Rabu, 25 Juli 2018

AIR NAJIS

AIR NAJIS
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

ان الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Air Yang Terkena Najis
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan :
Fuqaha berbeda pendapat tentang air yang bercampur dengan benda najis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa air itu, baik banyak atau sedikit, tetap suci. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian riwayat Malik dan ulama Zhahiri. Sebagia fuqaha membedakan antara volume air yang sedikit dan yang banyak. Mereka memandang bahwa jika air itu sedikit dapat menjadi mutanajis dan jika air itu banyak tidak dapat menjadi mutanajis.
Yang menjadi sebab perselisihan pendapat diantara fuqaha adalah perbedaan persepsi terhadap beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Diantaranya adalah :
1.     Hadits dari Abu Hurairah RA, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Apabila kalian bangun tidur maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam wadah, sebelum dia mencucinya 3 kali, karena dia tidak mengetahui dimana tangannya semalam berada.” (HR. Bukhari dan Muslim 278).
Dari Hadits ini dapat dipahami bahwa benda najis yang sedikit dapat berakibat mutanajisnya air yang sedikit.

2.    Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» -
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya."
(HR. Bukhari, Muslim)

Arti lahir hadits ini menunjukkan bahwa najissedikit dapat menjadikan air yang sedikit menjadi mutanajis. Demikian juga hadits Nabi tentang larangan bagi orang yang junub mandi dalam air yang tidak mengalir.

3.    Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ, فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ; فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Arti lahir hadits ini menunjukkan bahwa najis tidak merusak kesucian air yang volumenya sedikit. Hal ini dapat diketahui bahwa tempat yang terkena kencing itu sudah dapat dianggap suci setelah disiram dengan air satu ember.

4.    Dari Abu Said Al Khudri RA, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَتَوَضَّأُ مِنْ ... بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلابِ وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ ... رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -:  «الْمَاءُ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» . رَوَاهُ أَحْمَدَ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدِيثُ بِئْرِ بُضَاعَةَ صَحِيحٌ
"Wahai Rasulullah, Apakah kita akan berwudhu dengan memakai air sumur Budho'ah? Sedangkan sumur tersebut biasa di airi air hujan, yang membawa kain bekas darah haid, daging-daging anjing, dan kotoran manusia? "Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun. " (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, ia mengatakan “hadits hasan”. Ahmad bin Hanbal mengatakan “hadits sumur budha’ah shahih” ; Nailul Authar no. 22)

Dalam masalah ini para ulama bermaksud menggabungkan hadits-hadits di atas dengan cara dan metode yang berbeda-beda.
Ulama yang berpegang pada hadits ketiga dan keempat menganggap hadits pertama dan kedua tidak dapat dipahami maksudnya. Atau, maksud kedua hadits itu dianggap sebagai ta’abbud, bukan karena air itu najis. Bahkan pendapat sebagian ulama zhahiri tentang masalah ini sangat berlebihan. Menurut mereka jika ada orang yang menyiram kencingnya dengan satu gelas air minum, maka air tidak makruh digunakan untuk mandi atau wudhu.
Mereka yang berpendapat air sedikit jika terkena najis makruh digunakan adalah berdasarkan pengertian gabungan dari keempat hadits di atas. Hadits pertama dan kedua dipahami sebagai makruh, sedang hadits yang ketiga dan keempat dipahami sebagai mencukupi, maksudnya sah dan sempurna. [Bidayatul Mujtahid 1/40].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Adapun jenis air yang bernajis dalam hal ini terdapat dua keadaan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, bila najis itu mengubah salah satu dari rasa, warna atau baunya. Berdasarkan kondisi ini maka para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
Kedua, bila air itu tetap dalam keadaan mutlak. Dengan kata lain, salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya adalah suci dan mensucikan, baik air itu sedikit atau banyak. Alasannya adalah hadits dari Abu Hurairah RA,
Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)

Juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri RA,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan, "Wahai Rasulullah, Apakah kita akan berwudhu dengan memakai air sumur Budho'ah? Sedangkan sumur tersebut biasa di airi air hujan, yang membawa kain bekas darah haid, daging-daging anjing, dan kotoran manusia? "Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun. " (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, ia mengatakan “hadits hasan”. Ahmad bin Hanbal mengatakan “hadits sumur budha’ah shahih” ; Nailul Authar no. 22)

Ini juga merupakan pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Bashri, Ibnu Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Tsauri, Dawud azh-Zhahiri, Nakha’i, Malik, dan lain-lain.
Al-Ghazali berkata : “Saya berharap kiranya madzhab Syafi’i mengenai air akan sama dengan madzhab Malik”.
Adapun hadits,
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» وَفِي لَفْظٍ " لَمْ يَنْجُسْ " أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban, Bulughul Maram no.4).

Maka ini adalah hadits mudhtharib, artinya hadits tidak jelas, baik dari segi sanad maupun matannya.
Ibnu Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid berkata, “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kullah adalah pendapat yang lemah dari segi penyelidikan dan tidak berdasarkan pada alasan yang kuat”.
[Fiqih Sunnah 1/16].

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits berikut :
Dari Abu Umamah Al Bahili Radliallahu ‘anhu ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ» أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ - وَلِلْبَيْهَقِيِّ «الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ»
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu (suci) tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali apabila telah berubah baunya atau rasanya atau warnanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan telah di-dlaif-kan oleh Abu Hatim,).
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya."  (Bulughul Maram no.3).
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab subulussalam :
قَالَ " ابْنُ الْمُنْذِرِ ": أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ وَالْكَثِيرَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ لَهُ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رِيحًا فَهُوَ نَجِسٌ
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa air sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh kedalamnya lalu merubah rasa, warna atau baunya, maka air itu najis, [Subulussalam 1/42]

Kesimpulan
  1. Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa air sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh kedalamnya lalu merubah rasa, warna atau baunya, maka air itu najis.
  2. Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa air sedikit dan banyak jika tidak terkena najis yang jatuh kedalamnya, maka air itu suci dan mensucikan.

Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...