Sabtu, 25 Juni 2016

LAILATUL QADAR

LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN

Oleh : Masnun Tholab

www.masnuntholab.blogspot.com

 

Pendahuluan

Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya adalah karena pada bulan itu terdapat malam yang sangat agung yaitu malam Lailatul Qadar. Malam lailatul Qadar adalah malam diturunkannya Al-Quran, dimana pada pada malam tersebut Allah melimpahkan berkahNya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, “ (QS. Ad Dukhaan: 3-5)
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ  -وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ  -لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ  -تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ  -سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) keselamatan hingga terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)
Alangkah agungnya (kedudukan) malam tersebut dibandingkan malam yang lain, alangkah mulia kebaikannya, dan alangkah melimpahnya keberkahan di malam tersebut.
Mengingat begitu besar keagungan dan keberkahan malam Lailatul Qadar itu, maka amat beruntunglah orang-orang yang mendapatkannya.

 

 

Pengertian Dan Keutamaan Lailatul Qadar

Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةُ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an. Deskripsi tentang keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al Qadar, surat ke-97 dalam Al Qur'an.

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang paling utama sepanjang tahun, berdasarkan firman Allah ta’ala,

"Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
(QS. Al-Qadr [97] : 1-3)
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa beribadah di malam lailatul Qadar lebih baik dan lebih besar pahalanya dari pada beribadah selama seribu bulan (83 tahun) pada bulan-bulan lainnya.

 

Kapankah Lailatul Qadar itu?

Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam menentukan malam ini. Hal itu disebabkan karena banyaknya hadits tentang malam datangnya Lailatul Qadar itu.

1.     Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang sah dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,

 

كَانَ مُتَحَرَّبَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Barangsiapa mencarinya, hendaklah dicari pada malam ke dua puluh tujuh” (HR. Ahmad).

 

2.    Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Rhadiallahu ‘anhuma,

عَنْ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Mengenai lailatul qadar, yaitu malam dua puluh tujuh”. (HR. Abu Daud).

 

3.    Dari Sa’id Al-Khudri, ia berkata,

إَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ. ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ على سُدَّتِهَا حَصِيْرٌ. قال: فَأَخَذَ الْحَصِيْرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ. ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ. فَدَنَوْا مِنْهُ. فقال:

"إني اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ. أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ. اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. ثم أُتِيْتُ. فَقِيْلَ لِي: إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ. فمن أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ" فاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ. قال: "وإِنِّي أُرِيْتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ، وأني أَسْجُدُ صَبِيْحَتِهَا في طِيْنٍ وَمَاءٍ" فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ، وقد قام إلى الصُّبْحِ. فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ. فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ. فَأَبْصَرْتُ الطِّيْنَ والْمَاءَ. فَخَرَجَ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَجَبِيْنُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيْهِمَا الطِّيْنُ والْمَاءُ. وإذا هي ليلةُ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ من الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ.

Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada 10 hari pertama dari Ramadhan, kemudian beri’tikaf pada 10 hari pertengahan di Qutbah Turki (kemah kecil), sementara di pintunya terdapat tikar, lalu beliau mengambil tikar itu dengan tangannya, lantas memindahkannya ke sudut Qutbah tadi, kemudian beliau mengulurkan kepalanya sembari berbicara kepada manusia, merekapun mendekatinya. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya aku telah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul Qadar). Kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahannya, lalu aku di datangi oleh malaikat Jibril, lalu dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya ia ada pada sepuluh hari terakhir’. Karena itu siapa saja diantara kalian yang ingin beri’tikaf, maka beri’tikaflah”. Lalu orang-orangpun beri’tikaf bersama beliau. Beliau juga mengatakan, “Dan sungguh aku telah bermimpi (bahwa itu) pada malam ganjil, yang mana aku bersujud pada pagi harinya dalam keadaan berlumuran dengan tanah dan basah dengan air, ”Dan ternyata, pada malam ke dua puluh satu, di pagi harinya ketika aku melaksanakan shalat subuh, langit mengguyurkan hujan, masjidpun bocor sehingga aku melihat tanah dan air. Beliau keluar setelah shalat subuh, sementara kedua alis dan ujung hidungnya ada tanah dan air. Itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh hari terakhir,” (Muttafaq ‘alaih).

 

4.    Dari Abdullah bin Unais, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

رَأَيْتُ ليلةَ القدرِ ثم أُنْسِيْتُهَا. وَأَرَانِي صَبِيْحَتَهَا أَسْجُدُ في ماءٍ وطِّيْنٍ" قال: فَمُطِرْنَا ليلةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ فَصَلِّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَانْصَرَفَ وَإِنْ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ على جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ. قال: وكان عبدُاللهِ بْنُ أُنَيْسٍ يقول: ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ.

 

“Aku telah melihat Lailatul Qadar tapi kemudian aku lupa. Aku bermimpi sujud pada pagi harinya dengan air dan tanah”. Kemudian kami diguyur hujan pada malam ke dua puluh tiga, lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengimami kami salta, lalu berbalik, ternyata ada bekas air dan tanah pada dahi dan hidung beliau,”. Abdullah bin Unais mengatakan, ‘Dua puluh tiga’. (HR. Ahmad dan Muslim).

 

5.    Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan”. (HR. Muslim).

 

6.    Dari Ibnu Abbas Rhadiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

 

اَلْتَمِسُوْهَا في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ ، لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، في تَاسِعَةٍ تَبْقَى، في سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

 “Carilah itu pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, Lailatul Qadar (Sangat mungkin) pada malam kesembilan terakhir, malam ketujuh terakhir, malam ke lima terakhir” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Abu Daud).

[Nailul Authar 2, hal. 429-433}.

 

Dan hadits-hadits lainnya.

 

Pendapat Para Ulama

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :

Dari berbagai pendapat, nampaknya yang kuat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada tujuh hari terakhir. Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitab Fath Al-Bari, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dia atas, “Dan pendapat yang paling kuat dari semuanya, bahwa Lailatul Qadar terjadi pada hari-hari ganjil dari sepuluh hari terakhir, dan ia berpindah-pindah sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits bab ini, dan menurut Asy-Syafi’iyah bilangan witir (ganjil) yang paling tepat yaitu 21, 23 sebagaimana disebutkan dalam hadits Said dan hadits Abdullah bin Unais, Sedangkan menurut jumhur ulama yang paling mungkin ialah pada tanggal 27.

[Subulussalam 2, hal. 274].

 

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan:  Kebanyakan mereka berpendapat bahwa jatuhnya adalah pada malam ke dua puluh tujuh.

[Fiqih Sunnah 2, hal. 83]

 

Imam Asy-Syaukani berkata : Asy-Syafi’i berkata, “Menurutku riwayat yang paling kuat tentang Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh satu”

[Nailul Authar 2, hal. 435}.

 

Zainudin Al-Malibari dalam kitab fathul Mu’in berkata : Menurut Imam Syafi’i malam ganjil yang paling dapat diharapkan ialah malam ke dua puluh satu dan ke dua puluh tiga, Imam Nawawi dan lainnya telah memilih bahwa (lailatul Qadar) berpindah-pindah.

 

Menurut hasil penelitian Imam Ghazali adalah sebagai berikut :

1.     Kalau puasa dimulai hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29 Ramadhan.

2.    Kalau puasa dimulai hari Senin, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadhan.

3.    Kalau puasa dimulai hari Selasa atau Jum’at, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan.

4.    Kalau puasa dimulai hari Kamis, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadhan.

5.    Kalau puasa dimulai hari Sabtu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadhan.

[Fathul Mu’in 1, hal. 658].

 

Tanda-tanda Lailatul Qadar

Dari Ubadah bin Shomit, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيْهَا قَمْرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةً سَجِيَّةً، لَا بَرَدَ فِيْهَا وَلَا حَرَّ، ولا يَحِلُّ لِكَوْكَبَ يُرْمَى بِهِ فِيْهَا حَتَّى تُصْبِحُ. وأن أَمَارَتَهَا أن الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تُخْرِجُ مُسْتَوِيَةً، لَيْسَ لَهَا شَعَاعٌ مِثْلُ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانَ أن يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ"

Tanda malam Lailatul Qadar suasana malam bersih bening terang seakan-akan  ada bulan, tidak terasa dingin atau panas, dan tidak ada bintang yang dilemparkan kepada setan, hingga fajar, dan matahar terbit tiada bercahaya panas dan tajam, seakan-akan bagaikan bulan purnama.

[Tafsir Ibnu Katsir 8, hal. 407].


Dari Ubay radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR Muslim 762).

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231).

 

Imam Ash-Shan’ani berkata :

Dikatakan, bahwa tanda-tanda Lailatul Qadar bagi yang mengetahuinya, ia melihat segala sesuatu bersujud. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan melihat cahaya-cahaya yang terang ingá ke tempat-tempat yang gelap. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan mendengar salam atau sapaan para malaikat. Ada juga yang mengatakan bahwa tandanya ialah terkabulnya doa bagi orang yang mendapatinya. Ath-Thabari berkata, ”Semua itu tidak bersifat pasti, karena terkadang seseorang itu (mendapat Lailatul Qadar), namun ia tidak melihat dan tidak pula mendengar apapun.

[Subulussalam 2, hal. 274].


Beribadah pada Malam Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قاَمَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau” (HR. Jamaah, kecuali Ibnu Majah)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa dia bertanya:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: " قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah

aku)." Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim.
[Bulughul Maram ,hal. ; Al-Adzkar, hal. 314].

Penutup
Allah Subhanahu wata’ala dengan kemurahannya telah menganugerahkan malam yang begitu agung, yaitu malam Lailatil Qadar kepada kita. Dia memberi kesempatan kepada kita untuk melipatgandakan nilai ibadah kita dengan beribadah di malam itu. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkannya.



Sumber Rujukan :
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006.
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darul Ihya’ Indonesia, 2008.




*Slawi, Ramadhan 1431 H.

Kamis, 23 Juni 2016

HUKUM MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN TANPA ALASAN

HUKUM MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN TANPA ALASAN
Oleh : Masnun Tholab

Segala Puji bagi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Hukum Puasa Ramadhan
Hukum Puasa Ramadhân sudah sangat dikenal oleh umat Islam, yaitu wajib, berdasarkan al-Qur’ân, al-Hadits, dan Ijma’. Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa Ramadhân, maka dia menjadi kafir. (Lihat al-Wajîz, hlm. 189)
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:183]
Puasa Ramadhân merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Laa ilaaha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân”. [HR. al-Bukhâri, no. 8; Muslim, no. 16]
Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Râjihi -hafizhahullâh- berkata, “Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa (Ramadhân), maka dia kafir, murtad dari agama Islam. Karena dia telah mengingkari satu kewajiban besar dan satu rukun dari rukun-rukun Islam, serta satu perkara yang diketahui dengan pasti sebagai ajaran Islam. Barangsiapa mengakui kewajiban puasa Ramadhân dan namun dia berbuka dengan sengaja tanpa udzur, berarti dia telah melakukan dosa besar, dia dihukumi fasik dengan sebab itu, namun tidak dikafirkan menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat Ulama. Dia wajib berpuasa, dan Penguasa muslim (harus) menghukumnya dengan penjara atau dera atau kedua-duanya. Sebagian Ulama berkata, “Jika seseorang berbuka puasa Ramadhân dengan sengaja tanpa udzur, dia menjadi kafir”. [Ilmâm bi Syai-in min Ahkâmis Shiyâm, hlm. 1]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menggambarkan siksa pedih yang akan menimpa orang-orang yang meninggalkan atau meremehkan puasa Ramadhan.
Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ الدَّهْرَ كُلَّهُ
 “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan) keringanan yang Allâh berikan kepadanya, maka tidak akan diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu Khuzaimah, no.1987; dll]
Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada perawi yang tidak dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.
Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari Nabi) akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang menguatkannya.
Diriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَقِيَ اللَّهَ بِهِ، وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun dia berpuasa setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya”. [Riwayat Thabarani, no. 9459, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat yang marfû’ didha’ifkan. Lihat Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275]
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مُتَعَمِّدًا لَمْ يَقْضِهِ أَبَدًا طُولُ الدَّهْرِ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Riwayat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata :
لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَوْمُ سَنَةٍ
Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya. [Riwayat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman dera (pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan Ramadhân, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat :
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَرْوَانَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أُتِيَ بِالنَّجَاشِيِّ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي رَمَضَانَ, فَضَرَبَهُ ثَمَانِينَ, ثُمَّ ضَرَبَهُ مِنْ الْغَدِ عِشْرِينَ, وَقَالَ: ضَرَبْنَاكَ الْعِشْرِينَ لِجُرْأَتِكَ عَلَى اللَّهِ وَإِفْطَارِكَ فِي رَمَضَانَ.
Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa An-Najasyi dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau berbuka di bulan Ramadhân”. [Riwayat Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla, 6/184]
Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa meninggalkan puasa sehari di bulan Ramadhan tanpa udzur merupakan dosa besar, maka bagaimana jika meninggalkan puasa sebulan penuh? Tentu dosanya lebih besar.

Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim yang mengetahui orang yang tidak berpuasa tanpa alasan syar'i untuk menegurnya dan menasihatinya. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan apabila ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." [HR. Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu]

Hukum Membuka Warung Di Siang Hari Bulan Ramadhan
Diatas sudah diuraikan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan tana alasan syar’i adalah perbuatan dosa besar. Oleh harena itu membuka warung makan di siang hari bulan Ramadhan serta menjual makanan kepada orang-orang yang tidak memiliki alasan syar'i untuk berbuka puasa, seperti bukan karena haid, nifas, musafir dan orang sakit, maka termasuk kemungkaran, karena membantu orang lain untuk berbuat dosa.

Salah seorang ulama mazhab Syafi'i, Asy-Syaikh Abu Bakr Ad-Dimyathi Asy-Syafi'i rahimahullah berkata,
وذلك كبيع الدابة لمن يكلفها فوق طاقتها، والأمة على من يتخذها لغناء محرم، والخشب على من يتخذه آلة لهو، وكإطعام مسلم مكلف كافرا مكلفا في نهار رمضان، وكذا بيعه طعاما علم أو ظن أنه يأكله نهارا
"Yang demikian itu (sebagai contoh menjual barang yang dapat mengantarkan kepada maksiat) seperti menjual hewan tunggangan yang akan dibebani melebihi kemampuannya, budak wanita yang akan dipekerjakan untuk nyanyian yang haram, kayu untuk dibuat alat hiburan yang melalaikan, muslim mukallaf memberi makan kepada orang kafir mukallaf di siang hari Ramadhan, demikian pula menjual makanan kepada orang yang ia ketahui atau ia sangka akan memakannya di siang hari Ramadhan." [I'aanatut Thaalibin, 3/30]
Ulama mazhab Syafi'i yang lain, Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar Al-Azhari rahimahullah menyebutkan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Asy-Syihab Ar-Romli rahimahullah,
يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَسْقِيَ الذِّمِّيَّ فِي رَمَضَانَ بِعِوَضٍ أَوْ غَيْرِهِ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ إعَانَةً عَلَى مَعْصِيَةٍ
"Haram atas seorang muslim memberi minum kepada orang kafir yang tinggal di negeri muslim pada siang hari Ramadhan, apakah dengan cara dijual atau dengan cara lain, karena itu berarti menolong dalam kemaksiatan." [Haasyiatul Jamal 'ala Syarhi Manhajit Thullaab, 5/226]

Fatwa Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia,
لا يجوز فتح المطعم في نهار رمضان للكفار ولا خدمتهم فيه؛ لما فيه من المحاذير الشرعية العظيمة، من إعانة لهم على ما حرم الله، ومعلوم من الشرع المطهر أن الكفار مخاطبون بأصول الشريعة وفروعها، ولا ريب أن صيام رمضان من أركان الإسلام، وأن الواجب عليهم فعل ذلك مع تحقيق شرطه وهو الدخول في الإسلام
"Tidak boleh membuka rumah makan di siang hari Ramadhan untuk orang-orang kafir dan membantu mereka untuk makan, karena itu sangat terlarang dalam syari'at, yaitu menolong mereka untuk melakukan apa yang Allah haramkan, karena dimaklumi bahwa orang-orang kafir pun diperintahkan untuk mengamalkan pokok syari'at dan cabangnya, dan tidak diragukan lagi bahwa puasa Ramadhan termasuk rukun Islam, maka wajib atas mereka berpuasa dengan memenuhi syarat puasa, yaitu masuk Islam." [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/37 no. 17717]

Kesimpulan
1.     Para Ulama sepakat bahwa meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur adalah dosa besar.
2.    Mayoritas ulama berpendapat haram menjual makanan di siang hari bulan Ramadhan.

Wallahu a’lam.


Sabtu, 18 Juni 2016

SHALAWAT DALAM SHALAT

SHALAWAT DALAM SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Renungan
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab berkata : Imam Syafi’I berkata :
إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي
"Apabila kalian mendapatkan di kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jadikanlah sunnah Rasulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." (An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ 1/63; lihat Al-Harawi di kitab Dzammu Al-Kalam 3/47/1,)

Dalil dan Pengertian Shalawat
QS. Al-Ahzab 33 : 56
إِنَّ اللهَ وَمَلََائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
قال البخارى : قال ابو العالية : "صلاةُ اللهِ تعالى ثَنَاؤُهُ عليه عند الملا ئكةِ, وصلاةُ الملا ئكةِ الدعاءُ"
Bukhari berkata, “Kata Abu Aliyah, ‘Shalawat Allah terhadap Nabi adalah pujian dan sanjungan-Nya terhadapnya di depan malaikat, sedang shalawat dari malaikat berarti doa mereka. [Fiqih Sunnah 2, hal. 281].

Hukum Membaca Shalawat Dalam Shalat
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
فلم يكن فرض الصلاةَ عليه في مَوْضِع أولى منه في الصلاةِ ووجدْنَا الدَّلَالَةَ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بِمَا وَصَفَتْ من أن الصلاةَ على رسولِه صلى الله عليه وسلم فرض في الصلاةِ والله تعالى أعلم
Maka tidak ada tempat yang lebih utama untuk bershalawat selain pada shalat, sebagaimana yang disyaratkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa bershalawat kepadanya ketika shalat adalah fardhu. Wallaahu a’lam.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 183;l ihat Bidayatul Mujtahid 1, hal. 290; lihat Al-Adzkar, hal. 109; lihat Tafsir Imam Syafi’i 3, hal. 319].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Hukum membaca Shalawat ke atas Nabi ini tidak wajib, tetapi sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dinyatakan shahih, begitu pula Ahmad dan Abu Dawud, dari Fudhalah bin Ubaid yang berkata,
“Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki yang tengah membaca doa dalam shalatnya dan ternyata dia tidak membaca shalawat ke atas Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang ini tergesa-gesa’ Kemudian Nabi memanggil orang itu, lalu berkata kepadanya atau kepada lainnya, ‘Apabila salah seorang diantara kamu mengerjakan shalat, hendaklah mulainya dengan memuji Allah, kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu hendaklah ia membaca menurut apa yang telah ditentukan Allah’” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud)
Selanjutnya Sayyid Sabiq mengutip pendapat As-Saukani yang mengatakan, “Aku tidak menemukan dalil yang kuat dalam masalah kewajiban membaca shalawat”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 244].

Ibnu hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari Rhadiallaahu ‘anhu dimana dia berkata,
قَالَ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَمَرَنَا اَللَّهُ أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ , فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ ? فَسَكَتَ , ثُمَّ قَالَ : " قُولُوا : اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ , وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ , وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ , وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي اَلْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ . وَالسَّلَامُ كَمَا عَلَّمْتُكُمْ

“Basyir Ibnu Sa'ad bertanya: Wahai Rasulullah, Allah memerintahkan kepada kami untuk bersholawat padamu, bagaimanakah cara kami bersholawat padamu? beliau diam kemudian bersabda: "Ucapkanlah: (artinya = Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim. Di seluruh alam ini Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung), kemudian salam sebagaimana yang telah kamu ketahui." Diriwayatkan oleh Muslim 405.. Dalam hadits tersebut Ibnu Khuzaimah menambahkan: "Bagaimanakah cara kami bersholawat padamu, jika kami bersholawat padamu pada waktu sholat."
[Bulughul Maram, hal. 129].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalaam berkata :
والحديثُ دليلٌ على وجوبِ الصلاةَ عليه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم في الصلاةِ؛ لظاهِرِ الْأمْرِ، أعْنِي: "قولوا" وإلى هذا ذهب جماعةٌ من السلفِ، والأئمةِ، والشافعِي، وإسحقَ، ودليلُهم: الحديثُ مع زيادتِهِ الثابِتَةِ
Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya membaca shalawat kepada Nabi Muhammad  Shallallaahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat, berdasarkan zahir hadits di atas, yakni sabda beliau, “Ucapkanlah”, inilah pendapat beberapa ulama salaf, beberapa imam, Syafi’i dan Ishaq, dalilnya adalah hadits ini dan beberapa tambahan yang telah diyakini kesahihannya.
[Subulussalam 1, hal. 515].

Asy-Syaukani berkata :
Sabda beliau di dalam hadits tadi (”ucapkanlah”) dijadikan dalil sebagai dalil wajibnya bershalawat untuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah tasyahud. Ini adalah pendapat Umar dan putranya, Ibnu Mas’id, Jabir bin Zaid, Syafi’’I, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurdhi, Abu Ja’far Al Baqir, Hadi, Qasim, Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Ibnu Mawazi, Abu Bakar bin Arbi.
Namun jumhur berpendapat tidak wajib. Yang berpendapat demikian adalah Malik, Abu Hanifah dan para pengikutnya, Tsauri, Auza’I, Ahlul Bait dan lainnya. Ath-Thabari dan Thahawi berkata : Sudah menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama Mutaqoddimin dan Mutaakhirin bahwa membaca shalawat itu tidak wajib.
[Nailul Authar 2/200 (1/547)].

Bacaan Shalawat Dalam Shalat
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untukmu, yakni dalam shalat?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab’ “Ucapkanlah,
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ , وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ , وَ آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ثُمَّ تُسَلِّمُوْنَ عَلَيَّ
‘Ya Allah berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau memberi rahmat kepada Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim’ kemudian kamu mengucapkan salam kepadaku,” (HR. Abu Dawud no. 96)
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 183; Musnad Syafi’i 1, hal. 212].

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin  berkata :
Sekurang-kurangnya dalam membaca Shalawat kepada Nabi dengan membaca :
‏"‏ اللَّهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّدٍ" او " صَلّى الله عَلَى رَسُولِهِ"
‘Ya Allah berilah rahmat kepada Muhammad” atau ”Semoga Allah menyampaikan salam kepada RasulNya”
Adapun bacaan tasyahud yang paling sempurna yaitu :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ , وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ , إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
”Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluargan Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia" (HR. Bukhari)
[Raudhatuth Thalibin  1/  (1/566)]

Imam Ghazali dalam kitab Ihya ’Ulumiddin mengutip hadits dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam, dimana ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untukmu?”
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab’ “Ucapkanlah,
اللَّهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَعَلى آلِه وَأزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِه، كما صَلَّيْتَ على  ابْرَاهِيمَ وَ آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبارِكْ على مُحَمَّدٍ وَأزْوَاجِهِ وَذُرّيَّتِهِ، كما بارَكْتَ على إِبْرَاهِيمَ وَ آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
 ‘Ya Allah limpahkanlah rahmat atas, Muhammad, hambaMu, dan atas keluarganya dan isteri-isterinya serta keturunannya, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas Ibrahim dan keluarganya. Berkatilah Muhammad, dan isteri-isterinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia,”” (HR. Abu Dawud)
[Ihya ‘Ulumiddin 1, hal. 418].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Disunnatkan membaca shalawat pada tasyahud akhir dengan sesempurna mungkin, yaitu :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ , وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ , إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
”Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluargan Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia"
[Fathul Mu’in 1, hal. 218[.

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip hadits-hadits tentang shalawat berikut :
Dari Abu Mas’ud,ia berkata, ”Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami ketika kami sedang berada di Majlis Sa’d bin Ubadah, lalu Basyir bin Sa’d berkata kepada beliau, ”Allah ta’ala telah memerintahkan kami untuk bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat kepadamu?” Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam terdiam, sampai-sampai kami berandai-andai, sekiranya saja ia tidak bertanya kepada beliau tentang itu, tetapi kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Ucapkanlah,
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
ولأحمد في لفظ آخر نحوه وفيه‏:‏ ‏فكيف نصلي عليك إذا نحن صلينا في صلاتنا‏
”Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas keluarga Ibrahim. Berkatilah Muhammad dan keluargan Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia", sedang tentang salam, kalian sudah tahu’” (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia menshahihkannya)
Dalam riwayat Ahmad pada lafadz lainnya dituturkan seperti itu, dan di dalamnya terdapat redaksi : “Lalu bagaimana kami bershalawat untukmu apabila kami bershalawat di dalam shalat kami?”

Dari Ka’ab bin ’Ujrah, ia berkata, ” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami, lalu kami berkata, ’Wahai Rasulullah, kami telah mengerti –atau telah mengetahui- tentang mengucapkan salam penghormatan kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ’Ucapkanlah :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ, َللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ  وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ , كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ, إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
”Ya Allah limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Berkatilah Muhammad dan keluargan Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia" (HR. Jamaah)

Kesimpulan :
  1. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mebaca shalat dalam shalat, sebagian berpendapat wajib, sebagian berpendapat sunnah.
  2. Shalawat yang dibaca dalam shalat boleh memilih salah satu dari shalawat-shalawat yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang sahih.

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darl Ihya’ Indonesia, 2008.
-Syaikh Ahmad Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...