Kamis, 22 Juli 2010

SHALAT WITIR

SHALAT WITIR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Hukum Salat Witir
Menurut Sayyid Sabbiq Shalat witir termasuk shalat sunnah muakkad yang dianjurkan dan disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 274].
Namun menurut Imam Hanafi shalat witir hukumnya wajib.
{Bidayatul Mujtahid 1, hal.192}

Dari Abi Ayub, ia berkata : Telah bersada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوِتْرُ حَقٌّ ، فَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَ مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ ، وَ مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِوَا حِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Witir itu adalah haq, maka barangsiapa yang suka witir dengan lima rekaat maka kerjakanlah, dan barangsiapa yang suka witir dengan tiga rekaat maka kerjakanlah, barangsiapa yang suka witir dengan satu rekaat maka kerjakanlah. (HR.Imam yang lima, kecuali Tirmidzi)
[Nailul Author 2, hal. 677 ; Bidayatul Mujtahid 1, hal. 443].
Imam Shan’ani mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil wajibnya shalat witir. Sebagaimana disebutkan juga oleh Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad,
مَنْ لَمْ يُوْ تِرُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang tidak berwitir, maka ia bukan dari kami”. Yang berpendapat wajibnya shalat witir adalah Al-Hanafiyah.
[Subulus Salam 1, hal. 586].

Dari Ali r.a. ia berkata :
اَلْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوْبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

Witir itu bukan satu keharusan seperti keadaan shalat fardlu, tetapi dia adalah sunnat yang dibiasakannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR.Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).
[Bulughul Maram, hal. 161; Nailul Author 2, hal. 677].
Imam Ash-Shan’ani berkata bahwa hadits ini telah dijadikan hujjah oleh jumhur tentang tidak wajibnya shalat witir.
[Subulus Salam 1, hal. 589].

Waktu Shalat Witir
Dari Jabir r.a. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اَللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ, وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اَللَّيْلِ, فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اَللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ, وَذَلِكَ أَفْضَلُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
"Barangsiapa yang tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, sebaiknya ia berwitir pada permulaan malam. Akan tetapi, barangsiapa yang merasa sanggup bangun pada akhir malam, sebaiknya ia berwitir pada akhir malam itu. Sebab mengerjakan shalat pada akhir malam itu dihadiri dan disaksikan oleh malaikat. Oleh karena itu, ia lebih utama" (HR.Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 277; Bulughul Maram, hal 167].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam
Berkata : Hadits ini menjadi dalil bahwa mengakhirkan witir itu lebih utama. Akan tetapi jika khawatir tidak bias bangun hendaklah shalat witir dilaksanakan sebelum tidur (didahulukan) supaya tidak kehilangan pelaksanaannya.
[Subulussalam 1, hal. 607; lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 456].

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اِجْعَلُوْا اَخِرَصَلاَ تِكُمْ بِااللَّيْلِ وِتْرًا
Dan dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Jadikan shalat witir sebagai akhir shalatmu waktu malam. (Muttafaq alaih)
Hadits di atas menjadi dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa tidak boleh shalat sunnah setelah shalat witir. Tetapi Ulama yang lain termasuk Imam An-Nawawi berpendapat bolehnya shalat sunnah setelah shalat witir. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua reka’at setelah witir dengan duduk,”(HR.Muslim 738)
[Subulus Salam 1, hal. 603].

Dari Jabir r.a. pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakar : "Bilakah engkau berwitir?", Abu Bakar menjawab, "Pada permulaan malam sesudah shalat isya". Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar,
"Bilakah engkau berwitir wahai Umar?" Umar menjawab, "Pada akhir malam". Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Engkau ini wahai Abu Bakar suka berhati-hati, sedangkan engkau wahai Umar telah menunjukkan keteguhanmu". (HR.Abu Dawud, Hakim)
[Fiqih Sunnah 1, hal.].

Dan dari Tolq bin Ali, dia berkata :
سَمِعْتُ رسول الله صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : لَا وِتْرَانِ فِى لَيْلَةِ
Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tidak diperkenankan dua witir dalam satu malam". (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, disahihkan oleh Ibnu Hibban)
[Bulughul Maram, hal. 165 ; Fiqih Sunnah 1, hal. 277].

Jumlah rekaat shalat witir
Dari Abi Ayub, ia berkata : Telah bersada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ , مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Witir itu adalah haq, maka barangsiapa yang suka witir dengan lima rekaat maka kerjakanlah, dan barangsiapa yang suka witir dengan tiga rekaat maka kerjakanlah, barangsiapa yang suka witir dengan satu rekaat maka kerjakanlah. (HR.Imam yang lima, kecuali Tirmidzi)
[Bulughul Maram, hal. 160, hal. 677 ; Bidayatul Mujtahid 1, hal. 443].

Imam Syafi’i berkata dalam kitab Musnad Syafi’i : Malik telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dan Abdullah Ibnu Dinar, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صلاة اَللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خَشِيَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً ِوَاحِدَةً تُوْتِرُلَهُ مَاقَدْ صَلَّى
“Shalat malam hari adalah dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah ia shalat satu rakaat mewitirkan semua shalat yang telah dikerjakannya.”
[Musnad Syafi’i 1, hal. 445; Bulughul Maram, hal. 159].

Dari Aisyah, beliau berkata:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)
Dan dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah witir tiga reka'at, tanpa memisahkan antara reka'at-reka'at tersebut. (HR.Ahmad)
[Nailul Author 2, hal. 682].

Malik telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’ :
Bahwa Ibnu Umar melakukan shalat di antara satu rekaat dan dua rekaat dari witirnya hingga ia sempat mengatur sebagian keperluannya.
Syekh Muhammad Abid As-Sindi menjelaskan dalam kitab Musnad Syafi’i :
Bainar rak’ati war rak’ataini, menurut hemat kami yang benar adalah bainar rak’ataini war rak’ati. Makna yang dimaksud ialah, Ibnu Umar bila mempunyai suatu keperluan, terlebih dahulu ia melakukan salam di penghujung dua rekaatnya, setelah selesai dari keperluan yang mendesak itu, lalu melakukan witir dengan rekaat yang ketiga. Hal itu diperbolehkan menurut kalangan madzhab Syafi’i.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 458]

Imam Ghazali berkata, boleh witir itu dipisah dan disambung dengan satu salam dan dua salam.
[Lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 640].

Dan dari Sa'ad bin Hisyam, sesungguhnya ia pernah berkata kepada 'Aisyah : Beritahukan kepadaku tentang witirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berkatalah 'Aisyah : Kami menydiakan untuknya siwaknya dan air wudlunya, lalu Allah membangunkan dia kapan saja Ia mau membangunkan dia di waktu malam, lalu ia bersiwak, berwudlu dan shalat sembilan reka'at, yang ia tidak duduk sama sekali kecuali di reka'at ke delapan; lalu dia berdzikir, bertahmid dan berdo'a; kemudian ia bangun dan tidak salam, lalu melanjutkan ke reka'at sembilan, terus duduk serta bertasyahud dan mengucapkan salam dengan suara yang keras sehingga kami dapat mendengarkannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua reka'at lagi setelah salam tadi dalam keadaan duduk. Dengan demikian, seluruh jumlah reka'at shalat adalah sebelas rekaat. (HR.Ahmad, Nasa'I dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 279].

Bacaan dalam shalat witir
Ubay bin Ka'ab. berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُوْتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبُِّكَ الْاَعْلَى ، و قُلْ يَاَيُّهَاالْكَافِرُوْنَ و قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ ،
وَلَا يُسَلِّمُ اِلَّا فِى اَخِرِهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir dengan membaca "sabbihisma robbikal a'la" , Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan Qul huwallahu ahad. (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i, Nasa'i menambah : "Beliau tidak salam kecuali pada reka'at terahir)
Dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi terdapat gadits yang sama dari Aisyah Rhadiallaahu ‘anha. Di situ ada keterangan : Tiap-tiap surat untuk satu rekaat. Dalam rekaat terakhir membaca Qul huwallaahu ahad dan surat Al-Falaq dan An-Naas.
[Bulughul Maram , hal. 165 ; Nailul Author 2, hal. 690 ; Lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 639 ; Fiqih Sunnah 1, hal. 280].

Zainudin Al-Malibari berkata dalam kitab Fathul Mu’in :
Orang yang shalat tiga rekaat disunatkan membaca surat Al-A’la pada rekaat pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, sedangkan pada rekaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan Mu’awwidatain, sebab ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan Nasai dari Ibnu Majah).
[Fathul Mu’in 1, hal. 328].

Imam Syafi’I berkata bahwa yang dibaca pada shalat witir adalah : qul huwallahu ahad, qul ‘audzu birabbilfalaq dan qul ‘audzubirabbinnaas, dan dipisahkan antara dua rekaat dan satu rekaat dengan memberi salam.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 207].

Imam Syafi’i berkata : Shalat witir dikerjakan sendiri-sendiri (tidak berjamaah),
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 207; lihat Fathul Mu’in 1, Hl. 326].


Doa Qunut dalam Shalat Witir
Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Sayyid Sabiq berpendapat Qunut boleh dibaca sebelum atau sesudah ruku’. Dasarnya adalah hadits dari Humaid :
“Aku bertanya kepada Anas tentang qunut, apakah ia sebelum ruku’ atau sesudahnya?” Iapun menjawab, “Kebiasaannya, kami membacanya sebelum ataupun sesudah ruku’” (HR. Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 281].

Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan.
Hal ini berdasarkan hadits :
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)

Di antara doa qunut witir adalah:
الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْك


(Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan menjadi mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau, wahai Tuhan kami adalah maha mulia serta maha tinggi. tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu)[HR. Ahmad]
Imam Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits di atas sahih.
[Fiqih Sunnah 1, hal.281].

Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.
-Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang



*Slawi, Juli 2010

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...