Selasa, 28 Juli 2009

SHALAT KHUSUF (GERHANA)

SHALAT KHUSUF (GERHANA)

Oleh : Masnun Tholab

Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, ialah terjadinya gerhana baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam sabdanya:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah, keduanya tidak akan mengalami gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupan seseorang, Apabila kalian melihat keduanya (mengalami gerhana) maka berdo’alah kepada Allah dan shalatlah sehingga kembali nampak seperti semula (HR al-Bukhari dan Muslim, dari Mughirah bin Syu’bah)

[lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 667]

PENGERTIAN GERHANA

Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa.1 [Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.]


HUKUM SHALAT GERHANA

Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at.

Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah.3 [Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah (261), ar-Raudhah an-Nadiyah (156).]

Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.2 [Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.]

Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.

Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu.5 [Al-Umm (1/214), al-Mughni (2/420), al-Inshaf (2/442), Bidayatul-Mujtahid (1/160), dan Muhalla (5/95)] Dalil mereka:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah, keduanya tidak akan mengalami gerhana karena kematian seseorang atau karena kehidupan seseorang, Apabila kalian melihat keduanya (mengalami gerhana) maka berdo’alah kepada Allah dan shalatlah sehingga kembali nampak seperti semula (HR al-Bukhari dan Muslim, dari Mughirah bin Syu’bah)

[lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 667]

Sebagaimana di dalam hadits disebutkan:

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya. (Muttafaqun ‘alaihi).

Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata: “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri, namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). [Al-Mughni, 3/323]

Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.6 [Ibnu Abidin (2/183) dan Bidayatul-Mujtahid (1/312). ] Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.

WAKTU SHALAT GERHANA

Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang. (Muttafaqun ‘alaihi).

AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA :

1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Apabila kalian melihat itu (gerhana) maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah (HR al-Bukhari, dari Aisyah)

2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi).

3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu'anhuma berkata:

Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).

4. Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu'anhuma, ia berkata:

Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri).

5. Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah Radhiallahu'anha berkata:

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri).

TATA CARA SHALAT GERHANA

Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu , ia berkata:

Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama. (Muttafaqun ‘alaihi).

Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu'anha, ia berkata :

Adalah Rasulullah saw. di hari terjadi gerhana matahari melakukan shalat; beliau bertakbir (ihram) lalu membaca (setelah al-Fatihah) dengan bacaan yang sangat panjang lalu ruku’ dengan ruku’ yang panjang lalu i’tidal sambil membaca sami’allahu liman hamidahu dan tetap berdiri lalu kembali membaca (al-Qur’an) namun lebih pendek dari bacaan pertama (sebelum ruku’), lalu ruku’ kembali namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, lalu beliau sujud dengan sujud yang lama (dua kali), dan beliau melakukan cara serupa pada rakaat berikutnya kemudian mengucapkan salam dan gerhana pun berlalu”. HR. al-Bukhari dan Muslim)

[lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal.341 dan 345 ; Bulughul Maram, hal. , subulus Salam 1, hal. 769]

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menjelaskan cara shalat gerhana sebagai berikut :

Apabila mau melaksanakan shalat gerhana, maka diserukan :

اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً

shalat dengan berjamaah”

Imam Shalat dengan manusia di masjid dua rekaat dimana pada setiap rekaat ia ruku’ dua kali. Yang pertama dari kedua ruku’nya itu lebih lama dari pada ruku’ yang kedua. Dan ia tidak mengeraskan bacaan.

Pada berdiri yang pertama dari reka’at pertama ia membaca Al-Fatihah dan Al-Baqarah, dan pada berdiri yang kedua ia membaca Al-Fatihah dan Ali-Imran.

Pada berdiri yang ketiga (berdiri yang pertama pada rekaat kedua) ia membaca Al-Fatihah dan surat An-Nisa’, dan pada berdiri yang keempat (berdiri yang kedua dari rekaat yang kedua) ia membaca Al-Fatihah dan Al-Maidah atau yang seukuran itu dari Al-Quran yang dikehendakinya.

Seandainya pada setiap berdiri ia mencukupkan diri pada Al-Fatihah maka cukuplah shah baginya. Dan seandainya ia mencukupkan diri dengan surat-surat pendek (setelah Al-Fatihah) maka tidak mengapa.

Tujuan pemanjangan itu adalah terus menerusnya shalat sampai terang.

Pada ruku’ yang pertama ia membaca tasbih sekitar (lama) seratus ayat dan pada ruku’ yang kedua membaca tasbih sekitar lama delapan puluh ayat.

Pada ruku’ yang ketiga sekitar lama tujuh puluh ayat dan pada yang keempat sekitar lima puluh ayat.

Dan hendaklah sujud itu menurut ukuran ruku’ pada setiap rekaat.

Kemudian setelah shalat ia khutbah dua kali dengan duduk di antara keduanya. Dan ia menyuruh manusia untuk bersedekah, memerdekakan hamba sahaya dan bertaubat.

Demikian juga ia lakukan dengan gerhana bulan, hanya saja ia membaca dengan keras karena shalat itu di waktu malam.

Adapun waktunya adalah ketika mulainya gerhana matahari sampurnanya terang (jelas). Dan waktunya keluar dengan terbenamnya matahari dengan gerhana.

[Kitab Ihya Ulumiddin 1, hal. 668].


Sumber : www.bukhari.or.id

Sumber Tambahan :

-Ringkasan Kitab Al-Umm, Imam Syafi’i

-Kitab Ihya Ulumiddin, Imam Ghazali

- Kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani

- Kitab Subulus Salam, Imam Ash-Shan’ani

**Slawi, Juli 2009

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...