Sabtu, 30 Agustus 2014

SHALAT IED DI LAPANGAN



SHALAT IED DI LAPANGAN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده  اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Renungan
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun"(HR. Ibnu Majah  no. 209)
Imam Al-Bukhari berkata :
افضل المسلمين رجل احيا سنة من سنن الرسول صلى الله عليه و سلم قد اميتت فاصبروا يا اصحاب السنن رحمكم الله فإنكم اقل الناس
Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang sudah ditinggalkan manusia (jarang diamalkan). Bersabarlah wahai para penyeru sunnah rohimakumullah. Karena sesungguhkan kalian berjumlah sedikit.
[Al-Jami’u li akhlakir rowi]

Keutamaan Shalat Ied di Lapangan
Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa shalat Ied, baik iedul Fitri maupun Iedul Adha, boleh dikerjakan di masjid dan boleh juga dikerjakan di tanah lapang. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat Ied di lapangan lebih utama daripada shalat ied di masjid, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وُيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
"Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar di hari raya idul fitri dan idul adha menuju lapangan. Maka sesuatu yang paling pertama kali beliau mulai adalah shalat ied, kemudian beliau berbalik dan berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau pun memberikan nasihat dan wasiat kepada mereka, serta memberikan perintah kepada mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu utusan, maka beliau putuskan (tetapkan), atau jika beliau memerintahkan sesuatu, maka beliau akan memerintahkannya. Lalu beliau pun pulang". (HR. Al-Bukhariy no 913; Muslim no. 889)

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata,
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى اِسْتِحْبَابِ الْخُرُوجِ إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ وَأَنَّ ذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي الْمَسْجِدِ ، لِمُوَاظَبَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ مَعَ فَضْلِ مَسْجِدِهِ
 "Hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan dianjurkannya keluar menuju padang luas (lapangan) untuk mengerjakan shalat ied, dan bahwasanya hal itu lebih utama dibandingkan shalat ied di masjid, karena kontunyunya nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- atas hal itu, padahal masjid beliau memiliki keutamaan.[Lihat Fathul Bari (2/450)]
Selanjutanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata :
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ : بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيدَيْنِ إِلَى الْمُصَلَّى بِالْمَدِينَةِ ، وَكَذَا مَنْ بَعْدَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرِ مَطَرٍ وَنَحْوِهِ ، وَكَذَلِكَ عَامَّةُ أَهْلِ الْبُلْدَانِ إِلَّا أَهْلَ مَكَّةَ . ثُمَّ أَشَارَ إِلَى أَنَّ سَبَبَ ذَلِكَ سَعَةُ الْمَسْجِدِ وَضِيقُ أَطْرَافِ مَكَّةَ
Imam Syafi’I berkata dalam kitab Al-Umm, "Telah sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar di dua hari raya menuju lapangan yang terdapat di kota Madinah. Demikian pula generasi setelahnya, dan seluruh penduduk negeri, kecuali penduduk Mekah, sebabnya adalah masjid di Mekah luas (Masjidil Haram) , sedang tanahnya sempit.
[Fathul Baari, penjelasan hadits no. 903; Nailul Authar,  hadits no. 1281; Lihat Al-Umm (1/389)]

Sedangkan dalam kitab Al-Muhadzdzab, Imam Syafi’i berkata :
فَإِنْ كَانَ المسجد واسعا فصلى في الصحراء فلا بأس وان كان ضيقا فصلى فيه ولم يخرج إلى الصحراء كرهت لانه إذا ترك المسجد وصلي في الصحراء لم يكن عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلي في المسجد الضيق تأذوا بالزحام وربما فات بعضهم الصلاة
“Jika masjid yang ada luas kemudian penduduk yang ada shalat di tanah lapang, hukumnya tidak apa-apa. Namun jika masjidnya sempit dan salat ied tetap dialksanakan di situ (di masjid), aku tidak menyukai hal itu, sebab jika masjid ditinggalkan kemudian shalat ied dilaksanakan di padang luas, itu tidaklah berbahaya bagi mereka, sementara jika tanah lapang ditinggalkan kemudian shalat ied dilaksanakan di masjid yang sempit, tentu para jamaah bisa terganggu karena berdesakkan, bisa jadi ada sebagian ketinggalan shalat ied, karena itulah hukumnya makruh”
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 5/6]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam (1/751) berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلَّاهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ قَالَهُ عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ فِي أَخْبَارِ الْمَدِينَة
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya keluar ke tempat shalat. Yang tergambar dari hadits ini adalah keluar ke tempat selain masjid beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena tempat shalat beliau adalah tempat yang sudah dikenal, yaitu antara tempat itu dengan pintu masjid sekitar seribu hasta sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Syabah di dalam kitab akhbar AlMadinah.
[Subulussalam (1/751)]


Dari Ibnu umar -radhiyallahu ‘anhuma- dia berkata berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْدُوْ إِلَى الْمُصَلَّى فِيْ يَوْمِ الْعِيْدِ وَالْعَنَزَةُ تُحْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِذَا بَلَغَ الْمُصَلَّى نُصِبَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَذَلِكَ أَنَّ الْمُصَلَّى كَانَ فَضَاءً لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ يُسْتَتَرُ بِهِ
"Rasulullah-Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pagi-pagi menuju lapangan di hari ied, sedangkan tombak kecil di depan beliu. Jika telah tiba di lapangan, maka tombak kecil itu ditancapkan di depan beliau. Lalu beliau pun shalat menghadap tombak tersebut. Demikianlah, karena lapangan itu adalah padang, di dalamnya tak ada sesuatu yang bisa dijadikan "sutroh" (pembatas di depan imam)" (HR.Bukhariy no. 930; Ibnu Majah 1304)

Dari Abdur Rahman bin Abis berkata,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيْلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيْدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِيْ مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِيْ عِنْدَ دَارِ كَثِيْرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِيْنَ بِأَيْدَيْهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِيْ ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
"Aku pernah mendengarkan Ibnu Abbas sedang ditanya, apakah engkau pernah menghadiri shalat ied bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ? Ibnu Abbas menjawab, ya pernah. Andaikan aku tidak kecil, maka aku tidak akan menyaksikannya, sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi tanda (yang terdapat di lapangan), di dekat rumah Katsir Ibnu Ash-Shalt. Kemudian beliau shalat dan berkhutbah serta mendatangi para wanita sedang beliau bersama Bilal. Maka nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menasihati mereka, mengingatkan, dan memerintahkan mereka untuk bersedaqah. Lalu aku pun melihat mereka mengulurkan (sedeqah) dengan tangan mereka sambil melemparkannya ke baju Bilal. Kemudian nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan Bilal berangkat menuju ke rumahnya". (HR. Bukhariy no. 934).
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, "Ibnu Sa’ad berkata, "Rumah Katsir bin Ash-Sholt merupakan kiblat bagi lapangan di dua hari raya. Rumah itu menurun ke perut lembah Bathhan, suatu lembah di tengah kota Madinah". Selesai ucapan Ibnu Sa’ad".
[Fathul Bari (2/449)]

Dari Abu Hurairah RA,
أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
“ketika turun hujan di suatu hari Ied, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan shalat ied bersama mereka di masjid” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Dalam kitab At-Talkhis dikatakan : Hadits ini dho’if.
Asy-syaukaniy-rahimahullah- berkata dalam Nailul Authar (3/359),
الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَرْكَ الْخُروجِ إِلَى الْجَبَّانَةِ وَفِعْلَ الصَّلاةِ عِنْدَ عُرُوضِ عُذْرِ الْمَطَرِ غَيْر مَكْرُوهٍ
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak berangkat ke lapangan dan melaksanakan shalat ied di masjid karena udzur hukumnya tidak makruh.
[Bustanul Ahyar Mukhtashar Nailul Authar, hadits no. 1660)

Ibnu Hazm Azh-Zhohiriy-rahimahullah- berkata :
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَبْرُزُ إلَى الْمُصَلَّى لِصَلاَةِ الْعِيدَيْنِ , فَهَذَا أَفْضَلُ , وَغَيْرُهُ يُجْزِئُ , لاِنَّهُ فِعْلٌ لاَ أَمْرٌ وَبِاَللَّهِ تَعَالَى التَّوْفِيقُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi keluar ke tanah lapang untuk shalat dua hari raya, inilah yang lebih utama, tapi yang lainnya (tidak di lapangan) juga boleh, karena hal itu adalah perbuatan, bukan perintah. Wabillahittaufiq.
[Al-Muhalla 13/241]

Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughniy (2/229),
السنة أن يصلي العيد في المصلى - أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يخرج إلى المصلى ويدع مسجده وكذلك الخلفاء بعده - ولأن هذا إجماع المسلمين فإن الناس في كل عصر ومصر يخرجون إلى المصلى فيصلون العيد في المصلى مع سعة المسجد وضيقه وكان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي في المصلى مع شرف مسجده
"Sunnahnya seorang shalat ied di lapangan. Kami (Ibnu Qudamah) memiliki dalil bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar menuju lapangan, dan meninggalkan masjidnya, demikian pula para khulafaurrasyidin setelahnya. Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, karena manusia pada setiap zaman dan tempat, mereka keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ied di dalamnya, padahal masjid luas dan sempit. Dulu nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- laksanakan shalat ied di lapangan, padahal masjidnya mulia,
[Al-Mughni, 2/229]

Fatawa Darul Ifta Al-Mishriyah :
وأن صلاة العيد فى المسجد أفضل عند الشافعية وفى الخلاء أفضل فى المذاهب الثلاثة على التفصيل السابق والله أعلم
Bahwa shalat Ied di masjid lebih utama menurut ulama syafi’iyah, dan (shalat Ied) di lapangan lebih utama menurut tiga ulama madzhab lainnya. Wallahu a’lam.

Kesimpulan
-Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa shalat Ied boleh dikerjakan di masjid atau di tanah lapang.
-Mayoritas ulama berpendapat, shalat Ied di tanah lapang lebih utama daripada shalat Ied di masjid.

Wallahu a’lam.

Selasa, 06 Mei 2014

APAKAH WANITA DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT



APAKAH WANITA DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Oleh : Masnun Tholab
www.masuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah-sunnah beliau.

Dalil-Dalil Perintah Shalat Jum’at
Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (QS. Jumuah 62 : 9)

Dari Thariq bin Syihab Radhiallohu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍِ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. Budak,  Wanita,  Anak kecil dan  Orang sakit." (HR Abu Daud 1067)
-Syaikh Albani berkata : Hadits ini shahih (Shahih Abu Daud, no. 978)
-Abu Daud berkata : Thariq bin Syiyab memang pernah melihat Nabi tetapi tidak mendengar sesuatu dari beliau. (Nailul Author 2, hal. 904; Jami’ul ushul no. 3944)
Imam Nawawi berkata : Pernyataan Abu Daud ini tidak mencederai kesahihan hadits, karena bilapun terbukti Thariq tidak mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti riwayat itu mursal seorang sahabat, dan riwayat mursal adalah hujjah menurut sahabat-sahabat kami dan seluruh ulama, kecuali Abu Ishaq Isfiyarini.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 4/815]

Pendapat Para Ulama Tentang Shalat Jum’at Bagi Perempuan
Sebagian orang berpendapat bahwa ayat di atas adalah perintah untuk melaksanakan shalat jumat yang bersifat umum, baik mukmin laki-laki maupun mukmin wanita. Sehingga dengan demikian, kaum wanita juga diwajibkan shalat jum’at, sebagaimana kaum laki-laki. Dengan alasan, hadits yang mengecualikan kaum wanita dari kewajiban shalat jum’at adalah lemah, dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Namun mayoritas bahkan bisa dikatakan seluruh ulama berpendapat,  bahwa shalat jum’at tidak diwajibkan atas kaum wanita.
Dibawah ini penulis kutipkan pendapat para ulama tentang shalat jum’at bagi wanita.

  1. Imam Nawawi Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :
وَلَا تَجِبُ عَلَى امْرَأَةٍ بِالْإِجْمَاعِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا تَجِبُ عَلَى الْخُنْثَى الْمُشْكِلِ لِلشَّكِّ فِي الْوُجُوبِ وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهِ الْقَاضِي أَبُو الْفُتُوحِ وَالْبَغَوِيُّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ قَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ يُسْتَحَبُّ لِلْعَجُوزِ حُضُورُ الْجُمُعَةِ قَالَ وَيُكْرَهُ لِلشَّابَّةِ حُضُورُ جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ مَعَ الرِّجَالِ إلَّا العيدين
Shalat jum’at tidak wajib bagi wanita berdasarkan ijma’. Sahabat-sahabat kami menyatakan, shalat jum’at tidak wajib bagi orang banci karena kewajiban untuknya diragukan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Al Qadhi Abu Futuh, Al Baghawi dan pengarang Al Bayan. Al bandaniji berpendapat, wanita tua dianjurkan untuk menghadiri shalat jum’at dan makruh bagi remaja wanita untuk menghadiri semua shalat bersama kaum laki-laki kecuali shalat dua hari raya.
[Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 4 /817].

2.    Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والمرأة وهو مجمع على عدم وجوبها عليها وقال الشافعي : يستحب للعجائز حضورها بإذن الزوج
Telah disepakati mengenai tidak wajibnya perempuan melakukan shalat jumat. Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan bagi perempuan-perempuan yang sudah tua untuk menghadiri jumat atas izin suaminya.
[Subulus Salam 1, hal. 724]

  1. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
أما المرأة فلا خلاف في أنها لا جمعة عليها قال ابن المنذر اجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم أن لا جمعة على النساء
“Adapun wanita, maka tidak ada perbedaan bahwa shalat Jumat tidak wajib bagi mereka Sedangkan Ibnu Al-Mundzir berkata bahwa para ulama yang aku ketahui telah bersepakat bahwa tidak ada kewajiban Jumat bagi wanita”
[Al-Mughni 2 /338]

4.    Al-Khathabi dalam Ma’allim al-Sunan, berkata,
أجمع الفقهاء على أن النساء لا جمعة عليهن
Para ahli fiqih bersepakat bahwa kaum perempuan tidak wajib menghadiri shalat Jum’at.”
[Ma’aalimus Sunan, hadits no. 305]

  1. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid  berkata :
Shalat jumat tidak diwajibkan atas kaum wanita dan orang yang dalam kondisi tidak sehat. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama. Meski demikian, apabila mereka ini tetap datang untuk menunaikan shalat jumat, mereka dikatagorikan sebagai penunai shalat jumat (tidak perlu shalat dhuhur.pen.) [Bidayatul Mujtahid 1, hal. 352].

6.    Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Golongan yang tidak diwajibkan shalat jumat yaitu : Wanita, Anak kecil , Orang sakit, Orang yang melakukan perjalanan (Musafir), Orang yang berhutang yang takut akan dipenjarakan, Orang yang sedang bersembunyi karena takut kepada penguasa yang zalim, dan semua orang yang mendapat uzur yang diberi keringanan oleh syara’ untuk meninggalkan shalat jumat, seperti karena adanya hujan, Lumpur, udara dingin, dan sebagainya.
Di semua keadaan tersebut tidak diwajibkan mengerjakan shalat jumat, tapi mereka tetap wajib mengerjakan shalat dhuhur. Tetapi seandainya mereka melakukan shalat jumat, shalat mereka tetap sah dan kewajiban shalat dhuhur digugurkan.
Melakukan shalat dhuhur sesudah shalat jumat menurut kesepakatan ulama tidak diperbolehkan sebab jumat adalah pengganti shalat dhuhur, sedangkan Allah tidak mewajibkan kepada kita enam kali shalat dalam sehari semalam.  [Fiqih Sunnah 1, hal. 462].
 
 
 
7.    Lajnah Daimah Saudi Arabia berpendapat :
أما النساء فليس عليهن جمعة، والواجب عليهن أن يصلين ظهرًا، لكن إن حضرنها مع الرجال في المسجد صحت منهن وأجزأت عن الظهر.
“Adapun perempuan, tidak ada kewajiban shalat jum’at bagi mereka. Yang wajib bagi mereka adalah shalat Dhuhur. Akan tetapi jika mereka hadir untuk melaksanakan shalat jum’at bersama laki-laki di masjid, shalatnya sah dan mereka tidak perlu melakukan shalat dhuhur”
[Fatwa Lajnah Daimah no. 5628]

8.    Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf 3/146 No.5105 dengan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij. Ibnu Juraij menceritakan kalau beliau bertanya kepada Atha’,
أرأيت من تخرج من النساء بالنهار إذا سمعت الاذان أيحق عليها حضور الصلاة ؟ قال : إن أحبت ان تأتيها ، وإن لم تفعل فلا حرج ، قلت : قوله (يا أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة) أليست للنساء مع الرجال ؟ قال : لا
 “Bagaimana pendapat anda bila perempuan keluar dari rumahnya disiang hari lalu mendengar adzan shalat Jum’at, bolehkah dia turut menghadiri shalat Jum’at?
Bila dia ingin menghadirinya maka tidak apa-apa, dan bila tidak menghadirinya juga tidak apa-apa.” Demikian jawaban Atha’ . Ibnu Juraij bertanya lagi, “Bagaimana dengan firman Allâh yang terdapat pada surat al-Jumu’ah [62]: 9, bukankah ayat ini mencakup perempuan dan laki-laki? Dengan tegas Atha’ menjawab, “Tidak”.
[Al Mushannaf 3/146 No.5105]

Wanita Diwajibkan Melaksanakan Shalat Dhuhur
Bagi wanita  yang tidak melaksanakan shalat Jum’at di masjid berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud,
إذَا صَلَّيْتُنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَعَ الْإِمَامِ فَصَلِّينَ بِصَلَاتِهِ وَاذَا صَلَّيْتُنَّ فِي بُيُوتِكُنَّ فَصَلِّينَ أَرْبَعًا
Apabila kalian para perempuan shalat Jum’at bersama imam masjid maka kerjakanlah shalat sebagaimana imam tersebut, akan tetapi bila kalian melaksanakan shalat di rumah maka shalatlah sebanyak 4 rakaat.”
[Mushannaf Ibnu Abi Syaibah , no. 5197].
 
Kesimpulan
1.     Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa wanita tidak diwajibkan untuk shalat jum’at, namun ia berkewajiban melaksakan shalat dhuhur di rumah.
2.    Para ulama bersepakat (ijma’) wanita boleh melaksanakan shalat jum’at bersama kaum laki-laki, dan tidak perlu melakukan shalat dhuhur.
 
Wallahu’ala

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...