِي لَمْ تَثْبُتْ فِي الْمُصْحَفِ إِذَا وَرَدَتْ مِنْ طَرِيقِ الْآحَادِ الْعُدُولِ قَالَ: الشَّيْخُ مِنْهُمْ، وَمَنْ لَمْ يُوجِبْ بِهَا عَمَلًا جَعَلَ حُكْمَهُ حُكْمَ الْمَرِيضِ الَّذِي يَتَمَادَى بِهِ الْمَرَضُ حَتَّى يَمُوْتَ.
Perbedaan pendapat tersebut bersumber dari perbedaan bacaan dalam ayat di atas, yakni dengan dibaca sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang memaksakan diri menjalaninya…”
Ulama yang mengamalkan hokum atas dasar qiraat dari jalur yang tidak mutawatir dan diluar mushaf resmi itu berpendapat bahwa orang lanjut usia dan orang yang tidak diberi beban kewajiban itu sama dengan orang sakit yang terus menerus sampai mati. [Bidayatul Mujtahid, 1/676].

Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
الشَّيْخُ الْهَرِمُ الَّذِي لَا يُطِيقُ الصَّوْمَ، أَوْ تَلْحَقُهُ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ، لَا صَوْمَ عَلَيْهِ. وَفِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ عَلَيْهِ، قَوْلَانِ. أَظْهَرُهُمَا: الْوُجُوبُ وَيَجْرِي الْقَوْلَانِ فِي الْمَرِيضِ الَّذِي لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ. وَلَوْ نَذَرَ فِي خِلَالِ الْعَجْزِ صَوْمًا، فَفِي انْعِقَادِهِ وَجْهَانِ.قُلْتُ: أَصَحُّهُمَا: لَا يَنْعَقِدُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Orang yang tua renta, yang tidak dapat melakukan puasa, atau apabila ia melakukan puasa akan menimbulkan kesulitan yang  amat sangat, tidak ada kewajiban puasa.
Di dalam masalah wajib fidyah kepada orang tersebut, terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama yang Azhhar adalah wajib membayar fidyah untuk dirinya.
Perbedaan pendapat denga dua pendapat tadi juga terjadi pada orang yang sakit yang tidak  dapat disembuhkan. Jika ia bernazar puasa pada saat sedang tidak mampu, di dalam niat nadzar itu adpakah sah nadzarnya aau tidak terdapat dua pendapat.
Pendapat yang pertama yang ashah, tidak sah niat nadzarnya tersebut, Wallahu a’lam.
[Rhaudhatuth Thalibin, 2/393].

Ukuran Fidyah Dan Cara Membayarnya
Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
وَهِيَ مُدٌّ مِنَ الطَّعَامِ، لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ رَمَضَانَ. وَجِنْسُهُ جِنْسُ زَكَاةِ الْفِطْرِ. فَيُعْتَبَرُ غَالِبُ قُوتِ الْبَلَدِ عَلَى الْأَصَحِّ وَمَصْرِفُهَا، الْفُقَرَاءُ أَوِ الْمَسَاكِينُ. وَكُلُّ مُدٍّ مِنْهَا كَكَفَّارَةٍ تَامَّةٍ. فَيَجُوزُ صَرْفُ عَدَدٍ مِنْهَا إِلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ، بِخِلَافِ أَمْدَادِ الْكَفَّارَةِ، فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ كُلِّ مُدٍّ مِنْهَا إِلَى مِسْكِينٍ
Fidyah yaitu satu mud dari makanan, setiap hari mengeluarkan satu mud pada setiap hari puasa Ramadhan. Jenis makanan tersebut adalah makanan yang satu jenis untuk zakat fitrah, maka yang dikeluarkan adalah makanan pokok sebagian besar penduduk Negara menurut pendapat yang ashah.
Makanan tersebut diberikan kepada orang fakir atau miskin. Setiap mud dari fidyah tersebut seperti mud kaffarah yang sempurna.
Maka boleh memberikan beberapa mud kepada satu orang miskin saja, berbeda jika mud tersebut adalah kaffarah bukan fidyah, karena satu mud makanan kaffarah harus diberikan kepada satu orang miskin. [Rhaudhatuth Thalibin, 2/390].

Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...