KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI?
Oleh : Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله
عليه وسلم يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى
الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Sebelum masjid dibangun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di kandang
kambing. (HR. Bukhari 234 dan Muslim 1202).
Anas bin
Malik Radhiyallahu ‘anhu,
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ ، فَاجْتَوَوُا
الْمَدِينَةَ ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ
أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا ، فَانْطَلَقُوا
Datang beberapa orang dari suku Ukl dan Urainah. Mereka pun
sakit karena tidak kuat dengan cuaca Madinah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
mereka untuk datang ke peternakan onta, dan agar mereka minum air kencingnya
dicampur susunya. Mereka pun berangkat dan melakukan saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR.
Bukhari 233, Muslim 4447 dan yang lainnya).
Umar bin
Khattab ketika peristiwa perang Tabuk
خَرَجْنَا إِلَى تَبُوكَ فِى قَيْظٍ شَدِيدٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً
أَصَابَنَا فِيهِ عَطَشٌ حَتَّى ظَنَنَا أَنَّ رِقَابَنَا سَتَنْقَطِعُ حَتَّى
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْحَرُ بَعِيرَهُ فَيَعْصُرُ فَرْثَهُ فَيَشْرَبُهُ
فَيَجْعَلُ مَا بَقِىَ عَلَى كَبِدِهِ
Kami berangkat menuju tabuk dalam keadaan sangat serba
kekurangan. Kemudian kami singgah di suatu tempat, dan kami sangat kehausan.
Hingga kami menyangka leher kami akan putus. Hingga ada orang yang menyembelih
ontanya, lalu dia memeras kotorannya dan meminumnya, sementara sisa perasannya
ditaruh di atas perutnya. (HR. Ibnu Hibban 1383, Baihaqi dalam Sunan al-Kubro
20131, al-Bazzar dalam Musnadnya 215 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
خَرَجَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم
لِحَاجَتِهِ فَقَالَ الْتَمِسْ لِى ثَلاَثَةَ أَحْجَارٍ. قَالَ
فَأَتَيْتُهُ بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى
الرَّوْثَةَ وَقَالَ إِنَّهَا رِكْسٌ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
pergi untuk buang hajat. Beliau pun menyuruhku, “Carikan 3 batu untukku.”
Aku pun membawakan dua batu dan satu kotoran kering. Beliau mengambil dua batu
dan membuang kotoran kering itu, sambil bersabda, “Ini Najis.” (HR. Ahmad 3757,
Turmudzi 17, ad-Daruquthni, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا
يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ
الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ
جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا
لَمْ يَيْبَسَا
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau
bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara
besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa
hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia
keliling menebar namiimah.” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau
belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu
potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?”
Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering.”
(HR. Bukhari, Muslim)
PENJELASAN/PENDAPAT
ULAMA
Dijelaskan dalam kitab
Al-Fiqhiyah Al-Mausu’ah Al-Mishriyah :
أما أبوالها، فقد قال أبو
حنيفة وأبو يوسف: أنها نجسة، وقال محمد: أنها طاهرة، حتى لو وقع فى الماء القليل لَا يُفْسِدُه ويتوضأ منه ما لم يغلِب عليه ,ويقول الشافعية: كل مائعٍ خرج من أحد السبيلين نجسٌ سواء كان ذلك من حيوان
مأكولِ اللحم أم لا .ويرى المالكية: أن بولَ ما يباحُ أكله طاهرٌ إذا لم يُعتد
التغذى بنجسٍ، والإبلُ مباحة ُالأكلِ فبولُها طاهر ,وعند الحنابلة: بول الإبل وما يؤكل لحمُه طاهر إلا إذا كانت تأكلُ النجاسة
فبولها نجس، فإن منعت من أكلها ثلاثة أيام لا تأكل فيها إلا طاهرا صار بولها طاهرا
Adapun air kencingnya (Unta), Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa air kencingnya najis. Sedangkan Muhammad berpendapat bahwa air kencingnya suci, yakni jika air kencingnya jatuh ke dalam sedikit air, maka air itu tidak akan rusak. boleh berwudhu dengan air tesrbut, asalkan air kencingnya tidak sampai membanjiri air.
Mazhab Syafi'i menyatakan:
Setiap cairan yang keluar dari salah satu dari dua lubang adalah najis, baik
itu dari hewan yang halal dimakan maupun yang tidak.
Maliki berpendapat
bahwa air kencing binatang yang halal dimakan adalah suci, jika binatang
tersebut tidak terbiasa memakan yang najis, dan unta halal dimakan, maka air
kencingnya suci.
Menurut Hanbali,
air kencing unta dan daging hewan yang halal dimakan adalah suci, kecuali jika
unta tersebut memakan najis, yang berarti air kencingnya najis. Jika unta
tersebut dilarang memakan hewan tersebut selama tiga hari dan hanya diberi
makanan yang suci, maka air kencingnya menjadi suci. [Al-Fiqhiyah Al-Mausu’ah Al-Mishriyah, 1/36]
Ibnu Rusyd
dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan :
اتَّفَقَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى نَجَاسَةِ بَوْلِ ابْنِ آدَمَ وَرَجِيعِهِ إِلَّا بَوْلَ
الصَّبِيِّ الرَّضِيعِ، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْحَيَوَانِ، فَذَهَبَ
الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ إِلَى أَنَّهَا كُلَّهَا نَجِسَةٌ.
وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى طَهَارَتِهَا
بِإِطْلَاقٍ أَعْنِي فَضْلَتَيْ سَائِرِ الْحَيَوَانِ، الْبَوْلَ وَالرَّجِيعَ وَقَالَ قَوْمٌ: أَبْوَالُهَا وَأَرْوَاثُهَا تَابِعَةٌ لِلُحُومِهَا،
فَمَا كَانَ مِنْهَا لُحُومُهَا مُحَرَّمَةً فَأَبْوَالُهَا وَأَرْوَاثُهَا
نَجِسَةٌ مُحَرَّمَةٌ، وَمَا كَانَ مِنْهَا لُحُومُهَا مَأْكُولَةً فَأَبْوَالُهَا
وَأَرْوَاثُهَا طَاهِرَةٌ، مَا عَدَا الَّتِي تَأْكُلُ النَّجَاسَةَ، وَمَا كَانَ
مِنْهَا مَكْرُوهًا فَأَبْوَالُهَا، وَأَرْوَاثُهَا مَكْرُوهَةٌ، وَبِهَذَا قَالَ
مَالِكٌ كَمَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ بِذَلِكَ فِي الْأَسْآرِ.
Para ulama sepakat bahwa urine
dan kotoran manusia adalah najis, kecuali urine bayi yang sedang menyusui.
Namun, mereka berbeda pendapat mengenai urine hewan lainnya. Al-Syafi'i dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa semuanya najis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia suci dalam segala keadaan,
artinya kotoran semua hewan, baik urin maupun kotorannya. Sebagian yang lain
berpendapat: urin dan kotorannya dianggap sebagai bagian dari dagingnya. Hewan yang dagingnya haram,
air seni dan kotorannya najis dan haram. Hewan yang dagingnya halal, air seni
dan kotorannya suci, kecuali hewan yang memakan najis.
Dan hewan yang
dagingnya makruh, maka air kencing dan
kotorannya pun makruh. Demikianlah yang dikatakan Malik, sebagaimana Abu Hanifah mengatakan
hal yang sama tentang sisa makanan. [Bidayatul Mujtahid, 1/87]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar