HUKUM PUASA BAGI ORANG LANJUT USIA
Oleh
: Masnun Tholab
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Hukum Puasa Bagi Orang Lanjut Usia
Allah Ta’ala berfirman :
…. وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا
خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"……. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah: 184).
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir berkata :
عَنْ عَطَاءٍ: سَمِعَ
ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ
مِسْكِينٍ قال ابن عباس:
ليست منسوخة، هو الشيخ الكبير والمرأة الكبيرة يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
ليست منسوخة، هو الشيخ الكبير والمرأة الكبيرة يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
Dari
Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca ayat: wa ‘alal ladziina
yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang yang merasa berat
menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin.”) Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena
yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang
tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap
harinya seorang miskin.” Demikian pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat
dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. [Tafsir
Ibnu Katsir, Al-Baqarah : 184]
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia
berkata :
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في
ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما
ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت
للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا
أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Diberikan keringanan (rukhshah) bagi
laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka
mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan orang
miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan
ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah
: 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku)
bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak
sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka
khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].
Ibnu
Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وَأَمَّا الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ اللَّذَانِ لَا يَقْدِرَانِ
عَلَى الصِّيَامِ: فَإِنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا،
وَاخْتَلَفُوا فِيمَا عَلَيْهِمَا إِذَا أَفْطَرَا، فَقَالَ قَوْمٌ: عَلَيْهِمَا
الْإِطْعَامُ. وَقَالَ قَوْمٌ: لَيْسَ عَلَيْهِمَا إِطْعَامٌ. وَبِالْأَوَّلِ
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَبِالثَّانِي قَالَ مَالِكٌ إِلَّا
أَنَّهُ اسْتَحَبَّهُ.
وَأَكْثَرُ مَنْ رَأَى الْإِطْعَامَ عَلَيْهِمَا يَقُولُ: مُدٌّ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، وَقِيلَ: إِنْ حَفَنَ حَفَنَاتٍ كَمَا كَانَ أَنَسٌ يَصْنَعُ أَجْزَأَهُ
وَأَكْثَرُ مَنْ رَأَى الْإِطْعَامَ عَلَيْهِمَا يَقُولُ: مُدٌّ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، وَقِيلَ: إِنْ حَفَنَ حَفَنَاتٍ كَمَا كَانَ أَنَسٌ يَصْنَعُ أَجْزَأَهُ
Tentang orang
yang lanjut usia, ijma’ ulama menetapkan bahwa orang lanjut usia boleh berbuka.
Kalau dia
berbuka, apa kewajiban berikutnya?
Menurut Syaf’I
dan Abu Hanifah, wajib membayar fidyah.
Menurut Malik,
tidak boleh membayar fidyah namun disunatkan membayarnya. Ketentuan fidyah
tersebut menurut informasi mayoritas ulama adalah satu mud untuk jatah sehari.
Sebagian pendapat mengatakan cukup diperkirakan, misalnya beberapa ciduk tangan
seperti yang pernah dilakukan oleh Anas.
وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمُ اخْتِلَافُهُمْ فِي الْقِرَاءَةِ الَّتِي
ذَكَرْنَا - أَعْنِي: قِرَاءَةَ مَنْ قَرَأَ {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ} [البقرة: 184]- فَمَنْ أَوْجَبَ
الْعَمَلَ بِالْقِرَاءَةِ الَّتِي لَمْ تَثْبُتْ فِي الْمُصْحَفِ إِذَا وَرَدَتْ
مِنْ طَرِيقِ الْآحَادِ الْعُدُولِ قَالَ: الشَّيْخُ مِنْهُمْ، وَمَنْ لَمْ
يُوجِبْ بِهَا عَمَلًا جَعَلَ حُكْمَهُ حُكْمَ الْمَرِيضِ الَّذِي يَتَمَادَى بِهِ
الْمَرَضُ حَتَّى يَمُوْتَ.
Perbedaan
pendapat tersebut bersumber dari perbedaan bacaan dalam ayat di atas, yakni
dengan dibaca sebagai berikut :
“Dan
orang-orang yang memaksakan diri menjalaninya…”
Ulama yang
mengamalkan hokum atas dasar qiraat dari jalur yang tidak mutawatir dan diluar
mushaf resmi itu berpendapat bahwa orang lanjut usia dan orang yang tidak diberi
beban kewajiban itu sama dengan orang sakit yang terus menerus sampai mati. [Bidayatul
Mujtahid,
1/676].
Imam
Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
الشَّيْخُ الْهَرِمُ الَّذِي لَا يُطِيقُ الصَّوْمَ، أَوْ تَلْحَقُهُ بِهِ
مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ، لَا صَوْمَ عَلَيْهِ. وَفِي وُجُوبِ الْفِدْيَةِ عَلَيْهِ،
قَوْلَانِ. أَظْهَرُهُمَا: الْوُجُوبُ وَيَجْرِي الْقَوْلَانِ فِي الْمَرِيضِ الَّذِي لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ.
وَلَوْ نَذَرَ فِي خِلَالِ الْعَجْزِ صَوْمًا، فَفِي انْعِقَادِهِ وَجْهَانِ.قُلْتُ: أَصَحُّهُمَا: لَا يَنْعَقِدُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Orang yang tua
renta, yang tidak dapat melakukan puasa, atau apabila ia melakukan puasa akan
menimbulkan kesulitan yang amat sangat,
tidak ada kewajiban puasa.
Di dalam
masalah wajib fidyah kepada orang tersebut, terdapat dua pendapat.
Pendapat
pertama yang Azhhar adalah wajib membayar fidyah untuk dirinya.
Perbedaan
pendapat denga dua pendapat tadi juga terjadi pada orang yang sakit yang
tidak dapat disembuhkan. Jika ia
bernazar puasa pada saat sedang tidak mampu, di dalam niat nadzar itu adpakah
sah nadzarnya aau tidak terdapat dua pendapat.
Pendapat yang
pertama yang ashah, tidak sah niat nadzarnya tersebut, Wallahu a’lam.
[Rhaudhatuth
Thalibin,
2/393].
Ukuran Fidyah
Dan Cara Membayarnya
Imam
Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
وَهِيَ مُدٌّ مِنَ الطَّعَامِ، لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ
رَمَضَانَ. وَجِنْسُهُ جِنْسُ زَكَاةِ الْفِطْرِ. فَيُعْتَبَرُ غَالِبُ قُوتِ
الْبَلَدِ عَلَى الْأَصَحِّ وَمَصْرِفُهَا، الْفُقَرَاءُ أَوِ الْمَسَاكِينُ.
وَكُلُّ مُدٍّ مِنْهَا كَكَفَّارَةٍ تَامَّةٍ. فَيَجُوزُ صَرْفُ عَدَدٍ مِنْهَا إِلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ،
بِخِلَافِ أَمْدَادِ الْكَفَّارَةِ، فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ كُلِّ مُدٍّ مِنْهَا
إِلَى مِسْكِينٍ
Fidyah yaitu
satu mud dari makanan, setiap hari mengeluarkan satu mud pada setiap hari puasa
Ramadhan. Jenis makanan tersebut adalah makanan yang satu jenis untuk zakat
fitrah, maka yang dikeluarkan adalah makanan pokok sebagian besar penduduk
Negara menurut pendapat yang ashah.
Makanan
tersebut diberikan kepada orang fakir atau miskin. Setiap mud dari fidyah
tersebut seperti mud kaffarah yang sempurna.
Maka boleh
memberikan beberapa mud kepada satu orang miskin saja, berbeda jika mud
tersebut adalah kaffarah bukan fidyah, karena satu mud makanan kaffarah harus
diberikan kepada satu orang miskin. [Rhaudhatuth Thalibin, 2/390].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar