Minggu, 06 Desember 2009

SHALAT JUM'AT DI HARI RAYA

SHALAT JUMAT DI HARI RAYA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Pendahuluan
Sering terjadi Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat. Dalam kondisi demikian timbul permasalahan di kalangan umat islam apakah masih perlu untuk menghadiri shalat Jumat bagi orang yang sudah melaksanakan shalat Ied di pagi harinya, atau cukup shalat Ied saja, tidak perlu melaksanakan shalat Jum’at.
Berikut ini akan kami tuliskan perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hal tersebut beserta alasan-alasan dan dalil-dalil masing-masing.

Pendapat Ulama Tentang Shalat Jumat pada Hari Raya
Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm :
Diriwayatkan dari Abu Ubaid (bekas budak Ibnu Azhar) –
شهدت العيد مع عثمان بن عفان فجاء فصلى ثم انصرف فخطب فقال إنه قي اجتمع لكم في يومكم هذا عيدان فمن أحب من أهل اعلاية أن ينتظر الجمعة فلينتظرها ومن أحب أن يرجع فليرجع فقد أذنت له
“Saya menghadiri Shalat Hari raya bersama Utsman bin Affan Radhiallahu ‘anhu, ia mengerjakan shalat lalu berpaling dan berkutbah seraya berkata, “Telah berkumpul atas kalian dua hari raya, maka barangsiapa termasuk dalam golongan orang-orang yang memiliki derajat tinggi, hendaklah ia menunggu Jum’at. Namun barangsiapa hendak kembali, maka kembalilah, karena saya telah memngizinkannya”
Imam Syafi’i berkata :
وإذا كان يوم الفطر يوم الجمعة صلى الإمام العيد حين تحل الصلاة ثم أذن لمن حضره من غير أهل المصر في أن ينصرفوا إن شاءوا إلى أهليهم ولا يعودون إلى الجمعة والاختيار لهم أن يقيموا حتى يجمعوا أو يعودوا بعد انصرافهم إن قدروا حتى يجمعوا وإن لم يفعلوا فلا حرج إن شاء الله تعالى
Apabila Idul Fitri bertepatan dengan hari Jum’at, maka imam boleh melaksanakan shlata Idul Fitri pada waktunya, kemudian mengizinkan orang-orang yang bukan dari penduduk setempat untuk kembali kepada keluarga mereka jika mereka menghendaki, dan melakukan shalat jum’at di tempat pemukimannya masing-masing. Imam memberikan pilihan kepada orang-orang yang menetap untuk menunggu shalat Jum’at, atau kembali lagi setelah pulang. Hal itupun jika mereka sanggup, lalu mereka melaksanakan shalat jum’at. Namun apabila mereka tidak sanggup, maka hal itu tidak mengapa. Insya Allah.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 337]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at, gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah mengerjakan shalat hari raya. Hal ini berdasarkan hadits dari Zaid bin Arqam, ia berkata,
صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَالَ: "مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ".
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat Hari Raya kemudian memberi kelonggaran dalam mengerjakan shalat Jum’at. Beliau bersasbda, ‘Siapa yang ingin mengerjakan shalat Jum’at maka kerjakanlah’” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu,
عن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قال: "قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ : فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمْعَةِ، وَإِنَّا مُجْمَعُوْنَ"
“Pada harimu ini (Jum’at) telah berkumpul dua hari raya. Karena itu, barangsiapa yang mengerjakan shalat hari raya maka ia sudah mewakili shalat jum’atnya, tapi kami tetap melakukan shalat Jum’at” (HR. Abu Dawud no. 1073)

Sayyid Sabiq berkata : Menurut Mazhab Hambali, orang yang tidak mengerjakan shalat jumat karena sudah mengerjakan shalat hari raya, ia masih berkewajiban mengerjakan shalat zuhur. Tetapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak wajib mengerjakan shalat zuhur sama sekali sebab ada riwayat Abu Dawud dari Ibnu Zubair yang menegaskan,
عِيْدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمِ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيْعاً، فَصَلَاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرِ
“Dua hari raya telah berhimpun dalam satu hari, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan keduanya dan mengerjakan shalat dua rekaat pada pagi harinya serta beliau tidak mengerjakan shalat lagi hingga beliau melakukan shalat ashar” (HR. Abu Dawud no. 1072)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 481].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
فقال قوم: يجزئ العيد عن الجمعة وليس عليه في ذلك اليوم إلا العصر فقط، وبه قال عطاء، وروي ذلك عن ابن الزبير وعلي.
Menurut Atha’ cukup shalat hari raya saja, tanpa shalat Jum’at dan zuhur. Ini diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan Ali.
Diriwayatkan oleh Malik , dari Utsman :
مَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمْعَةَ فَلْيَنْتَظِرْ، ومَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ
“Barangsiapa dari penduduk pinggiran Madinah yang ingin menunggu shalat jum’at tunggulah. Dan barangsiapa yang ingin pulang pulanglah” (HR. Malik)

وقال مالك وأبو حنيفة: إذا اجتمع عيد وجمعة فالمكلف مخاطب بهما جميعا، العيد على أنه سنة، والجمعة على أنها فرض، ولا ينوب أحدهما عن الأخر، وهذا هو الأصل إلا أن يثبت في ذلك شرع يجب المصير إليه، ومن تمسك بقول عثمان، فلأنه رأى أن مثل ذلك ليس هو بالرأي وإنما هو توقيف، وليس هو بخارج عن الأصول كل الخروج. وأما إسقاط فرض الظهر والجمعة التي هي بدله لمكان صلاة العيد فخارج عن الأصول جدا، إلا أن يثبت في ذلك شرع يجب المصير إليه.
Menurut Malik dan Abu Hanifah, tidak ada perubahan hukum, tiap mukallaf tetap melaksanakan dua-duanya, karena shalat hari raya itu sunat sedangkan shalat jumat itu wajib, maka tidak bisa salat yang satu menggugurkan yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya.
Apabila pendapat Utsman di atas diikuti , maka bukan sebagai dasar ijtihad, melainkan masalah tauqifi yang tidak menyimpang dari hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan Zuhur (pendapat Sayyid Sabiq, pen) benar-benar menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali apabila ada nash yang mendasari.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 486].

Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Maad berkata :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhsah (keringanan) kepada orang-orang yang menghadiri shalat Ied untuk mendengarkan khutbah atau pergi tanpa mendengarkannya. Jika ‘Ied jatuh pada hari Jumat, beliau memberikan rukhsah untuk tidak ikut shalat Jum’at.
[Zaadul Maad 1, hal. 49]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam berkata :
Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Ied, dan beliau memberikan rukhsah (keringanan) untuk shalat Jum’at kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan untuk shalat maka shalatlah” (HR. Khamsah kecuali Tirmidzi, hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaemah)
Hadits ini menjadi dalil bahwa shalat jum’at setelah melaksanakan shalat Ied menjadi rukhsah, boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Ini terkhusus bagi orang yang melaksanakan shalat Ied, tidak bagi orang yang tidak melaksanakannya.
Beliau juga berkata : “Hadits Zaid bin Arqam telah disahihkan oleh Ibnu Khuzaemah, dan tidak ada yang mencela hadits ini selainnya, maka jelas hadits ini bisa menjadi takhsis (penghusus). Hadits ini mengkhususkan dalil umum (tentang wajibnya shalat Jum’at, pen) dengan hadits Ahad.
[Subulus Salam 1, hal. 709]

Kesimpulan :
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat para ulama tentang shalat jum’at pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, terbagi menjadi empat kelompok sebagai berikut :
1. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, boleh meninggalkan shalat Jum’at dalam kondisi tertentu. (Pendapat Imam Syafi’i).
2. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, boleh meninggalkan shalat Jum’at sebagai suatu keringanan, tanpa syarat tertentu. (Pendapat Ibnul Qayim, Imam Ash-Shan’ani).
3. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, tidak perlu melakukan shalat Jum’at dan sahalat zuhur (Pendapat Sayyid Sabiq, Atha’, Ibnu Zubair).
4. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at. (Pendapat Ibnu Rusyd, Imam Malik dan Abu Hanifah).

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Pustaka Azzam, 2000.
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Abu Daud, Sunan Abu Daud, mawsoaat_hadeeth_chm_02 (E-book)


***Slawi, Oktober 2009

Rabu, 11 November 2009

BASMALAH DALAM SHALAT JAHR

BASMALAH DALAM SHALAT JAHR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Di tengah masyarakat terdapat perbedaan cara imam dalam membaca basmalah dalam shalat jahr (membaca keras). Ada yang membaca basmalah dengan keras, dan ada yang membaca dengan lirih. Hal itu terjadi karena banyaknya hadits-hadits yang membicarakan tentang bacaan basmalah dalam shalat jahr, yang kelihatannya saling bertentangan satu sama lain.

Hadits-hadits tentang bacaan basmalah dalam shalat beserta penjelasannya

عن أنس بن مالك؛ أنه حدثه قال: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ. فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ، وَلَا فِي آخِرِهَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata "Aku biasa shalat di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam., di belakang Abu Bakar, ''Umar dan ''Usman. Mereka hanya memulai bacaan dengan ''Alhamdulillahi rabbil ''alamin'' dan tidak pernah kudengar mereka membaca ''Bismillahirrahmanirrahim'' pada awal bacaan (Al-Fatihah) dan tidak pula penghabisannya. " [HR. Muslim no. 399]
[Nailul Authar 1/471; Bulughul Maram/134].

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar menambahkan :
وفي لفظ‏:‏ ‏(‏صليت خلف النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم وخلف أبي بكر وعمر وعثمان فكانوا لا يجهرون ببسم اللَّه الرحمن الرحيم‏)‏ رواه أحمد والنسائي بإسناد على شرط الصحيح‏.‏
ولأحمد ومسلم‏:‏ ‏(‏صليت خلف النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وكانوا يستفتحون بالحمد للَّه رب العالمين لا يذكرون بسم اللَّه الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في آخرها‏)‏
ولعبد اللَّه بن أحمد في مسند أبيه عن شعبة عن قتادة عن أنس قال‏:‏ ‏(‏صليت خلف رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم وخلف أبي بكر وعمر وعثمان فلم يكونوا يستفتحون القراءة ببسم اللَّه الرحمن الرحيم‏)‏ قال شعبة‏:‏ فقلت لقتادة أنت سمعته من أنس قال‏:‏ نعم نحن سألناه عنه‏.‏
وللنسائي عن منصور بن زاذان عن أنس قال‏:‏ ‏(‏صلى بنا رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فلم يسمعنا قراءة بسم اللَّه الرحمن الرحيم وصلى بنا أبو بكر وعمر فلم نسمعها منهما‏)‏‏.‏
Dalam lafadz lainnya disebutkan, “Aku shalat di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam., di belakang Abu Bakar, 'Umar dan Usman. Mereka tidak menyaringkan bacaan 'Bismillahirrahmanirrahim'” [HR. Ahmad dan An-Nasa’i dengan sanad yang sesuai dengan syarat hadits sahih]
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim, “Aku shalat di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam., di belakang Abu Bakar, 'Umar dan Usman. Mereka membuka shalat dengan ‘Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin’, mereka tidak menyebutkan 'Bismillahirrahmanirrahim' pada awal bacaan (Al-Fatihah) dan tidak pula penghabisannya” [HR. Ahmad dan An-Nasa’i dengan sanad yang sesuai dengan syarat hadits sahih]
Dalam riwayat Abdullah bin Ahmad –di dalam kitab musnad ayahnya- disebutkan : Dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam., di belakang Abu Bakar, 'Umar dan Usman. Mereka tidak membuka bacaan dengan 'Bismillahirrahmanirrahim'” Syu’bah mengatakan, “Aku katakana kepada Qatadah, ‘Apakah engkau mendengarnya dari Anas?’ ia menjawab, ‘Ya. Kami pernah menanykannya tentang itu’
Dalam riwayat An-Nasa’i yang bersumber dari Manshur bin Zadzan dari Anas bin Malik, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah shalat mengimami kami, dan beliau tidak memperdengarkan kepada kami bacaan 'Bismillahirrahmanirrahim', Abu Bakar dan Umar juga telah shalat mengimami kami, dan kami tidak pernah mendengarnya dari mereka (yakni bacaan 'Bismillahirrahmanirrahim')”
[Nailul Authar 2/138-139 (1/471-475)}.

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والحديث دليل: على أن الثلاثة كانوا لا يسمعون من خلفهم لفظ البسملة عند قراءة الفاتحة جهراً، مع احتمال أنهم يقرءون البسملة سراً، ولا يقرءونها أصلاً، إلا أن قوله: (وفي رواية) أي عن أنس (لأحمد، والنسائي، وابن خزيمة: لا يجْهرون ببسم الله الرحمن الرحيم) يدل بمفهومه أنهم يقرءونها سراً،
والحديث قد استدل به من يقول: إن البسملة لا يجهر بها في الفاتحة، ولا في غيرها، بناء على أن قوله: ولا في اخرها مراد به أول السورة الثانية،
قال ابن عبد البر في الاستذكار: بعد سرده روايات حديث أنس هذه ما لفظه: هذا الاضطراب لا تقوم معه حجة لأحد من الفقهاء الذين يقرؤون بسم الله الرحمن الرحيم، والذين لا يقرؤونها. وقد سئل عن ذلك أنس فقال: كبرت سني ونسيت انتهى، فلا حجة فيه
Hadits ini menjelaskan bahwa ketiga orang tersebut tidak memperdengarkan bacaan basmalah kepada para makmum saat mereka mengerjakan shalat jahriyah. Hal ini mengandung dua kemungkinan; yang pertama mereka membacanya dengan suara lirih, atau kemungkinan kedua mereka tidak membacanya sama sekali. Hanya saja riwayat Anas yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah menyebutkan, “Mereka tidak mengeraskan bacaan ‘Bismillahirrahmanirrahiim’”. Hadits ini bisa dipahami bahwa mereka membacanya dengan suara lirih tidak terdengar.
Hadits ini merupakan dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa bacaan basmalah tidak dibaca dengan suara keras baik pada awal basmalah maupun pada ayat setelah absmalah, berdasarkan ungkapan hadits, ‘dan tidak pula diakhirnya’. Yang maksudny adalh bacaan Al-Qur’an setelah bacaan surat Al-Fatihah.
Setelah menuliskan hadits Anas di dalam ‘Al-Istidkar’ Ibnu Abdil Barr mengatakan, ”Karena kondisi hadits ini mudhthadarib (kacau), maka tidak bisa digunakan sebagai dalil oleh kedua belah pihak dari kalangan ulama fiqih. Dan Anas telah ditanya mengenai masalah tersebut, lalu ia menjawab, “Saya sudah tua dan saya telah lupa”
Maka, dengan begitu hadits tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil.
[Subulussalam 1/51 (1/458)].

Dari Nu’aim bin Abdullah al-Mujmir, ia berkata:
كُنْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ ، فَقَرَأَ : بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ، ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ {وَلا الضَّالِّينَ} قَالَ : آمِينَ ، وَقَالَ: النَّاسُ آمِينَ ، وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ: الله أَكْبَرُ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوسِ قَالَ: الله أَكْبَرُ ، وَيَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم
“Aku shalat berada di belakang Abu Hurairah, beliau membaca bismillahirrahmanirrahim, lalu membaca ummul qur’an sampai pada ayat walaadldlaalliin dan membaca amin, kemudian orang-orang juga mengikutinya membaca amin. Beliau ketika akan sujud membaca; Allahu Akbar dan ketika bangun dari duduk membaca; Allahu Akbar. Setelah salam beliau berkata: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang shalatnya paling menyerupai Rasulullah di antara kalian.” [H.R. Ad-Daruqutni, Bab Wajib membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dalam shalat dan mengeraskan bacaannya, dan perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, hadits no. 14. Menurut Daruqutni hadits ini shahih; H.R. al-Nasa’I, Bab Membaca Fatihah sebelum surat]
[Bulughul Maram/134].

Imam Ash-Shan’ani berkata :
وهو أصح حديث ورد في ذلك، فهو مؤيد للأصل، وهو كون البسملة حكمها: حكم الفاتحة في القراءة: جهراً، وإسراراً؛ إذ هو ظاهر في أنه كان صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقرأ بالبسملة؛ لقول أبي هريرة: "إني لأشبهكم صلاة برسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم"
Hadits ini adalah hadits paling shahih yang menjelaskan tentang masalah ini. Hadits ini menguatkan hukum asal basmalah. Bahwa hukumnya ialah seperti hukum surat Al-Fatihah. Dibaca jelas saat Al-Fatihah dibaca jelas, dan dibaca sirr (lirih) saat surat Al-Fatihah dibaca sirr. Karena sudah jelas bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah membacanya, berdasarkan ucapan Abu Hurairah, “Sungguh saya adalah orang yang paling menyerupai cara Shalat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam”
[Subulussalam 1/51 (1/460)]

وعن أبي هُريرة رضي الله عنه قال: قالَ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إذا قرأتُمُ الفاتحة فاقْرَءُوا: بسم الله الرَّحمن الرحيم، فإنها إحْدى اياتها" رواه الدارقطني، وصَوَّبَ وَقْفَهُ.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu membaca al-fatihah maka bacalah bismillaahirrahmaanirrahiim, karena ia termasuk salah satu dari ayatnya." (HR. Daruquthni 312 yang menggolongkannya hadits mauquf.)
[Bulughul Maram /135]
Imam Ash-Shan’ani berkata :
لا يدل الحديث هذا على الجهر بها، ولا الإسرار، بل يدل على الأمر بمطلق قراءتها
Hadiits ini tidak memerintahkan untuk membaca basmalah dengan suara jelas dan tidak pula dengan suara lirih. Isyarat hadits hanya memerintahkan untuk membacanya, entah bagaimana caranya
[Subulussalam 1/52 (1/461)].

Imam al-Daruquthni juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ يَؤُمُّ النَّاسَ اِفْتَتَحَ الصَّلَاةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. (رواه الدارقطني
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika membaca (fatihah), sedangkan beliau mengimami para shahabat, memulai shalat dengan membaca bismillahirrahmaanirrahiim.” [H.R. al-Daruquthni, Bab Wajib membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dalam shalat dan mengeraskan bacaannya, dan perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, hadits no. 17].

Ibn Abdullah ibn Mughaffal berkata,
سَمِعَنِيْ أَبِي وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ أَقُوْلُ " بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ " فَقَالَ لِي: أي بني محدث إِيَّاكَ وَالْحَدَثَ، قَالَ: وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رسول الله صلى الله عليه وسلم كَانَ أَبْغَضُ إِلَيْهِ الْحَدَثَ فِي الْإِسْلَامِ، يَعْنِي مِنْهُ، وَقَالَ: وَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعُ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُوْلُهَا، فَلَا تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَقُلْ {اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}
“Ayahku memperdengarkan kepadaku ketika aku di dalam sholat membaca “bismilla-hirrokhma-nirrikhi-m”, maka ia berkata kepadaku,”anakku, itu muhdats (hal baru/ bid’ah). Jauhilah olehmu hal-hal yang diada-adakan (bid’ah). Ia berkata, “Aku belum pernah melihat kebencian para sahabat Rasulullah melebihi kebenciannya terhadap hal-hal yang diada-adakan (bid’ah) dalam Islam. Dan aku telah shalat bersama dengan Nabi saw, dan bersama Abu Bakar, dan bersama Umar, dan bersama Usman. Dan belum pernah aku mendengar salah seorang dari mereka membacanya (bismilla-hirrokhma-nirrokhi-m). Oleh karena itu janganlah engkau membacanya. Dan jika engkau shalat bacalah dengan “al-hamdu lilla-hi robbil ‘a-lami-n”.
Menurut Abu ‘Isa al-Tirmizi, hadis ini berkualitas hasan. (HR. Tirmidzi, hadits no. 244)

Imam Asy-Syaukani berkata :
ـ قال المصنف ـ رحمه اللَّه‏:‏ قوله لا تقلها وقوله لا يقرؤونها أو لا يذكرونها ولا يستفتحون بها أي جهرًا بدليل قوله في رواية تقدمت ولا يجهرون بها
Mushannif berkata : Ucapan perawi ‘janganlah engkau membacanya’ atau ‘mereka tidak membacanya’ atau ‘mereka tidak menyebutkannya’ atau ‘mereka tidak memulai dengannya’ maksudnya adalah tidak menyaringkannya. Dalilnya adalah riwayat yang telah disebutkan tadi, yakni ‘dan mereka tidak menyaringkannya’.
[Nailul Authar 2/139 (1/474)].

Hadis dari Abdullah ibn ‘Abbas
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلَاتَهُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Abdullah ibn ‘Abbas berkata, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memulai bacaan shalatnya dengan “bismilla-hirrohma-nirrohi-m”. (HR.Tirmidzi, bab “Memulai membaca Al-quran dengan Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin” hadits no. 245; HR. Daruqtni Bab Wajib membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dalam shalat dan mengeraskan bacaannya, dan perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, hadits no. 6)

Hadits Dari Abu Hurairah RA :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ بِالْبَسْمَلَةِ
“bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (selalu) mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah (dalam shalat)”. (HR Bukhari)
'Ali Nayif Biqa'i dalam tahqiq kitab Idza Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi menjelaskan:
"Ibn Khuzaimah berkata dalam kitab Mushannaf-nya menyatakan, pendapat yang menyatakan sunnah mengeraskan basmalah merupakan pendapat yang benar. Ada hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang muttashil (urutan perawi hadfts yang sampai langsung kepada Nabi Muhanzmad Shallallahu ‘alaihi wasallam), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadfts tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadfts ini. Lalu Ibn Khuzaimah berkata, telah jelas dan telah terbukti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam hadits tersebut) mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat.” (Ma’na Qawl al-Imam al-Muththalibi Izda Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi, hal 161)
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15107&category_id=&hal=3

Pendapat Para Ulama
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا في قراءة بسم الله الرحمن الرحيم في افتتاح القراءة في الصلاة، فمنع ذلك مالك في الصلاة المكتوبة جهرا كانت أو سرا، لا في استفتاح أم القرآن ولا في غيرها من السور، وأجاز ذلك في النافلة. وقال أبو حنيفة والثوري وأحمد يقرؤها مع أم القرآن في كل ركعة سرا، وقال الشافعي: يقرؤها ولا بد في الجهر جهرا وفي السر سرا
Bacaan basmalah sebelum membaca Al-Fatihah dan ayat al-Quran diperselisihkan para fuqaha. Malik berpendapat bahwa bacaan basmalah dalam semua shalat fardu itu dilarang. Larangan itu termasuk pula ketika shalat jahr (suara bacaan keras) atau sirr (bacaan tidak diperdengarkan) untuk surat Al-Fatihah atau ayat-ayat Al-Quran. Namun bacaan basmalah diperkenankan untuk shalat sunat.
Abu Hanifah, Tsauri, dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa bacaan basmalah hanya dibaca sirr bersama Al-Fatihah untuk setiap rekaat. Sedang Syafi’i berpendirian bahwa bacaan basmalah itu harus dibaca ketika shalat jahr atau sirr.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 272]

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
أن أنس بن مالك أخبره قال صلى معاوية بالمدينة صلاة فجهر فيها بالقراءة فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم لأم القرآن ولم يقرأ بها للسورة التي بعدها حتى قضى تلك القراءة ولم يكبر حين يهوى حتى قضى تلك الصلاة فلما سلم ناداه من سمع ذلك من المهاجرين من كل مكان يا معاوية أسرقت الصلاة أم نسيت فلما صلى بعد ذلك قرأ بسم الله الرحمن الرحيم للسورة التي بعد أم القرآن وكبر حين يهوى ساجدا
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata : Muawiyah pernah melaksanakan shalat di Madinah lalu ia men-jahr-kan bacaan dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim untuk ummul Qur’an, dan tidak membaca Bismillahirrahmaanirrahiim untuk surah setelah surah Al-Fatihah sampai menyelesaikan bacaan itu.
Ia tidak bertakbir ketika membungkuk hingga selesai. Tatkala memberi salam ia diseru oleh orang yang mendengarnya-dari orang-orang Muhajirin- dari segala tempat, “Hai Muawiyah, apakah anda mencuri shalat atau lupa?” Sesudah itu ia membaca Bismillahirrahmaanirrahiim untuk surah sesudah Ummul Qur’an, dan ia bertakbir ketika membungkuk untuk sujud.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 166]

Al-Qurtubhi berkata :
هذا قول حسن، وعليه تتفق الآثار عن أنس ولا تتضاد ويخرج به من الخلاف في قراءة البسملة. وقد روي عن سعيد بن جبير قال: هذا محمد يذكر رحمان اليمامة - يعنون مسيلمة - فأمر أن يخافت ببسم الله الرحمن الرحيم، ونزل: "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها" [الإسراء:110].
Pendapat ini (membaca basmalah dengan samar bersama dengan surah al-Fatihah) adalah pendapat yang baik dan sesuai dengan atsar yang diriwayatkan dari Anas, serta tidak bertentangan dengannya. Pendapat inipun dapat mengeluarkan orang-orang dari silang pendapat seputar hokum membaca basmalah. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Jubair, dia berkata, “Dahulu orang musyrik selalu mendatangi masjid. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca bismillahirrahmaanirrahiim, maka mereka berkata, ‘Muhammad ini sedang menyebutkan Rahman Al-Yamamah’ Maksud mereka adalah Musailamah. Oleh karena itulah beliau diperintahkan untuk menyamarkan bacaan bismillahirrahmaanirrahiim, lalu turunlah ayat : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah kamu merendahkannya” (QS. Al-Israa : 110).
[Tafsir Al-Qurtubhi 1, hal. 249]

Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir berkata :
فهذه مآخذ الأئمة رحمهم الله في هذه المسألة وهي قريبة لأنهم أجمعوا على صحة من جهر بالبسملة ومن أسر ولله الحمد والمنة
Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa shalat bagi orang yang men-jahr-kan atau yang men-sirr-kan basmalah adalah sah. Segala Puji bagi Allah.
[Tafsir Ibnu Katsir 1, hal. 20]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
وقد جمع ابن القيم بين المذهب الأول والثاني فقال : كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يجهر "بسم الله الرحمن الرحيم" تارة, ويخفيها أكثر مما يحهر بها, ولا ريب أنه لم يحهر بها دائما في كل يوم وليلة خمس مرات أبدا, حصرا وسفرا, ويحفى ذلك على خلفائه الراشدين وعلى جمهور أصحابه وأهل بلده فى الأعصار الفاضلة
Ibnul Qayyim telah memberikan komentar :”Kadang-kadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca bismillahirrahmaanirrahiim dengan suara keras, tetapi beliau sering membacanya dengan suara perlahan. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa beliau tidak selamanya membaca basmalah dengan suara keras, yakni sebanyak lima kali pada tiap siang dan malam, pada waktu bermukim maupun ketika bermusyafir. Hal inilah yang tidak disadari oleh para Khulafaur Rasyidin, sebagian besar sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’in”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 191; Nailul Authar 1, hal. 474].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
(مع بسملة) أي مع قراءة البسملة فإنها آية منها، لانه (ص) قرأها ثم الفاتحة وعدها آية منها. وكذا من كل سورة غير براءة
Membaca Fatihah itu disertai basmalah, sebab basmalah itu termasuk ayat Fatihah. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau membaca basmalah sebagai ayat dari Fatihah. Begitu juga semua surat selain surat Bara’ah.
[Fat-hul Mu’in 1/48 (1/167)]

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab setelah menguraikan secara panjang lebar tentang pendapat-pendapat para ulama tentang mengeraskan dan melirihkan bacaan ‘basmalah’ dalam shalat jahr, maka dia menyimpulkan bahwa yang lebih utama adalah mengeraskan membaca ‘basmalah’ dalam shalat jahr.
[Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab 3/641-669].

Imam Asy-Syaukani setelah menguraikan panjang lebar tentang pendapat-pendapat para ulama tentang mengeraskan dan melirihkan bacaan ‘basmalah’ dalam shalat jahr, maka dia menyimpulkan sebagai berikut :
وأكثر ما في المقام الاختلاف في مستحب أو مسنون فليس شيء من الجهر وتركه يقدح في الصلاة ببطلان بالإجماع
Yang banyak mengandung perbedaan pendapat adalah mengenai statusnya mustahab (dianjurkan) atau sunnah. Jadi, menyaringkan atau tidak menyaringkan bacaan ‘Bismillahirrahmaanirrahiim’ tidak menodai shalat dengan membatalkannya. Demikian menurut ijma’
[Nailul Authar 2/138-139 (1/471-475)}.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: Apakah hukum menjahrkan (mengeraskan bacaan) basmalah? Beliau menjawab: “Pendapat yang lebih kuat adalah mengeraskan bacaan basmalah itu tidak semestinya dilakukan dan yang sunnah adalah melirihkannya karena ia bukan bagian dari surat Al Fatihah. Akan tetapi jika ada orang yang terkadang membacanya dengan keras maka tidak mengapa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hendaknya memang dikeraskan kadang-kadang sebab adanya riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengeraskannya (HR. Nasa’i di dalam Al Iftitah Bab Qiro’atu bismillahirrahmaanirrahiim (904), Ibnu Hibban 1788, Ibnu Khuzaimah 499, Daruquthni 1/305, Baihaqi 2/46,58) Akan tetapi hadits yang jelas terbukti keabsahannya menerangkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak mengeraskannya (berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Aku pernah shalat menjadi makmum di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memperdengarkan bacaan bismillahirrahmanirrahiim (HR. Muslim dalam kitab Shalat Bab Hujjatu man Qoola la yajharu bil basmalah (399)) Akan tetapi apabila seandainya ada seseorang yang menjahrkannya dalam rangka melunakkan hati suatu kaum yang berpendapat jahr saya berharap hal itu tidak mengapa.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 316-317)
http://muslim.or.id/al-quran/faedah-seputar-basmalah.html

Wallahu a’lam

Kesimpulan
1. Para ulama berbeda pendapat tentang keutamaan mengeraskan atau melirihkan bacaan ‘basmalah’ dalam shalat jahr. Sebagian berpendapat yang lebih utama mengeraskan bacaan ‘basmalah’, sebagian lainnya berpendapat yang lebih utama adalah melirihkannya.
2. Para Ulama sepakat bahwa orang yang mengeraskan atau melirihkan bacaan ‘basmalah’ dalam shalat jahr, kedua-duanya shalatnya sah.

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2006.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Imam Nawawi, Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, Pustaka Azzam, 2010
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Ad-Daruqutni, Sunan Ad-Daruqutni, mawsoaat_hadeeth_chm_02 (E-book)
-Imam Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, mawsoaat_hadeeth_chm_02 (E-book)
-Imam Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, mawsoaat_hadeeth_chm_02 (E-book)
-http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15107&category_id=&hal=3
-http://muslim.or.id/al-quran/faedah-seputar-basmalah.html

Slawi, April 2011

Rabu, 04 November 2009

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH-1

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat islam apakah dalam shalat berjamaah, makmum harus membaca Al-Fatihah atau tidak. Sebagian ulama berpendapat makmum wajib membaca surat Al-Fatihah, sebagian lagi berpendapat tidak wajib.

Hadits-hadits Tentang Perintah Membaca Al-Fatihah
Dari Ubadah bin Shamit, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)

Dari Abu Hurairah RA :
أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ "هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟ قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud 826, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Dari Ubadah bin Shamit :
صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
 “Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”.  (HR.Imam Ahmad , Abu Dawud , Imam Tirmidzi )


Dari Jabir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah)
Catatan : Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil. [Subulussalam 1, hal. 455]
Hadits yang menurut Ahmad Shahih :
وَإِذَا قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا
 “Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”. (HR. Ahmad).

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Di dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda. Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha  yang berpendirian bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas. Larangan di dalam hadits tersebut diperjelas oleh ayat :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Mereka berpendapat perintah dalam ayat tersebut hanya berlaku dalam shalat.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 349]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
Secara zhahir, hadits tersebut (Hadits Ubadah bin Shamit ) menjelaskan bahwa surat tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian. Sedangkan seorang makmum tiodak diragukan bahwa ia termsuk dalam hokum ini.
Penjelasan di atas diperkuat oleh hadits Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban,
“Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?” Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”.
Hadits ini dengan jelas menyebutkan wajibnya membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim bahwa perintah tersebut bersifat umum, mencakup shalat jahriyah maupun shalat sirriyah dalam setiap rekaat.
[Subulussalam 1/50 (1/454)]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan abcaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Juga karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَ ا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا ".
"Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604).
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. Sementara di Mesir, Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam. [Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 304]

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
وإذا قلنا يقرأ المأموم في الجهرية فلا يجهر بحيث يغلب جهره بل يسر بحيث يسمع نفسه لو كان سميعا فإن هذا أدنى القراءة  ويستحب للامام على هذا القول أن يسكت بعد الفاتحة قدر قراءة المأموم لها
Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca Al-Fatihah” [Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :
يسن للامام أن يسكت في الجهرية بقدر قراءة المأموم الفاتحة - إن علم أنه يقرؤها في سكتة - كما هو ظاهر، وأن يشتغل في هذه السكتة بدعاء أو قراءة، وهي أولى
Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.
[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]

Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :
Jika ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]

Kesimpulan :
1.     Mayoritas ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rekaat shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
2.    Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum yang shalat di belakang imam. Sebagian berpendapat makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah, sebagian berpendapat makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah, karena membaca Al-Fatihah sudah dilakukan oleh imam.
Wallahu a’lam.


Minggu, 01 November 2009

DO’A IFTITAH (ISTIFTAH)

DO’A IFTITAH (ISTIFTAH)
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Pendahuluan
Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab :
Setiap orang yang shalat, baik imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian, baik wanita, anak-anak, musafir, shalat fardhu, shalat sunnah, shalat dengan duduk, berbaring dan sebagainya, dianjurkan membaca do’a iftitah setelah takbirotul ihram.
(Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 3/593)

Hukum Membaca Do’a Iftitah
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan : Sebagian fuqaha berpendapat bahwa membaca taujih adalah wajib. Yakni membaca lafal berikut ini setelah takbir :
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi (QS. Al-An’am 6 : 79)
Ini menurut pendapat Syafi’i. Sedang menurut Abu Hanifah, dengan kata-kata subhanallah (tasbih). Dan menurut Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, membaca taujih dan tasbih secara bersamaan. Adapun Malik juga berpendapat bahwa taujih di dalam shalat tidak wajib dan tidak sunat.
[Bidayatul Mijtahid 1, hal.270].

Hadits-hadits Tentang Do’a Iftitah
Abu Hurairah berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً قَالَ أَحْسِبُهُ قَالَ هُنَيَّةً فَقُلْتُ بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiam antara takbir dan bacaan Al Qur'an." Abu Zur'ah berkata, Aku mengira Abu Hurairah berkata, 'Berhenti sebentar, lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku! Tuan berdiam antara takbir dan bacaan. Apa yang tuan baca diantaranya?. Beliau bersabda: "Aku membaca; (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju dan es yang dingin)."
(HR. Bukhari 702; Muslim 940; Abu Dawud 663)

Dari Ali bin Abu Thalib Biasanya apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat, beliau membaca (do'a iftitah) sebagai berikut:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 (Aku hadapkan wajahku kepada Allah, Maha pencipta langit dan bumi dengan keadaan ikhlas dan tidak mempersekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, segala ibadahku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan berserah diri kepadaNya. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang berwenang untuk mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Dan tunjukilah kepadaku akhlak yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Labbaik wa sa'daik (Aku patuhi segala perintahMu, dan aku tolong agamaMu). Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan kejahatan tidak datang daripadaMu. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampun dariMu dan aku bertobat kepadaMu)." (HR. Muslim 1290; Abu Dawud 649; Nasa’I 887)

Dari Ibnu Umar dia berkata; "Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seseorang mengucapkan
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ
 (Maha Besar Allah, dan segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang)." Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?" Seorang sahabat menjawab; "Saya wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Sungguh aku sangat kagum dengan ucapan tadi, sebab pintu-pintu langit dibuka karena kalimat itu." Kata Ibnu Umar; "Maka aku tak pernah lagi meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan hal itu." (HR. Muslim 943; Abu Dawud 651; An-Nasa’I 875)

Dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ كَبَّرَ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا
"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir dan membaca: (Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau), " lalu membaca: (Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya), " (HR. Tirmidzi 225)

Dari 'Abdah
عَنْ عَبْدَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَجْهَرُ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
bahwa Umar bin al-Khaththab dahulu mengeraskan (bacaan) kalimat-kalimat tersebut. Dia membaca, Ya Allah, Mahasuci Engkau dan dengan memujimu, Mahaberkah NamaMu, Mahaluhur kemuliaanMu, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau." 
(HR. Muslim 606; Abu Dawud 658)

Pendapat Ulama Tentang Lafadz Do’a Iftitah
Dalam kitab Al-Umm Imam Syafi’i berkata :
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memulai shalat, ia membaca,
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتْي للهِ رَبِِّ الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَنْتَ ربي وأنا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي جَمِيْعَهَا لَا يَغْفِرُهَا إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِى لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ وَالْمَهْدِى مَنْ هَدَيْتَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ لَا مَنْجَى مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ


Imam Syafi’i berkata :
Oleh karena itu, saya memerintahkan dan menyukai agar seseorang membaca bacaan di atas sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau tidak meninggalkannya sedikitpun.
Imam Syafi’i berkata :
Apabila seseorang menambah atau menguranginya, maka saya memandangnya sebagai perkara yang makruh. Walaupun demikian, ia tidak harus mengulangi shalatnya dan tidak perlu sujud sahwi, baik dilakukan dengan sengaja, lupa atau tidak tahu.
[lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 163]

Imam Nawawi Asy-Syafi’I berkata dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab : Tentang bacaan do’a iftitah, telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa bacaan do’a iftitah adalah :
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتْي للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
(Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 3/601)

Dalam kitabnya yang lain, Raudhotuth Thalibin, Imam Nawawi menjelaskan :
Dianjurkan bagi orang yang shalat apabila bertakbir membaca do’a istiftah, yaitu :
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتْي للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا من الْمُسْلِمِيْنَ
Selanjutnya Imam Nawawi berkata : Hendaklah imam tidak menambah lebih panjang dari do’a ini jika tidak mengetahui keridhaan makmum terhadap tambahan tersebut. Apabila dia mengetahui adanya aakeridhaan mereka, atau orang yang shalat itu melaksanakannya sendirian, maka dianjurkan untuk mengucapkan setelahnya,
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ……… وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

[Raudhotuth Thalibin 1/509]
Pendapat Imam Nawawi ini bertentangan dengan dengan pendapat Imam Syafi’I dalam kitab Al-Umm yang penulis kutipkan di atas (pen.)

Imam Zaenuddin Asy-Syafi’I dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Do’a iftitah itu banyak, yang paling utama ialah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu :
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتْي للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمرت وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
[Fathul Mu’in 1/177].


Imam al-Ghazali Asy-Syafi’I berkata dalam kitab Ihya’ Ulumiddin :
Dan sesudah ucapan ‘Allahu Akbar’ (takbir) mengucapkan :
الله أكبر كَبِيْراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتْي للهِ رب الْعَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أَمَرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Allah Maha Besar dengan benar-benar Maha Besar. Segala Puji bagi Allah dengan sebanyak-banyaknya. Dan Allah Maha suci pagi dan sore. Saya menghadapkan muka saya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi dengan rendah hati dan sejujur-jujurnya sebagai seorang muslim, bukan sebagai seorang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagiNya. Begitulah saya diperintah, dan saya sebahagian dari orang islam (orang-orang yang berserah diri)”
Kemudian ia membaca :
سُبْحَنَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَجَعَلَ ثَنَاءَ كَ وَلَااِلَهَ غَيْرُكَ
“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan segala puji-Mu. Maha suci namaNya, maha Tinggi kemuliaanMu dan Maha besar PujianMu, dan tidak ada Tuhan selainMu”
(HR. Abu Dawud 775 , Tirmidzi, Hakim dari Aisyah)
[Ihya’ Ulumiddin 1, hal. 508-509]
Pendapat Imam Ghazali ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’I dalam kitab Al-Umm yang penulis kutipkan di atas (pen.)

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Seseorang yang mengerjakan shalat disunahkan membaca salah satu diantara do’a yang pernah dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu bacaan pembukaan shalat setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca al-Fatihah.
Imam Ahmad mengatakan, “Saya akan mengamalkan apa yang diriwayatkan dari Umar, meskipun membaca do’a iftitah-iftitah lainnya juga dianggap baik”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 205]

Imam Ash-Shan’ani berkata :
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab At-Talkhis meriwayatkan dari As-Syafi’i dan dari Ibnu Khuzaemah, bahwa do’a tersebut (Wajjahtu….) dibaca pada shalat-shalat wajib dan bahwa hadits Ali Rhadiallahu ‘anhu menjelaskan hal tersebut.
Berdasarkan perkataan Ibnu hajar di atas, bisa disimpulkan bahwa bacaan ini dikhususkan untuk shalat wajib atau bisa juga ia bersifat umum untuk semua shalat, sehingga seseorang boleh memilih untuk membaca bacaan ini sesudah takbiratul ikhram atau memilih do’a yang lain. [Subulus salam 1, hal. 441]

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Tidak diragukan lagi, bahwa riwayat yang paling shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang lebih utama diikuti dan dipilih. Adapun riwayat yang paling shahih mengenai do’a iftitah adalah hadits Abu Hurairah, kemudian hadits Ali.
[Bustanul Ahbar 1/469]


Wallahu a’lam.

NIAT SHALAT

NIAT SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Renungan
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : 
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية مسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. [Riwayat Bukhari dan Muslim], dan dalam riwayat Muslim disebutkan: Barangsiapa yang melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”  [HR.  Al-Bukhari  no. 2697;  Muslim no. 1718, 17, dan 18; Ahmad no. 256, dan 270; Abu Dawud no. 4606;  Ibnu Majah no.14]

Pendahuluan
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata  :
وأما النية فاتفق العلماء على كونها شرطا في صحة الصلاة لكون الصلاة هي رأس العبادات التي وردت في الشرع
Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat syah shalat. Sebab dalam syarak, niat merupakan pangkal semua ibadah. [Bidayatul Mujtahid 1, hal. 264].  
Umar bin Alchattab Rodhiyallahu ‘anhu. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam bersabda :
اِنَّمَاالْأَ عْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ مْرِىءٍ مَّانَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِمْرَأةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَجَرَ اِلَيْهِ
"Sesungguhnya Sahnya  suatu perbuatan tergantung niatnya. Dan yang teranggap bagi tiap orang adalah menurut apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niat hijrah kepadaNya. (HR. Buchari no. 1)
[lihat Riyadus Salihin 1, hal. 11 ; lihat Al-Jami'us Saghir 1, hal. 31]

Definisi Niat
Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani dalam kitab Fat-hul Mu’in arti niat menurut syara :
هو قصد الشيء مقترنا بفعله
“Bermaksud sesuatu yang disertai dengan mengerjakannya” [Fat-hul Mu’in 1, hal. 148]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim menyatakan,
النيةُ هي القصدُ والعزمُ على فعلِ الشيء ومَحلُّها القلبُ ، لا تعَلُّقَ لها باللسانِ أصلا ولذلك لم ينقل عن النبي ولا عن أصحابه في النية لفظ بحال
"Arti niat adalah menyengaja dan bermaksud secara sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Tempatnya adalah di dalam hati dan ia tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan penuturan lisan.  [Fiqih Sunnah 1, hal. 187].


Melafadzkan Niat
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam tidak melafadzkan niat dalam shalat dan tidak pula memerintahkan melafadzkan niat dalam shalat
Dari Abu Hurairah Rodhiyallahu ‘anhu., Nabi Shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
فَإِذَا قُمْتَ اِلىَ الصَّلاةِ فأسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
"Apabila kamu berdiri hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu takbirlah" (Al-Hadits) [lihat Nailul Author 2, 477; Bulughul Maram, hal. 112]

Dari Humaid  Rodhiyallahu ‘anhu.,dia berkata,
اَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم كانَ اِذَا قَامَ اِلىَ الصَّلاةِ اِعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ  ثُمَّ قَالَ : الله اَكْبَرْ
"Apabila Nabi Shallallahu ‘alihi wasallam berdiri hendak mengerjakan shalat, beliau berdiri tegak lurus dan mengangkat kedua belah lengannya, lalu mengucapkan 'Allahu Akbar'" (HR.Ibnu Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)  [lihat Fiqih Sunnah 1, hal. 188].

Dari Ummul Mu’minin A’isyah Rodhiyallahu ‘anha berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ
“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- membuka shalatnya dengan takbir” .[HR. Muslim dalam Ash-Shahih (498)]

Dari Rifa’ah bin Rafi’, ia berkata : Seorang laki-laki dating dan shalat di masjid Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia dating memberi salam kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau berkata kepadanya :
أَعِدْ صَلَاتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ  تَُصَلِّ فَعَادَ فَصَلَّى كَنَحْوٍ مِمَّا صَلَّى فقال النبي صلى الله عليه وسلم أَعِدْ صَلَاتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ  تَُصَلِّ فقال عَلَّمْنِي يا رسول الله كَيْفَ أُصَلِّى قَالَ إِذَا تَوَجَّهْتَ إِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ
“Ulangilah shalatmu, karena sesungguhnya engkau belum mengerjakan shalat”. Maka ia mengulangi shalatnya seperti yang pertama. Lalu Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi kepadanya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum mengerjakan shalat”. Lalu ia berkata, “Ajarkanlah kepadaku, wahai Rasulullah, bagaimana aku mengerjakan shalat”. Rasul Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila engkau menghadap kiblat, maka bertakbirlah …dst
[HR. Abu Daud,  Muslim, Bab “Shalat”]
Hadits-hadits tersebut diatas menggambarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam tidak melafadzkan niat dalam shalat dan tidak pula memerintahkan melafadzkan niat dalam shalat.

Pendapat Para Ulama Tentang Melafadzkan Niat Shalat
Abu Ishaq As-Sirozi Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Muhadzdzab, mengatakan :
ومحل النية القلب فان نوى بقلبه دون لسانه أجزأه ومن اصحابنا من قال ينوى بالقلب ويتلفظ باللسان وليس بشئ لان النية هي القصد بالقلب
Tempat niat adalah di dalam hati. Jika berniat di dalam hati dan tidak diucapkan dengan lisan diperbolehkan. Sebagian sahabat kami berpendapat : “Berniat di hati dan diucapkan secara lisan” Pendapat ini tidak benar, karena niat adalah berkehendak dengan hati.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 3/525]

Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I berkata :
الجهر بالنّية وبالقراءة خلف الإمام ليس من السنّة، بل مكروه، فإن حصل به تشويش على المصلّين فحرام، ومن قال بإن الجهر بلفظ النيّة من السنّة فهو مخطئ، ولا يحلّ له ولا لغيره أن يقول في دين الله تعالى بغير علم
 “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A'lam 3/194 [10]
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 153 ;
. (و) سن (نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ) قبل التكبير، لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القلبَ، وخُرُوجًا من خلافٍ من أوجبَهُ.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”

Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm  berkata : 
والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Niat tidak bisa menggantikan kedudukan takbir, namun niat tidak cukup apabila tidak disertai takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak pula sesudahnya. (niat bersamaan dengan takbiratul ihram, pen). [Lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 155].
  
Imam Syafi’i  berkata :
حَكَيْنَا مِنْ الْأَحَادِيثِ عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ نِيَّةَ الْمُلَبِّي كَافِيَةٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُظْهِرَ مَا يُحْرِمُ بِهِ كَمَا تَكُونُ نِيَّةُ الْمُصَلِّي مَكْتُوبَةً أَوْ نَافِلَةً أَوْ نَذْرًا كَافِيَةً لَهُ مِنْ إظْهَارِ مَا يَنْوِي مِنْهَا
Hadits-hadits yang telah kami riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan dalil bahwa niat sesorang yang ber-talbiyah itu hanya di hati (tidak dilafadzkan), hal itu sudah cukup dan sah. Jadi sesoerang yang berihram tidak perlu melafadzkan niat ihramnya. Hal ini sebagaimana niat seseorang untuk shalat wajib, shalat sunnah atau shalat nadzar yang hanya terdapat di dalam hati, maka hal itu sudah cukup dengan tidak perlu dilafadzkan dengan lisan.  [Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 618].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan :
وهذه العبارات التي أحدثت عند افتتاح الطهارة والصلاة، قد جعلها الشيطان معتركا لاهل الوسواس
bahwa Penuturan niat pada lisan pada saat memulai bersuci dan mengerjakan shalat akan membukakan ruang kepada syetan untuk selalu mengganggu dan menanamkan rasa was-was dalam diri seseorang.  [Fiqih Sunnah 1, hal. 187]

Kesimpulan :
  1. Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa niat merupakan salah satu rukun shalat, sehingga tanpa niat shalat tidak sah.
  2. Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa niat tempatnya di dalam hati.
  3. Para ulama berbeda pendapat tentang hokum melafadzkan niat shalat, sebagian berpendapat sunnah, sebagian berpendapat bid’ah atau makruh.

Wallahu a’lam.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...