Sabtu, 28 Juli 2018

PUASA SYAWAL

PUASA SYAWAL
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim (no. 1164), Abu Dawud (no. 2433), At-Tirmidzi (no. 759), An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (2/no. 2862))

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ صَوْمِ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ وَهُوَ مَذْهَبُ جَمَاعَةٍ مِنْ الْآلِ وَأَحْمَدَ وَالشَّافِعِيِّ (وَقَالَ) مَالِكٌ يُكْرَهُ صَوْمُهَا قَالَ: لِأَنَّهُ مَا رَأَى أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا وَلِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهَا (وَالْجَوَابُ) أَنَّهُ بَعْدَ ثُبُوتِ النَّصِّ بِذَلِكَ لَا حُكْمَ لِهَذِهِ التَّعْلِيلَاتِ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ إنَّهُ لَمْ يَبْلُغْ مَالِكًا هَذَا الْحَدِيثُ يَعْنِي حَدِيثُ مُسْلِمٍ
Hadits ini merupakan dalil dianjurkannya berpuasa enam hari di bulan Syawal, dan inilah pendapat beberapa golongan dari al-Aal, Ahmad dan Syafi’i. Sedangkan Malik berpendapat bahwa hukumnya makruh. Ia berkata, “Karena saya tidak melihat seorangpun dari ahli ilmu yang melakukannya dan agar puasa tersebut tidak dianggap wajib”. Bantahan atas pendapat ini, bahwa setelah jelas ada dalil atas puasa tersebut maka semua alasan di atas tidak berguna lagi. Dan alangkah indahnya komentar Ibnu Abdil Barr, “Hadits ini belum sampai kepada Malik, yakni hadits Muslim” [Subulussalam, 2/156]

Dari Tsauban radliyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ السَّنَةِ.
”Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan maka puasa sebulan itu sama dengan sepuluh bulan; dan dengan puasa enam hari setelah berbuka (‘Iedul-Fithri), maka ia melengkapi puasa setahun”. (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (2/no. 2860 & 2861), Ibnu Majah (no. 1715), Ahmad (5/280), Ad-Darimi (2/21), Ibnu Khuzaimah (no. 2115), Al-Baihaqiy dlam Al-Kubraa (4/393))

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim :
قال العلماء: وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين، وقد جاء هذا في حديث مرفوع في كتاب النسائي
”Para ulama mengatakan bahwa hal itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i” [Syarh Muslim (3/238)].

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul-Authaar :
اُسْتُدِلَّ بِأَحَادِيثِ الْبَابِ عَلَى اسْتِحْبَابِ صَوْمِ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ، وَبِهِ قَالَتْ الْعِتْرَةُ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: يُكْرَهُ صَوْمُهَا، وَاسْتَدَلَّا عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهُ رُبَّمَا ظَنَّ وُجُوبَهَا وَهُوَ بَاطِلٌ لَا يَلِيقُ بِعَاقِلٍ فَضْلًا عَنْ عَالِمٍ نَصَّبَ مِثْلَهُ فِي مُقَابَلَةِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ الصَّرِيحَةِ، وَأَيْضًا يَلْزَمُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي سَائِرِ أَنْوَاعِ الصَّوْمِ الْمُرَغَّبِ فِيهَا وَلَا قَائِلَ بِهِ
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ عَلَى الْكَرَاهَةِ بِمَا قَالَ فِي الْمُوَطَّأِ مِنْ أَنَّهُ مَا رَأَى أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا، وَلَا يَخْفَى أَنَّ النَّاسَ إذَا تَرَكُوا الْعَمَلَ بِسُنَّةٍ لَمْ يَكُنْ تَرْكُهُمْ دَلِيلًا تُرَدُّ بِهِ السُّنَّةُ
Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal. Ini merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad, Dawun dan para ulama selain mereka.
“Abu Hanifah dan Malik berkata : ‘Makruh hukumnya puasa Syawal’. Mereka berargumentasi bahwa mungkin itu akan dianggap puasa wajib. Ini adalah pendapat yang bathil dan tidak pantas dilakukan oleh orang yang memiliki akal pikiran, apalagi seorang ulama seperti mereka dalam menentang sunnah yang shahih dan sharih (jelas). Kemudian pandangan seperti itu akan berlaku pula pada semua puasa yang dianjurkan agama dan tak seorang pun yang mengatakan demikian.
Sementara Malik berargumentasi dalam memakruhkannya sebagaimana yang ia katakan dalam Al-Muwaththa’ bahwa ia tidak pernah melihat seorang pun ulama yang melakukannya. Padahal sangat jelas bahwa bila manusia tidak mengamalkan sunnah, tidak berarti itu dapat menolak sunnah” [Nailul-Authaar (4/282)].

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy  :
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِن شَوَّال مُستَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. رُوِيَ ذلك عَنْ كَعْب الأَحْبَاب، وَالشَّعْبِيِّ، وَمَيْمُونِ بن مِهْرَانَ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ.
“Kesimpulan dari hal itu adalah bahwa puasa enam hari pada bulan Syawwal disunnahkan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama’ dan hal itu diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, Asy-Sya’bi, dan Maimun bin Mihran; dan hal ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy” [Al-Mughniy (4/438)].

Haruskah Puasa Enam Hari Syawal Dilakukan Berturut-Turut ?
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وَاعْلَمْ أَنَّ أَجْرَ صَوْمِهَا يَحْصُلُ لِمَنْ صَامَهَا مُتَفَرِّقَةً أَوْ مُتَوَالِيَةً وَمَنْ صَامَهَا عَقِيبَ الْعِيدِ أَوْ فِي أَثْنَاءِ الشَّهْرِ وَفِي سُنَنِ التِّرْمِذِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ شَوَّالٍ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ
Ketahuilah, bahwa pahala puasa tersebut akan diterima oleh orang yang melakukannya, baik ia melakukannya secara terpisah maupun secara beruntun, baik ia melakukannya langsung setelah hari raya maupun ia lakukan pada pertengahan bulan. Di dalam sunan At-Tirmidzi disebutkan, diriwayatkan dari Ibnu Al-Mubarak bahwa ia lebih menyukai agar puasa tersebut dilakukan pada awal Syawal. Dan telah diriwayatkan darinya bahwa ia berkata, “Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal secara terpisah, maka hukumnya mubah” [Subulussalam, 2/156]

An-Nawawi berkata :
فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ صَوْمُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ لِهَذَا الْحَدِيثِ قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ ان يصومها متتايعة فِي أَوَّلِ شَوَّالٍ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عن أول شَوَّالٍ جَازَ وَكَانَ فَاعِلًا لِأَصْلِ هَذِهِ السُّنَّةِ لِعُمُومِ الْحَدِيثِ وَإِطْلَاقِهِ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وداود
“Para shahabat kami berkata : ‘Disunnahkan puasa enam hari bulan Syawal berdasarkan hadits ini’. Mereka juga berkata : ‘Dan juga disunnahkan berpuasa secara berurutan mulai awal Syawal. Namun jika dilakukan secara acak, atau ditunda hingga akhir bulan, maka itu jga dibolehkan, dan orang yang melakukannya telah menjalankan sunnah sesuai dengan keumuman makna hadits dan kemutlakannya. Tidak ada perbedaan (pendapat) di kalangan madzhab kami. Dan ini juga menjadi pendapat Ahmad dan Abu Dawud”.[ Al-Majmu’ (6/379)]

Bolehkah Puasa Syawal Diniatkan Sekaligus Puasa Qadha?
Asy Syarbini rahimahullah mengatakan :
وَلَوْ صَامَ فِي شَوَّالٍ قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، هَلْ تَحْصُلُ لَهُ السُّنَّةُ أَوْ لَا؟ لَمْ أَرَ مَنْ ذَكَرَهُ، وَالظَّاهِرُ الْحُصُولُ.
“Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan qodho’ puasa, puasa nadzar atau puasa lainnya, apakah ia pun akan mendapati pahala puasa sunnah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapati pahala puasa sunnah tersebut.” [Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, 1/654]

Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata  :
إذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لَيْسَتْ إحْدَاهُمَا مَفْعُولَةً عَلَى جِهَةِ الْقَضَاءِ وَلَا عَلَى طَرِيقِ التَّبَعِيَّةِ لِلْأُخْرَى فِي الْوَقْتِ تَدَاخَلَتْ أَفْعَالُهُمَا، وَاكْتَفَى فِيهِمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ
“Jika dua ibadah dari jenis yang sama berkumpul dalam waktu yang sama, yang mana salah satunya tidak dilakukan sebagai qadha atau sebagai tab’iyyah / ibadah yang mengikuti ibadah lainnya dalam waktu (seperti rawaatib -pent) , maka amalan-amalan keduanya saling berkaitan sehingga cukup melakukan keduanya dengan satu amalan saja”. (Al-Qawaa’id fil Fiqh: hal.23)

Dijelaskan pula didalam Bughyah al-Mustarsyidiin sebagai berikut:
(مسألة: ك): ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيرهِ من الأحاديثِ عدمِ حصولِ الستِ إذا نواها مع قضاءِ رمضان، لكن صرح ابنُ حجر بحصولِ أصلَ الثواب لإكمالهِ إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء،
ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ.
Bila melihat zhahir hadits  seolah memberi pengertian tidak terjadinya kesunahan 6 hari bulan syawal saat ia niati bersamaan dengan qadha ramadhan, namun Ibn Hajar menjelaskan mendapatkan kesunahan dan pahalanya bila ia niati sama seperti puasa-puasa sunah lainnya seperti puasa hari arafah dan asyura.
Disunahkan menjalankan puasa 6 hari dibulan syawal meskipun ia memiliki tanggungan qadha karena ia menjalani berbuka puasa dibulan ramadhannya.
[Bughyah al-Mustarsyidiin Hal. 113-114]

Wallahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...