Minggu, 06 Desember 2009

SHALAT JUM'AT DI HARI RAYA

SHALAT JUMAT DI HARI RAYA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Pendahuluan
Sering terjadi Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat. Dalam kondisi demikian timbul permasalahan di kalangan umat islam apakah masih perlu untuk menghadiri shalat Jumat bagi orang yang sudah melaksanakan shalat Ied di pagi harinya, atau cukup shalat Ied saja, tidak perlu melaksanakan shalat Jum’at.
Berikut ini akan kami tuliskan perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hal tersebut beserta alasan-alasan dan dalil-dalil masing-masing.

Pendapat Ulama Tentang Shalat Jumat pada Hari Raya
Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm :
Diriwayatkan dari Abu Ubaid (bekas budak Ibnu Azhar) –
شهدت العيد مع عثمان بن عفان فجاء فصلى ثم انصرف فخطب فقال إنه قي اجتمع لكم في يومكم هذا عيدان فمن أحب من أهل اعلاية أن ينتظر الجمعة فلينتظرها ومن أحب أن يرجع فليرجع فقد أذنت له
“Saya menghadiri Shalat Hari raya bersama Utsman bin Affan Radhiallahu ‘anhu, ia mengerjakan shalat lalu berpaling dan berkutbah seraya berkata, “Telah berkumpul atas kalian dua hari raya, maka barangsiapa termasuk dalam golongan orang-orang yang memiliki derajat tinggi, hendaklah ia menunggu Jum’at. Namun barangsiapa hendak kembali, maka kembalilah, karena saya telah memngizinkannya”
Imam Syafi’i berkata :
وإذا كان يوم الفطر يوم الجمعة صلى الإمام العيد حين تحل الصلاة ثم أذن لمن حضره من غير أهل المصر في أن ينصرفوا إن شاءوا إلى أهليهم ولا يعودون إلى الجمعة والاختيار لهم أن يقيموا حتى يجمعوا أو يعودوا بعد انصرافهم إن قدروا حتى يجمعوا وإن لم يفعلوا فلا حرج إن شاء الله تعالى
Apabila Idul Fitri bertepatan dengan hari Jum’at, maka imam boleh melaksanakan shlata Idul Fitri pada waktunya, kemudian mengizinkan orang-orang yang bukan dari penduduk setempat untuk kembali kepada keluarga mereka jika mereka menghendaki, dan melakukan shalat jum’at di tempat pemukimannya masing-masing. Imam memberikan pilihan kepada orang-orang yang menetap untuk menunggu shalat Jum’at, atau kembali lagi setelah pulang. Hal itupun jika mereka sanggup, lalu mereka melaksanakan shalat jum’at. Namun apabila mereka tidak sanggup, maka hal itu tidak mengapa. Insya Allah.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 337]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at, gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah mengerjakan shalat hari raya. Hal ini berdasarkan hadits dari Zaid bin Arqam, ia berkata,
صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَالَ: "مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ".
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat Hari Raya kemudian memberi kelonggaran dalam mengerjakan shalat Jum’at. Beliau bersasbda, ‘Siapa yang ingin mengerjakan shalat Jum’at maka kerjakanlah’” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu,
عن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قال: "قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ : فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمْعَةِ، وَإِنَّا مُجْمَعُوْنَ"
“Pada harimu ini (Jum’at) telah berkumpul dua hari raya. Karena itu, barangsiapa yang mengerjakan shalat hari raya maka ia sudah mewakili shalat jum’atnya, tapi kami tetap melakukan shalat Jum’at” (HR. Abu Dawud no. 1073)

Sayyid Sabiq berkata : Menurut Mazhab Hambali, orang yang tidak mengerjakan shalat jumat karena sudah mengerjakan shalat hari raya, ia masih berkewajiban mengerjakan shalat zuhur. Tetapi pendapat yang lebih kuat adalah tidak wajib mengerjakan shalat zuhur sama sekali sebab ada riwayat Abu Dawud dari Ibnu Zubair yang menegaskan,
عِيْدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمِ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيْعاً، فَصَلَاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرِ
“Dua hari raya telah berhimpun dalam satu hari, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan keduanya dan mengerjakan shalat dua rekaat pada pagi harinya serta beliau tidak mengerjakan shalat lagi hingga beliau melakukan shalat ashar” (HR. Abu Dawud no. 1072)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 481].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
فقال قوم: يجزئ العيد عن الجمعة وليس عليه في ذلك اليوم إلا العصر فقط، وبه قال عطاء، وروي ذلك عن ابن الزبير وعلي.
Menurut Atha’ cukup shalat hari raya saja, tanpa shalat Jum’at dan zuhur. Ini diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan Ali.
Diriwayatkan oleh Malik , dari Utsman :
مَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمْعَةَ فَلْيَنْتَظِرْ، ومَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ
“Barangsiapa dari penduduk pinggiran Madinah yang ingin menunggu shalat jum’at tunggulah. Dan barangsiapa yang ingin pulang pulanglah” (HR. Malik)

وقال مالك وأبو حنيفة: إذا اجتمع عيد وجمعة فالمكلف مخاطب بهما جميعا، العيد على أنه سنة، والجمعة على أنها فرض، ولا ينوب أحدهما عن الأخر، وهذا هو الأصل إلا أن يثبت في ذلك شرع يجب المصير إليه، ومن تمسك بقول عثمان، فلأنه رأى أن مثل ذلك ليس هو بالرأي وإنما هو توقيف، وليس هو بخارج عن الأصول كل الخروج. وأما إسقاط فرض الظهر والجمعة التي هي بدله لمكان صلاة العيد فخارج عن الأصول جدا، إلا أن يثبت في ذلك شرع يجب المصير إليه.
Menurut Malik dan Abu Hanifah, tidak ada perubahan hukum, tiap mukallaf tetap melaksanakan dua-duanya, karena shalat hari raya itu sunat sedangkan shalat jumat itu wajib, maka tidak bisa salat yang satu menggugurkan yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya.
Apabila pendapat Utsman di atas diikuti , maka bukan sebagai dasar ijtihad, melainkan masalah tauqifi yang tidak menyimpang dari hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan Zuhur (pendapat Sayyid Sabiq, pen) benar-benar menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali apabila ada nash yang mendasari.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 486].

Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Maad berkata :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhsah (keringanan) kepada orang-orang yang menghadiri shalat Ied untuk mendengarkan khutbah atau pergi tanpa mendengarkannya. Jika ‘Ied jatuh pada hari Jumat, beliau memberikan rukhsah untuk tidak ikut shalat Jum’at.
[Zaadul Maad 1, hal. 49]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam berkata :
Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Ied, dan beliau memberikan rukhsah (keringanan) untuk shalat Jum’at kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan untuk shalat maka shalatlah” (HR. Khamsah kecuali Tirmidzi, hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaemah)
Hadits ini menjadi dalil bahwa shalat jum’at setelah melaksanakan shalat Ied menjadi rukhsah, boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Ini terkhusus bagi orang yang melaksanakan shalat Ied, tidak bagi orang yang tidak melaksanakannya.
Beliau juga berkata : “Hadits Zaid bin Arqam telah disahihkan oleh Ibnu Khuzaemah, dan tidak ada yang mencela hadits ini selainnya, maka jelas hadits ini bisa menjadi takhsis (penghusus). Hadits ini mengkhususkan dalil umum (tentang wajibnya shalat Jum’at, pen) dengan hadits Ahad.
[Subulus Salam 1, hal. 709]

Kesimpulan :
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat para ulama tentang shalat jum’at pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, terbagi menjadi empat kelompok sebagai berikut :
1. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, boleh meninggalkan shalat Jum’at dalam kondisi tertentu. (Pendapat Imam Syafi’i).
2. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, boleh meninggalkan shalat Jum’at sebagai suatu keringanan, tanpa syarat tertentu. (Pendapat Ibnul Qayim, Imam Ash-Shan’ani).
3. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, tidak perlu melakukan shalat Jum’at dan sahalat zuhur (Pendapat Sayyid Sabiq, Atha’, Ibnu Zubair).
4. Bagi yang sudah melaksanakan shalat Ied, tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at. (Pendapat Ibnu Rusyd, Imam Malik dan Abu Hanifah).

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Pustaka Azzam, 2000.
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Abu Daud, Sunan Abu Daud, mawsoaat_hadeeth_chm_02 (E-book)


***Slawi, Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...