AIR MUSTA’MAL
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
ان الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Pengertian Air Musta’mal
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengatakan:
وهو المنفصل من أعضاء المتوضئ والمغتسل
“air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota badan orang yang berwudhu atau mandi” (Fiqhus Sunnah, 1/18).
Jadi air musta’mal adalah air yang sudah dipakai untuk berwudhu atau mandi (pen.)
Bolehkah Air Musta’mal Untuk Bersuci?
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata :
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَعُودنِي وَأَنَا مَرِيضٌ لا أَعْقِلُ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ وَضُوءَهُ عَلَيَّ
“ Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengunjungi aku, sedangkan aku dalam keadaan sakit yang tidak sadar, kemudian ia berwudlu’ dan mengguyurkan air wudlu’nya kepadaku”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim, Nailul Authar hadits no. 5).
Dan dari Hudzaifah bin Al Yaman,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ وَهُوَ جُنُبٌ فَحَادَ عَنْهُ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: كُنْت جُنُبًا، فَقَالَ: «إنَّ الْمُسْلِمَ لا يَنْجُسُ» . رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلا الْبُخَارِيَّ وَالتِّرْمِذِيَّ.
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernah menemuinya, sedangkan ia dalam keadaan junub, lalu ia menyingkir daripadanya, kemudian ia mandi lalu datang, ia berkata: aku junub, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda : “Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis..”. (HR Jama’ah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi, Nailul Authar hadits no. 5).
.
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :
وَقَدْ اسْتَدَلَّ الْجُمْهُورُ بِصَبِّهِ - صلى الله عليه وسلم - لِوَضُوئِهِ عَلَى جَابِرٍ وَتَقْرِيرِهِ لِلصَّحَابَةِ عَلَى التَّبَرُّكِ بِوَضُوئِهِ، وَعَلَى طَهَارَةِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ لِلْوُضُوءِ إِلِى أَنْ قَالَ: فَإِنْ قَالَ الذَّاهِبُ إلَى نَجَاسَةِ الْمُسْتَعْمَلِ لِلْوُضُوءِ إنَّ هَذِهِ الأَحَادِيثَ غَايَةُ مَا فِيهَا الدَّلالَةُ عَلَى طَهَارَةِ مَا تَوَضَّأَ بِهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَعَلَّ ذَلِكَ مِنْ خَصَائِصِهِ. قُلْتُ: هَذِهِ دَعْوَى غَيْرُ نَافِقَةٍ، فَإِنَّ الأَصْلَ أَنَّ حُكْمَهُ وَحُكْمَ أُمَّتِهِ وَاحِدٌ إلا أَنْ يَقُومَ دَلِيلٌ يَقْضِي بِالاخْتِصَاصِ وَلا دَلِيلَ. وَأَيْضًا الْحُكْمُ بِكَوْنِ الشَّيْءِ نَجِسًا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ يَلْتَزِمُهُ الْخَصْمُ فَمَا هُوَ؟
Jumhur menjadikan dalil dengan pengguyuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan air wudlu’nya kepada sahabat-sahabat yang tabarruk dengan air bekas wudlu’nya, atas kesucian air bekas dipakai untuk wudlu’, selanjutnya ia berkata:
Apabila Ada yang berpendapat atas najisnya air bekas wudlu’ padahal hadist-hadist ini jelas menunjukkan sucinya, dan dimungkinkan hal itu termasuk perkara yang khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku menjawab : Ini adalah dakwaan yang tidak sesuai, karena yang asal, bahwa hukumnya dan hukum ummatnya adalah satu, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan kekhususan, padahal dalil itu tidak ada. Dan juga menghukum sesuatu itu najis adalah merupakan ketentuan hukum agama yang membutuhkan kepada dalil yang diajukan oleh orang yang menantang, maka manakah dalil itu? [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 1/10]
Dari Hakim bin Amr al Ghifari ,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا أَنَّ ابْنَ مَاجَهْ وَالنَّسَائِيُّ قَالا: وَضُوءُ الْمَرْأَةِ.
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berwudlu’ dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan. HR Imam yang lima kecuali Ibnu Majah dan Nasa’i. Ibnu Majah dan Nasa’i berkata : “bekas air wudlu’ perempuan”. Dan Tirmidzi mengatakan: Hadist ini Hasan, dan Ibnu Majah berkata, sesudah ia meriwayatkan hadis yang lain : “yang benar adalah hadist Hakam”. (Bulughul maram, hadits no. 6).
Dan dari Ibnu Abbas, dari Maimunah,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - تَوَضَّأَ بِفَضْلِ غُسْلِهَا مِنْ الْجَنَابَةِ.
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah wudlu’ dengan (air) bekas mandi janabat Maimunah. (HR Ahmad dan Ibnu Majah, Bulughul maram, hadits no. 7).
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Makna hadits tersebut telah disebutkan dari beberapa jalan yang dipaparkan dalam Asy Syarh, dan menunjukkan bahwa bertentangan dengan hadits yang lalu, dan bahwa boleh seorang laki-laki mandi dengan air bekas mandi perempuan, dan sebaliknya diqiyaskan atasnya karena kesamaannya. Dalam dua hal tersebut terdapat perbedaan pendapat tetapi yang lebih jelas adalah keduanya diperbolehkan, dan bahwa larangan itu dipahami sebagai tanzih (kesucian). [Subulussalam 1/ ]
Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.” (HR. Bukhari no. 187)
Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
وَأَمَّا الْمُسْتَعْمَلُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ، فَطَاهِرٌ، وَلَيْسَ بِطَهُورٍ عَلَى الْمَذْهَبِ. وَقِيلَ: طَهُورٌ فِي الْقَدِيمِ
وَمَا تَطَهَّرُ بِهِ لِصَلَاةِ النَّفْلِ، مُسْتَعْمَلٌ، وَكَذَا مَا تَطَهَّرُ بِهِ الصَّبِيُّ عَلَى الصَّحِيحِ. وَالْمُسْتَعْمَلُ الَّذِي لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، لَا يُزِيلُ النَّجَسَ عَلَى الصَّحِيحِ. وَالْمُسْتَعْمَلُ فِي النَّجَسِ إِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ طَاهِرٌ، لَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ عَلَى الصَّحِيحِ. وَلَوْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ، عَادَ طَهُورًا فِي الْأَصَحِّ، كَمَا لَوِ انْغَمَسَ جُنُبٌ فِي قُلَّتَيْنِ، فَإِنَّهُ طَهُورٌ بِلَا خِلَافٍ
Adapun air yang telah digunakan dari hadats (air musta’mal) adalah suci namun menurut madzhab (Syafi’i). Dikatakan bahwa dia adalah suci menyucikan menurut pendapat imam Syafi’i yang lama (Qoul Qadim)
Air yang digunakan bersuci untuk shalat sunnah adalah musta’mal. Begitu juga yang digunakan oleh anak kecil, menurut pendapat yang shahih. Air musta’mal yang tidak menghilangkan hadats juga tidak dapat menghilangkan najis menurut pendapat yang shahih. Air bekas menyucikan najis apabila kita katakan itu suci, namun tidak dapat menghilangkan hadats menurut pendapat yang shahih.
Jika air musta’mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka dia kembali suci menyucikan menurut pendapat yang ashah sesuai dengan kesepakatan para ulama. [Rhaudatuth Thalibin 1/124].
Air Musta’mal Dua Qullah
Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
فإن جُمِعَ المستعملُ فبلغَ قلتينِ فمُطَهِّرٌ كما لو جُمِعَ المتنجسُ فبلغ قلتين ولم يَتَغَيَّرْ وإن قَلَّ بعدُ بتَفْرِيْقِهِ.
Maka apabila air-air musta’mal dikumpulkan hingga mencapai dua kullah maka jadilah ia air muthahhir yang dapat digunakan untuk bersuci, sebagaimana terkumpulnya air mutanajjis hingga dua kullah dengan syarat dalam keadaan tidak berubah meskipun setelah diambil jumlahnya akan kembali menjadi sedikit.
فعُلِمَ أن الاستعمالَ لا يَثْبُتُ إلا مع قِلَّةِ الماءِ أي وبعد فَصْلِهِ عن المَحَلِّ المستعملِ ولو حُكْمًا كَأَنْ جاوز مَنْكِبَ المُتَوَضِّئِ أو رُكْبَتَهُ وإن عَادَ لِمَحَلِّهِ أو انْتَقَلَ من يدٍ لأُخْرَى
Maka dapat diketahui bahwasanya kemusta’malan air itu hanya pada air yang jumlahnya sedikit, setelah terpisah dari tempat kegunaannya –meskipun hanya secara hukum– sepertihalnya air basuhan yang melewati pundak orang yang berwudhu atau lututnya, walaupun kembali ke tempatnya yang semula, atau air yang berpindah dari tangan yang satu kepada bagian yang lainnya.
نعم لا يَضُرُّ في المُحْدِثِ اِنْفِصَالُ الماءِ من الكَفِّ إلى السَّاعِدِ ولا في الجُنُبِ اِنْفِصَالُهُ من الرأسِ إلى نحوِ الصدرِ مما يَغْلِبُ فيه التَّقَاذُفُ
Ya benar, tidak mengapa bagi orang yang berhadats kecil, air itu berpindah dari telapak tangan ke lengan. Dan bagi orang yang dalam keadaan junub, tidak mengapa berpindahnya air dari kepala ke anggota tubuh lain yang dapat kena tetes air dari kepala itu seperti halnya pada bagian dada.
[Fathul Mu’in jilid 1, hal. 27-28].
Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i menyatakan:
وكنت أودُّ أن يكون مذهبُه كمذهبِ مالكٍ رضي الله عنه في أن الماءَ وإن قلَّ لا ينجسُ إلا بالتَّغْيِرِ إذ الحاجةُ ماسةٌ إليه ومثارَ الوسواسِ اشترطَ القلتين ولأجْلِهِ شقٌّ على الناسِ
Saya ingin madzhab Syafi'i seperti madzhab Malik dalam arti bahwa air yang sedikit (kurang dua qulah) tidak najis (kalau terkena najis) kecuali kalau berubah (warna, sifat, rasa). Karena, hukum seperti ini (tidak najis kecuali berubah) sangat dibutuhkan. Disyaratkannya air dua qullah itu menjadi penyebab was-was dan menyulitkan banyak orang [Ihya Ulumiddin, hlm. 1/129].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar