Senin, 31 Januari 2011

DUDUK DI KUBURAN DAN BERJALAN DI PEKUBURAN

DUDUK DI KUBURAN DAN BERJALAN DI PEKUBURAN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hokum duduk di atas kuburan dan berjalan di perkuburan. Sebagian ada yang mengharamkannya, ada pula yang sekedar menganggapnya makruh, namun ada pula yang membolehkannya.
Di bawah ini penulis tuliskan beberapa hadits dan pendapat para ulama tentang masalah tersebut.

Hadits 1
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قال‏:‏ ‏(‏خَرَجْنَا مع رسولِ اللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم في جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إلى الْقَبْرِ وَلَمْ يُلْحَدْ بَعْدُ فَجَلَسَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَجَلَسْنَا مَعَهُ‏)‏‏.‏ رواه أبو داود‏.‏
Dari Al Bara’ bin ‘Azib, ia menuturkan, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengurusi jenazah seorang laki-laki Anshor. Ketika kami sampai di kuburan, liang lahad belum dibuatkan, lalu Rasulullah Shallallallaahu ‘alaihi wasallam duduk menghadap kearah kiblat, dan kamipun duduk bersama beliau” (HR. Abu Dawud).

Hadits 2
وعن أبي هريرة قال‏:‏ ‏(‏قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم‏:‏ لِأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ على جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إلى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ على قَبْرٍ‏)‏‏.‏ رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي‏.‏
Dari Abu hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduknya seorang diantara kalian di atas bara api sehingga membakar pakaiannya yang menembus hingga kulitnya adalah lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan,” (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata :
قوله‏:‏ ‏(‏لأن يجلس أحدكم‏)‏ الخ فيه دليل على أنه لا يجوز الجلوس على القبر وقد تقدم النهي عن ذلك
Sabda beliau Duduknya seorang diantara kalian menunjukkan tidak bolehnya duduk di atas kuburan.
[Nailul Author 2, hal. 221]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
والقول بالحرمة مذهب ابن حزم , لما ورد فيه من الوعيد , قال : وهو قول جماعة من السلف , منهم أبو هريرة
Pendapat yang mengharamkannya adalah mazhab Ibnu hazm, karena pada hadits ini terdapat ancaman. Katanya, itu juga merupakan pendapat segolongan ulama salaf yang termasuk di dalamnya Abu hurairah.
Selanjutnya beliau berkata :
ومذهب الجمهور : أن ذلك مكروه قال النووى : عبارة الشافعى فى الأم, وجمهور الأصحاب فى الطرق كلها : أنه يكره الجلوس , وأرادوابه كراهة التنزيه , كما هو مشهور فى استعمال الفقهاء , وصرح به كثير منهم
Sedangkan menurut jumhur hukumnya hanya makruh. Nawawi berkata’ “Melihat gelagat ucapan Syafi’I dalam al-Umm, begitu juga golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk di atas kubur, maksud larangan itu adalah makruh, sebagaimana biasanya terdapat dalam pengertian fuqaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas”.
وذهب ابن عمر من الحابة وابو حنيفة ومالك إلى جوازالقعود على القبر , قال فى الموطأ : إنما نهى عن القعود على القبر فيما نرى "نظن" للذهب يقصد لقضاء حاجة الإنسان من البول أو الغائط. وذكر فى ذلك حديثا ضعيفا
Sebaliknya, Ibnu Umar dari segolongan sahabat, Abu hanifah dan Malik menyatakan boleh duduk di kubur. Katanya dalam Al-Muwatha’, “Menurut pendapat kami, larangan duduk di atas kubur itu adalah bagi orang yang bermaksud hendak buang air besar atau kecil. Keterangan ini adalah berdasarkan hadits dho’if”
[Fiqih Sunnah 2, hal. 190].

Ibnu Rusyd (Ulama mazhab Maliki) dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
واحتج من أجاز القعود على القبر بما روي عن زيد بن ثابت أنه قال "إنما نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الجلوس على القبور لحدث أو غائط أو بول" قالوا: ويؤيد ذلك ما روي عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من جلس على قبر يبول أو يتغوط فكأنما جلس على جمرة نار" وإلى هذا ذهب مالك وأبو حنيفة والشافعي.
Ulama yang memperbolehkan duduk di atas kubur berpedoman pada pendapat dari Zaid bin Tsabit, dia berkata :
“Duduk di atas kubur yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah untuk membuang hadats, berak atau kencing”. Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa duduk di atas kubur lalu kencing atau berak, seolah dia duduk di atas api neraka,”
Hadits inilah yang dianut oleh Malik, Abu hanifah, dan Syafi’i.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 548]

Hadits 3
وعن عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ قال‏:‏ ‏(‏رَآنِي رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم مُتَّكِئًا على قَبْرٍ فقال‏:‏ لَا تُؤْذِ صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ أَوْ لَا تُؤْذِهِ‏)‏‏.‏ رواه أحمد‏.‏
Dari ‘Amr bin Hazm, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat aku sedang duduk bersandar di atas kubur, maka beliau bersabda, “Janganlah engkau menyakiti penghuni kubur ini” Atau beliau mengatakan, “Janganlah engkau menyakitinya” (HR. Ahmad)

Hadits 4
وعن بَشِيْرِ بْنِ الْخَصَّاصِيَّةِ‏:‏ ‏(‏أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم رَأَى رَجُلًا يَمْشِيْ في نَعْلَيْنِ بَيْنَ الْقُبُوْرِ فقال‏:‏ يَا صَاحِبَ السَّبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِهِمَا‏)‏‏.‏ رواه الخمسةُ إلا الترمذي‏.‏
Dari ‘Basyir bin Al Khashashiyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki berjalan di antara kuburan-kuburan dengan mengenakan sandal, maka beliau bersabda, “Wahai pemilik sandal kulit, tanggalkan sandalmu” (HR. Imam Yang Lima kecuali At-Tirmidzi)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata :
قوله‏:‏ ‏(‏السبتيتين‏)‏ قد تقدم تفسير ذلك
Sabda beliau Wahai pemilik sandal kulit, menunjukkan tidak boleh berjalan di antara kuburan-kuburan dengan mengenakan sandal.
[Nailul Author 2, hal. 221]

Hadits 5
وَلِمُسْلِمٍ عَنْهُ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ, وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ, وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyemen kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya. (HR. Muslim 970)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam mengatakan :
الحديث دليل على تحريم الثلاثة المذكورة لأنه الأصل في النهي.
Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan haramnya tiga perbuatan yang disebutkan dalam hadits itu, karena keharaman itulah yang terkandung dalam kalimat larangan itu.
Selanjutnya beliau berkata :
وقد وردت الأحاديث في النهي عن البناء على القبور والكتب عليها والتسريج وأن يزاد فيها وأن توطأ
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan tentang larangan membangun di atas kuburan, larangan memberi tulisan pada batu nisan dan memperindah kuburan, larangan menambah atau melebihkan dari sejengkal dan menginjak di atasnya.
[Subulussalam 1, hal. 870].

Zainudin Al-Malibari Al-Fanani (Ulama mazhab Syafi’i) dalam kitab fathul Mu’in berkata :
(و) كره (وطئ عليه) أي على قبر مسلم، ولو مهدرا قبل بلاء (إلا لضرورة)، كأن لم يصل لقبر ميته بدونه، وكذا ما يريد زيارته ولو غير قريب.
Makruh menginjak kuburan orang muslim, sekalipun kuburan orang yang mati dalam keadaan hina atau tercela (umpamanya meninggalkan salat atau pezina) sebelum mayatnya punah, kecuali karena darurat, umpamanya tidak dapat mengunur mayat ahlinya tanpa menginjak (kuburan tersebut). Keadaan darurat ini berlaku pula bagi yang bermaksud ziarah, sekalipun bukan ziarah ke kuburan kerabatnya (maka hukumnya tidak makruh).
وجزم شرح مسلم - كآخرين - بحرمة القعود عليه والوطئ، لخبر فيه يرده أن المراد بالجلوس عليه جلوسه لقضاء الحاجة، كما بينته رواية أخرى.
Adapun penetapan Syarah Muslim sama dengan yang lain-lainnya, yaitu haram hukumnya duduk di atas kuburan dan menginjaknya, berdasarkan hadits yang menolak keterangan di atas (ikhtilaf). Sesungguhnya yang dimaksud dengan “duduk di atas kuburan” ialah duduk untuk buang air besar atau kecil, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat lainnya.
[Fathul Mu’in 1, hal. 499-500].

Imam asy-Syafi'i berkata dalam kitab al-'Umm :
وأكره وطء القبر والجلوس والاتكاء عليه إلا أن لا يجد الرجل السبيل إلى قبر ميته إلا بأن يطأه فذلك موضع ضرورة فأرجو حينئذ أن يسعه إن شاء الله تعالى
"Aku menganggap makruh hukumnya menginjak kubur, duduk atau bersandar di atasnya, kecuali bila seseorang tidak menemukan jalan lain ke kubur yang ditujunya melainkan dengan menginjaknya. Kondisi tersebut adalah darurat, aku harap ia mendapat keluasaan (dispensasi), insya Allah."
وقال بعض أصحابنا لا بأس بالجلوس عليه وإنما نهى عن الجلوس عليه للتغوظ
قال الشافعي: وليس هذا عندنا كما قال وإن كان نهى عنه للمذهب فقد نهى عنه وقد نهى عنه مطلقا لغير المذهب
Sebagian rekan kami mengatakan, "Tidak mengapa duduk di atas kubur, sebab yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat. Namun menurut pendapat kami tidak seperti itu. Sekiranya yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat maka sesungguhnya Rasulullah telah melarangnya. Dan Rasulullah telah melarang duduk di atas kubur secara mutlak selain untuk buang hajat
Imam asy-Syafi'i berkata :
أخبرنا إبراهيم بن محمد عن أبيه عن جده قال تبعت جنازة مع أبي هريرة فلما كان دون القبور جلس أبو هريرة ثم قال لأن أجلس على جمرة فتحرق ردائي ثم قميصي ثم إزاري ثم تفضي إلى جلدي أحب إلى من أن أجلس على قبر امريء مسلم
Ibrahim bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Saya mengikuti jenazah bersama Abu Hurairah. Sebelum sampai di pemakaman Abu Hurairah duduk kemudian mengatakan, “Duduk di atas bara api yang dapat menghanguskan selendang, kemeja, sarung atau kulit saya lebih aku sukai daripada duduk di atas kuburan seorang muslim”
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 385].

Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/136), "Sebagian orang membolehkan duduk di atas kubur, mereka membawakan larangan tersebut bagi yang duduk untuk buang hajat.
Perkataan ini bathil, dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Takwil ini tidak didukung dalil dan cenderung memalingkan perkataan Rasulullah dari makna sebenarnya. Dan ini sangat keliru sekali.
Kedua: Lafazh hadits sama sekali tidak mendukung takwil tersebut! Rasulullah saw bersabda: 'Lebih baik salah seorang dari kamu duduk di atas kubur.'
Oleh karena itu, setiap orang yang punya naluri sehat pasti tahu bahwa duduk untuk buang hajat tidak seperti itu bentuknya. Kami tidak pernah mendengar seorang pun duduk dengan pakaiannya untuk buang hajat kecuali orang yang kurang beres akalnya.
Ketiga: Para perawi hadits tidak menyebutkan bentuk duduk yang dimaksud. Dan kami tidak pernah tahu secara bahasa kata jalasa fulan bemakna si fulan buang hajat. Jadi jelaslah kerusakan takwil ini, walillaahil hamd." www. alislamu.com

Kesimpulan
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama tentang hokum duduk di atas pekuburan dan berjalan di pekuburan adalah sebagai berikut :
1. Mayoritas ulama melarang duduk dan berjalan di atas kuburan. Sebagian berpendapat haram dan sebagian berpendapat makruh.
2. Sebagian kecil ulama membolehkan duduk dan berjalan di atas kuburan. Yang dilarang adalah duduk sambil membuang hajat.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
- Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi (E-book)
- Abu Daud, Sunan Abu Daud (E-book)
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syufa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
- Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
- www. alislamu.com

*Slawi, Januari 2011

Sabtu, 22 Januari 2011

HARAMNYA MEMAKAI SUTRA BAGI LAKI-LAKI

HARAMNYA MEMAKAI SUTRA
BAGI LAKI-LAKI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Yusuf Qardhawi dalam kitab Halal dan Haram dalam Islam mengatakan :
DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
QS. Al-Baqarah : 29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأرْضِ جَمِيْعًا
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya."
QS. al-Jatsiyah: 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya."
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas.

Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. (Riwayat Hakim dan Bazzar)
[Halal dan Haram dalam Islam, hal. 2]
Asal semua pakaian adalah dihalalkan, kecuali kalau ada dalil atau nash yang mengharamkannya. Kain Sutera adalah jenis pakaian yang diharamkan untuk dipakai oleh kaum Laki-laki, karena ada beberapa hadits yang mengharamkannya.

Hadits-hadits tentang Larangan bagi laki-laki memakai kain Sutera
Dari Umar bin al-Khaththab r.a., katanya: "Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
لَا تَلْبَسثُوا الْحَرِيْرَ فَإِنَّ مِنْ لَبِسَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبِسَهُ فِي الْآخِرَةِ
"Janganlah engkau semua mengenakan pakaian sutera, kerana sesungguhnya orang mengenakannya di dunia ini, maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat."
(HR. Bukhari 10/243, Muslim No. 2069)

Dari Umar bin al-Khaththab r.a. pula, katanya: "Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا يَلْبِسُ الْحَرِيْرَ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
"Hanyasanya yang mengenakan pakaian sutera ialah orang yang tidak mempunyai bahagian untuknya." (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan: "Orang yang tidak mempunyai bahagian untuknya - dalam hal kenikmatan - di akhirat."

Dari Anas r.a., katanya: Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبِسَهُ فِي الْآخِرَةِ
"Barangsiapa yang mengenakan pakaian sutera di dunia, maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat nanti." (HR. Bukhari 10/242, Muslim No. 2073)

Dari Ali r.a., katanya:
"Saya melihat Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil sutera lalu meletakkannya di tangan kanannya,
juga mengambil emas lalu meletakkannya di tangan kirinya, kemudian beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya dua macam benda ini diharamkan atas kaum lelaki dari ummatku." (HR. Abu Dawud No. 4057, hasan)

Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a. bahawasanya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Diharamkanlah mengenakan pakaian sutera dan emas atas kaum lelaki dari ummatku dan dihalalkan untuk kaum wanitanya."
(HR. Tirmidzi No. 1720, sahih)

Dari Hudzaifah r.a., katanya:
"Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam melarang kita semua minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, juga makan daripadanya dan melarang pula mengenakan pakaian sutera tipis dan tebal ataupun duduk di atasnya." (HR. Bukhari 10/246)
[Riyadus Shalikhin 2, hal. 14-15].

Pendapat Para Ulama Tentang Pakaian Sutera
Hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan diharamkannya kain sutera bagi kaum laki-laki. Permasalahannya adalah sutera yang bagaimanakah dimaksudkan oleh hadits-hadits di atas? Apakah hanya sutera murni, ataukah semua kain yang bercampur dengan sutera? Hal inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Dalam Kitab Syarah Riyadhus Shalihin (Penjelasan kitab Riyadhus Shalihin), Musthafa Dib Al-Bugha menjelaskan :
Keharaman sutera yang dimaksud dalam nash-nash hadits adalah sutra alam yang dikenal. Sedangkan sutra buatan tidak tercakup dalam pengharamanm kecuali jika tidak bisa dibedakan dari sutra alam dan orang-orang samar sehingga menduganya berserupa dengan wanita. Jika demikian, maka ia termasuk yang diharamkan.
[Syarah Riyadhus Shalihin 2, hal. 337]

Dalam Kitab Al-Umm terdapat dialog antara Ar-Rabi’ dan Imam Syafi’i tentang hukum memakai Al-Khizzi (Kain yang Ditenun dari Sutera dan Bulu)
Ar-Rabi’ berkata : Aku bertanya kepada Imam Syafi’i sehubungan dengan orang yang memakai Al-Khizzi.
Imam Syafi’i berkata : Tidak mengapa, kecuali bila seseorang meninggalkannya demi mendapatkan yang lebih ekonomis darinya. Adapun sekedar memakai Al-Khizzi, maka tidak mengapa.
Imam Syafi’i berkata : Malik telah mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari bapaknya, dari Aisyah bahwa ia memakaikan kepada Abdullah bin Az-Zubair sehelai Al-Khizzi yang biasa ia pakai.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 3, hal. 398]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Adapun sutera yang bercampur dengan bahan lain maka menurut madzhab Syafi’i, apabila sebagian besarnya (lebih dari separo) dari sutera, maka pakaian itu diharamkan, sedangkan apabila sutra itu separuhnya atau kurang dari itu, maka pakaian itu tidak diharamkan.
An-Nawawi berkata bahwa sutera yang dicampur dengan bahan lainnya, maka tidak diharamkan kecuali sutera lebih banyak dari lainnya.
[Fiqih Sunnah 4, hal. 398-399]

Yusuf Qardhawi dalam kitab Halal dan Haram dalam Islam mengatakan bahwa yang diharamkan itu adalah sutera murni, yang tidak bercampur dengan bahan lain.

Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (10/294) berkata : ”Jumhur ulama berpendapat tentang bolehannya memakai sutera apabila campurannya lebih banyak daripada sutera tersebut.
Telah berkata Ibnu Daqiqil-’Ied : ”Hal ini merupakan qiyas dari makna asal, akan tetapi tidak dilazimkan untuk pembolehan untuk setiap jenis campuran. Hanya saja, pembolehan tersebut adalah sutera yang kadarnya seukuran maksimal empat jari apabila disendirikan dari pakaian itu. Adalah haram bagi siapa saja (yaitu laki-laki) yang memakai sutera murni dan sutera bercampur (tidak murni), dan diperbolehkan apabila campuran sutera dari seluruh pakaian itu jika disisihkan hanya seukuran empat jari saja”
abul-jauzaa.blogspot.com

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Pustaka Online Media ISNET
- Imam Nawawi, Riyadus Salihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syufa, Semarang, 1994.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
abul-jauzaa.blogspot.com

*Slawi, Januari 2011.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...