Jumat, 25 September 2015

AKIKAH



AKIKAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Renungan
Dari Amir al-Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu , dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari no. 1, ; Muslim no. 1907])
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan
وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز الْإِقْدَام عَلَى الْعَمَل قَبْل مَعْرِفَة الْحُكْم ؛ لِأَنَّ فِيهِ أَنَّ الْعَمَل يَكُون مُنْتَفِيًا إِذَا خَلَا عَنْ النِّيَّة ، وَلَا يَصِحّ نِيَّة فِعْل الشَّيْء إِلَّا بَعْد مَعْرِفَة الْحُكْم
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).

Pengertian Aqiqah
Menurut Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam :
الْعَقِيقَةُ هِيَ الذَّبِيحَةُ الَّتِي تُذْبَحُ لِلْمَوْلُودِ. وَأَصْلُ الْعَقِّ الشَّقُّ وَالْقَطْعُ وَقِيلَ لِلذَّبِيحَةِ عَقِيقَةٌ لِأَنَّهُ يَشُقُّ حَلْقَهَا وَيُقَالُ عَقِيقَةٌ لِلشَّعْرِ الَّذِي يَخْرُجُ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ
Akikah secara bahasa diambil dari kata aqqa, artinya menyembelih binatang. Dinamakan aqiqah karena lehernya disembelih. Rambut yang tumbuh pada bayi yang baru lahir juga dinamakan aqiqah.
[Subulus Salam 3, hal. 585]
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah Pengertian aqiqah adalah hewan sembelihan untuk anak yang baru lahir. Dinamakan juga aqiqah sebagai hewan yang disembelih untuk anak yang baru lahir pada hari ke-tujuhnya (seminggu). [Fiqih Sunnah 4, hal. 299]

Hukum Akikah
Ibnu Rusyd berkata dalam kitab Bidayatul Mujtahid :
فذهبت طائفة منهم الظاهرية إلى أنها واجبة، وذهب الجمهور إلى أنها سنة، وذهب أبو حنيفة إلى أنها ليست فرضا ولا سنة؛ وقد قيل إن تحصيل مذهبه أنها عنده تطوع.
Menurut mazhab Zhahiri aqiqah hukumnya wajib. Menurut jumhur ulama sunat. Menurut Abu Hanifah tidak wajib dan tidak sunat, namun anjuran biasa atau bersifat mubah.       
Ibnu Rusyd berkata :
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Samurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ غُلَا مٍ مُرْتهَنٌ بعَقِيْقتِه تُذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَا بِعِهِ وَيُمَا طُ عَنهُ الْاَذَ ى
"Setiap bayi tergadai dengan akikahnya. Akikah itu disembelih untuk bayi pada hari ketujuh (dari hari kelahirannya) dan dicukur rambutnya". (HR. Tirmidzi-Abu Dawud).
Secara lahir, hadits ini menunjukkan hukum wajib.
Hadits lain adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang akikah, beliau menjawab :
"لَا أُحِبُّ الْعَقُوْقَ وَمَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ"
Saya tidak suka akikah, barangsiapa yang mempunyai anak lalu ingin menyembelih akikah untuk anaknya, maka lakukanlah. (HR. Abu Dawud dan Nasai)
Hadits ini secara lahir menunjukkan hukum sunat atau mubah.
[Bidayatul Mujtahid 2, hal. 350].

Sayyid Sabiq berkata :
والعقيقة سنة مؤكدة ولو كان الاب معسرا، فعلها الرسول، صلى الله عليه وسلم، وفعلها أصحابه، ويرى وجوبها الليث وداود الظاهري.
Hukum akikah adalah sunnah muakkad, walaupun orang tua bayi dalam keadaan kesusahan. Aqiqah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau. ….Al-Laitis dan Abu Dawud berpendapat bahwa hukumnya wajib. [Fiqih Sunnah 4, hal. 299]

Imam Ash-Shan’ani berkata :
فَذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ أَنَّهُ إذَا مَاتَ وَهُوَ طِفْلٌ لَمْ يُعَقَّ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَشْفَعُ لِأَبَوَيْهِ
Imam Ahmad berpendapat : Apabila seorang bayi meninggal sebelum diakikahi maka ia tidak memberikan syafaat untuk orang tuanya. [Subulus Salam 3, hal. 585]

Akikah anak Laki-laki dan Perempuan
Menurut Sayyid Sabiq yang terbaik untuk anak laki-laki adalah dengan menyembelih dua ekor kambing yang sama, begitu juga umurnya. Aqiqah untuk anak perempuan adalah satu ekor. Sebagaimana riwayat dari Ummu Kurz al-Ka’biyah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنِ الْغُلَا مِ شَا تَا نِ مُتَكَا فِئَتَا نِ وَ عَنِ الْجَا رِيَةِ شَا ةٌ
Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang mirip, sedangkan anak perempuan satu ekor. (HR.Ahmad, Tirmidzi)
Selain itu’ dibolehkan untuk anak laki-laki dengan satu ekor domba. Rasulullah pernah melakukan hal itu untuk aqiqah Hasan dan Husein. Dari Anas r.a.,
اَنََّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
"Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih akikah untuk Hasan dan Husen masing-masing satu ekor kambing kibas" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi] [Fiqih Sunnah 4, hal. 300].
Ibnu Rusyd berkata :
فقال مالك: يعق عن الذكر والأنثى بشاة شاة؛ وقال الشافعي وأبو ثور وأبو داود وأحمد: يعق عن الجارية شاة وعن الغلام شاتان
Menurut Malik, anak laki-laki dan perempuan sama saja, yaitu seekor kambing. Menurut Syafi'I, Abu Tsur, Abu Dawud, dan Ahmad, seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki. [Bidayatul Mujtahid 2, hal. 354]

Waktu Pelaksanaan
Menurut Sayyid Sabiq penyembelihan hewan aqiqah dilaksanakan pada hari ke tujuh sejak kelahiran apabila dimungkinkan. Jika tidak, maka pada hari ke empat belas. Apabila tidak mungkin juga, maka pada hari ke dua puluh satu sejak hari kelahirannya. Dan jika tidak mungkin juga, maka di hari manapun. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تُذْ بَحُ لِسَبْعِ وَلِاَ رْبَعَ عَشَرَوَلِاِحْدَ ى وَعِشْرِ يْنَ
Aqiqah disembelih pada hari ke tujuh, atau pada hari ke empat belas, atau pada hari ke dua puluh satu (HR. Baihaqi)  [Fiqih Sunnah 4, hal. 300]
Ibnu Rusyd berkata :
وأما وقت هذا النسك فإن جمهور العلماء على أنه يوم سابع المولود ومالك لا يعد في الأسبوع اليوم الذي ولد فيه إن ولد نهارا وقد قيل يجوز في السابع الثاني والثالث
Menurut jumhur ulama menyembelih akikah adalah pada hari ke tujuh dari kelahiran si bayi. Menurut Malik, hitungan tujuh hari itu tidak termasuk hari lahir apabila bayi dilahirkan di siang hari, yakni satu hari tersebut tidak dimasukkan hitungan.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa akikah boleh dilakukan pada tujuh hari kedua, yakni hari ke-14, dan tujuh hari yang ke tiga yakni hari ke-21.
[Bidayatul Mujtahid 2, hal. 356].

Imam Asy-Syaukani mengutip pendapat Imam Syafi’I sebagi berikut :
لَا تُؤَخَّرُعَنْ السَّابِعِ اخْتِيَارًا فَإِنْ تَأَخَّرَتْ إلَى الْبُلُوغِ سَقَطَتْ عَمَّنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَعُقَّ عَنْهُ لَكِنْ إنْ أَرَادَ هُوَ أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ فَعَلَ
Aqiqah itu tidak boleh lebih dari hari ke tujuh, ini sebagai pilihan. Bila ditangguhkan hingga baligh maka gugurlah akikahnya. Tapi bila ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka boleh melakukannya.
[Nailul Author 4, hal. 1636].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari berkata :
وأن يذبح سابع ولادته، ويسمى فيه، وإن مات قبله
Sunat menyembelihnya pada hari ke tujuh sejak kelahirannya. Sunat pula memberi nama pada hari tersebut walaupun anaknya mati sebelum hari itu.
[Fathul Mu’in 1, hal. 722]

Imam Ash-Shan’ani berkata : Menurut Imam Nawawi aqiqah boleh dilaksanakan sebelum hari ke tujuh atau setelahnya atau bahkan setelah dewasa. Al-Baihaqi meriwayatkan dari  Anas r.a :
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi Nabi. (HR.Baihaqi)
Tetapi hadits ini mungkar, Imam Nawawi berkata, “Hadits ini bathil”
[Subulus Salam 3, hal. 587 ; Bidayatul Mujtahid 2, hal. 354]

Umur Hewan Akikah
Ibnu Rusyd berkata :
وأما سن هذا النسك وصفته فسن الضحايا وصفتها الجائزة، أعني أنه يتقي فيها من العيوب ما يتقي في الضحايا، ولا أعلم في هذا خلافا في المذهب ولا خارجا منه
Usia hewan akikah yang diperbolehkan sama dengan aturan yang berlaku pada hewan kurban (umur 1-2 tahun). Sifat yang dimaksud di atas adalah tanpa cacat sebagaimana hewan kurban yang tidak boleh cacat. [Bidayatul Mujtahid 2, hal. 357]

Pemberian Nama Pencukuran Rambut
Sayid Sabiq berkata : Apabila anak baru lahir, maka disunahkan untuk member nama yang bagus dan mencukur rambutnya, serta bersedekah seberat timbangan rambutnya dengan perak jika hal itu memungkinkan untuk dilakukan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengaqiqahkan Hasan dengan seekor kambing dan bersabda,
يَا فا طِمَة اِ حْلقِى رَأسَه وَتصَدَّ قِيَ بوَزنِه فِضَّة عَلىَ المَسَا كِيْنَ فوَزنا هُ فكا نَ وَزنه دِرْهَمًا اوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ
 “Wahai Fatimah, cukurkan olehmu rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang muskin. (HR.Ahmad-Tirmidzi) [Fiqih Sunnah 4, hal. 300].

Pemberian Nama dan Tahnik
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Athar berkata :
قَالَ النَّوَوِيُّ: اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَحْنِيكِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ بِتَمْرٍ فَإِنْ تَعَذَّرَ فَمَا فِي مَعْنَاهُ أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ مِنْ الْحُلْوِ. قَالَ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ مِنْ الصَّالِحِينَ وَمِمَّنْ يُتَبَرَّكُ بِهِ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً
An-Nawawi mengatakan, “Ulama telah sepakat dianjurkannya mentahnik (mengolesi langit-langit mulut) bayi dengan kurma setelah ia dilahirkan. Bila tidak ada kurma, maka dengan yang lainnya yang setara atau yang rasa manisnya mendekatinya”. Ia juga mengatakan, “Dan dianjurkan agar mentahnik adalah orang yang shalih dan diharapkan keberkahannya, baik laki-laki maupun perempuan”
[Bustanul Ahyar Mukhtashar Nailul Authar 2/680]

Imam Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وَيُسْتَحَبُّ تَحْنِيكُهُ بِتَمْرٍ لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ «أَبِي مُوسَى قَالَ: وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَسَمَّاهُ إبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ» وَالتَّحْنِيكُ أَنْ يَضَعَ التَّمْرَ وَنَحْوَهُ فِي حَنَكِ الْمَوْلُودِ حَتَّى يَنْزِلَ إلَى جَوْفِهِ مِنْهُ شَيْءٌ وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمُحَنِّكُ مِنْ أَهْلِ الْخَيْرِ مِمَّنْ يُرْجَى بَرَكَتُهُ
Dan disunahkan untuk ditahnik sebagaimana dalam sahih Al-Bukhari dan sahih Muslim dari Abu Musa berkata, “Saya dikaruniai seorang anak, kemudian saya membawanya kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya serta mendo’akan untuknya keberkahan” (HR. Bukhari 5467;Muslim 2145).
Tahnik ialah menaruh kurma atau yang semisalnya di langit-langit mulut bayi yang lahir sampai bayi merasakannya, di mulut bagian atas. Yang mentahnik haruslah orang baik yang diharapkan keberkahannya. [Subulussalam 3/593].

Kurban Dan Akikah Secara Bersamaan
Sayid Sabiq berkata :
قالت الحنابلة: وإذا اجتمع يوم النحر مع يوم العقيقة فإنه يمكن الاكتفاء بذبيحة واحدة عنهما، كما إذا اجتمع يوم عيد ويوم جمعة واغتسل لاحدهما
Kalangan madzhab Hanbali berpendapat, “Apabila hari Kurban dan hari Akikah adalah pada hari yang sama, maka cukup dengan satu hewan sembelihan. Seperti halnya bila Hari Raya Ied jatuth pada hari Jum’at, maka disunahkan untuk mandi salah satunya. [Fiqih Sunnah 4, hal. 300].

Kesimpulan
  1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Akikah hukumnya sunnah muakkadah.
  2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang paling afdhol adalah menyembelihnya pada hari ketujuh dari kelahiran anak, namun dibolehkan menyembelihnya pada hari ke empat belas dan ke dua puluh satu, bahkan sampai anak tersebut baligh.
  3. Sebagian ulama berpendapat bolehnya mengakikahi dirinya ketika sudah dewasa.
  4. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang paling afdhol adalah menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.
  5. Para ulama berpendapat dianjurkan untuk mencukur rambut anak yang baru lahir dan mentahnik, ketika memberikan nama pada anak tersebut.

Wallahu a’lam.



Kamis, 24 September 2015

LARANGAN MENCUKUR RAMBUT DAN KUKU BAGI ORANG YANG BERKURBAN



LARANGAN MENCUKUR RAMBUT DAN KUKU BAGI ORANG YANG BERKURBAN
Oleh : Masnun Tholab

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Para ulama berpendapat, bagi  yang hendak berkurban dianjurkan untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya sejak awal masuk bulan Dzulhijjah sampai saat penyembelihan hewan kurbannya. Hal ini berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadits-hadits berikut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ [Al-Baqarah : 196]
Imam Al-Qurthubi berkata :
Imam Malik berkata : ”Sunnah yang shahih, yang menurut kami tidak diperselisihkan lagi, menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh mengambil rambutnya ampai dia menyembelih kurbannya” [Tafsir Al-Qurthubi 2/860]

Dari Ummu Salamah RA.
أن رسولَ اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم قال إذا رَأيْتُمْ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ وَأرَادَ أحَدُكُمْ أنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأظْافَرِهِ‏‏‏.
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijjah dan seseorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaklah ia menahan rambut dan kukunya (tidak memotongnya) hingga ia berkurban” (HR Muslim no. 1977)

وَلَفْظُ أبِي دَاوُدَ وَهُوَ لِمُسْلِمِ وَالنَّسَائِيِّ أيْضًا ‏(‏مَنْ كَاَن لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإذَا أهَلِّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَأظْافَرِهِ‏‏‏ حَتَّى يُضَحِّيَ‏)‏‏.
Dalam lafadz, yang juga diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i : “Barangsiapa yang mempunyai jewan kurban yang hendak disembelihnya, apabila telah melihat hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil (memotong) rambut dan kukunya sehingga ia berkurban (menyembelih)” (HR Muslim no 1977)
Imam Ash-Shan’ani berkata :
مِنْ السُّنَّةِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظَافِرِهِ إذَا دَخَلَ شَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ ل
Termasuk sunnah bagi orang yang ingin berkurban yaitu ia tidak mengambil rambut dan kuku hewan yang akan disembeluh ketika sudah masuk bulan Dzulhijjah, sebagaimana hadits dari Ummu Salamah diatas. [Subulussalam 3, hal. 584].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
الْحَدِيثُ اُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى مَشْرُوعِيَّة تَرْكِ أَخْذِ الشَّعْرِ وَالْأَظْفَارِ بَعْدَ دُخُولِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ . إِلِى أَنْ قَالَ : وَالْحِكْمَةُ فِي النَّهْيِ أَنْ يَبْقَى كَامِلَ الْأَجْزَاءِ لِلْعِتْقِ مِنْ النَّار
Hadits-hadits di atas  menunjukkan disyariatkannya tidak memotong rambut dan kuku setelah memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah bagi yang hendak berkurban. Hikmah larangan ini adalah semua anggotanya tetap lengkap untuk membebaskan diri dari api neraka. [Nailul Author 2, hal. 653].

Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir hadits 467, berkata :
أي فَليَجْتَنِب المضحي إِزَالَة شَعْر نفسه لِيَبْقَى كامل الجزاء فَيَعْتِق كُلّه من النار.
Yakni bagi yang mau berkurban menghindari mencukur ranbutnya agar semua anggotanya tetap lengkap dan untuk membebaskan dari api neraka. [Faidhul Qadir hadits 467]

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
إذَا ثَبَتَ هَذَا ، فَإِنَّهُ يَتْرُكُ قَطْعَ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمَ الْأَظْفَارِ ، فَإِنْ فَعَلَ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ تَعَالَى .وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ إجْمَاعًا ، سَوَاءٌ فَعَلَهُ عَمْدًا أَوْ نِسْيَانًا .
“Jika telah ditetapkan dalam beberapa riwayat, maka ia tidak boleh mencukur rambut, dan memotong kuku. Dan jika ia melakukannya maka harus bertaubat kepada Allah –Ta’ala-, namun tidak ada fidyah baik karena sengaja atau lupa, ini merupakan hasil ijma’ para ulama “. (al Mughni: 9/346)

Khalaf bin Sulaiman bin Sa’d dalam kitab Al-Muntaqa berkata :
وَقَدْ رَوَى الشَّيْخُ أَبُو بَكْرٍ وَالْقَاضِي أَبُو الْحَسَنِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ إِذَا رَأَى هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ أَنْ لَا يَقُصَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا يُقَلِّمَ أَظْفَارَهُ حَتَّى يُضَحِّيَ
Syeikh Abu Bakar dan Abu Al-Hasan mengatakan, sunnah bagi orang yang hendak berkurban tidak memotong kuku dan tidak mencukur rambut, apabila telah melihat hilal (sepuluh) Dzulhijjah hingga ia selesai berkurban. (Al-Muntari Syarah Al-Muwatha’ 4/1]

Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud dikatakan :
وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ . وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه

As-Syafi’I dan para sahabatnya berpendapat, hal itu (memotong kuku dan mencukur rambut) dimakruhkan degan makruh tanzih tidak sampai haram. Abu Hanifah berkata, tidak makruh, Malik berkata dalam satu riwayat, tidak makruh. [‘Aunul Ma’bud 6/247].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وكُرِهَ - لِمُرِيْدِهَا - إِزَاَلُة نحو شعرٍ في عشر ذي الحِجةِ وأيامِ التشريقِ حتى يضحي.
Orang yang bermaksud berkurban makruh mencabut rambut (memotongnya) pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari tasyrik hingga selesai berkurbannya. [Fathul Mi’in 1, hal. 711].

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Sahih Muslim berkata :
قال أصحابنا وَالْمُرَاد بِالنَّهْيِ عَنْ أَخْذ الظُّفْر وَالشَّعْر النَّهْي عَنْ إِزَالَة الظُّفْر بِقَلَمٍ أَوْ كَسْر أَوْ غَيْره ، وَالْمَنْع مِنْ إِزَالَة الشَّعْر بِحَلْقٍ أَوْ تَقْصِير أَوْ نَتْف أَوْ إِحْرَاق أَوْ أَخْذه بِنَوْرَةٍ أَوْ غَيْر ذَلِكَ ، وَسَوَاء شَعْر الْإِبْط وَالشَّارِب وَالْعَانَة وَالرَّأْس ، وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ شُعُور بَدَنه
Sahabat-sahabat kami ( As Syafi’i) berkata : Yang dikehendaki dengan larangan mengambil kuku dan rambut yaitu larangan memotong kuku atau membelah atau dengan cara lainyya, dan larangan menghilangkan rambut adalah menghilangkan rambut dengan cara cukur, memotong, mencabut, membakar, mengambilnya dengan kapur atau dengan cara yang lainnya. Apakah itu rambut ketiak, jenggot, Rambut kemaluan, Kepala dan rambut-rambut lain yang terdapat di badan.”
[Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1977]

Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata:
“Barang siapa yang mau berkurban, maka diwajibkan baginya sejak awal bulan Zdul Hijjah untuk tidak mencukur rambut dan kukunya sampai ia menyembelih hewan kurbannya. Tidak boleh dicukur habis juga tidak hanya dirapikan saja, atau yang lainnya. Bagi yang belum berkurban maka tidak wajib menghindari larangan tersebut”. (al Muhalla: 6/3)

Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata : Tuntunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa siapa yang hendak berkurban dan sudah memasuki hari ke sepuluh hendaknya dia tidak mengambil bulu dari hewan kurban dan kulitnya sedikitpun. Hal ini disebutkan dalam Sahih Muslim. [Zaadul Ma’ad 2, hal. 105].

Kesimpulan
1.     Mayoritas ulama berpendapat,  dianjurkan (dsunahkan) untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut bagi shohibul qurban (orang yang berkurban)
2.    Para ulama berbeda pendapat tentang waktu dimulainya larangan memotong kuku dan mencukur rambut bagi shohibul qurban (orang yang berkurban). Ada yang berpendapat sejak tanggal 1 Dzulhijjah, ada pula yang berpendapat sejak tanggal 10 Dzulhijjah sampai pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...