TALKIN
(Sebelum Meninggal)
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Pengertian
Talkin
Azzumardi Azra
dkk dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan : Talkin berasal dari kata laqqana
yulaqqinu, yang berarti mendikte, mengajar dan memahamkan secara lisan. Di
dalam istilah fiqih, talkin berarti bimbingan mengucap kalimat ikhlas (Laa
ilaaha illallaah) atau kalimat syahadat yang diberikan kepada seorang mukmin
yang dalam keadaan sakratul maut. Tujuan bimbingan ini ialah mengingatkan orang
yang akan meninggal dunia itu pada tauhid, sehingga akhir ucapan yang keluar
dari mulutnya adalah kalimat tauhid, yaitu Laa ilaaha illallaah.
[Ensiklopedi
Islam 5, hal. 61].
Hadits-hadits
Tentang Talkin
Dari Abu Said
al-Khudri r.a., katanya:
قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم { لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اَللَّهُ }
"Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:"Ajarkanlah kepada orang-orang yang
hendak mati di antara engkau semua itu dengan bacaan La ilaha illallah."
(Riwayat Muslim no. 916, Tirmidzi no. 982, Abu Daud 3117, An-Nasa’I 1826, Ibnu
Majah 1445)
[Riyadus
Salikhin 2, hal. 70 ; Bulughul Maram, hal. 222].
Ada perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dalam menafsirkan kata MAUTAAKUM. Sebagian
berpendapat bahwa mautaakum artinya orang yang sudah mati (arti hakiki).
Sebagian lagi berpendapat bahwa mautaakum diartikan orang yang belum mati (arti
majazi). Pendapat yang kedua didasarkan dengan hadits yang lain :
Dari Mu'az
r.a., katanya:
(سمعت رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول: من كان آخر
قوله لا إله إلا اللَّه دخل الجنة).
"
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang akhir
percakapannya Laa ilaaha illallaah, maka ia akan masuk surga”
Diriwayatkan
oleh Imam-imam Abu Dawud serta Hakim dan Hakim mengatakan bahwa ini adalah
shahih isnadnya.
[Riyadus
Salikhin 2, hal. 70]
Berdasarkan
hadits tersebut maka arti yang seharusnya digunakan untuk mautaakum adalah arti
majazi yaitu orang yang akan mati. Inilah pendapat mayoritas ulama, termasuk
Imam Syafi'i. [Ensiklopedi Islam 5, hal. 62]
Pendapat Para
Ulama Tentang Talkin
Imam
Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والمراد
"بموتاكم": موتى المسلمين. وأما موتى غيرهم، فيعرض عليهم الإسلام، كما
عرضه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم على عمه عند السياق، وعلى الذمي الذي كان يخدمه،
فعاده وعرض عليه الإسلام فأسلم
Yang dimaksud
dengan mautakum adalah orang-orang muslim yang menjelang kematiannya. Adapun
jika ia non Muslim maka ditawarkan kepadanya untuk memeluk agama Islam,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada pamannya
dalam keadaan sekarat dan juga kepada seorang zimmi yang menjadi pelayan beliau
yang ia kunjungi ketika sakit, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menawarkan islam kepadanya sehingga orang tersebut masuk Islam. [Subulussalam
1, hal. 812]
Imam
Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata :
قال
النووي: أي من حضره الموت والمراد ذكروه لا إله إلا اللَّه لتكون آخر كلامه كما
في الحديث: (من كان آخر كلامه لا إله إلا اللَّه دخل الجنة) والأمر بهذا
التلقين أمر ندب وأجمع العلماء على هذا التلقين وكرهوا الإكثار عليه والموالاة
لئلا يضجره لضيق حاله وشدة كربه فيكره ذلك بقلبه أو يتكلم بكلام لا يليق قالوا
وإذا قاله مرة لا يكرر عليه إلا أن يتكلم بعده بكلام آخر فيعاد التعريض له به
ليكون آخر كلامه.
Imam Nawawi
(Ulama madzhab Syafi’i) berkata : “Para ulama telah sepakat tentang talqin ini,
dan mereka menganggap makruh membanyakkannya karena hal itu bias mengguncangkan
kondisinya yang sedang kesempitan dan beratnya derita sakaratul maut, sehingga
dalam kondisi itu mungkin hatinya akan benci mengucapkannya atau malah
mengucapkan perkataan yang tidak layak. Mereka juga mengatakan, “Bila
disampaikan satu kali, maka tidak perlu diulang kecuali bila ia berbicara
dengan perkataan lainnya maka diulang lagi penuntunan itu agar akhir ucapannya
Laa ilaaha illallaah.
[Nailul Author
2, hal. 152; Subulussalam 1, hal. 812]
Sayyid Sabiq dalam
kitab Fiqih Sunnah berkata :
وجمهورالعلماء
على ان المحتضريقتصرفى تلقينه على لفض لا إله إلا اللَّه لظاهر الحديث .ويرى جماعة
انه يلقن الشهادتين لأن المقصود تذكر التوحيد وهو يتوقف عليهما
Jumhur ulama
berpendapat bahwa yang ditalkinkan kepada orang yang hendak meninggal itu cukup
kalimat laa ilaaha illallaah berdasarkan zahir hadits. Tetapi segolongan lagi
berpendapat bahwa yang diajarkan itu hendaknya dua kalimat syahadat, karena
yang dituju adalah mengingatkan tauhid, sedangkan itu tergantung kepada kedua
kalimat tersebut.
[Fiqih Sunnah
2, hal. 120].
Zainudin
Al-Malibari Al-Fanani (Ulama madzhab Syafi’i) dalam kitab Fathul Mu’in berkata
:
(ويندب) أن يلقن محتضر - ولو
مميزا على الاوجه - الشهادة: أي لا إله إلا الله، فقط - لخبر مسلم: لقنوا موتاكم -
أي من حضره الموت - لا إله إلا الله مع الخبر الصحيح: من كان آخر كلامه لا إله إلا
الله، دخل الجنة، أي مع الفائزين.
Menurut kaul
yang termasyhur, sunat menalkini orang yang sedang sekarat –meskipun anak-anak
yang baru mumayyiz- dengan ucapan syahadat, yakni Laa ilaaha illallaah. (Hal
ini) berdassarkan hadits Muslim yang menyatakan : “Talkinilah mayat-mayatmu,
-maksudnya orang yang sekarat- dengan ucapan : Laa ilaaha illallaah. Juga
dinyatakan dalam hadits sahih (riwayat Abu Dawud) : “Barangsiapa yang akhir
ucapannya Laa ilaaha illallaah., tentu masuk surga” yaitu beserta orang-orang
yang berbahagia.
وإلا فكل
مسلم - ولو فاسقا - يدخلها، ولو بعد عذاب، وإن طال.
Jika maksud
hadits itu bukan begitu, maka seluruh kaum muslim –sekalipun orang fasik- akan
masuk surga meskipun sudah disiksa lama.
وقول جمع:
يلقن محمد رسول الله أيضا، لان القصد موته على الاسلام، ولا يسمى مسلما إلا بهما
مردود بأنه مسلم،
Adapun
pendapat banyak ulama yang menyatakan bahwa, perlu juga ditalkini dengan ucapan
Muhammadur Rasulullah, karena yang dimaksud adalah agar mati dalam keadaan
islam, sedangkan tidak disebut muslim kecuali dengan kedua kalimat syahadat,
adalah ditolak, sebab orang itu sendiri sudah muslim.
Ibnu Ruysd
(Ulama madzhab Maliki) dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
ويستحب أن
يلقن الميت عند الموت شهادة أن لا إله إلا الله، لقوله عليه الصلاة والسلام
"لقنوا موتاكم شهادة أن لا إله إلا الله" وقوله "من كان آخر قوله
لا إله إلا الله دخل الجنة"
Disunatkan
mentalqin orang yang menghadapi kematian dengan ucapan Laa ilaaha illallaah
karena ada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Talqinlah
(bumbinglah) saudara-saudaramu yang menghadapi kematian dengan ucapan Laa
ilaaha illallaah”
Juga sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang
di akhir hayatnya mengucapkan Laa ilaaha illallaah di masuk surga”
[Bidayatul
Mujtahid 1, hal. 502].
Adapun
cara-cara menalkin menurut ulama mazhab Syafi'i dan sejumlah ulama lainnya
adalah sbb :
1. Dilakukan
dengan suara yang lemah lembut
2. Tidak mendesak
dan memaksakannya untuk mengucapkan kalimat syahadat.
3. Tidak dalam
bentuk menyuruh seperti : "Katakan Laa ilaaha illallaah" tetapi cukup
disebut kalimat itu sekedar di dengar oleh si sakit agar ia sadar dan dengan
kemauannya sendiri mengucapkannya.
4. Jika yang
sakit sudah mengucapkan kalimat syahadat itu sekali, jangan diulangi lagi
kecuali jika ia mengucapkan kalimat lain sesudah itu.
5. Orang yang
menalkin seyogyanya bukan orang yang mewarisi harta peninggalan si sakit dan
bukan pula orang yang dengki padanya.
6. Jika yang
ada ahli waris, yang dipilih adalah ahli waris yang paling sayang padanya.
--Ensiklopedi
Islam 5, hal. 62.
Kesimpulan :
1. Mayoritas
ulama sepakat bahwa mentalkin dilakukan kepada seseorang menjelang ajalnya
(sebelum meninggal) agar ucapan terakhirnya Laa ilaaha illallaah.
2. Mayoritas
ulama sepakat bahwa mentalkin seseorang menjelang ajalnya (sebelum meninggal)
cukup dengan kalimat Laa ilaaha illallaah., tidak perlu ditambah Muhammadur
Rasulullah.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan
:
-Azzumardi
Azra, MA, Prof.,Dr., Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
-Imam Muslim,
Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam
As-Suyuti, Al-Jami’us Shaghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
-Imam
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi (E-book)
-Abu Daud,
Sunan Abu Daud (E-book)
-Zainuddin bin
Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo,
Bandung, 2006
-Imam Nawawi,
Riyadus Salihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam
Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar