Minggu, 01 Mei 2016

HUKUM MEMELIHARA JENGGOT

HUKUM MEMELIHARA JENGGOT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

ان الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالن من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

Renungan
Anas bin Malik berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku:
مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
“barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan gharib dari jalur ini. (HR. Tirmidzi 2602)
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun"(HR. IbnuMajah  no. 209)

Hadits-hadits Tentang Perintah Memelihara Jenggot
Dari Aisyah berkata, bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
Sepuluh yang termasuk fitrah : Mencukur kumis, membiarkan jenggot, menggosok gigi, berkumur, memotong kuku, membersihkan kotoran di badan, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan bercebok. (HR Muslim 627; HR. Abu Daud 53; At-Tirmidz 2757; Ibnu Majah 293)

Dari Abi Hurairah ra. Aku mendengar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam Bersabda :
Yang termasuk Fitrah ada lima : khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.  (HR. Al-Bukhari 5889; Muslim 620; Ibnu Majah 292)

Dari Ibnu Umar ra.
قَالَ رَسُولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda : Cukurlah kumis kamu dan biarkanlah jenggot kamu.     ( HR. Muslim 623; Ahmad  4654 : Tirmidzi 2763; Nasa’I 15)





Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ
Bahwasanya beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan membiarkan (tumbuh) janggut.
(HR. Muslim 624; Ibnu Hibbah 5455; Abu Dawu 3401)

Dari Ibnu Umar ra. Berkata: 

قَالَ رَسُولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam : Cukur bersih kumis kamu dan biarkanlah janggut kamu. HR. Al-Bukhari ( HR. Al-Bukhari 5775)

Dari Ibnu Umar ra. Berkata: bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Cukurlah olehmu yang ini dan biarkanlah yang ini, yakni bulu dibawah bibir dibersihkan ( dan jenggot selebihnya dibiarkan ). (HR. Ahmad 5326)

Dari Ibnu Umar ra. Berkata : bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
خَالِفَوا  المُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحْىَ
Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot. (HR. Bukhari 5892; Muslim 625)

Dari Abi Hurairah ra. Berkata :
قَالَ رَسُولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم : جُزُّوا الشَّوَارِبَ  وَأَرْخُوا اللِّحْىَ خَالِفُوا المَجُوْسَ
bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam : Cukur habislah kumismu dan biarkanlah janggutmu, berbedalah kamu dengan majusi. (HR. Muslim 626 ; Ahmad 8778)

Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, biarkanlah janggutmu dan cukurlah kumismu. Adapun Ibnu Umar apabila haji atau umrah, ia menggenggam janggutnya, dan yang tidak tergenggam dipotongnya. (HR. Al-Bukhari  5774)

Dari Ibnu Umar ra. Berkata :
ذُكِرَ لِرَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  المَجُوْسَ, فَقَالَ : اَنَّهُمْ يُوَفُّوْنَ سِبَالَهُمْ وَيَحْلِقُوْنَ لِحَاهُمْ فَخَالِفُوْهُمْ
diterangkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam Tentang majusi. Beliau bersabda : Sesungguhnya mereka membiarkan kumis dan mencukur jenggot mereka, maka berbedalah kamu dari mereka. (HR. Ibnu Hibban 5476)

Dari Abi Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam Bersabda :
Biarkanlah jenggotmu dan cukurlah kumismu dan rubahlah ubanmu dan janganlah kamu menyerupai Yahudi dan Nashrani. (HR. Ahmad 8672)

Dari Abi Umamah ra. Berkata :
kata kami wahai Rasulullah sesungguhnya ahlul kitab mencukur jenggot mereka dan membiarkan kumis mereka, bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : Cukurlah kumis kamu dan biarkanlah janggut kamu dan berbedalah kamu dari Ahli Kitab. (HR. Ahmad 22283; Baihaqi 5987)


Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Mencukur Jenggot
Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:
وَلاَ يَأْخُذُ من شَعْرِ رَأْسِهِ وَلاَ لِحْيَتِهِ شيئا لأَنَّ ذلك إنَّمَا يُؤْخَذُ زِينَةً أو نُسُكًا
 “Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)
Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :
“Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203)

Ibnu Rif'ah berkata :
إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية
Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)

Abdurrahman bin 'Umar Baa 'Alawi; ia berkata :
  نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها
"Imam Asy-Syafii radhiallahu 'anhu telah menyatakan akan haramnya mencukur gundul jenggot dan mencabuti jenggot" (Bugyatul Mustarsyidin hal 20)

An-Nawawi berkata :
وَالْمُخْتَار تَرْك اللِّحْيَة عَلَى حَالهَا وَأَلَّا يَتَعَرَّضَ لَهَا بِتَقْصِيرِ شَيْء أَصْلًا
”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” [Syarh Shahih Muslim 2/154; Fathul Baari 16/483].
Qadliy Iyadl menyatakan:
 “Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.[/i]” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).

Abul Hasan Al-Maawardi (wafat 450 H), ia berkata :
نَتْفُ اللِّحْيَةِ مِنَ السَّفَهِ الذي تُرَدُّ به الشهادة
Mencabuti jenggot merupakan perbuatan safah (bodoh) yang menyebabkan persaksian seseorang ditolak. (al-Hawil Kabir 17/151)

Imam Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :
"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)
Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :
وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ
"Dan diharamkan menggungul jenggot" (Fathul Mu'iin, hal 305,)

Al-Qurthubi berkata :
لا يجوز حلقها ولا نتفها ولا قصها
”Tidak diperbolehkan untuk mencukur, mencabut, dan memangkas jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5].

Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل الجمهور على أن الأولى تَرْك اللِّحْيَة عَلَى حَالهَا, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].

As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد في المذهب ، حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].

Abul Abbas berkata dalam kitab Al Ikhtiyarat ,
ويحرم حلق اللحية ويجب الختان إذا وجبت الطهارة والصلاة
”Haram hukumnya mencukur jenggot dan wajib hukumnya khitan jika sudah diwajibkan thaharah dan shalat” [Al-Ikhtiyarat 1/7]

Imam Ibnu Hazm (bermadzhab Zhahiri) berkata dalam Maratibul Ijma’ hal. 157:
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز وكذلك الخليفة والفاضل والعالم
“Mereka telah sepakat bahwa mencukur semua jenggot adalah terlarang, sebab telah melakukan perubahan (ciptaan Allah) dan menjadi jelek.” [Maratibul Ijma’ hal. 157]

Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan:
"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin)

Kesimpulan
1.     Para Ulama berbeda pendapat tentang hokum mencukur jenggot, sebagian berpendapat haram, sebagian berpendapat makruh.
2.    Para Ulama berbeda pendapat tentang hokum memelihara jenggot, sebagian berpendapat wajib, sebagian berpendapat sunnah.

Wallahu a’lam.


TAKBIRATUL IHRAM

TAKBIRATUL IHRAM

Oleh : Masnun Tholab

www.masnuntholab.blogspot.com

 

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Hukum Takbiratul Ihram
As-Sirozi berkata :Takbiratul ihram merupakan salah satu fardhu shalat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci halat adalah bersuci, memulainya dengan takbir, dan mengakhirinya dengan salam.” (HR. Abu Daud 61, Turmudzi 3, & disahihkan al-Albani).
Imam Nawawi berpendapat :
Takbiratul Ihram merupakan salah satu rukun shalat dan tanpanya shalat tidak sah. Inilah madzhab kami, madzhab Malik, Ahmad, serta jumhur ulama salaf dan khalaf.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 3/543-544].

Sayyid Sabiq berkata : Takbiratul Ihram ini hanya dapat dilakukan dengan membaca lafadz “Allahu Akbar”. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid,
اَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم كانَ اِذَا قَامَ اِلىَ الصَّلاةِ اِعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ  ثُمَّ قَالَ : الله اَكْبَرْ
"Apabila Nabi Shallallahu ‘alihi wasallam berdiri hendak mengerjakan shalat, beliau berdiri tegak lurus dan mengangkat kedua belah lengannya, lalu mengucapkan 'Allahu Akbar'" (HR.Ibnu Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)  [lihat Fiqih Sunnah 1, hal. 188].

 

Mengangkat Kedua Tangan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya dengan dibentangkan.” (HR. Abu Daud 753, Turmudzi 240, dan dishahihkan al-Albani)
Imam Asy-Syaukani berkata : Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya mengangkat kedua tangan ketika takbiratul Ihram. An-Nawawi mengatakan, “Ini sudah menjadi ijma’ umat, yaitu mengangkat kedua tangan ketika takbiratul Ihram”.
[Bustanul Ahbar 1/457].

Ketika Takbiratul Ihram telapak tangan dihadapkan ke kiblat dan diangkat setinggi pundak atau telinga.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundak, ketika memulai shalat.” (HR. Bukhari 735 & Muslim 390).
Dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا كَبَّرَ، وَإِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ حَتَّى بَلَغَتَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika i’tidal, hingga setinggi daun telinga.” (HR. Nasai 1024, dan yang lainnya).
Juga hadits:
كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” (HR. Al Baihaqi 2/26)

 

Cara mengangkat tangan ketika takbir ada 3:
a. Mengangkat tangan sampai pundak lalu membaca takbir
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumma,
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه، ثم كبَّر
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setinggi pundak, kemudian beliau bertakbir. (HR. Muslim 390).

b. Mengangkat tangan lalu sedekap bersamaan dengan takbir
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر
”Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai takbiratul ihram ketika shalat, beliau mengangkat kedua tangannya  ketika takbir. (HR. Bukhari 738)

c. Membaca takbir, lalu mengangkat tangan
Dari Malik bin al-Huwairits,
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبر؛ رفع يديه
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika usai takbir, beliau mengangkat tangan” (HR. Muslim 391).

Bersedekap Setelah Takbiratul Ihram
Dari wa'il bin Hujr dia berkata;
قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ 
"Sungguh aku benar-benar akan melihat shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan melihat bagaimana beliau tata cara beliau shalat." Wa'il berkata; asulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri menghadap kiblat, kemudian beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya, kemudian tangan kanannya memegang tangan kirinya” (HR. Abu Daud)
Dari Ibnu Mas'ud
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
bahwa dia shalat dengan meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanannya, ternyata dia dilihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kontan beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya." (HR. Abu Daud)
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhu:
كان الناسُ يؤمَرون أن يضَع الرجلُ اليدَ اليُمنى على ذِراعِه اليُسرى في الصلاةِ
Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya ketika shalat” (HR. Al Bukhari 740)

Imam Nawawi menjelaskan : Sunnahnya adalah meletakkan kedua tangan setelah takbir, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, sedangkan lengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri dan sebagian lengan bawah”.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdab 3/578]

Posisi Tangan Ketika Sedekap
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (3/582) menjelaskan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang letak bersedekap :
Madzhab kami (Syafi’i) berpendapat, “Kedua tangan dianjurkan diletakkan di bawah dada, di atas pusar”. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa’id bin Jabir dan Abu Daud.
Dalilnya adalah hadits Wa’il bin Hujr, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengencangkan keduanya di atas dadanya ketika beliau shalat” (HR,. Abu Daud 759, Al Baihaqi 4/38, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 3322).
Asy-Syaukani mengatakan : Hadits ini menjelaskan bahwa meletakkan tangan itu di atas dada. Dalam masalah ini tidak ada hadits yang lebih hsahih daripada hadits Wa’il.
[Bustanul Ahbar 1/461].

Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Ishaq berpendapat, “Kedua tangan diletakkan di bawah pusar” Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ishaq dan Al-Marudzi dari kalngan sahabat.
Dalilnya adalah hadits dari Ali RA, dia berkata,
مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ
Termasuk sunnah, meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar” (HR. Abu Daud 758, Al Baihaqi, 2/31)

Kesimpulan
1.     Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa takbiratul Ihram adalah merupakan salah satu rukun shalat.
2.     Para Ulama sepakat (ijma’) dianjurkan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram.
3.    Para Ulama sepakat (ijma’) dibolehkan mengangkat telapak tangan setinggi pundak atau telinga.
4.    Para ulama berbeda pendapat tentang posisi tangan ketika sedekap. Ada yang berpendapat di bawah pusar, di atas pusar, dan di atas dada.

Wallahu a;lam

LARANGAN SHALAT SUNAH SESUDAH IQAMAT

LARANGAN SHALAT SUNAH SESUDAH IQAMAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Sering terjadi ketika seseorang masih melaksanakan shalat sunnah di suatu masjid, baik shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat rawatib, maupun shalat sunnah lainnya, Muadzin mengumandangkan iqamah. Dalam kondisi seperti itu, bagaimanakah seharusnya sikap orang tersebut? Apakah terus menyelesaikan shalatnya, atau menghentikan shalatnya untuk ikut shalat berjama’ah bersama imam?

Hadits-hadits Tentang Larangan Shalat Sesudah Iqamat
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tak ada shalat selain shalat wajib. [HR. Muslim No.1160].

Dari Abdullah bin Sirjis —dan beliau telah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
;أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْفَجْرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَصَلَّى خَلْفَهُ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، ثُمَّ دَخَلَ مَعَ الْقَوْمِ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ لِلرَّجُلِ: أَيُّهُمَا جَعَلْتَ صَلَاتَكَ، الَّتِي صَلَّيْتَ وَحْدَكَ، أَوِ الَّتِي صَلَّيْتَ مَعَنَا؟
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat fajar. Datanglah seseorang lalu shalat dua rakaat (sunat) fajar di belakang beliau. Dia kemudian masuk (shalat bersama jamaah). Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada orang tersebut, “Shalat yang mana yang engkau anggap sebagai shalatmu: yang engkau shalat sendirian, atau yang engkau shalat bersama kami!?” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani )

Dari Abdullah bin Malik bin Buhainah Radhiyallahu'anhu
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يُصَلِّي وَقَدْ أُقِيمَتْ صَلَاةُ الصُّبْحِ فَكَلَّمَهُ بِشَيْءٍ لَا نَدْرِي مَا هُوَ فَلَمَّا انْصَرَفْنَا أَحَطْنَا نَقُولُ مَاذَا قَالَ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ لِي يُوشِكُ أَنْ يُصَلِّيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ أَرْبَعًا
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki, melakukan shalat dua raka'at padahal iqamah sudah dikumandangkan. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, orang-orang menoleh kepadanya  Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalat Shubuh empat raka'at, shalat Shubuh empar raka'at ?" (Maksudnya, hendaknya jangan shalat Sunnah ketika sudah iqamah, sehingga terkesan melakukan shalat
Shubuh empat raka'at, -pen) [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no 663; Muslim no. 711]

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma, ia berkata:
كُنْتُ أُصَلِّي وَأَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي الْإِقَامَةِ، فَجَذَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: أَتُصَلِّي الصُّبْحَ أَرْبَعًا؟
“Aku shalat sementara muadzin mulai mengumandangkan iqamat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menarikku dan mengatakan, “Apakah engkau mau shalat subuh empat rakaat?!” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Hakim, beliau mengatakan, “Sahih sesuai dengan syarat Muslim.”)

Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Shalat Sesudah Iqamat
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
والحديث يدل على أنه لا يجوز الشروع في النافلة عند أِقاَمتِ الصَّلَاةِ من غير فرق بين ركعتي الفجر وغيرها, وبه قال سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحاق
Hadits di atas menunjukkan tidak bolehnya memulai shalat sunnah ketika iqamah sudah dikumandangkan, dan tidak ada perbedaan antara shalat sunnah fajar (Shalat sunnah sebelum shubuh) maupun lainnya. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak, Asy-Syafi’I, Ahmad dan Ishaq.
[Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 1/679, hadits no. 1285]

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ إذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ كُرِهَ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ الْفَرِيضَةَ افْتِتَاحُ نَافِلَةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً لِتِلْكَ الصَّلَاةِ أَوْ تَحِيَّةَ مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرَهَا لِعُمُومِ هَذَا الْحَدِيثِ
Syafi’I dan shabat-sahabat kami menjelaskan, bila iqamat telah dikumandangkan, makruh hukumnya bagi semua orang yang ingin menunaikan shalat fardhu untuk shalat sunnah, baik shalat sunnah rawatib, tahiyatul masjid atau yang lain berdasarkan petunjuk umum hadits ini.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ إذَا وَجَدَهُ فِي الْفَجْرِ وَلَمْ يَكُنْ صَلَّى سُنَّتَهَا يَخْرُجُ إلَى خَارِجِ الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّيهَا ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي مَعَهُ الْفَرِيضَةَ حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مَسْرُوقٍ وَمَكْحُولٍ وَالْحَسَنِ وَمُجَاهِدٍ وَحَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ وَقَالَ مَالِكٌ مِثْلَهُ إنْ لَمْ يَخَفْ فَوْتَ الرَّكْعَةِ فَإِنْ خَافَهُ صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ
Sekelompok fuqaha berpendapat, bila yang bersangkutan mendapati imam tengah shalat fajar sementara ia belum shalat sunnah fajar, ia keluar dari masjid dan sunnah fajar, setelah itu ia masuk masjid dan shalat wajjib bersama imam. Pendapat ini dituturkan oleh Ibnu Al-Mundzir dari Masruq, Al Makhul, Al Hasan, Mujahid, dan Humaid bin Abu Sulaiman. Malik juga berpendapat serupa, bila yang bersangkutan tidak khawatir tertinggal satu rekaat, ia shalat sunnah terlebih dahulu, dan bila khawatir tertinggal satu rekaat, ia shalat fajar bersama imam.
.[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 4/371].

Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وكُرِهَ ابتداءُ نفلٍ بعد شُرُوعِ الْمُقِيْمِ في الإقامة ولو بغير إذنِ الإمام، فإن كان فيه أتَمَّهُ، إن لم يَخْشَ بإِتْمَامِهِ فَوْتَ جماعَةٍ، وإلا قَطَعَهُ نَُدْبًا ودخل فيها، ما لمْ يَرْجُ جماعةً أخرى
Makruh mengerjakan shalat sunnah setelah muadzin bersiap akan iqamah, walaupun tanpa izin imamnya. Apabila sedang shalat tiba-tiba ada yang iqamah, maka sempurnakanlah shalat sunnahnya, jika ia tidak khawatir tertinggal berjamaah dengan menyempurnakannya. Apabila khawatir tertinggal berjamaah, maka sunnat membatalkan shalat sunnahnya lalu turut berjamaah, selama tidak diharapkan ada shalat berjamaah yang lainnya. [Fathul Mu’in 1/373]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وأما إذا اشتغل الداخل بالصلاة كان يدخل وقد أقيمت الفريضة فيدخل فيها فإنها تجزئه عن ركعتي التحية بل هو منهي عنها بحديث إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Akan halnya seseorang yang memasuki masjid dan tersibukkan oleh shalat yang lain, yakni jika seseorang memasuki masjid pada saat shalat wajib telah didirikan, maka ia harus segera bergabung untuk shalat wajib tersebut, dan shalat itu telah mewakili shalat tahiyatul Masjid, bahkan saat itu tidak diperbolehkan mendirikan shalat tahiyatul Masjid, berdasarkan hadits, “Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tak ada shalat selain shalat wajib”. [HR. Muslim No.1160]. [Subulussalam 1/425]

Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiry, dalam kitab Faidhul Baari, berkata :
ذهب طائفة من اهل الظواهر إلى ظاهر الحديث, قالوا : إن أقيمت الصلاة وهو في خلال الصلاة بطلت صلاته, ولم يذهب إليه أحد من الأئمة غيرها. وقال الجمهور : بل يتمها ولا يقطعها.
Sekelompok ulama dzahiriyah berpendapat berdasarkan pada dzahir hadits : Jika iqamat dikumandangkan dan seseorang dalam keadaan shalat (sunnah), maka hendaknya shalatnya dibatalkan. Namun, Tidak ada seorangpun dikalangan ulama lainnya yang berpendapat seperti ini. Jumhur ulama berkata : Hendaknya menyempurnakan shalatnya dan tidak memutusnya.
[Faidhul Baari 2/422]

Fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia no. 16369 :
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ والإنسان في صلاة نافلة وهو في الركوع الأخير أو السجود فإنه يُتمها, ويُلحق بالجماعة, ولا يقطعها, لقوله تعالى : ولا تبطلوا أعمالكم, أما إن أقيمت وهو في أول النافلة او في الركعة الثانية قبل الركوع, فإنه يقطعها, لقوله  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ , وأقل الصلاة ركعة
Jika iqamat dikumandangkan dan seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, dan dia dalam keadaan ruku’ terakhir atau sujud, hendaklah melanjutkan shalatnya, dan dia menyusul mengikuti shalat jama’’ah. Jangan memutusnya, berdasarkan firman Allah ta’ala, “Janganlah kamu batalkan amal-amalmu”. Adapun jika iqamat dikumandangkan sedang dia baru melaksanakan shalat sunnah, atau pada rekaat kedua sebelum ruku, hendaklah dia memutus shaltnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tak ada shalat selain shalat wajib” [HR. Muslim No.1160].

Kesimpulan
1.     Mayoritas ulama berpendapat, jika iqomat sudah dikumandangkan, maka seseorang tidak diperbolehkan untuk shalat apapun selain shalat wajib yang dilakukan secara berjamaah bersama imam.
2.    Mayoritas ulama berpendapat, jika iqomat sudah dikumandangkan sedang seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah, maka ia diperbolehkan untuk melanjutkan shalatnya, atau memutus shalatnya untuk mengikuti shalat berjamaah bersama imam.
Wallahu a’lam.



YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...