TAWASSUL DENGAN AMAL SHALEH
Oleh : Masnun Tholab
Pengertian Tawassul
Majduddin Abu Sa’adat
al-Mubarak Muhammad al-Jazry (Ibnul Atsir) berkata :
al-Wasilah secara bahasa
(etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat
mendekatkan kepada sesuatu. [an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar (V/185)]
Firman Alloh Subhanahu wata’ala (QS. Al-Ma’idah:35).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Alloh. Dan carilah perantara untuk sampai kepadaNya.
Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS.
Al-Ma’idah:35).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan :
قال سفيان الثوري، عَنْ
طَلْحَةَ عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أي القربة، وكذا قال
مجاهد وَأَبُو وَائِلٍ وَالْحَسَنُ وَقَتَادَةُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَثِيرٍ
وَالسُّدِّيُّ وابن زيد وغير واحد. وَقَالَ قَتَادَةُ: أَيْ تَقَرَّبُوا
إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيهِ
Sufyan Ats-Tsauri telah
meriwayatkan dari Thalhah, dari Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-washilah di dini
adalah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Demikian juga yang dikatakan oleh
Mujahid, Abu Wa’il, Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu
Zaid, dan lain-lain.Qatadah berkata : makna yang dimaksud, “Dekatkanlah diri kalian
kepadaNya dengan ta’at kepadaNya, dan hal-hal yang diridhoiNya”
Bertawassul
Dengan Amal Shaleh
Dari Abdullah bin
Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian
berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu
goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari
gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya
tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut
kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan
menyebutkan amalan baik mereka.” Salah seorang dari mereka berkata,
اللَّهُمَّ كَانَ لِى
أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً
وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ
عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا
نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ،
فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ
الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ
هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ
“Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang
sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam
hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih
mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian
pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang
ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku
dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut
kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun
dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih
terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum
minuman tersebut.
Ya Allah, jikalau
aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan
wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar
yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun
mereka masih belum dapat keluar dari goa.
وَقَالَ الآخَرُ
اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ،
فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا
سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ
دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى
إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ
إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ
عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى
أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ
فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ
أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا
lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya
Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat
menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia
mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun
pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau.
Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal
bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal
dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi
meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas
(dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan
sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran
yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu
tiba-tiba terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.
وَقَالَ الثَّالِثُ
اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ
رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى
كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ
اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ
مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ
لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ
كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ .
فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ »
lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah,
aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji
pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya
aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku.
Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?”
Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu
(yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun
berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa
aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut
dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku
mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka
lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi
kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan
berjalan. (HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
Imam Nawawi dalam
kitab Al-Adzkar berkata : Kisah di atas menunjukkan bahwa kita dapat bertawassul
kepada Allah dalam berdo’a dengan perantaraan amal shaleh kita yang kita
lakukan. Dan
hal tersebut sudah menjadi kesepakatan ulama.
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan
memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah diatas, batu besar yang
menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana
mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a
pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.”
(Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 1: 275-276)
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar