Rabu, 09 April 2014

KEUTAMAAN WUDHU



KEUTAMAAN WUDHU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Renungan
Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS Al Jin : 26,27).
Imam Al-Qurthubi berkata :
قَالَ الْعُلَمَاء رَحْمَة اللَّه عَلَيْهِمْ : لَمَّا تَمَدَّحَ سُبْحَانَهُ بِعِلْمِ الْغَيْب وَاسْتَأْثَرَ من هنا بما يرضي الله وتعست الشركة بِهِ دُونَ خَلْقه , كَانَ فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَعْلَم الْغَيْب أَحَد سِوَاهُ , ثُمَّ اِسْتَثْنَى مَنْ اِرْتَضَاهُ مِنْ الرُّسُل
ara ulama mengatakan bahwa pada ayat ini Allah Subhanahu wata’ala memuji diriNya dengan kepemilikan ilmu ghaib, dimana ilmu itu tidak diberikan kepada makhlukNya , karena ilmu itu dikhususkan untuk dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib itu selain diriNya, kecuali beberapa hal yang diberitahukan kepada beberapa orang Rasul.
[Tafsir Al-Qurthubi, surat Al-Jin 26-27]
 
Dalil-dalil Tentang Keutamaan Berwudhu
Dari Nu'aim bin Al Mujmir berkata, "Aku mendaki masjid bersama Abu Hurairah, lalu dia berwudlu' dan berkata, 
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
"Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri karena sisa air wudlu, barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan." (HR. Bukhari 133; Ahmad 8828)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
واستدل الحليمي بهذا الحديث على أن الوضوء من خصائص هذه الأمة، وفيه نظر لأنه ثبت عند المصنف في قصة سارة رضي الله عنها مع الملك الذي أعطاها هاجر أن سارة لما هم الملك بالدنو منها قامت تتوضأ وتصلي، وفي قصة جريج الراهب أيضا أنه قام فتوضأ وصلى ثم كلم الغلام، فالظاهر أن الذي اختصت به هذه الأمة هو الغرة والتحجيل لا أصل الوضوء
Al-Khulami menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa wudhu merupakan kekhususan (keistimewaan) umat ini. Namun pernyataan seperti itu masih perlu ditinjau kembali. Karena telah disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) pada kisah Sarah RA bersama sang Raja, dimana pada saat raja tersebut hendak mendekatinya maka ia berwudhu lalu shalat. Demikian pula pada kisah Juraij, dimana beliau berwudhu dan shalat lalu setelah itu terjadi dialog antara dia dengan bayi. Yang lebih kuat, sesungguhnya yang menjadi kekhususan ummat ini hanyalah cahaya di wajah, tangan dan kaki saja, dan bukan wudhu itu sendiri. [Fathul Baari 2/15, hadits no. 136]

Dari Abu Hurairah Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ - أَوِ الْمُؤْمِنُ - فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ
"Jika seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, ketika ia mencuci wajahnya maka akan keluar dosa yang ia lihat dengan matanya bersama guyuran air (wudhu) atau tetesan terakhir, atau semisalnya, dan ketika ia mencuci kedua tangannya maka keluar setiap dosa yang digerakkan oleh kedua tangannya bersama guyuran air (wudhu) atau tetesan terakhir, hingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa." (HR. Muslim 360, 600; Ahmad 7677)

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim, berkata :
قَالَ الْقَاضِي : وَالْمُرَاد بِخُرُوجِهَا مَعَ الْمَاء الْمَجَاز وَالِاسْتِعَارَة فِي غُفْرَانهَا ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِأَجْسَامٍ فَتَخْرُج حَقِيقَة . وَاَللَّه أَعْلَم
Al-Qadhi Iyadh Rahimahullah berkata : “Yang dimaksud dengan kesalahan yang keluar bersama-sama dengan tetesan air wudhu tidak lain adalah ungkapan majaz atau metaforis. Maksudnya adalah dosa-dosa kecil itu diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala. Sebab kesalahan-keslahan manusia tidak ada wujud fisiknya sehingga bisa keluar dari tubuh seberti benda yang kasat mata. Wallahu a’lam.
[Syarah Shahih Muslim 2/274, hadits no. 600].

Dari Utsman bin  Affan, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim no. 601)

Dari Abu Hurairah Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ, فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
“Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada keadaan yang dibenci (seperti pada keadaan yang sangat dingin, pent.), banyak berjalan ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat. Maka itulah ribath, itulah ribath.” (HR. Muslim no. 610)

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim, berkata :
قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : ( مَحْو الْخَطَايَا ) كِنَايَة عَنْ غُفْرَانهَا ، قَالَ : وَيَحْتَمِل مَحَوْهَا مِنْ كِتَاب الْحَفَظَة وَيَكُون دَلِيلًا عَلَى غُفْرَانهَا ، ( وَرَفْع الدَّرَجَات ) إِعْلَاء الْمَنَازِل فِي الْجَنَّة ، وَإِسْبَاغ الْوُضُوء تَمَامه ، وَالْمَكَارِه تَكُون بِشِدَّةِ الْبَرْد وَأَلَمِ الْجِسْم وَنَحْو ذَلِكَ ،  وَاَللَّه أَعْلَم
Al-Qadhi Iyadh Rahimahullah berkata : “Yang dimaksud dengan dihapusnya kesalahan dalam hadits tersebut merupakan ungkapan lain dari ampunan Allah ta’ala untuk kesalahan-kesalahan tersebut. Namun mungkin yang dimaksud adalah dihapusnya kesalahan dari buku catatan para malaikat Hafazhah. Tentu saja hal ini sama dengan ampunan Allah untuk kesalahan-kesalahan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan diangkatnya beberapa derajat adalah kedudukan tinggi yang didapatkan di dalam surga”
“Yang dimaksud dengan menyempurnakan wudhu adalah melakukannya dengan sempurna (berikut sunnah-sunnah wudhu yang dianjurkan). Yang dimaksud dengan kondisi yang tidak bersahabat adalah ketika suhu udara sangat dingin, ketika tubuh menderita sakit, atau hal yang tidak menyenangkan lainnya”.  Wallahu a’lam.
[Syarah Shahih Muslim 2/274, hadits no. 610].


Wallahu a’lam

MENGGABUNGKAN NIAT SHALAT



MENGGABUNGKAN NIAT SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Dalil dan Pengertian Niat
Umar bin Alchattab Rodhiyallahu ‘anhu. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam bersabda :
إنَّمَاالْأَ عْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ مْرِىءٍ مَّانَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِمْرَأةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَجَرَ اِلَيْهِ
"Sesungguhnya Sahnya  suatu perbuatan tergantung niatnya. Dan yang teranggap bagi tiap orang adalah menurut apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niat hijrah kepadaNya. (HR. Buchari no. 1)
[lihat Riyadus Salihin 1, hal. 11 ; lihat Al-Jami'us Saghir 1, hal. 31]

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim menyatakan,
النيةُ هي القصدُ والعزمُ على فعلِ الشيء ومَحلُّها القلبُ ، لا تعَلُّقَ لها باللسانِ أصلا ولذلك لم ينقل عن النبي ولا عن أصحابه في النية لفظ بحال
"Arti niat adalah menyengaja dan bermaksud secara sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Tempatnya adalah di dalam hati dan ia tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan penuturan lisan. Oleh sebab itu tidak pernah ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alihi wasallam dan para sahabat pernah melafadzkan niat”
[Fiqih Sunnah 1/187; Ighatsatul Lahfan 1/141].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm  berkata tentang niat shalat : 
وَالنِّيَّةُ لاَ تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلاَ تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلاَّ أَنْ تَكُونَ مع التَّكْبِير لاَ تَتَقَدَّمُ التَّكْبِيرَ وَلاَ تَكُونُ بَعْدَه
Niat tidak bisa menggantikan kedudukan takbir, namun niat tidak cukup apabila tidak disertai takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak pula sesudahnya. (niat bersamaan dengan takbiratul ihram, pen). [Lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 155].
Imam Syafi’i  berkata : Hadits-hadits yang telah kami riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan dalil bahwa niat sesorang yang ber-talbiyah itu hanya di hati (tidak dilafadzkan), hal itu sudah cukup dan sah. Jadi sesoerang yang berihram tidak perlu melafadzkan niat ihramnya. Hal ini sebagaimana niat seseorang untuk shalat wajib, shalat sunnah atau shalat nadzar yang hanya terdapat di dalam hati, maka hal itu sudah cukup dengan tidak perlu dilafadzkan dengan lisan.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 618].

Dalam kitab Fat-hul Mu’in Al-Fanani mengatakan :
Sunat mengucapkan lafadz niat yang dinyatakan sebelum takbiratul ihram, agar ucapan itu dapat membantu hatinya, dan agar keluar dari perbedaan dengan pendapat yang mewajibkan talaffuzh niat. (Demikianlah pendapat Syafiiyah dan Hanbaliah).
[Fat-hul Mu’in 1, hal. 153]

Ibnul Qayim berpendapat tentang melafadzkan niat dalam kitab Zadul Ma'ad,:  Ini semua merupakan dari sepuluh perbuatan bid'ah, karena tidak ada nash yang menceritakan dengan sanad yang shahih, dan tidak pula dengan sanad yang dha'if, dan tidak pula dengan sanad yang hasan, dari salah seorang tabi'in, dan tidak pula dari para Imam empat mazhab. (Malik, Syafi'i, Hanafi, dan Hambali)  [Kitab Fiqih Lima Mazhab, hal. 102; lihat Zaadul Ma’ad 1, hal.19]

Pendapat Para Ulama Tentang Menggabungkan Niat Shalat
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab  berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَنْوِيَ بِالرَّكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ بَلْ إذَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِنِيَّةِ الصَّلَاةِ مُطْلَقًا أَوْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ نَافِلَةً رَاتِبَةً أَوْ غَيْرَ رَاتِبَةٍ أَوْ صَلَاةَ فَرِيضَةٍ مُؤَدَّاةٍ أَوْ مَقْضِيَّةٍ أَوْ مَنْذُورَةٍ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَحَصَلَ لَهُ مَا نَوَى وَحَصَلَتْ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ ضِمْنًا وَلَا خِلَافَ فِي هَذَا قَالَ أَصْحَابُنَا وَكَذَا لَوْ نَوَى الْفَرِيضَةَ وَ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ أَوْ الرَّاتِبَةَ وَتَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ حَصَلَا جَمِيعًا بِلَا خِلَافٍ
Sahabat-sahabat kami berkata : “Tidak disyaratkan niat shalat tahiyatul masjid, tetapi dapat pula dilaksanakan niat 2 rekaat shalat mutlak, atau niat shalat sunnah rawatib dua rekaat, atau yang lain, atau niat menunaikan shalat fardhu, shalat nadzar dan lainnya, yang ia niatkan tercapai dan tahiyatul masjid juga tercapai karena tercakup di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”
Sahabat-sahabat kami berkata : “Seperti itu juga bila seseorang berniat shalat fardhu dan tahiyatul masjid, atau shalat sunnah rawatib dan tahiyatul masjid, keduanya tercapai secara bersamaan. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 4/114]

Syeikh Zainul Abidin bin Ibrahim bin Nujaim Al-Hanafi berkata  :
لَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَصَلَّى الْفَرْضَ أَوْ الرَّاتِبَةَ دَخَلَتْ فِيهِ التَّحِيَّةُ
Bila ada orang masuk masjid untuk sholat fardlu atau sholat rawatib, maka sholat tahiyyatul masjid sudah otomatis masuk.  [Asybah wannadho-ir 132]

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah  berkata tentang shalat Istikharah :
ولو كانتا من السُّنن الراتبةِ أو تحية المسجد في أي وقت من الليل أو النهار
Shalat Istikharah boleh dilakukan ketika mengerjakan shalat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid, atau boleh pula dilakukan pada waktu malam atau siang.
[Fikih Sunnah 1, hal. 304].

Kesimpulan
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya melakukan satu shalat dengan beberapa niat shalat sekaligus.
Wallahu a’lam.



AURAT WANITA



AURAT WANITA
Oleh :MasnunTholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Pendahuluan
Dari Imran bin Hushain , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“Aku melihat surga, ternyata kebanyakan penghuninya adalah fuqara. Aku pun melihat neraka dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita.” (HR. al-Bukhari no. 3241 dan Muslim no. 2738)
Salah satu yang menyebabkan wanita masuk neraka adalah cara mereka berpakaian yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
 An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.
Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Haditsdiatasmenunjukkanbetapabesarresikobagikaumwanita yang tidakmenutupauratnya.Hal itujugamenunjukkanbetapapentingnyamasalahmenutupauratbagiwanita.

Dalil-dalil Tentang Aurat Wanita
Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (jilbab)nya ke dadanya”. (QS. An-Nur :31)

Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampun berpaling seraya berkata;
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Abu Dawud 4101. Abu Dawudberkata, “Inihaditsmursal”]

Pendapat Para UlamaTentang Aurat Wanita
1.     Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Al Ummberkata,
وَكُلُّ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ إلاَّ كَفَّيْهَا وَوَجْهَهَا
Dan setiap wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”
[Al-Umm, MaktabahSyamilah 1/89]

2.    Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan,
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, MaktabahSyamilah 3/169]

3.    Ibnul Mundzir dalam Al Awsathberkata :
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”.[Al-Ausath, MaktabahSyamilah 5/75]
4.    Abu Ishaq al-Syairazidalamkitaal-Muhazzab mengatakan :
Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya merupakan aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”. Ibnu ‘Abbas berkata (mengomentari ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangannya’. Dasar lainnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita ketika ihram memakai sarung tangan dan cadar. Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat, Rasulullah tidak akan mengharamkan menutupnya. Alasan lainnya adalah karena adanya keperluan yang menuntut seorang wanita untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan menampakkan telapak tangan ketika memberi dan menerima sesuatu. Maka, tidak dijadikan wajah dan telapak tangan sebagai aurat.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Maktabah Syamilah 3/167]

 3.    Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, berkata :
Aurat wanita merdeka, meskipun dia itu belum mumayyiz dan aurat khuntsa merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan, zhahirnya dan bathinnya sehingga dua persendiannya, berdasarkan firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”, yaitu kecuali wajah dan dua telapak tangan. Alasan lain adalah karena ada keperluan membukanya. Hanya haram menilik wajah dan kedua telapak tangan seperti halnya yang lebih dari aurat hamba sahaya wanita, karena yang demikian itu berpotensi menimbulkan fitnah.
[Tuhfah al-Muhtaj, MaktabahSyamilah 7/115]

5.    Asy Syarwani dalam Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj mengatakan :
Wanita memiliki tiga jenis aurat: (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki.
[Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, MaktabahSyamilah 2/112]

6.    Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat, kecuali jika di masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab.
[Kifaayatul Akhyaar, MaktabahSyamilah 1/138]

7.    Abu Al-Hasan Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi Al-Kubro fi FiqhiMadzhab Al-Imam Syafi’Iberkata:

“Adapun wanita merdeka, seluruh tubuhnya merupakan aurat di dalam shalat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya hingga persendian terakhir pergelangan tangan.”
[Al-Hawi Al-Kubro fi FiqhiMadzhab Al-Imam Syafi’I, MaktabahSyamilah 24/41]

8.    Syaikh Sulaiman Al JamaldalamkitabHasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj berkata:
“Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”
[Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, MaktabahSyamilah4/15]


9.    Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”
[Fathul Qaarib, MaktabahSyamilah 1/84]

10.  Ibnu Qaasim Al Abadi dalam kitab Tuhfatul Muhtaaj berkata:
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”
[Tuhfatul Muhtaaj, MaktabahSyamilah 10/478]

11.  Al Qurthubi dalamTafsir Al Qurthubiberkata:
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya”
[Tafsir Al Qurthubi, MaktabahSyamilah 12/229]

Kesimpulan :
Berdasarkan dalil-dalil dan keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.     Aurat wanita merdeka dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
2.    Aurat wanita merdeka di luar shalat jika bersama laki-laki ajnabi (bukan mahramnya) ada dua pendapat. Pendapatpertama, seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu termasuk wajah dan telapak tangan. Pendapatkedua, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (sepertiauratdalamshalat)
3.    Untuk menghindari pandangan laki-laki ajnabi (bukan mahram) wanita dianjurkan menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan telapak tangan.


Wallahua’lam.





















AURAT WANITA
Oleh :MasnunTholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Pendahuluan
RasulullahShallallahu ‘alaihiwasallampernahmengunjungineraka. Ternyatasebagianbesarpenghuninerakaadalahkaumwanita.
Dari Imran bin Hushain , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“Aku melihat surga, ternyata kebanyakan penghuninya adalah fuqara. Aku pun melihat neraka dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita.” (HR. al-Bukhari no. 3241 dan Muslim no. 2738)
Salah satu yang menyebabkanwanitamasuknerakaadalahbagaimanacaramerekaberpakaian.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.
Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Haditsdiatasmenunjukkanbetapabesarresikobagikaumwanita yang tidakmenutupauratnya.Hal itujugamenunjukkanbetapapentingnyamasalahmenutupauratbagiwanita.

Dalil-dalilTentangAuratWanita
Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (jilbab)nya ke dadanya”. (QS. An-Nur :31)

Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]

Pendapat Para UlamaTentangAuratWanita
12.  Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm (1/109) berkata,
وَكُلُّ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ إلاَّ كَفَّيْهَا وَوَجْهَهَا
Dan setiap wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”
[Al-Umm, MaktabahSyamilah 1/89]

13.  Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (3/169) mengatakan,
أَنَّ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِنَا أَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ وَعَوْرَةَ الْحُرَّةِ جَمِيعُ بَدَنِهَا إلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَبِهَذَا كُلِّهِ قَالَ مَالِكٌ وَطَائِفَةٌ وَهِيَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, MaktabahSyamilah 3/169]

14.  Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
على المرأة أن تخمر في الصلاة جميع بدنها سوى وجهها وكفيها
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”.
[Al-Ausath, MaktabahSyamilah 5/75]


15.  Abu Ishaq al-Syairazidalamkitaal-Muhazzab mengatakan :
وَأَمَّا الْحُرَّةُ فَجَمِيعُ بَدَنِهَا عَوْرَةٌ إلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ منها) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " نَهَى الْمَرْأَةَ الْحَرَامَ عَنْ لُبْسِ الْقُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ " وَلَوْ كَانَ الْوَجْهُ وَالْكَفُّ عَوْرَةً لَمَا حَرَّمَ سَتْرَهُمَا وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَإِلَى إبراز الكلف لِلْأَخْذِ وَالْعَطَاءِ فَلَمْ يَجْعَلْ ذَلِكَ عَوْرَة
Artinya: Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya merupakan aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”. Ibnu ‘Abbas berkata (mengomentari ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangannya’. Dasar lainnya adalah karena Nabi SAW melarang wanita ketika ihram memakai sarung tangan dan cadar. Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan aurat, Rasulullah tidak akan mengharamkan menutupnya. Alasan lainnya adalah karena adanya keperluan yang menuntut seorang wanita untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan menampakkan telapak tangan ketika memberi dan menerima sesuatu. Maka, tidak dijadikan wajah dan telapak tangan sebagai aurat.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, MaktabahSyamilah 3/167]

3.    Ibnu Hajar al-Haitamydalam Tuhfah al-Muhtaj, berkata :
(وَ) عَوْرَةُ (الْحُرَّةِ) وَلَوْ غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ وَالْخُنْثَى الْحُرِّ (مَا سِوَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) ظَهْرُهُمَا وَبَطْنُهُمَا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا أَيْ إلَّا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَلِلْحَاجَةِ لِكَشْفِهِمَا وَإِنَّمَا حَرُمَ نَظَرُهُمَا كَالزَّائِدِ عَلَى عَوْرَةِ الْأَمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَظِنَّةٌ لِلْفِتْنَةِ
Artinya : Aurat wanita merdeka, meskipun dia itu belum mumayyiz dan aurat khuntsa merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan, zhahirnya dan bathinnya sehingga dua persendiannya, berdasarkan firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”, yaitu kecuali wajah dan dua telapak tangan. Alasan lain adalah karena ada keperluan membukanya. Hanya haram menilik wajah dan kedua telapak tangan seperti halnya yang lebih dari aurat hamba sahaya wanita, karena yang demikian itu berpotensi menimbulkan fitnah.
[Tuhfah al-Muhtaj, MaktabahSyamilah 7/115]

16.  Asy Syarwanidalam Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtajmengatakan :
أَنَّ لَهَا ثَلَاثَ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجَانِبِ إلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَعَوْرَةٌ فِي الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الْمَحَارِمِ كَعَوْرَةِ الرَّجُلِ
Artinya : Wanita memiliki tiga jenis aurat: (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki.
[Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, MaktabahSyamilah2/112]

17.  Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ فِيهِ صُورَة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
Artinya :Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat, kecuali jika di masjid yang kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab.
[Kifaayatul Akhyaar, MaktabahSyamilah1/138]

18.  Al-BakriDimyatidalam I’anah al-Thalibin disebutkan :
قال في فتح الجواد: ولا ينافيه، أي ما حكاه الإمام من اتفاق المسلمين على المنع، ما نقله القاضي عياض عن العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال غض البصر لأن منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بل لأن فيه مصلحة عامة بسد باب الفتنة. نعم، الوجه وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من قولهم يلزمها ستر وجهها عن الذمية، ولأن في بقاء كشفه إعانة على الحرام.اه.
Artinya : Pengarang Fath al-Jawad mengatakan, “Apa yang diceritakan oleh al-Imam bahwa sepakat kaum muslimin atas terlarang (terlarang wanita keluar dengan terbuka wajah) tidak berlawanan dengan yang dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh dari ulama bahwa tidak wajib atas wanita menutup wajahnya pada jalan, yang demikian itu hanya sunnah dan hanyasanya atas laki-laki wajib memicing pandangannya, karena terlarang wanita yang demikian itu bukan karena wajib menutup wajah atas mereka, tetapi karena di situ ada maslahah yang umum dengan menutup pintu fitnah. Namun menurut pendapat yang kuat wajib menutupnya atas wanita apabila diketahuinya ada pandangan laki-laki ajnabi kepadanya, karena memahami dari perkataan ulama “wanita wajib menutup wajahnya dari kafir zimmi” dan juga karena membiarkan terbuka wajah membantu atas sesuatu yang haram.
[I’anah al-Thalibin, MaktabahSyamilah3/258]


19.  Syamsudin Ar-Romli dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj berkata :
( وَ ) عَوْرَةُ ( الْحُرَّةِ ) ( مَا سِوَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ ) فِيهَا ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا } قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ : هُوَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ وَلِأَنَّهُمَا لَوْ كَانَا عَوْرَةً فِي الْعِبَادَاتِ لَمَا وَجَبَ كَشْفُهُمَا فِي الْإِحْرَام
Artinya: “Dan aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan dua telapak tangan, depan dan belakangnya, hingga tulang pergelangan tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala: {Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya} [an-Nuur ayat 31]. Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah (ridhwanullahi ‘alaihim) mengomentari ayat ini, ‘yaitu wajah dan dua telapak tangan’. Alasan lainnya adalah seandainya wajah dan dua telapak tangan merupakan aurat dalam ibadah, maka Rasulullah tak akan mewajibkan dibukanya keduanya ketika ihram.”
[Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj,MaktabahSyamilah4/424]

20. Abu Al-Hasan Al-Mawardidalam kitab Al-Hawi Al-Kubro fi FiqhiMadzhab Al-Imam Syafi’Iberkata:

فَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاةِ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا إِلَى آخِرِ مَفْصِلِ الْكُوع
Artinya: “Adapun wanita merdeka, seluruh tubuhnya merupakan aurat di dalam shalat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya hingga persendian terakhir pergelangan tangan.”
[Al-Hawi Al-Kubro fi FiqhiMadzhab Al-Imam Syafi’I, MaktabahSyamilah24/41]

21.  Syaikh Sulaiman Al JamaldalamkitabHasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhajberkata:
وَأَمَّا عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْمُسْلِمَاتِ مُطْلَقًا وَعِنْدَ الرِّجَالِ الْمَحَارِمِ فَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ، وَأَمَّا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَجَمِيعُ الْبَدَنِ
“Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan”
[Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, MaktabahSyamilah4/15]

22. Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”
[Fathul Qaarib, MaktabahSyamilah1/84]

23. Ibnu Qaasim Al Abadidalam kitabTuhfatul Muhtaajberkata:
فَيَجِبُ مَا سَتَرَ مِنْ الْأُنْثَى وَلَوْ رَقِيقَةً مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَوُجُوبُ سَتْرِهِمَا فِي الْحَيَاةِ لَيْسَ لِكَوْنِهِمَا عَوْرَةً بَلْ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ غَالِبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”
[Tuhfatul Muhtaaj, MaktabahSyamilah 10/478]

24. Al Qurthubi berkata:
وَقَدْ قَالَ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادَ مِنْ عُلَمَائِنَا : إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، وَخِيفَ مِنْ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا الْفِتْنَةُ ، فَعَلَيْهَا سَتْرُ ذَلِكَ ، وَإِنْ كَانَتْ عَجُوزًا أَوْ مُقَبَّحَةً جَازَ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya”
[Tafsir Al Qurthubi, MaktabahSyamilah 12/229]

Kesimpulan :
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapatdisimpulkan sebagai berikut :
1.    Aurat wanita merdeka dalam shalat dalam artian wajib ditutupinya adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
2.    Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam artian haram memandangnya oleh laki-laki ajnabi (bukan mahramnya) adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu termasuk wajah dan telapak tangan.
3.    Aurat wanita merdeka di luar shalat dalam artian wajib menutupinya sama dengan aurat dalam shalat, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
4.    wajib menutup wajah dan telapak tangan di dalam dan diluar shalat atas wanita apabila diketahuinya ada pandangan laki-laki ajnabi kepadanya,
















YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...