Selasa, 08 Desember 2015

SHALAT DHUHA

SHALAT DHUHA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

KEUTAMAAN SHALAT DHUHA
Sayyid Sabiq berkata dalam kitab Fiqih Sunnah :
Banyak sekali hadits-hadits yang menyatakan keutamaan shalat Dhuha itu.
Dari Abi Dzar bahwa Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"يُصَبِّحْ عَلَى كُلِّ سُلَامِي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ. وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ. وَنَهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ. وَيَجْزِئُ، مِنْ ذَلِكَ، رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى".
Pada setiap pagi, pada tiap-tiapp ruas persendian di antara kalian memiliki hak, yaitu shadaqoh. Setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqoh, setiap tahmid adalah shadaqoh, setiap tahlil adalah shdaqoh, setiap takbir adalah shadaqoh, amar ma’ruf termasuk shadaqoh, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqoh, maka yang mencukupi demikian itu adalah shalat dhuha dua rokaat.” [HR. Muslim Kitabul Masaajid no. 720.}
[ihat Fiqih Sunnah 1, hal. 300 ; lihat Riyadus Shalihin 2, hal.]

Dari Buraidah, bahwa Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‏‏في الإنسانِ ستُّون وثلاثُمِائَةٍ مِفْصَلٍ فعليهِ أن يَتَّصَدَّقَ عن كلِّ مفصلٍ منها صدقةٌ قالوا‏:‏ فمنِ الذي يُطِيْقُ ذلك يا رسولَ اللَّه قال‏:‏ النَّخَاعةُ في المسجد يَدْفَنُهَا أو الشيءِ يُنَحِّيْهِ عن الطريقِ فإن لم يقدرْ فركعتا الضحى تُجْزِئُ عنك

“Dalam tubuh manusia itu ada 360 ruas tulang. Ia harus dikeluarkan sedekahnya untuk tiap ruas tulang tersebut”. Para sahabat bertanya, “Siapakah yang mampu melaksanakan yang seperti itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dahak yang ada di masjid, lalu pendam ke tanah dan membuang sesuatu gangguan dari tengah jalan, maka itu berarti sedekah. Akan tetapi jika tidak mampu melakukan itu semua, cukuplah engkau mengerjakan shalat dhuha”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud) [Nailul Authar 3/57]

Dari Abu HurairAh Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
أَوْصَانِيْ خَلِيْلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ: بِصِيَامٍ ثَلَاثَةٍ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ. وَرَكْعَتِي الضُّحَى. وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ.
Aku telah diberikan nasehat oleh kekasihku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan tiga hal, yaitu berpuasa tiga hari (13-15), pada setiap bulan (Hijriyyah), dua rakaat shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum aku hendak tidur. [HR. Bukhari no. 1981; dan Muslim no: 721.Sunnan Tismidzi 1454]
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Baari berkata :
وَفِي هَذَا دَلَالَة عَلَى اِسْتِحْبَاب صَلَاة اَلضُّحَى وَأَنَّ أَقَلَّهَا رَكْعَتَانِ ، وَعَدَم مُوَاظَبَةِ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فِعْلِهَا لَا يُنَافِي اِسْتِحْبَابهَا لِأَنَّهُ حَاصِلٌ بِدَلَالَةِ اَلْقَوْلِ ، وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِ اَلْحُكْمِ أَنْ تَتَضَافَرَ عَلَيْهِ أَدِلَّة اَلْقَوْلِ وَالْفِعْلِ ،
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa shalat dhuha hukumnya mustahab (disukai) dan batas minimalnya adalah dua rekaat. Adapun sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak melakukan perbuatan tersebut secara terus menerus tidak menafikan kesimpulan di atas, karena hal itu telah diperoleh dari perkataan beliau dan tidak menjadi syarat bahwa suatu hokum didasarkan pada dalil yang bersumber dari perkataan dan perbuatan sekaligus. [Fathul Baari 4/361]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus Salam berkata :
من فَوَاِئِد صلاةِ الضحى أنها تُجزىءُ عن الصدقةِ التي تُصبِحُ على مَفاصِلِ الإنسان في كل يوم وهي ثلاثمائةٍ وستون مِفْصلاً،
Diantara faedah shalat dhuha, bahwa shalat dhuha dicatat sebagai sedekah yang dilakukan persendian manusia dalam setiap harinya yang berjumlah 360 sendi.
[Subulus Salam 1/94 (1/.613)]

HUKUM SHALAT DHUHA
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Shalat dhuha hukumnya adalah sunnah. Oleh karena itu barangsiapa yang menginginkan pahalanya, hendaklah ia mengerjakanya. Tetapi jika tidak mengerjakan, maka tidak mengapa.
Abu Sa’id r.a. berkata,
كان ولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يصلِّى الضحى حتى نقولَ لا يَدْعُهَا, وَيَدَعُهَا حتى نقولَ لا يُصَلِّيْهَا    
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam  selalu mengerjakan shalat dhuha sampai-sampai kami mengira bahwa belaiu tidak pernah meninggalkannya, tetapi kalau sudah meninggalkan sampai-sampai kami mengira beliau tidak pernah mengerjakannya.” (HR Tirmidzi dan katanya: “Hadits ini hasan) [Fiqih Sunnah 1/149]

WAKTU PELAKSANAANNYA
Sayyid Sabiq berkata : Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari mulai makin menyengat.
Zaid bin Arqam Rhadiallahu ‘anhu berkata :
خَرَجَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ. فَقَالَ "صَلَاةُ الْأَوَّابِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ"
 “Nabi Shallallahu’alaihi wasallam  . keluar menuju tempat penduduk Quba’i. Ketika itu mereka sedang mengerjakan shalat dhuha. Beliau bersabda, ‘Inilah waktu shalat al-Awwabin (shalat shuha), yaitu sewaktu anak-anak unta telah bangkit karena kepanasan cahaya matahari pagi.’” (HR Ahmad, Muslim no. 748, dan Tirmidzi 1457)
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
قلت قال أصحابنُا وقتُ الضحى من طلوع الشمس ويُسْتَحَبُّ تأخيرُها إلى اِرْتِفَاعِها  قال الماوَرْدِي ووقْتُها المُخْتَارُ إذا مضى رُبْعُ النهارِ والله أعلم
Saya katakan, “Para sahabat Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa waktu shalat Dhuha adalah mulai dari terbitnya matahari. Dan disunnahkan untuk melambatkan mengerjakannya sampai matahari naik. Menurut Imam Al-Mawardi waktu Dhuha itulah yang dipilih, jika matahari itu telah berada di seperempat siang. Wallahu a’lam.
[Raudhatuth Thalibin 1/311 (1/675)].

JUMLAH RAKAATNYA
Ummu Hani’ berkata,
اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتِ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Nabi Shallallahu’alaihi wasallam  pernah mengerjakan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat. Pada setiap dua rakaat, beliau mengucapkan salam.” (HR Abu Dawud dengan sanad shahih)

Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha ia berkata,
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الضُّحَى اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيْدُ مَاشَاءَ اللهُ
“Nabi Shallallahu’alaihi wasallam  mengerjakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, lalu beliau menambah rakaat berikutnya tanpa ada hitungan yang pasti.” (HR Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah) [Bughul Maram, hal. 166]
Imam Ash-Shan’ani berkata :
هذا يدل على شرعية صلاة الضحى وأن أقلها أربع وقيل : ركعتان وهذا في الصحيحين من رواية أبي هريرة " وركعتي الضحى
Ini menunjukkan disyari’atkannya shalat Dhuha dan  paling sedikit empat rekaat, dan dikatakan dua rekaat, dan ini ada dalam kitab Shahihain dari riwayat Abu Hurairah : dua rekaat Dhuha.
[Subulussalam]

Dari Anas  Rhadiallahu ‘anhu ia berkata,
قَالَ رَسُولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "مَنْ صَلَّى الضُّحَى اثْنَتَيْ عَشَرَةَ رَكْعَةً بَنَى الله لَهُ قَصْراً فِي الْجَنَّةِ"
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam  bersabda, ‘Barangsiapa melakukan shalat dhuha dua belas rekaat maka Allah membangunkan istana di surga’ (HR. Tirmidzi).
[Bulughul Maram, hal. 166]
*AlHafidz Ibnu Hajar dalam kitab Talkhis berkata : Sanadnya Dho’if.

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
وأقَلُّهَا ركعتان وأفضلُها ثمانٍ وأكثرُها اِثنا عَشَرَ ويُسَلِّمُ من كل ركعتين
Shalat Dhuha paling sedikit dikerjakan dua rekaat dan lebih afdhol delapan rekaat, dan paling banyak dikerjakan sebanyak dua belas rekaat serta memberi salam pada tiap-tiap dua rekaat.
[Raudhatuth Thalibin 1/311 ; lihat Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 4/35-36]

Sayyid Sabiq berkata, Jumlah rekaat shalat dhuha paling sedikit dua rekaat dan paling banyak delapan rekaat. [Fiqih Sunnah 1, hal.304]

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Mayoritas yang dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam  adalah delapan rekaat, sedangkan mayoritas yang diriwayatkan dari ucapan beliau adalah dua belas rekaat.
[Nailul Authar 1, hal. 664].

SHALAT DHUHA BERJAMAAH
Shalat Dhuha boleh dikerjakan secara berjama’ah. Dalam kitab Fathul Bari (Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dinukilkan hadis ‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَة اَلضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِه
Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah melakukan sholat Dhuha (subhata adh-dhuha) di rumahnya [rumah 'Itban bin Malik], lalu orang-orang berdiri di belakang beliau dan mereka pun sholat dengan sholat beliau. (Shahih Ibnu Huzaimah no. 1231; Musnad Ahmad no. 23773; Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 4/177).

Kesimpulan
1.     Shalat Dhuha adalah shalat sunnah yang mempunyai keutamaan yang tinggi.
2.    Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah setelah matahari terbit sampai menjelang waktu dhuhur.
3.    Shalat Dhuha paling sedikit dikerjakan dua rekaat, dan paling banyak dikerjakan sebanyak dua belas rekaat serta memberi salam pada tiap-tiap dua rekaat.
4.    Shalat  dhuha boleh dikerjakan secara berjamaah.


Wallahu a’lam

Senin, 19 Oktober 2015

MENYANTUNI ANAK YATIM



MENYANTUNI ANAK YATIM
Oleh : Masnun Tholab

 إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Pengertian Anak Yatim
Secara bahasa, yatim artinya al-fardu (sendirian) dan segala sesuatu yang ditinggal oleh sesuatu yang serupa dengannya. (As-Shihah fi Al-Lughah, kata: يتم)
Ibnu Sikkith mengatakan:
الْيَتِيمُ فِي النَّاسِ مِنْ قِبَل الأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ مِنْ قِبَل الأُمِّ، وَلاَ يُقَال لِمَنْ فَقَدَ الأُمَّ مِنَ النَّاسِ يَتِيمٌ
“Kata ‘yatim’ untuk manusia, karena ayahnya meninggal, sedangkan untuk binatang, kata ‘yatim’digunakan untuk menyebut binatang yang kehilangan ibunya. Manusia yang kehilangan ibunya tidak bisa disebut yatim.” (Lisanul ‘Arab, 12:645).
Sedangkan kata piatu bukan berasal dari bahasa arab, kata ini dalam bahasa Indonesia dinisbatkan kepada anak yang ditinggal mati oleh Ibunya, dan anak yatim-piatu : anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Masa keyatiman seorang anak itu ada batasnya, yaitu ketika ia telah baligh dan tampak rusyd (kemandirian) pada dirinya. Firman Allah SWT:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” [QS. an-Nisa', 4: 6].

Anjuran Memelihara dan Menyantuni Anak Yatim
Betapa agungnya ajaran Islam, ajaran yang universal ini menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi, Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan  melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang hal ini. Dalam surat Al-Ma’un misalnya, Allah swt berfirman:
أرأيت الذي يكذب بالدين ، فذلك الذي يدع اليتيم ، ولا يحض على طعام المسكين
“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama, itulah orang yang menghardik anak  yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin ” {QS. Al-ma’un : 1-3}
Orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin, dicap sebagai pendusta Agama yang ancamannya berupa api neraka
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman :
فأما اليتيم فلا تقهر ، وأما السا ئـل فلا تنهر
“Maka terhadap anak yatim maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.  Dan terhadap pengemis janganlah menghardik”.{QS.  Ad-Dhuha : 9 – 10 )

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menggambarkan bahwa para pemelihara anak yatim akan tinggal di surga berdekatan dengan beliau ibarat dua jari.
Diriwayatkan dari Sahl, Rasulullah saw bersabda:
وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا 
”Aku dan pemelihara anak yatim, di surga seperti ini. Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit.” [HR. Al-Bukhari].
  • Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).]
  • Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113).]
  • Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu [Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113) dan “Faidhul Qadiir” (3/49).]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى 
 ‘”Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.’ Lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah.” [HR. Muslim].

Dari Abu Umamah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من مسح رأس يتيم لا يمسحه الا لله كان له بكل شعرة تمر يده عليها حسنة
“Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah disetiap rambut yang ia usap, Allah berikan kebaikan” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, sanadnya dho’if)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan hatinya kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: ‘Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.’” [HR. Ahmad dengan perawi shahih].

Menurut Ibn Hajar al-Haytamy maksud mengusap kepala anak yatim diatas adalah makna hakiki (arti sebenarnya)
والمراد من المسح في الحديث الثاني حقيقته كما بينه آخر الحديث وهو ( من مسح رأس يتيم لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة تمر عليها يده عشر حسنات
Yang dimaksud dengan mengusap dalam hadits kedua diatas adalah arti sebenarnya seperti dijelaskan pada hadits lain “Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-mata karena Allah disetiap rambut yang ia usap, Allah berikan sepuluh kebaikan,
[Al-Fataawaa al-Haditsiyyah Li Ibni Hajar I/43]

Namun menurut imam at toyyi dalam kitab Marqaah al-Mafaatiih Imam al-Malaa Ali al-Qaariy al-Hanafy yang dimaksud kata ‘mengusap’ pada hadits diatas adalah arti kinayah dari memberikankasih sayang serta berbuat penuh kelembutan dan cinta kasih pada mereka .
 قال الطيبي: مسح رأس اليتيم كناية عن الشفقة والتلطف إليه، ولما لم تكن الكناية منافية لإرادة الحقيقة لإمكان الجمع بينهما
"Abu Thayyib berkata: "Mengusap kepala anak yatim adalah sebuah kinayah  tentang kasih sayang, sikap lemah lembut, dan  makna kinayah tidak bertentangan dengan hakiki karena dimungkinkan untuk dipadukankan keduanya". (Mirqatul Mafatih, 8/3115) 
 Menyantuni Anak Yatim pada Bulan Muharam
Terdapat sebuah hadits dalam kitab tanbihul ghafilin:
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. Ia berkata , Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشَرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشَرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ أُعْطِيَ ثَوَابَ حَاجٍّ ، وَمُعْتَمِرٍ ، وَمَنْ مَسَحَ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ رُفِعَتْ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ عَلَى رَأْسِهِ دَرَجَةٌ فِي الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang berpuasa pada hari Assyuuraa' yakni 10 Muharram, maka Allah akan memberikan kepadanya pahala 10,000 malaikat; dan barangsiapa yang puasa pada hari Assyuuraa', maka akan diberikan pahala 10, 000 orang mati syahid ; dan barangsiapa yang puasa pada hari Assyuuraa', maka akan diberikan pahala 10, 000 orang Haji dan Umrah; dan siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Assyuuraa', maka Allah akan menaikkan dengan rambut satu darjat di surge”
Namun sayangnya, ternyata hadis di atas statusnya adalah hadis palsu. Dalam jalur sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama: Habib bin Abi Habib, Abu Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi ini matruk (ditinggalkan). Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para ulama kibar dalam hadis tentang Habib bin Abi Habib:
a. Imam Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).
Karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadis batil, tidak ada asalnya.” (al-Maudhu’at, 2/203)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
شَرْعُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِلْعَمَلِ بِوَصْفِ الْعُمُومِ وَالْإِطْلَاقِ لَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَشْرُوعًا بِوَصْفِ الْخُصُوصِ وَالتَّقْيِيدِ
“Jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu amalan dengan maksud umum dan mutlak, maka itu tidak menunjukkan mesti dikhususkan dengan cara dan aturan tertentu.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 196)

Namun sebagian ulama biasa mengamalkan mengusap anak yatim pada hari Asyura sejak dahulu.
Imam al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, (508-597 H/1114-1201 M), seorang ulama ahli hadits terkemuka bermadzhab Hanbali, dalam kitabnya al-Majalis menjelaskan banyak kebiasaan-kebiasaan ulama yang dilakukan  pada Asyuro sebagai berikut:
فَوَائِدُ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ
اَلْفَائِدَةُ اْلأُوْلَى: يَنْبَغِيْ أَنْ تَغْسِلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَقَدْ ذُكِرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ فِيْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ زَمْزَمَ إِلىَ سَائِرِ الْمِيَاهِ، فَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَئِذٍ أَمِنَ مِنَ الْمَرَضِ فِيْ جَمِيْعِ السَّنَةِ، وَهَذَا لَيْسَ بِحَدِيْثٍ، بَلْ يُرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. اْلفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ: الصَّدَقَةُ عَلىَ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ. اْلفَائِدَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَمْسَحَ رَأْسَ الْيَتِيْمِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةُ أَنْ يُفَطِّرَ صَائِمَا. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةُ أَنْ يُسْقِيَ الْمَاءَ. اَلْفَائِدَةُ السَّادِسَةُ أَنْ يَزُوْرَ اْلإِخْوَانَ. اَلْفَائِدَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَعُوْدَ الْمَرِيْضَ. اَلْفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ أَنْ يُكْرِمَ وَالِدَيْهِ وَيَبُرَّهُمَا. الْفَائِدَةُ التَّاسِعَةُ أَنْ يَكْظِمَ غَيْظَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْعَاشِرَةُ أَنْ يَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ. اَلْفَائِدَةُ الْحَادِيَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّانِيَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ. اَلْفَائِدَةُ الثَّالِثَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُمِيْطَ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. اَلْفَائِدَةُ الرَّابِعَةَ عَشَرَةَ أَنْ يُصَافِحَ إِخْوَانَهُ إِذَا لَقِيَهُمْ. اَلْفَائِدَةُ الْخَامِسَةَ عَشَرَةَ: أَنْ يُكْثِرَ فِيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ وَمَنْ نَظَرَ إِلَيْهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا 
"Beberapa faedah amalan shaleh pada hari Asyura : 1) Mandi pada hari Asyura. Telah disebutkan bahwa Allah SWT membedah komunikasi air Zamzam dengan seluruh air pada malam Asyura’. Karena itu, siapa yang mandi pada hari tersebut, maka akan aman dari penyakir selama setahun. Ini bukan hadits,  akan tetapi diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. 2) Bersedekah kepada fakir miskin. 3) Mengusap kepala  anak yatim. 4) Memberi buka orang yang berpuasa.5) Memberi minuman kepada orang lain. 6) Mengunjungi saudara seagama. 7) Menjenguk orang sakit. 8) Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua. 9) Menahan amarah dan emosi. 10) Memaafkan orang  yang telah berbuat aniaya. 11) Memperbanyak ibadah shalat, doa dan istighfar. 12) Memperbanyak dzikir kepada Allah. 13) Menyingkirkan apa saja yang mengganggu orang di jalan. 14) Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya. 15) Memperbanyak membaca surat al-Ikhlash sampai seribu kali. Karena atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang membaca 1000 kali surah al-Ikhlash pada hada hari Asyura, maka Allah akan memandang-Nya. Siapa yang dipandang oleh Allah, maka Dia tidak akan mengazabnya selamanya. (Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, kitab al-Majalis halaman 73-74, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Penjelasan yang sama juga dikemukan oleh Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus al-Makki, ulama Syafi’iyah terkemuka dan pengajar di Masjid al-Haram, dalam kitabnya Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah al-Ma’tsurah allati Tasyrah al-Shudur, halaman 82, sebagai berikut:

 
فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ # بِهَا اثْنَتَانِ وَلَهَا فَضْلُ نُقِلْ صُمْ صَلِّ صِلْ زُرْ عَالِمًا عُدْ وَاكْتَحِلْ # رَأْسَ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ وَسِّعْ عَلىَ الْعِيَالِ قَلِّمْ ظَفَرَا # وَسُوْرَةَ اْلإِخْلاَصِ قُلْ أَلْفًا تَصِلْ
"Pada hari Asyura terdapat dua belas amalan yang memiliki keutamaan: 1) Puasa, 2) Memperbanyak ibadah shalat. 3)  Shilaturrahmi dengan keluarga dan family. 4) Berziarah kepada ulama. 5) Menjenguk orang sakit. 6) Memakai celak mata. 7)  Mengusap kepala anak yatim. 8) Bersedekat kepada fakir miskin. 9) Mandi. 10) Membuat menu makanan keluarga yang istimewa.  11) Memotong kuku. 12) Membaca surah al-Ikhlash 1000 kali"

Imam Zaenudin dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وأما أحاديث الاِكْتِحَالِ والغسل، والتَّطَيُّبِ في يوم عاشوراء، فمِنْ وَضْعِ الكذابين
Sedangkan hadits-hadits mengenai sunat bercelak mata, mandi, dan memakai wangi-wangian pada hari Asyura adalah penetapan orang-orang pendusta. [Fat-hul Mu’in 1, hal. 666].

Kesimpulan
  1. Allah Subhanahu wata’ala dan RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memelihara dan menyantuni anak yatim.
  2. Allah Subhanahu wata’ala melalui RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan keutamaan yang tinggi bagi orang-orang yang memelihara dan menyantuni anak yatim.
  3. Para ulama berpendapat, tidak ada hadits shahih yang menganjurkan menyantuni anak yatim pada bulan tertentu, termasuk pada bulan Muharram.
Wallahu a’lam.

Kamis, 08 Oktober 2015

ADZAN UNTUK ORANG MATI

ADZAN UNTUK ORANG MATI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Renungan
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : 
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية مسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. [Riwayat Bukhari dan Muslim], dan dalam riwayat Muslim disebutkan: Barangsiapa yang melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”
 [HR.  Al-Bukhari  no. 2697;  Muslim no. 1718, 17, dan 18; Ahmad no. 256, dan 270; Abu Dawud no. 4606;  Ibnu Majah no.14]

Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah berkata:
 فيه دليل على أن العبادت من الغسل والوضوء والصوم والصلاة اذا فعلت خلاف الشرع تكون مردودة على فاعلها
"Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa semua bentuk ibadah baik mandi, wudhu, puasa, dan shalat, apabila dikerjakan tidak sesuai dengan ketetapan syariat (Islam) maka amalan ibadah itu tertolak dari pelakunya" [Syarhu Matan Al-Arba'iin An-Nawawiyyah (hlm. 31)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
 هذا الحديث مما ينبغي حفظُه واستعمالُه في ابطال المنكرات وإشاعة الاستدلال به
"Hadits ini seharusnya dihafal dan digunakan sebagai dalil untuk menolak kemungkaran dan upaya penyebaran istidlal (pendalilan) dengannya" [ Fathul Baari Bi-Syarhi Shahiih Al-Bukhari (5/302-303)]

Hadits Tentang Adzan Di Liang Kubur
Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الآذَانَ مَا لَمْ يَطَيَّنْ قَبْرُهُ
Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
وَإِسْنَادُهُ بَاطِلٌ ، فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ الطَّايَكَانِيِّ وَقَدْ رَمَوْهُ بِالْوَضْعِ .
“Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai pemalsu hadis.” (At-Talkhish Al-Habir, 2:389)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan,
هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ini adalah hadis palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’at, 3:238, hadits no. 710)
As-Suyuthi menilai, setelah menyebutkan hadis ini:
موضوع, الحسن لم يسمع من ابن مسعود
“Palsu, hasan tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud.” (Al-La`ali Al-Mashnu’ah, 2:365)
Imam Ad-Dzahabi mengatakan,
فيه محمد بن القاسم الطايكاني ,كذاب
“Dalam sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Qasim At-Thayakani, pendusta. (Talkhis Al-Maudhu’at Ad-Dzahabi, 938)
Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menganjurkan adzan ketika memakamkan jenazah.

Pendapat Para Ulama Tentang Adzan di Liang Kubur
Ibnu Hajar al Haitami Asy-Syafi’I pernah ditanya tentang hukum adzan dan iqomat tatkala membuka liang lahad lalu Ibnu Hajar menjawab:
هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ
Bahwa hal itu adalah bid’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa adzan dan iqomat tatkala turun ke kuburan adalah sunnah dengan mengqiyaskannya dengan disunnahkannya adzan dan iqomat terhadap bayi yang baru dilahirkan serta dengan alasan bahwa akhir suatu perkara mengikuti awalnya maka ini adalah pernyataan yang salah. Betapa banyak sesuatu yang menyatukan antara dua perkara dan sebatas bahwa begini diawalnya dan begitu di akhirnya sesungguhnya tidak mengharuskan yang akhir mengikuti yang awal. (Fatawa al Fiqhiyah al Kubro juz III hal 166)

Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi Asy-Syafi’I menegaskan,
واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)

Al-Bujaiirimi Asy-Syafi’I berkata :
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Al-Manhaj, 5:38)

Ibnu Qudamah Al-Hanbali berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)

Ibnu Abidin Al-Hanafi  mengatakan,
أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)

Asy-Syaikh Khalil  Al-Maliki, mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .
Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)

Kesimpulan
Mayoritas Ulama berpendapat, tidak disyari’atkan adzan  di liang kubur ketika menguburkan jenazah.
Wallahu a’lam.


YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...