Minggu, 25 Desember 2011

BERKUMPUL DI RUMAH KELUARGA MAYAT

BERKUMPUL DI RUMAH KELUARGA MAYAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Renungan
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab berkata : Imam Syafi’I berkata :
إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي
"Apabila kalian mendapatkan di kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jadikanlah sunnah Rasulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." (An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ 1/63; lihat Al-Harawi di kitab Dzammu Al-Kalam 3/47/1,)

Pendahuluan
Di kalangan sebagian mayarakat Islam terdapat kebiasaan berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat setelah kematian si mayat, selama 7 malam berturut-turut. Biasanya kegiatan tersebut diisi dengan membaca surat Yaasiin dan berdzikir dengan suara keras secara berjamaah yang kemudian pahalanya dikirimkan kepada si mayit. Tentu saja disitu ada hidangan berupa makanan dan minuman. Bahkan pada malam-malam tertentu, ahli mayit menyiapkan oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang.
Uraian di bawah ini dibatasi hanya pada ’kegiatan berkumpul dan makan-makan’ di rumah keluarga mayit.
Apakah kegiatan tersebut disyariatkan dalam Islam?

Pendapat Para Ulama
Di bawah ini penulis kutipkan pendapat beberapa ulama yang sebagian besar bermadzhab Syafi’i disertai dalil-dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pendapat mereka tersebut.

1. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Imam Syafi’i No. 602; Al-Umm 1/397 ; lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]

2. Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
قال المصنف رحمه الله * { ويستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يصلحوا لاهل الميت طعاما لما روى أنه لما قتل جعفر ابن ابى طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم " اصنعوا لآل جعفر طعاما فانه قد جاء هم أمر يشغلهم عنه " }
* { الشرح } …واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لاهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ "
Pengarang (Asy-Syirazi) berkata :
Disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit berdasarkan riwayat bahwasanya Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.”
Penjelasan (Oleh Imam Nawawi) :
Dan disepakati oleh Nash-nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Muhtashar dan para pengikutnya bahwasanya disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam. Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Catatan : Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (Imam Nawawi) adalah kitab syarah Al-Muhadzdzab (Asy-Syirazi), yang terkenal dengan sebutan Kitab Madzhab Syafi’i. (pen.)
Sementara dalam kitab Raudhatuth Thalibin beliau berkata :
قلت قال صاحب الشامل وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شىء قال وهو بدعة غير مستحبة وهو كما قال
ولو اجتمع نساء ينحن لم يجز أن يتخذ لهن طعاما فإنه إعانة على معصية
Saya katakan, “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Jika para perempuan berkumpul untuk membuat makanan, maka mereka dilarang untuk mengambil makanan tersebut karena itu membantu untuk berbuat maksiat.
[Raudhatuth Thalibin 1/139 (1/950].

3. Al-Bakri Dimyati Asy-Syafi’i Dalam Kitab I’anatut Thalibin menguraikan :
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan haram membari makan kepada wanita yang meratap, karena hal tersebut membantu perbuatan maksiat. [I’anatut Thalibin 2/145]
Catatan : I’anatuth Thalibin (Al-Bakri Dimyati) adalah kitab Syarah Fathul Mu’in (Imam Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani), yang dikaji dan dipelajari dalam pondok-pondok pesantren Ahlussunnah waljama’ah. (pen.)

4. Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani Asy-Syafi’i dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menjelaskan :
ويكره لهم الجلوس لها وصنع طعام يجمعون الناس عليه لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي قال: كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. ويستحب لجيران أهل الميت ولو أجانب ومعارفهم، وإن لم يكونوا جيراناً وأقاربه الأباعد، وإن كانوا بغير بلد الميت أن يصنعوا لأهله طعاماً يكفيهم يوماً وليلة. وأن يلحوا عليهم في الأكل، ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
Dan dimakruhkan untuk duduk-dudk dan membuat makanan dengan mengumpulkan orang-orang untuk mendatanginya, karena Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,”
Dan disunnahkan bagi para tetangga keluarga mayit, meskipun bukan dari pihak keluarganya dan para kenalan, meskipun bukan tatangga dan kerabat jauh, meskipun mereka berada di negeri lain, memberi makanan kepada keluarga mayit yang mencukupi untuk sehari semalam, dan mendorong mereka supaya makan. Dan haram membuatkan makanan untuk perempuan yang meratap karena hal itu membantu melakukan perbuatan maksiat. [Irsyadul ’Ibad ila Sabilir Rashad, Maktabah Syamilah]
5. Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah menjelaskan :
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Adapun yang dilaksanakan keluarga mayit menyiapkan makanan bagi orang-orang adalah bid’ah yang tercela, sebagaimana disebutkan dalam Arruoudhoh. Dikatakan dalam Al-Majmu’ yang menjadi dasar adalah ucapan Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad sahih, dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak terdapat kata ‘ba’da dafnihi’
[Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah, Maktabah Syamilah]

6. Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan :
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Abdullah Ibnu Ja'far Radliyallaahu 'anhu, dimana dia berkata:
لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ -حِينَ قُتِلَ- قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ" أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيّ َ
“Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.’” (HR. Imam Lima kecuali Nasa'i). [Bulughul Maram, hal. ]

فيه دليل على شرعية إيناس أهل الميت بصنع الطعام لهم لما هم فيه من الشغل بالموت، ولكنه أخرج أحمد من حديث جرير بن عبد الله البجلي: "كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة". فيحمل حديث جرير على أن المراد صنعة أهل الميت الطعام لمن يدفن منهم ويحضر لديهم كما هو عرف بعض أهل الجهات، وأما الإحسان إليهم بحمل الطعام لهم فلا بأس به وهو الذي أفاده حديث جعفر.

Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa keharusan mengasihani dan menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian dengan memasakkan makanan baginya, karena mereka sibuk mengurusi kematian itu. Tetapi Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Hadits dari Jarir bin Abdullah itu ditafsirkan bahwa maksudnya adalah pembuatan makanan oleh keluarga yang mati diberikan kepada mereka yang menguburkannya bersama mereka dan dihidangkan di hadapan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak mengerti.
[Subulusssalam 1, hal. 889].
Catatan :
Subulussalam (Imam Ash-Shan’ani) adalah kitab Syarah Bulughul Maram disusun oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
7. Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Asy-Syafi’i dalam kitab Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar menjelaskan :
قَوْلُهُ : ( كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ) إلَى آخِرِهِ . يَعْنِي أَنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ ، وَأَكْلَ الطَّعَامِ عَنْدَهُمْ نَوْعًا مِنْ النِّيَاحَةِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ التَّثْقِيلِ عَلَيْهِمْ وَشَغْلِهِمْ مَعَ مَا هُمْ فِيهِ مِنْ شُغْلَةِ الْخَاطِرِ بِمَوْتِ الْمَيِّتِ وَمَا فِيهِ مِنْ مُخَالِفَةِ السُّنَّةِ ؛ لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِأَنْ يَصْنَعُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا فَخَالَفُوا ذَلِكَ وَكَلَّفُوهُمْ صَنْعَةَ الطَّعَامِ لِغَيْرِهِمْ .

Ucapan Jarir (kita (semua sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, masuk bilangan "meratap") maksudnya bahwa mereka menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayat setelah dikuburkannya dan menyantap makanan di tempat mereka adalah termasuk meratapi mayat, karena hal itu membebani dan menyibukkan keluarga si mayat, padahal mereka telah dirundung musibah kematian, disamping itu, hal ini menyelisihi sunnah, karena yang diperintahkan kepada mereka adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, sehingga bila mereka melakukan itu, berarti menyelisihi perintah tersebut dan membebani keluarga tersebut untuk membuatkan makanan bagi orang lain.
[Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Author 2, hal. 232-233]
Catatan :
Bustanul Ahyar Nuhtashar Nailul Authar (Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak) adalah merupakan kitab Ringkasan Nailul Authar (Imam Asy-Syaukani). Sedangkan Nailul Authar merupakan kitab Syarah Al-Muntaqa (Imam Al-Haraani).

8. Ibnul Qayyim Al-Jauziah Al-Hambali dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata :
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم تعزية أهل الميت ولم يكن من هديه أن يجتمع للعزاء ويقرأ له القرآن لا عند قبره ولا غيره وكل هذا بدعة حادثة مكروهة
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم أن أهل الميت لا يتكلفون الطعام للناس بل أمر أن يصنع الناس لهم طعاما يرسلونه إليهم وهذا من أعظم مكارم الأخلاق والشيم والحمل عن أهل الميت فإنهم في شغل بمصابهم عن إطعام الناس
Tuntunan beliau (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam) adalah menghibur (ta’ziyah) keluarga mayat. Bukan termasuk tuntunan beliau mengumpulkan manusia lalu dibacakan Al-Quran baik di sisi kuburan maupun di tempat lain. Semua ini merupakan bid’ah yang dibenci. Yang disunahkan ialah menciptakan suasana tenang, pasrah dan ridha terhadap qadha’ Allah. Tuntunan beliau adalah tidak membebani keluarga mayit untuk menghidangkan makanan. Tapi beliau justru menyuruh manusia agar mengirimkannya kepada keluarga mayit. Ini merupakan ahlak yang mulia dan dalam rangka meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan mayit.
[Zaadul Ma’ad 1, hal. 65]

9. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah berkata :
وما يفعله بعض الناس اليوم من الإجتماع للتعزية, وإقامه السرادقات, وفرش البسط, وصرف الأموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الأمور المحدثة والبدع المنكرة التى يجب على المسلمين اجتنابها, ويحرم عليهم فعلها, لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدى الكتاب ويناقض تعاليم السنة, ويسير وفق عادات الجاهلية, كالتغنى باقران وعدم التزام اداب التلاوة, وترك الإنصات والتساغل عنه بشرب الدخان وغيره. ولم يقف الأمر عند هذا الحد, بل تجاوزه عند كثير من دون الأهواء فلم يكتفوا بالأيام الأول, بل جعلوا يوم الأربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. و جعلوا ذكرى أولى بمناسبه مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية, وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولا نقل
Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di masa kini, yaitu bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit, termasuk bid’ah yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan menyalahi sunnah. Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliyah, misalnya menyanyikan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka peringati pada hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran dan mengulangi bid’ah ini. Tidak saja mereka peringati genap satu tahun masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Quran dan sunnah Nabi. [Fiqih Sunnah 2, hal. 203-204].

Kesimpulan
1. Mayoritas ulama menganjurkan bagi yang bertakziah untuk memberi makanan kepada keluarga yang tertimpa musibah.
2. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga yang tertimpa musibah.
Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak, Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Nawawi, Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Nawawi Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab , Maktabah Syamilah.
-Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, Irsyadul ‘Ibad, Maktabah Syamilah.
-Syeikh Zakaria Al-Anshary, Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah, Maktabah Syamilah.
-Al-Bakri Dimyati, I’anatut Thalibin (E-Book)
-Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000
*Slawi, Desember 2011

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...