MENEMPATI
TEMPAT DUDUK ORANG LAIN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala
puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu
’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Hukum Menempati Tempat
Duduk Orang Lain
Dari Jabir,
عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال : لا يُقِيمُنَّ أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم يخالف إلى مقعده
فيقعد فيه، ولكن يقول : أفْسَحُوا.
dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di
antara kalian membuat berdiri saudaranya pada hari Jum’at, kemudian ia
menggantikannya duduk di tempat duduknya. Namun hendaknya ia mengatakan :
‘Bergeserlah…”. [HR. Muslim no.
2177 dan Ahmad (3/295)]
Dari
Ibnu Umar,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُقِيمُ
الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ فَيَجْلِسَ فِيهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا
وتَوسَّعوا".
"bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang
lain dari majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan
luaskanlah tempat duduk kalian". (HR. Bukhari 6269 dan Imam Muslim 2177)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسٍ، ثُمَّ رَجَعَ
إِلَيْهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ.
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jikalau seorang di antara kalian
berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali ke situ, maka ia memang lebih
berhak untuk menempati tempat duduknya tadi.” [HR. Muslim, no.
2179]
Imam Asy-Syaujani dalam kitab
Nailul Authar berkata :
فَمَنْ سَبَقَ إلَى
مَوْضِع مُبَاح سَوَاءٌ كَانَ مَسْجِدًا أَوْ غَيْره فِي يَوْم جُمُعَة أَوْ غَيْرهَا لِصَلَاةٍ أَوْ لِغَيْرِهَا مِنْ
الطَّاعَات فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَيَحْرُم عَلَى غَيْره إقَامَته مِنْهُ
وَالْقُعُود فِيهِ، إلَّا أَنَّهُ يُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ: الْمَوْضِع الَّذِي
قَدْ سَبَقَ لِغَيْرِهِ فِيهِ حَقّ، كَأَنْ يَقْعُدَ رَجُلٌ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ
يَقُومُ مِنْهُ لِقَضَاءِ حَاجَةٍ مِنْ الْحَاجَاتِ ثُمَّ يَعُودُ إلَيْهِ،
فَإِنَّهُ أَحَقّ بِهِ مِمَّنْ قَعَدَ فِيهِ بَعَدَ قِيَامه
Telah dikemukakan bahwa
orang yang lebih dulu menempati suatu tempat yang dibolehkan, baik itu di
masjid atau lainnya, baik pada hari jum’at atau hari lainnya, baik untuk
melakukan shalat maupun ketaatan lainnya, maka ia lebih berhak terhadap tempat
tersebut, dan diharamkan bagi yang lainnya untuk mendirikannya (menyuruh dia
berdiri) lalu ia sendiri mendudukinya.
Larangan memberdirikan
orang lain ini dikecualikan bagi orang yang lebih berhak, misalnya, seseorang
telah menduduki suatu tempat, lalu ia mempunyai suatu keperluan, lalu ia
berdiri untuk memenuhi keperluannya, lalu ia kembali ke tempat semula, namun
ketika kembali ia mendapati ada orang lain menduduki tempatnya, maka ia boleh
mendirikan orang tersebut kemudian ia mendudukinya, karena ia adalah orang yang
lebih berhak terhadap tempat tersebut daripada orang yang menduduki setelahnya.
[Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 1/43].
Hukum
Melangkahi Pundak Para Jamaah Di Hari Jum’at
Dari
Abdullah bin Busr, dia berkata;
جَاءَ رَجُلٌ
يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ
"Pernah
datang seseorang dengan melangkahi pundak orang-orang pada hari jum'at,
sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tengah berkhutbah, maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Duduklah, kamu
benar-benar telah mengganggu (orang lain)." (HR. Abu Dawud No. 943)
Dari
Arqam bin Abu Al-Arqam Al-Makhzumi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ:... الَّذِي يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاس
يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيُفَرِّقُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ بَعْدَ خُرُوجِ الْإِمَامِ،
كَالْجَارِّ قُصْبَهُ فِي النَّار
Bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Orang yang
melangkahi bahu orang-orang pada hari jum’at, dan memisahkan antara dua orang
setelah keluarnya imam (yakni imam di atas mimbar) adalah laksana orang yang
memanggang lambungnya di dalam api” (HR. Ahmad).
Imam Asy-Syaujani dalam
kitab Nailul Authar berkata :
وَأَحَادِيثُ
الْبَابِ تَدُلّ عَلَى كَرَاهَة التَّخَطِّي يَوْمَ الْجُمُعَة، وَظَاهِر
التَّقْيِيد بِيَوْمِ الْجُمُعَة أَنَّ الْكَرَاهَة مُخْتَصَّة بِهِ. وَيُحْتَمَل
أَنْ يَكُون التَّقْيِيد خَرَجَ مَخْرَج الْغَالِبِ لِاخْتِصَاصِ الْجُمُعَة
بِكَثْرَةِ النَّاس، بِخِلَافِ سَائِر الصَّلَوَات فَلَا يَخْتَصّ ذَلِكَ
بِالْجُمُعَةِ، بَلْ يَكُون حُكْم سَائِر الصَّلَوَات حُكْمهَا، وَيُؤَيِّدُ
ذَلِكَ التَّعْلِيل بِالْأَذِيَّةِ، وَظَاهِر هَذَا التَّعْلِيل أَنَّ ذَلِكَ
يَجْرِي فِي مَجَالِس الْعِلْم وَغَيْرهَا. قَالَ الْعِرَاقِيُّ: وَقَدْ
اُسْتُثْنِيَ مِنْ التَّحْرِيم أَوْ الْكَرَاهَة الْإِمَام أَوْ مَنْ كَانَ بَيْن
يَدَيْهِ فُرْجَة لَا يَصِل إلَيْهَا إلَّا بِالتَّخَطِّي.
Hadita-hadits
di atas menunjukkan makruhnya melangkahi jama’ah pada hari jum’at, dan
pembatasannya dengan hari jum’at menunjukkan makruhnya itu khusus pada hari
jum’at. Kemungkinannya bahwa pembatasan dengan hari jum’at ini karena biasanya
pada hari jum’at banyak orang yang duduk menanti pelaksanaannya, berbeda dengan
shalat-shalat lainnya. Jadi ini tidak mengindikasikan penghususan pada
pelaksanaan shsalat jum’at, tapi berlaku juga pada shalat-shalat lainnya.
Larangan ini karena perbuatan tersebut bias mengganggu orang lain, yaitu
gangguan pada majelis ilmu dan lainnya. Al-Iraqi mengatakan, “Dalam hal ini imam
dikecualikan, atau orang yang memang benar-benar tidak mendapatkan tempat yang
bias digunakan untuk shalat kecuali dengan cara melangkahi pundak orang lain”
[Bustanul Ahbar Mukhtashar
Nailul Authar, 1/43].
Dalam kitab
al-Mudawwanah dinyatakan,
وقال مالك : إنما يكره التخطي
إذا خرج الإمام ، وقعد على المنبر ، فمن تخطى حينئذ فهو الذي جاء فيه الحديث، فأما
قبل ذلك فلا بأس به إذا كانت بين يديه فُرَجٌ، وليترفق في ذلك
Malik
mengatakan, dimakruhkan melangkahi pundak jamaah, hanya ketika imam sudah naik
mimbar. Siapa yang melangkahi pundak jamaah setelah imam naik mimbar, maka dia
terkena larangan dalam hadis. Sementara orang yang melangkahi pundak sebelum
imam naik mimbar, diperbolehkan, jika di depannya ada celah. Dan hendaknya
masing-masing saling toleran. (al-Mudawwanah, 1/159).
Memeluk Lutut
Ketika Mendengarkan Khutbah
Dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada
saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi no. 514 dan Abu Daud
no. 1110. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
dari Ya’la bin Syaddad bin Aus dia berkata;
شَهِدْتُ مَعَ مُعَاوِيَةَ
بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَجَمَّعَ بِنَا فَنَظَرْتُ فَإِذَا جُلُّ مَنْ فِي
الْمَسْجِدِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرَأَيْتُهُمْ مُحْتَبِينَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ قَالَ أَبُو دَاوُد كَانَ ابْنُ
عُمَرَ يَحْتَبِي وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَشُرَيْحٌ
وَصَعْصَعَةُ بْنُ صُوحَانَ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَإِبْرَاهِيمُ
النَّخَعِيُّ وَمَكْحُولٌ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ وَنُعَيْمُ
بْنُ سَلَامَةَ قَالَ لَا بَأْسَ بِهَا قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يَبْلُغْنِي
أَنَّ أَحَدًا كَرِهَهَا إِلَّا عُبَادَةَ بْنَ نُسَيٍّ
“Aku
bersama Muawiyah menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis, lalu dia melaksanakan
shalat jum’at bersamanya, maka aku melihat kebanyakan jama’ah yang ada di
masjid adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku melihat
mereka duduk bertekuk lutut ketika imam sedang berkhutbah.” Abu Daud berkata; ”
Ibnu Umar juga duduk bertekuk lutut sementara imam sedang berkhutbah, begitu
juga Anas bin Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id bin Musayyab,
Ibrahim An Nakha’i, Makhul, Isma’il bin Muhammad bin Sa’d dan Nu’aim bin
Salamah, katanya; “Tidak mengapa duduk seperti itu.” Abu Daud berkata; “Belum
sampai kepadaku, bahwa ada seseorang yang membencinya kecuali ‘Ubadah bin
Nusai.”(HR. Abi Daud no. 937)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan
hadits di atas dengan menyatakan dalam judul bab,
كَرَاهَةُ الاِحْتِبَاءِ يَوْمَ
الجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ النَّوْم فَيَفُوْت
اِسْتِمَاع الخُطْبَة وَيَخَافُ اِنْتِقَاض الوُضُوْء
“Dimakruhkan memeluk lutut pada hari Jumat
saat khatib berkhutbah karena dapat menyebabkan tertidur sehingga terluput dari
mendengarkan khutbah dan khawatir pula seperti itu dapat membatalkan wudhu.”
Imam Nawawi membawakan perkataan Al Khattabi
yang menyatakan sebab dilarang duduk ihtiba’,
نُهِيَ عَنْهَا لِاَنَّهاَ تَجْلِبُ
النَّوْم فَتَعْرِض طَهَارَتُه لِلنَّقْضِ وَيَمْنَعُ مِنَ اسْتِمَاعِ الخُطْبَةِ
“Duduk dengan memeluk lutut itu dilarang
(saat mendengar khutbah Jumat) karena dapat menyebabkan tidur saat khutbah yang
dapat membatalkan wudhu, juga jadi tidak mendengarkan khutbah.” (Al Majmu’, 4: 592).
Imam Asy-Syaukani berkata
:
قال الخطبي نُهِيَ عَنْهَا لِاَنَّهاَ
تَجْلِبُ النَّوْم فَتَعْرِض طَهَارَتُه لِلنَّقْضِ وَيَمْنَعُ مِنَ اسْتِمَاعِ الخُطْبَةِ
Al-Khattabi berkata, “Duduk dengan memeluk
lutut itu dilarang (saat mendengar khutbah Jumat) karena dapat menyebabkan
tidur saat khutbah yang dapat membatalkan wudhu, juga jadi tidak mendengarkan
khutbah.” [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/43]
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar