Minggu, 22 Juli 2018

KEUTAMAAN BERDO’A PADA HARI JUM’AT


KEUTAMAAN BERDO’A PADA HARI JUM’AT
Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Keutamaan Hari Jum’at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ.
“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.”[HR. Muslim (II/585)]

Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
قَوْلُهُ: «خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ» . قَالَ الشَّارِحُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى: قَالَ الْعِرَاقِيُّ: الْمُرَاد بِتَفْضِيلِ الْجُمُعَة بِالنِّسْبَةِ إلَى أَيَّام الْجُمُعَة، وَتَفْضِيل يَوْم عَرَفَةَ أَوْ يَوْم النَّحْر بِالنِّسْبَةِ إلَى أَيَّام السَّنَة
Sabda beliau, “Sebaik-baik hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at”.
Al-Iraqi mengatakan, “Maksudnya adalah pengutamaan hari jum’at daripada hari-hari lainnya dalam sepekan, dan pengutamaan hari Arafah atau hari Nahar dibanding hari-hari lainnya dalam satu tahun” [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/38].

Dari Abu Hurairah dan Hudzaifah,
أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الأَحَدِ فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ.
‘Allah menyimpangkan kaum sebelum kita dari hari Jum’at. Maka untuk kaum Yahudi adalah hari Sabtu, sedangkan untuk orang-orang Nasrani adalah hari Ahad, lalu Allah membawa kita dan menunjukan kita kepada hari Jum’at.’” [HR. Muslim (II/286)]

Keutamaan Berdo’a Pada Hari Jum’at
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.
“‘Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menun-jukkan sedikitnya waktu itu.”[HR. Bukhari (I/224); Muslim (II/584) ]
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim berkata :
قَالَ الْقَاضِي اخْتَلَفَ السَّلَفُ فِي وَقْتِ هَذِهِ السَّاعَةِ وَفِي مَعْنَى قَائِمٌ يُصَلِّي فَقَالَ بَعْضُهُمْ هِيَ مِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ إِلَى الْغُرُوبِ قَالُوا وَمَعْنَى يُصَلِّي يَدْعُو وَمَعْنَى قَائِمٌ مُلَازِمٌ وَمُوَاظِبٌ كَقَوْلِهِ تَعَالَى مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا
وَقَالَ آخَرُونَ هِيَ مِنْ حِينِ خُرُوجِ الْإِمَامِ إِلَى فَرَاغِ الصَّلَاةِ وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ حِينَ تُقَامُ الصَّلَاةُ حَتَّى يَفْرُغَ وَالصَّلَاةُ عِنْدَهُمْ عَلَى ظَاهِرِهَا وَقِيلَ مِنْ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنَ الصَّلَاةِ وَقِيلَ آخِرَ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Al-Qadhi berkata, “Kalangan Salafush Shalih telah berselisih pendapat tentang waktu tersebut, dan makna dari berdiri shalat. Diantara mereka ada yang mengatakan, “Waktunya adalah setelah shalat ashar hingga terbenam matahari. Maksud shalat di sini adalah berdo’a, sedangkan maksud berdiri adalah biasa melakukannya. Seperti firman Allah ta’ala,
مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا
“Kecuali jika engkau selalu menagihnya” (QS. Ali Imran : 75).
Ulama lain mengatakan, “Waktunya adalah sejak datangnya imam untuk menyampaikan khutbah hingga selesai shalat” Pendapat lain mengatakan, “Waktunya adalah sejak shalat ditegakkan hingga selesai dan shalat di sini menurut mereka adalah sesuai dengan makna zhahirnya”. Ada pula yang berpendapat, “Waktunya dimulai sejak imam duduk di atas mimbar hingga selesai shalat”. Yang lain menuturkan, “Pada penghujung waktu di hari jum’at”.

قَالَ الْقَاضِي وَقَدْ رُوِيَتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كُلِّ هَذَا آثَارٌ مُفَسِّرَةٌ لِهَذِهِ الْأَقْوَالِ قَالَ وَقِيلَ عِنْدَ الزَّوَالِ وَقِيلَ مِنَ الزَّوَالِ إِلَى أَنْ يَصِيرَ الظِّلُّ نَحْوَ ذِرَاعٍ وَقِيلَ هِيَ مَخْفِيَّةٌ فِي الْيَوْمِ كُلِّهِ كَلَيْلَةِ الْقَدْرِ وَقِيلَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ
Al-Qadhi berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa hadits tentang penafsiran waktu tersebut. Ada yang mengatakan bahwa waktunya adalah pada saat tergelincir matahari. Pendapat lain menyatakan, dimulai dari tergelincirnya matahari hingga bayangan benda seukuran satu hasta. Ada lagi yang mengatakan bahwa waktunya tidak diketahui dan berada pada sepanjang hari jum’at, sepert halnya malam lailatul Qadr yang tidak bisa diketahui kapan waktunya. Ada yang berpendapat bahwa waktunya dimulai sejak terbit fajar sampai terbenam matahari”.

قَالَ الْقَاضِي وَلَيْسَ مَعْنَى هَذِهِ الْأَقْوَالِ أَنَّ هَذَا كُلَّهُ وَقْتٌ لَهَا بَلْ مَعْنَاهُ أَنَّهَا تَكُونُ فِي أَثْنَاءِ ذَلِكَ الْوَقْتِ لِقَوْلِهِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا هَذَا كَلَامُ الْقَاضِي وَالصَّحِيحُ بَلِ الصَّوَابُ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ
Al-Qadhi berkata, “Semua pendapat itu bukan berarti itulah waktu yang dimaksud, tetapi maknanya adalah bahwa waktu dikabulkannya do’a berada diantara waktu yang disebutkan dalam pendapat di atas, berdasarkan hadits, “Beliau mengisyaratkan dengan tangannya bahwa waktunya sangat sebentar’. Ini adalah perkataan Al-Qadhi.
Pendapat yang benar adalah yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Musa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Waktu itu ialah antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat”. [Syarah Shahih Muslim, 4/614].

Dari Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu,
أنَّ عَبْدَ اللهِ بْنُ عُمَرَ c قَالَ لَهُ: أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَأْنِ سَاعَةِ الْجُمُعَةِ ؟ قَالَ : قُلْتُ نَعَمْ. سَمِعْتُهُ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ.
Bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari Jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, ‘Aku menjawab, ‘Ya, aku mendengar ayahku mengatakan bahwa, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’”[HR. Muslim (II/316)]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
قَالَ الْمُصَنِّفُ: وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهَا تَسْتَوْعِبُ جَمِيعَ الْوَقْتِ الَّذِي عُيِّنَ بَلْ تَكُونُ فِي أَثْنَائِهِ لِقَوْلِهِ " يُقَلِّلُهَا "، وَقَوْلُهُ " خَفِيفَةٌ "، وَفَائِدَةُ ذِكْرِ الْوَقْتِ أَنَّهَا تَنْتَقِلُ فِيهَا فَيَكُونُ ابْتِدَاءُ مَظِنَّتِهَا ابْتِدَاءَ الْخُطْبَةِ مَثَلًا، وَانْتِهَاؤُهَا انْتِهَاءَ الصَّلَاةِ،
Pengarang (Ibnu Hajar) mengatakan, “Bukan yang dimaksud bahwa sesungguhnya waktu itu mencakup kesemua waktu yang telah ditentukan, tetapi mungkin di tengahnya, hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dengan sabdanya, “Beliau mengisyaratkan dengan tangannya bahwa waktunya sangat sedikit”, dan sabdanya, “Sedikit waktunya”. Adapun faedah penyebutan waktunya adalah bahwa waktu itu berpindah-pindah yang menurut prasangka yang paling  kuat misalnya dimulai dari khutbah dan akhirnya adalah berakhirnya shalat”. [Subulussalam, 1/716].

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang Muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘Ashar.” [Abu Dawud VI/12); an-Nasa-i (III/99, 100)]

Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
وَلَا شَكَّ أَنَّ الْأَحَادِيثَ الْوَارِدَة فِي كَوْنهَا بَعَدَ الْعَصْر أَرْجَح لِكَثْرَتِهَا وَاتِّصَالهَا بِالسَّمَاعِ، وَأَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِف فِي رَفْعهَا وَالِاعْتِضَاد بِكَوْنِهِ قَوْل أَكْثَر الصَّحَابَةِ، فَفِيهَا أَرْبَعَة مُرَجِّحَات. وَفِي حَدِيثِ أَبِي مُوسَى مُرَجِّحٌ وَاحِد وَهُوَ كَوْنه فِي أَحَد الصَّحِيحَيْنِ.
قَالَ ابْنُ الْمُنِيرِ: فَائِدَة الْإِبْهَام لِهَذِهِ السَّاعَة وَلِلَيْلَةِ الْقَدْر بَعْثَ الدَّوَاعِي عَلَى الْإِكْثَار مِنْ الصَّلَاة وَالدُّعَاءِ.
Tidak diragukan lagi, bahwa hadits-hadits yang menyatakan bahwa waktunya adalah setelah ashar adalah lebih kuat, karena jumlahnya lebih banyak dan yang menyampaikannyapun saling bersambung dengan cara mendengar langsung, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai bersambungnya rieayat-riwayat tersebut hingga sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang menguatkan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas sahabat, ada empat penguat, diantaranya adalah hadits Abu Musa yang terdapat dalam Ah-Shahihain.
Ibnu Al-Munir mengatakan, “Faidah tidak diketahuinya secara pasti tentang saat tersebut dan juga tentang lailatul Qadr, bisa mendorong untuk memperbanyak shalat dan do’a”
[Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/38].

Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...