Minggu, 28 Februari 2010

MEMBACA YAA SIIN UNTUK MAYAT

MEMBACA YAA SIIN UNTUK MAYAT
Oleh : Masnun Tholab
Masnuntholab.blogspot.com

Di masyarakat ada kebiasaan membaca surat Yaa Siin untuk orang yang sedang sakaratul maut, ada pula yang membacanya setelah orang tersebut meninggal dunia, serta ada pula yang tidak membaca surat Yaa Siin baik pada orang yang sedang sakaratul maut maupun pada orang yang sudah meninggal dunia.
Uraian di bawah ini mudah-mudahan bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan kebiasaan tersebut.

وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ .
Dari Ma’qil bin Yasar r.a., katanya: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacakanlah Yasin untuk orang-orang yang mati diantara kalian” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan disohihkan oleh Ibnu Hibban)
Ibnul Qathan dalam kitab At-Talkhis berkata : “Abu Bakar Ibnul Arobi menukil dari Ad-Daruqutni, bahwa ia berkata, “Hadits ini dho’if sanadnya dan majhul matannya. Tidak ada satupun hadits yang shahih dalam bab ini”.
[Bulughul Maram, hal. 222].
Menurut Imam As-Suyuti dalam kitab Al-Jami’us Saghir hadits tersebut Hasan. Sedangkan menurut Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albani hadits tersebut dho’if.
[Al-Jami’us Saghir 1, hal. 365].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
قال ابن حبان: أراد به من حضرته المنية لا أن الميت يقرأ عليه يس"
وأعله ابن القطان بالاضطراب والوقف، وبجهالة حال أبي عثمان وأبيه، ونقل عن الدارقطني أنه قال: هذا حديث مضطرب الإسناد مجهول المتن ولا يصح، وقال أحمد في مسنده: حدثنا أبو المغيرة: حدثنا صفوان قال: كانت المشيخة يقولون: إذا قرئت يس عند الميت خفف عنه بها.
Ibnu Hibban berkata : “Yang dimaksud dengan mautaakum di sini adalah orang yang sedang sakaratul maut, bukan orang yang telah menjadi mayat (sudah meninggal) dibacakan Yaa Siin”.
Tetapi hadits tersebut dinilai cacat oleh Ibnu Qathan karena termasuk hadits muththarib dan mauquf, karena tidak diketahui identitas Abu Utsman dan bapaknya itu.
Ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Hadits ini muththarib sanadnya, tidak dikenal dan tidak shahih”.
Ahmad mengatakan dalam Musnadnya, bahwa Shafwan pernah menceritakan kepada kami, ia mengatakan bahwa guru-gurunya pernah berkata, “Apabila surat Yaa Siin dibacakan pada orang yang telah mati, maka ia akan diringankan siksaan dan deritanya” (HR. Ahmad 4/109).
[Subulussalam 1, hal. 814]

وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يس قلب القرأن, لابقرءوهارجل يريد الله والدرالأخرة إلا غفرله واقْرَؤُوها عَلَى مَوْتَاكُمْ.
Dari Ma’qil bin Yasar r.a., katanya: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yaa Siin adalah jantung Al-Quran dan tidak seorangpun yang membacanya dengan mengharapkan keridhaan Allah akan pahala akhirat, kecuali dia akan diampuni-Nya. Dan bacakanlah ia untuk orang-orang yang mati diantara kalian” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Hakim, dan disohihkan oleh Ibnu Hibban)
Sayyid Sabiq berkata dalam kita Fiqih Sunnah :
قال ابن حبان: أراد به من حضرته المنية لا أن الميت يقرأ عليه
ويويد هذا المعنى مارواه أحمد في مسنده عن صفوان قال: كانت المشيخة يقولون : إذا قرئت يس عند الميت خفف عنه بها واسنده صاحب مسند الفردوس الى ابى الدرداء وابى ذر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "ما من ميت يموت فتقرأ عند ه يس إلا هون الله عليه"
Ibnu Hibban berkata, “Mawta maksudnya adalah orang yang telah mendekati ajalnya. Jadi, maksudnya bukan dibacakan kepada mayat. Makna ini dikuatkan oleh keterangan yang diriwayatkan oleh Shafwan oleh Ahmad pada musnadnya yang mengatakan, ‘para orang tua terkemuka mengatakan, “Jika dibacakan Yaa Siin pada saat seseorang hendak meninggal, maka ia akan memperoleh keridhaan karenanya”. Sedangkan pengarang Musnad Al-Firdaus meneruskan sumbernya pada Abud Darda dan Abu dzar bahwa menurut mereka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Setiap orang yang hendak meninggal dengan dibacakan Yaa Siin di sisinya, ia akan diberi keringanan oleh Allah”
[Fiqih Sunnah 2, hal. 121]

Kesimpulan :
1. Ulama berbeda pendapat tentang derajat hadits mengenai Surat YaaSiin; ada yang berpendapat shahih, ada yang berpendapat Hasan, dan ada yang berpendapat dho’if.
2. Ulama berbeda pendapat tentang membaca surat Yaa Siin pada mayat; ada yang berpendapat dibaca sebelum meninggal, ada yang berpendapat setelah meninggal dunia.
Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Imam As-Suyuti, Al-Jami’us Shaghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
- Imam Nasa’I, Sunan An-Nasa’I (E-book)
- Abu Daud, Sunan Abu Daud (E-book)
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Ash-Shan’ani, Subulussalam, Darus Sunnah, Jakarta, 2007.

Rabu, 24 Februari 2010

ZIARAH KUBUR

ZIARAH KUBUR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Hadits-hadits tentang ziarah kubur
Hadits 1
Dari Buraidah Ibnu al-Hushoib al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا  
"Dulu aku melarang kamu sekalian menziarahi kuburan, sekarang ziarahilah ia." Riwayat Muslim No. 977. Tirmidzi (No. 1054). menambahkan: "Karena ia mengingatkan akan akhirat."

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
 وحديث بريدة جمع فيه بين ذكر أنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم كان نهى أولاً عن زيارتها ثم أذن فيها أخرى. وفي قوله: "فزوروها" أمر الرجال بالزيارة وهو أمر ندب اتفاقاً، ويتأكد في حق الوالدين لآثار في ذلك.
Hadits ini menghimpun dua macam kalimat yaitu yang pertama mengingatkan kita bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang ziarah kubur kemudian beliau mengizinkannya kembali. Perintahnya “Ziarahilah kubur” merupakan perintah kepada orang laki-laki, dan perintah itu hanya menunjukkan hokum sunnah, lebih-lebih menziarahi kubur orang tua. Ini sudah disepakati para ulama. [Subulussalam 1, hal.878]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan :
Larangan pada permulaan itu adalah karena masih dekatnya mereka dengan zaman jahiliyah. Dan dalam suasana ketika mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya ucapan-ucapan kotor dan keji. Maka tatkala mereka menganut Islam dan merasa tenteram dengannya, serta mengetahui aturan-aturannya, diizinkanlah mereka oleh syara’ untuk berziarah. [Fiqih Sunnah 2, hal. 205].

Hadits 2
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, berkata :
زَارَ النَّبِيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى, وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فقال‏:‏ اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أنْ أسْتَغْفِرَ لَها فَلَمْ يُؤْذِنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ في أنْ أزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي, فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ, فَإنَّها تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
"Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berziarah ke kuburan ibunya. Beliau menangis se-hingga membuat orang-orang yang bersamanya menangis pula. Beliau Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memohon ampun buat ibuku tetapi Dia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin untuk berziarah ke kuburnya dan Dia mengizinkanku. Maka berziarah kuburlah, karena ia mengingatkan mati." (HR. Muslim. Mukhtashar Shahih Muslim, no. 495).
Imam al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah, 1/28 berkata, "Para ula-ma berkata, 'Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati dari-pada ziarah kubur, lebih-lebih jika hati tersebut membatu."

Hadits 3
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu,
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  لَعَنَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ   أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat wanita yang menziarahi kuburan. (HR.  Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Al-Qurtubi mengatakan :
اللعن المذكور في الحديث إنما هو للمكثرات من الزيارة لما تقتضيه الصيغة من المبالغة ولعل السبب ما يفضي إليه ذلك من تضييع حق الزوج والتبرج وما ينشأ من الصياح ونحو ذلك وقد يقال إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لهن لأن تذكر الموت يحتاج إليه الرجال والنساء انتهى
“Laknat yang disebutkan dalam hadits itu adalah untuk para wanita yang sering berziarah, hal itu tampak dari redaksinya yang menggunakan sighah mubalaghah (kata yang mengandung arti sering).
Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” [Nailul Author 2 , hal. 248; lihat Fiqih Sunnah 2, hal. 209]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
وقد قال بعض أهل العلم: إن هذا كان قبل أن يرخص النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم في زيارة القبور فلما رخص دخل في رخصته الرجال والنساء. وقال بعضهم: إنما كره زيارة القبور للنساء لقلة صبرهنّ وكثرة جزعهن
Sebagian Ulama berkata, “Bahwa hadits ini ada sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan ziarah kubur. Setelah beliau membolehkannya maka termasuk laki-laki dan perempuan”. Sebagian Ulama berkata, “Hanya makruh ziarah kubur itu bagi orang-orang perempuan karena mereka kurang sabar dan banyak keluh kesahnya”. [Subulussalam 1, hal.878]

Hadits 4
Dari Ibnu Abi Mulaikah,
أن عائشة أقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمَ مِنَ الْمَقَابِرِ فَقُلْتُ لَها‏:‏ يا أمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أيْنَ أقْبَلْتِ قَالَتْ‏:‏ مِنْ قَبْرِ أخِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقُلْتُ لَها‏:‏ ألَيْسَ كان نَهَى رسولُ اللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ قَالَتْ ‏:‏ نعم كان نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ثم أمَرَ بِزِيَارَتِها
bahwasanya dia pernah melihat Aisyah menziarahi kuburan saudara laki-lakinya, Abdurrahman.”Aisyah ditanya,’Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  telah melarang hal ini.’Dia menjawab,’Ya, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarangnya kemudian memerintahkan untuk menziarahinya.” (HR. Baihaqi)

Hadits 5
Dari Buraidah , ia berkata berkata:
كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يُعَلِّمُهُمْ إذَا خَرَجُوْا إلى الْمَقَابِرِ أنْ يقولَ قَائِلُهُمْ : اَلسَّلَامُ عليكم أهلَ الدِّيَارِ من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ نَسْألُ اللَّهَ لنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengajari mereka bila keluar ke kuburan agar mengucapkan, “Semoga sejahtera terlimpah atasmu wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin, insya Allah kami akan menyusulmu, kami mohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan kamu sekalian”.(HR. Muslim).

Pendapat Para Ulama Tentang Ziarah Kubur
Asy-Syaukani berkata :
وقد ذهب إلى كراهة الزيارة للنساء جماعة من أهل العلم وتمسكوا بأحاديث الباب واختلفوا في الكراهة هل هي كراهة تحريم أو تنزيه .
وذهب الأكثر إلى الجواز إذا أمنت الفتنة واستدلوا بأدلة منها دخولهن تحت الإذن العام بالزيارة ويجاب عنه بأن الإذن العام مخصص بهذا النهي الخاص المستفاد من اللعن
“Segolongan ahli ilmu berpendapat makruhnya kaum wanita berziarah kubur, namun mereka berbeda pendapat, apakah makruhnya ini mendekati haram atau tidak.
Mayoritas berpendapat bahwa wanita boleh berziarah kubur bila terjaga dari terjadinya fitnah, mereka berdalih dengan sejumlah dalil, diantaranya bahwa wanita juga termasuk dalam izin umum untuk berziarah, namun alasan ini dibantah, bahwa keumuman izin tersebut dikhususkan oleh larangan ini yang menyatakan terlaknat,”

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
(زيارة قبور لرجل) لا لانثى، فتكره لها. نعم، يسن لها زيارة قبر النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال بعضهم: وكذا سائر الانبياء، والعلماء، والاولياء.
Ziarah kubur disunnatkan bagi kaum laki-laki tetapi tidak disunnatkan bagi wanita, melainkan makruh. Betul demikian, tetapi wanita disunatkan ziarah ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan ulama mengatakan, “Wanita disunnatkan pula berziarah ke makam nabi-nabi lainnya, para ulama dan para wali,” [Fathul Mu’in 1, hal.  ].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan :
رخص مالك وبعض الأحناف وروأبة أحمد وأكثر العلماء فى زيارة النساء للقبور
Malik, sebagian golongan Hanafi, suatu berita dari Ahmad, dan kebanyakan ulama memberi keringan bagi wanita untuk berziarah ke kubur. [Fiqih Sunnah 2, hal. 207].

Ibnul Qayim dalam kitab Zadul Maad berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bila menziarahi kubur, maksudnya adalah untuk mendoakan penghuninya, memohon rahmat dan ampunan bagi mereka. Sementara orang-orang musyrik justru meminta doa dari mayit, memohon pertolongan dan bantuan. Hal ini bertentangan dengan petunjuk beliau, yang justru menyatakan belas kasihan kepada mayit dan memohonkan ampunan serta kebaikan baginya”. [Zadul Maad 1, hal. 207].

Kesimpulan
  1. Para ulama sepakat (ijma’) bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki.
  2. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang berziarah kubur. Sebagian ulama berpendapat dibolehkan ziarah kubur asal tidak terlalu sering, sebagian ulama berpendapat makruh.
Wallahu a’lam.


Minggu, 21 Februari 2010

TALKIN (Sebelum Meninggal)

TALKIN
(Sebelum Meninggal)
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Pengertian Talkin
Azzumardi Azra dkk dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan : Talkin berasal dari kata laqqana yulaqqinu, yang berarti mendikte, mengajar dan memahamkan secara lisan. Di dalam istilah fiqih, talkin berarti bimbingan mengucap kalimat ikhlas (Laa ilaaha illallaah) atau kalimat syahadat yang diberikan kepada seorang mukmin yang dalam keadaan sakratul maut. Tujuan bimbingan ini ialah mengingatkan orang yang akan meninggal dunia itu pada tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar dari mulutnya adalah kalimat tauhid, yaitu Laa ilaaha illallaah.
[Ensiklopedi Islam 5, hal. 61].

Hadits-hadits Tentang Talkin
Dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم { لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ }
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:"Ajarkanlah kepada orang-orang yang hendak mati di antara engkau semua itu dengan bacaan La ilaha illallah." (Riwayat Muslim no. 916, Tirmidzi no. 982, Abu Daud 3117, An-Nasa’I 1826, Ibnu Majah 1445)
[Riyadus Salikhin 2, hal. 70 ; Bulughul Maram, hal. 222].
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan kata MAUTAAKUM. Sebagian berpendapat bahwa mautaakum artinya orang yang sudah mati (arti hakiki). Sebagian lagi berpendapat bahwa mautaakum diartikan orang yang belum mati (arti majazi). Pendapat yang kedua didasarkan dengan hadits yang lain :
Dari Mu'az r.a., katanya:
‏(‏سمعت رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول‏:‏ من كان آخر قوله لا إله إلا اللَّه دخل الجنة‏)‏‏.‏
" Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang akhir percakapannya Laa ilaaha illallaah, maka ia akan masuk surga”
Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud serta Hakim dan Hakim mengatakan bahwa ini adalah shahih isnadnya.
[Riyadus Salikhin 2, hal. 70]
Berdasarkan hadits tersebut maka arti yang seharusnya digunakan untuk mautaakum adalah arti majazi yaitu orang yang akan mati. Inilah pendapat mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi'i. [Ensiklopedi Islam 5, hal. 62]

Pendapat Para Ulama Tentang Talkin
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والمراد "بموتاكم": موتى المسلمين. وأما موتى غيرهم، فيعرض عليهم الإسلام، كما عرضه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم على عمه عند السياق، وعلى الذمي الذي كان يخدمه، فعاده وعرض عليه الإسلام فأسلم
Yang dimaksud dengan mautakum adalah orang-orang muslim yang menjelang kematiannya. Adapun jika ia non Muslim maka ditawarkan kepadanya untuk memeluk agama Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada pamannya dalam keadaan sekarat dan juga kepada seorang zimmi yang menjadi pelayan beliau yang ia kunjungi ketika sakit, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan islam kepadanya sehingga orang tersebut masuk Islam. [Subulussalam 1, hal. 812]

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata :
قال النووي‏:‏ أي من حضره الموت والمراد ذكروه لا إله إلا اللَّه لتكون آخر كلامه كما في الحديث‏:‏ ‏(‏من كان آخر كلامه لا إله إلا اللَّه دخل الجنة‏)‏ والأمر بهذا التلقين أمر ندب وأجمع العلماء على هذا التلقين وكرهوا الإكثار عليه والموالاة لئلا يضجره لضيق حاله وشدة كربه فيكره ذلك بقلبه أو يتكلم بكلام لا يليق قالوا وإذا قاله مرة لا يكرر عليه إلا أن يتكلم بعده بكلام آخر فيعاد التعريض له به ليكون آخر كلامه‏.‏
Imam Nawawi (Ulama madzhab Syafi’i) berkata : “Para ulama telah sepakat tentang talqin ini, dan mereka menganggap makruh membanyakkannya karena hal itu bias mengguncangkan kondisinya yang sedang kesempitan dan beratnya derita sakaratul maut, sehingga dalam kondisi itu mungkin hatinya akan benci mengucapkannya atau malah mengucapkan perkataan yang tidak layak. Mereka juga mengatakan, “Bila disampaikan satu kali, maka tidak perlu diulang kecuali bila ia berbicara dengan perkataan lainnya maka diulang lagi penuntunan itu agar akhir ucapannya Laa ilaaha illallaah.
[Nailul Author 2, hal. 152; Subulussalam 1, hal. 812]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
وجمهورالعلماء على ان المحتضريقتصرفى تلقينه على لفض لا إله إلا اللَّه لظاهر الحديث .ويرى جماعة انه يلقن الشهادتين لأن المقصود تذكر التوحيد وهو يتوقف عليهما
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang ditalkinkan kepada orang yang hendak meninggal itu cukup kalimat laa ilaaha illallaah berdasarkan zahir hadits. Tetapi segolongan lagi berpendapat bahwa yang diajarkan itu hendaknya dua kalimat syahadat, karena yang dituju adalah mengingatkan tauhid, sedangkan itu tergantung kepada kedua kalimat tersebut.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 120].
Zainudin Al-Malibari Al-Fanani (Ulama madzhab Syafi’i) dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
(ويندب) أن يلقن محتضر - ولو مميزا على الاوجه - الشهادة: أي لا إله إلا الله، فقط - لخبر مسلم: لقنوا موتاكم - أي من حضره الموت - لا إله إلا الله مع الخبر الصحيح: من كان آخر كلامه لا إله إلا الله، دخل الجنة، أي مع الفائزين.
Menurut kaul yang termasyhur, sunat menalkini orang yang sedang sekarat –meskipun anak-anak yang baru mumayyiz- dengan ucapan syahadat, yakni Laa ilaaha illallaah. (Hal ini) berdassarkan hadits Muslim yang menyatakan : “Talkinilah mayat-mayatmu, -maksudnya orang yang sekarat- dengan ucapan : Laa ilaaha illallaah. Juga dinyatakan dalam hadits sahih (riwayat Abu Dawud) : “Barangsiapa yang akhir ucapannya Laa ilaaha illallaah., tentu masuk surga” yaitu beserta orang-orang yang berbahagia.
وإلا فكل مسلم - ولو فاسقا - يدخلها، ولو بعد عذاب، وإن طال.
Jika maksud hadits itu bukan begitu, maka seluruh kaum muslim –sekalipun orang fasik- akan masuk surga meskipun sudah disiksa lama.
وقول جمع: يلقن محمد رسول الله أيضا، لان القصد موته على الاسلام، ولا يسمى مسلما إلا بهما مردود بأنه مسلم،
Adapun pendapat banyak ulama yang menyatakan bahwa, perlu juga ditalkini dengan ucapan Muhammadur Rasulullah, karena yang dimaksud adalah agar mati dalam keadaan islam, sedangkan tidak disebut muslim kecuali dengan kedua kalimat syahadat, adalah ditolak, sebab orang itu sendiri sudah muslim.

Ibnu Ruysd (Ulama madzhab Maliki) dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
ويستحب أن يلقن الميت عند الموت شهادة أن لا إله إلا الله، لقوله عليه الصلاة والسلام "لقنوا موتاكم شهادة أن لا إله إلا الله" وقوله "من كان آخر قوله لا إله إلا الله دخل الجنة"
Disunatkan mentalqin orang yang menghadapi kematian dengan ucapan Laa ilaaha illallaah karena ada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Talqinlah (bumbinglah) saudara-saudaramu yang menghadapi kematian dengan ucapan Laa ilaaha illallaah”
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang di akhir hayatnya mengucapkan Laa ilaaha illallaah di masuk surga”
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 502].

Adapun cara-cara menalkin menurut ulama mazhab Syafi'i dan sejumlah ulama lainnya adalah sbb :
1. Dilakukan dengan suara yang lemah lembut
2. Tidak mendesak dan memaksakannya untuk mengucapkan kalimat syahadat.
3. Tidak dalam bentuk menyuruh seperti : "Katakan Laa ilaaha illallaah" tetapi cukup disebut kalimat itu sekedar di dengar oleh si sakit agar ia sadar dan dengan kemauannya sendiri mengucapkannya.
4. Jika yang sakit sudah mengucapkan kalimat syahadat itu sekali, jangan diulangi lagi kecuali jika ia mengucapkan kalimat lain sesudah itu.
5. Orang yang menalkin seyogyanya bukan orang yang mewarisi harta peninggalan si sakit dan bukan pula orang yang dengki padanya.
6. Jika yang ada ahli waris, yang dipilih adalah ahli waris yang paling sayang padanya.
--Ensiklopedi Islam 5, hal. 62.

Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama sepakat bahwa mentalkin dilakukan kepada seseorang menjelang ajalnya (sebelum meninggal) agar ucapan terakhirnya Laa ilaaha illallaah.
2. Mayoritas ulama sepakat bahwa mentalkin seseorang menjelang ajalnya (sebelum meninggal) cukup dengan kalimat Laa ilaaha illallaah., tidak perlu ditambah Muhammadur Rasulullah.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Azzumardi Azra, MA, Prof.,Dr., Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam As-Suyuti, Al-Jami’us Shaghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
-Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi (E-book)
-Abu Daud, Sunan Abu Daud (E-book)
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Imam Nawawi, Riyadus Salihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002


TALKIN (Setelah Mayat Dimakamkan)

TALKIN
(Setelah Mayat Dimakamkan)
Oleh : Masnun Tholab

Mayoritas ulama bersepakat dianjurkannya mentalkin seseorang menjelang ajalnya (sebelum meninggal). Namun mereka tidak bersepakat atau berselisih pendapat mengenai mentalkin mayat setelah dimakamkan. Sebagian berpendapat sunnah, sebagian lainnya berpendapat makruh.
Berikut adalah dalil-dalil dan pendapat para ulama mengenai talkin pada mayat setelah dimakamkan.
عَنْ عُثْمَانَ قال‏:‏ ‏(‏كان النَّبِيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عليه فقال‏:‏ اِسْتَغْفِرُوا لِأخِيْكم وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيْتَ فإنهُ الْآنَ يُسْئَلُ‏)‏‏.‏ رواه أبو داود‏.‏
Dari Utsman Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila selesai pemakaman mayit, beliau berdiri di atasnya dan bersabda: "Mintalah ampunan untuk saudaramu dan mohonkan ketetapan hati untuknya sebab ia sekarang sedang di tanya." Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.
وعن راشِدِ بْنِ سَعْدٍ وَضَمْرَةَ بْنِ حَبِيْبٍ وَحَكِيْمِ بْنِ عُمَيْرٍ قالوا‏:‏ ‏(‏إذا سُوَِيَ على الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ كانوا يَسْتَحِبُّوْنَ أن يُّقَالَ لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ يا فلانُ قُلْ لا إله إلا اللَّه أشهد أن لا إله إلا اللَّه ثلاثَ مَرَّاتٍ ,يا فلانُ قل رَبِّيَ اللَّهُ ودِيْنِيَ الْإسلامُ وَنَبِيِّ محمدٌ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ثم يَنْصَرِفُ‏)‏‏.‏ رواه سعيد في سننه‏.‏
Dari Rasyid bin Sa’d, Dlomrah Ibnu Habib dan Hakim bin Humair, mereka mengatakan “Bila tanah di atas kuburan telah rata dan orang-orang telah kembali, hendaknya diucapkan di atas kuburannya: Hai Fulan, katakanlah laa ilaaha illallah tiga kali; hai Fulan, katakanlah Allah Tuhanku, Islam agamaku, dan Muhammad nabiku. Kemudian mereka pulang” (Riwayat Said Ibnu Manshur dalam kitab Sunannya)
[lihat Bulughul Maram, hadits no. 583]
Asy-Syaukani berkata :
قوله‏:‏ ‏(‏إذا فرغ من دفن الميت‏)‏ الخ فيه مشروعية الاستغفار للميت عند الفراغ من دفنه وسؤال التثبيت له لأنه يسئل
Sabda beliau (bila selesai pemakaman mayit ) menunjukkan disyariatkannya memohonkan ampunan untuk si mayat ketika selesai menguburkannya dan memohonkan keteguhan baginya, karena saat itu si mayat sedang ditanyai.
[Nailul Author 2, hal. 222]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وقال في المنار: إن حديث التلقين هذا حديث لا يشك أهل المعرفة بالحديث في وضعه
Berkata pengarang Al-Manar (Ibnul Qayyim), “Sesungguhnya hadits talkin ini, hadits yang tidak diragukan oleh orang yang mengerti ilmu hadits tentang kepalsuannya”
[Subulussalam 1, hal. 877].


Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
استحب بعض اهل الم والشافعى أن يلقن الميت بعد دفن لما روه سَعِيْدِ بن منصور عن راشِدِ بْنِ سَعْدٍ وَضَمْرَةَ بْنِ حَبِيْبٍ وَحَكِيْمِ بْنِ عُمَيْرٍ
Dianggap sunnah oleh Syafi’i dan ulama sunnah lainnya untuk menalkinkan mayat, yakni yang telah mukallaf, bukan anak kecil, setelah ia dikuburkan, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur dari Rasyid bin Saad dan Dhamrah dan Hakim bin Umair. Mereka bertiga adalah tabi’in.
Sayyid Sabiq juga berkata :
وذهبت المالكية فى المشهورعنهم, وبعض الحنابلية, إلى أن ألتلقين مكروه. وقال الأثرم :قات لأحمد : هذا الذى يصنعونه, إذا دفن الميت, يقف الرجل وقول : يا فلابن فلانة . . . قال : ما رأيت إحدا يفعله إلا اهل الشام حين مات أبو المغيرة
Menurut keterangan yang masyhur mengenai pendapat golongan Maliki, begitu juga pendapat sebagian golongan Hambali, bahwa talqin itu hukumnya makruh.
Atsram berkata, “Aku tanyakan kepada Ahmad, ‘Inilah yang mereka perbuat. Bila mayat telah dikuburkan, seorang laki-laki berdiri dan mengatakan, ‘Wahai fulan anak si fulan…” Ujarnya, ‘Tidak seorangpun aku lihat melakukannya kecuali penduduk Syiria, yaitu ketika meninggalnya Abu Mughirah’.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 183].

Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata :
Diriwayatkan pula bahwa beliau menaburkan tanah ke kuburan, tepatnya ke bagian kepala mayit, sebanyak tiga kali. Jika penguburan sudah selesai, maka beliau berdiri di atas kuburan bersama para sahabat, memohonkan keteguhan bagi mayit dan memerintahkan agar mereka juga memohonkan hal sama. Beliau tidak duduk untuk membacakan sesuatu di dekat kuburan dan tidak pula mentalkinkan sesuatu seperti yang dikerjakan manusia pada zaman sekarang.
[Zaadul Ma’ad 1, hal. 64].

Zainudin bin Abdurrahman Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
و (تلقين بالغ، ولو شهيدا) كما اقتضاه إطلاقهم - خلافا للزركشي (بعد) تمام (دفن)
Sunat menalkini mayat yang telah balig –sekalipun mati syahid-, sesudah selesai menguburnya sebagaimana tujuan perkataan ulama yang memutlakkan. Berbeda dengan pendapat Imam Zarkasyi (dalam hal menalkini mayat syahid).
فيقعد رجل قبالة وجهه ويقول: يا عبد الله ابن أمة الله: اذكر العهد الذي خرجت عليه من
الدنيا: شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا رسول الله، وأن الجنة حق، وأن النار حق، وأن البعث حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور،
وأنك رضيت بالله ربا، وبالاسلام دينا، وبمحمد (ص) نبيا، وبالقرآن إماما، وبالكعبة قبلة، وبالمؤمنين إخوانا. ربي الله، لا إله إلا هو، عليه توكلت، وهو رب العرش العظيم.
Caranya
Seorang laki-laki (diantara pengantar jenazah) duduk di hadapan (yang sejajar dengan) wajah mayat, lalu berucap, “Wahai hamba Allah bin Amat Allah” (misal : Wahai Zaid bin Fatimah)! Ingatlah kamu akan janji yang telah kamu bawa keluar dari dunia yaitu, kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang wajib disembah) melainkan Allah (Yang Esa), tiada sekutu bagiNya dan sesungguhnya Nabi Muhammad utusan Allah; sesungguuhnya surga itu haq (pasti) adanya; sesungguhnya neraka itu hak; sesungguhnya hidup itu hak; sesungguhnya hidup sesudah mati itu hak; sesungguhnya kiamat itu akan terjadi tidak diragukan lagi; sesungguhnya Allah akan membangkitkan kembali semua mayat dalam alam kubur; sesungguhnya engkau rela bahwa Allah adalah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam nabimu, Quran pemimpin hidupmu, kiblat tempat menghadapmu, dan semua kaum mukmin saudaramu. Tuhan Allah, tiada tuhan melainkan Dia, kepada-Nya lah aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arasyi yang agung”

Kesimpulan :
Hukum mentalkin mayat setelah dikuburkan adalah sebagai berikut :
1. Mentalkin mayat setelah dikuburkan hukumnya sunnah. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i, Zainuddin al-Malibari.
2. Mentalkin mayat setelah dikuburkan hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad.
3. Mentalkin mayat setelah dikuburkan tidak disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga tidak perlu dikerjakan. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim.
Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
- Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi (E-book)
- Abu Daud, Sunan Abu Daud (E-book)
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syufa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995. Affiliate Program ”Get Money from your Website”

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...