Minggu, 22 Juli 2018

MENEMPATI TEMPAT DUDUK ORANG LAIN


MENEMPATI TEMPAT DUDUK ORANG LAIN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Hukum Menempati Tempat Duduk Orang Lain
Dari Jabir,
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا يُقِيمُنَّ أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم يخالف إلى مقعده فيقعد فيه، ولكن يقول : أفْسَحُوا.
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kalian membuat berdiri saudaranya pada hari Jum’at, kemudian ia menggantikannya duduk di tempat duduknya. Namun hendaknya ia mengatakan : ‘Bergeserlah…”. [HR.  Muslim no. 2177 dan Ahmad (3/295)]

Dari Ibnu Umar,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ فَيَجْلِسَ فِيهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وتَوسَّعوا".
"bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang lain dari majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan luaskanlah tempat duduk kalian". (HR. Bukhari 6269 dan Imam Muslim 2177)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu 

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسٍ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ.
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jikalau seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali ke situ, maka ia memang lebih berhak untuk menempati tempat duduknya tadi.” [HR. Muslim, no. 2179]

Imam Asy-Syaujani dalam kitab Nailul Authar berkata :
فَمَنْ سَبَقَ إلَى مَوْضِع مُبَاح سَوَاءٌ كَانَ مَسْجِدًا أَوْ غَيْره فِي يَوْم جُمُعَة أَوْ غَيْرهَا لِصَلَاةٍ أَوْ لِغَيْرِهَا مِنْ الطَّاعَات فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَيَحْرُم عَلَى غَيْره إقَامَته مِنْهُ وَالْقُعُود فِيهِ، إلَّا أَنَّهُ يُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ: الْمَوْضِع الَّذِي قَدْ سَبَقَ لِغَيْرِهِ فِيهِ حَقّ، كَأَنْ يَقْعُدَ رَجُلٌ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ يَقُومُ مِنْهُ لِقَضَاءِ حَاجَةٍ مِنْ الْحَاجَاتِ ثُمَّ يَعُودُ إلَيْهِ، فَإِنَّهُ أَحَقّ بِهِ مِمَّنْ قَعَدَ فِيهِ بَعَدَ قِيَامه
Telah dikemukakan bahwa orang yang lebih dulu menempati suatu tempat yang dibolehkan, baik itu di masjid atau lainnya, baik pada hari jum’at atau hari lainnya, baik untuk melakukan shalat maupun ketaatan lainnya, maka ia lebih berhak terhadap tempat tersebut, dan diharamkan bagi yang lainnya untuk mendirikannya (menyuruh dia berdiri) lalu ia sendiri mendudukinya.
Larangan memberdirikan orang lain ini dikecualikan bagi orang yang lebih berhak, misalnya, seseorang telah menduduki suatu tempat, lalu ia mempunyai suatu keperluan, lalu ia berdiri untuk memenuhi keperluannya, lalu ia kembali ke tempat semula, namun ketika kembali ia mendapati ada orang lain menduduki tempatnya, maka ia boleh mendirikan orang tersebut kemudian ia mendudukinya, karena ia adalah orang yang lebih berhak terhadap tempat tersebut daripada orang yang menduduki setelahnya. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 1/43].


Hukum Melangkahi Pundak Para Jamaah Di Hari Jum’at

Dari Abdullah bin Busr, dia berkata;
جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

"Pernah datang seseorang dengan melangkahi pundak orang-orang pada hari jum'at, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tengah berkhutbah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Duduklah, kamu benar-benar telah mengganggu (orang lain)." (HR. Abu Dawud No. 943)


Dari Arqam bin Abu Al-Arqam Al-Makhzumi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ:...  الَّذِي يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاس يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ بَعْدَ خُرُوجِ الْإِمَامِ، كَالْجَارِّ قُصْبَهُ فِي النَّار
Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Orang yang melangkahi bahu orang-orang pada hari jum’at, dan memisahkan antara dua orang setelah keluarnya imam (yakni imam di atas mimbar) adalah laksana orang yang memanggang lambungnya di dalam api” (HR. Ahmad).

Imam Asy-Syaujani dalam kitab Nailul Authar berkata :
وَأَحَادِيثُ الْبَابِ تَدُلّ عَلَى كَرَاهَة التَّخَطِّي يَوْمَ الْجُمُعَة، وَظَاهِر التَّقْيِيد بِيَوْمِ الْجُمُعَة أَنَّ الْكَرَاهَة مُخْتَصَّة بِهِ. وَيُحْتَمَل أَنْ يَكُون التَّقْيِيد خَرَجَ مَخْرَج الْغَالِبِ لِاخْتِصَاصِ الْجُمُعَة بِكَثْرَةِ النَّاس، بِخِلَافِ سَائِر الصَّلَوَات فَلَا يَخْتَصّ ذَلِكَ بِالْجُمُعَةِ، بَلْ يَكُون حُكْم سَائِر الصَّلَوَات حُكْمهَا، وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ التَّعْلِيل بِالْأَذِيَّةِ، وَظَاهِر هَذَا التَّعْلِيل أَنَّ ذَلِكَ يَجْرِي فِي مَجَالِس الْعِلْم وَغَيْرهَا. قَالَ الْعِرَاقِيُّ: وَقَدْ اُسْتُثْنِيَ مِنْ التَّحْرِيم أَوْ الْكَرَاهَة الْإِمَام أَوْ مَنْ كَانَ بَيْن يَدَيْهِ فُرْجَة لَا يَصِل إلَيْهَا إلَّا بِالتَّخَطِّي.
Hadita-hadits di atas menunjukkan makruhnya melangkahi jama’ah pada hari jum’at, dan pembatasannya dengan hari jum’at menunjukkan makruhnya itu khusus pada hari jum’at. Kemungkinannya bahwa pembatasan dengan hari jum’at ini karena biasanya pada hari jum’at banyak orang yang duduk menanti pelaksanaannya, berbeda dengan shalat-shalat lainnya. Jadi ini tidak mengindikasikan penghususan pada pelaksanaan shsalat jum’at, tapi berlaku juga pada shalat-shalat lainnya. Larangan ini karena perbuatan tersebut bias mengganggu orang lain, yaitu gangguan pada majelis ilmu dan lainnya. Al-Iraqi mengatakan, “Dalam hal ini imam dikecualikan, atau orang yang memang benar-benar tidak mendapatkan tempat yang bias digunakan untuk shalat kecuali dengan cara melangkahi pundak orang lain”
[Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 1/43].

Dalam kitab al-Mudawwanah dinyatakan,
وقال مالك : إنما يكره التخطي إذا خرج الإمام ، وقعد على المنبر ، فمن تخطى حينئذ فهو الذي جاء فيه الحديث، فأما قبل ذلك فلا بأس به إذا كانت بين يديه فُرَجٌ، وليترفق في ذلك
Malik mengatakan, dimakruhkan melangkahi pundak jamaah, hanya ketika imam sudah naik mimbar. Siapa yang melangkahi pundak jamaah setelah imam naik mimbar, maka dia terkena larangan dalam hadis. Sementara orang yang melangkahi pundak sebelum imam naik mimbar, diperbolehkan, jika di depannya ada celah. Dan hendaknya masing-masing saling toleran. (al-Mudawwanah, 1/159).

Memeluk Lutut Ketika Mendengarkan Khutbah
Dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi no. 514 dan Abu Daud no. 1110. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

dari Ya’la bin Syaddad bin Aus dia berkata;
شَهِدْتُ مَعَ مُعَاوِيَةَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَجَمَّعَ بِنَا فَنَظَرْتُ فَإِذَا جُلُّ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُهُمْ مُحْتَبِينَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ قَالَ أَبُو دَاوُد كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَحْتَبِي وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَشُرَيْحٌ وَصَعْصَعَةُ بْنُ صُوحَانَ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَمَكْحُولٌ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ وَنُعَيْمُ بْنُ سَلَامَةَ قَالَ لَا بَأْسَ بِهَا قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يَبْلُغْنِي أَنَّ أَحَدًا كَرِهَهَا إِلَّا عُبَادَةَ بْنَ نُسَيٍّ
 “Aku bersama Muawiyah menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis, lalu dia melaksanakan shalat jum’at bersamanya, maka aku melihat kebanyakan jama’ah yang ada di masjid adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku melihat mereka duduk bertekuk lutut ketika imam sedang berkhutbah.” Abu Daud berkata; ” Ibnu Umar juga duduk bertekuk lutut sementara imam sedang berkhutbah, begitu juga Anas bin Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id bin Musayyab, Ibrahim An Nakha’i, Makhul, Isma’il bin Muhammad bin Sa’d dan Nu’aim bin Salamah, katanya; “Tidak mengapa duduk seperti itu.” Abu Daud berkata; “Belum sampai kepadaku, bahwa ada seseorang yang membencinya kecuali ‘Ubadah bin Nusai.”(HR. Abi Daud no. 937)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab,
كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء
“Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.”
Imam Nawawi membawakan perkataan Al Khattabi yang menyatakan sebab dilarang duduk ihtiba’,
نُهِيَ عَنْهَا لِاَنَّهاَ تَجْلِبُ النَّوْم فَتَعْرِض طَهَارَتُه لِلنَّقْضِ وَيَمْنَعُ مِنَ اسْتِمَاعِ الخُطْبَةِ
“Duduk dengan memeluk lutut itu dilarang (saat mendengar khutbah Jumat) karena dapat menyebabkan tidur saat khutbah yang dapat membatalkan wudhu, juga jadi tidak mendengarkan khutbah.” (Al Majmu’, 4: 592).

Imam Asy-Syaukani berkata :
قال الخطبي نُهِيَ عَنْهَا لِاَنَّهاَ تَجْلِبُ النَّوْم فَتَعْرِض طَهَارَتُه لِلنَّقْضِ وَيَمْنَعُ مِنَ اسْتِمَاعِ الخُطْبَةِ
Al-Khattabi berkata, “Duduk dengan memeluk lutut itu dilarang (saat mendengar khutbah Jumat) karena dapat menyebabkan tidur saat khutbah yang dapat membatalkan wudhu, juga jadi tidak mendengarkan khutbah.” [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/43]
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...