Minggu, 25 Desember 2011

BERKUMPUL DI RUMAH KELUARGA MAYAT

BERKUMPUL DI RUMAH KELUARGA MAYAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Renungan
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab berkata : Imam Syafi’I berkata :
إذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا قَوْلِي
"Apabila kalian mendapatkan di kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka jadikanlah sunnah Rasulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." (An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ 1/63; lihat Al-Harawi di kitab Dzammu Al-Kalam 3/47/1,)

Pendahuluan
Di kalangan sebagian mayarakat Islam terdapat kebiasaan berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat setelah kematian si mayat, selama 7 malam berturut-turut. Biasanya kegiatan tersebut diisi dengan membaca surat Yaasiin dan berdzikir dengan suara keras secara berjamaah yang kemudian pahalanya dikirimkan kepada si mayit. Tentu saja disitu ada hidangan berupa makanan dan minuman. Bahkan pada malam-malam tertentu, ahli mayit menyiapkan oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang.
Uraian di bawah ini dibatasi hanya pada ’kegiatan berkumpul dan makan-makan’ di rumah keluarga mayit.
Apakah kegiatan tersebut disyariatkan dalam Islam?

Pendapat Para Ulama
Di bawah ini penulis kutipkan pendapat beberapa ulama yang sebagian besar bermadzhab Syafi’i disertai dalil-dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pendapat mereka tersebut.

1. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Imam Syafi’i No. 602; Al-Umm 1/397 ; lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]

2. Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
قال المصنف رحمه الله * { ويستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يصلحوا لاهل الميت طعاما لما روى أنه لما قتل جعفر ابن ابى طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم " اصنعوا لآل جعفر طعاما فانه قد جاء هم أمر يشغلهم عنه " }
* { الشرح } …واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لاهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ "
Pengarang (Asy-Syirazi) berkata :
Disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit berdasarkan riwayat bahwasanya Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.”
Penjelasan (Oleh Imam Nawawi) :
Dan disepakati oleh Nash-nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Muhtashar dan para pengikutnya bahwasanya disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam. Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Catatan : Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (Imam Nawawi) adalah kitab syarah Al-Muhadzdzab (Asy-Syirazi), yang terkenal dengan sebutan Kitab Madzhab Syafi’i. (pen.)
Sementara dalam kitab Raudhatuth Thalibin beliau berkata :
قلت قال صاحب الشامل وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شىء قال وهو بدعة غير مستحبة وهو كما قال
ولو اجتمع نساء ينحن لم يجز أن يتخذ لهن طعاما فإنه إعانة على معصية
Saya katakan, “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Jika para perempuan berkumpul untuk membuat makanan, maka mereka dilarang untuk mengambil makanan tersebut karena itu membantu untuk berbuat maksiat.
[Raudhatuth Thalibin 1/139 (1/950].

3. Al-Bakri Dimyati Asy-Syafi’i Dalam Kitab I’anatut Thalibin menguraikan :
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan haram membari makan kepada wanita yang meratap, karena hal tersebut membantu perbuatan maksiat. [I’anatut Thalibin 2/145]
Catatan : I’anatuth Thalibin (Al-Bakri Dimyati) adalah kitab Syarah Fathul Mu’in (Imam Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani), yang dikaji dan dipelajari dalam pondok-pondok pesantren Ahlussunnah waljama’ah. (pen.)

4. Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani Asy-Syafi’i dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menjelaskan :
ويكره لهم الجلوس لها وصنع طعام يجمعون الناس عليه لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي قال: كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. ويستحب لجيران أهل الميت ولو أجانب ومعارفهم، وإن لم يكونوا جيراناً وأقاربه الأباعد، وإن كانوا بغير بلد الميت أن يصنعوا لأهله طعاماً يكفيهم يوماً وليلة. وأن يلحوا عليهم في الأكل، ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
Dan dimakruhkan untuk duduk-dudk dan membuat makanan dengan mengumpulkan orang-orang untuk mendatanginya, karena Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,”
Dan disunnahkan bagi para tetangga keluarga mayit, meskipun bukan dari pihak keluarganya dan para kenalan, meskipun bukan tatangga dan kerabat jauh, meskipun mereka berada di negeri lain, memberi makanan kepada keluarga mayit yang mencukupi untuk sehari semalam, dan mendorong mereka supaya makan. Dan haram membuatkan makanan untuk perempuan yang meratap karena hal itu membantu melakukan perbuatan maksiat. [Irsyadul ’Ibad ila Sabilir Rashad, Maktabah Syamilah]
5. Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah menjelaskan :
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Adapun yang dilaksanakan keluarga mayit menyiapkan makanan bagi orang-orang adalah bid’ah yang tercela, sebagaimana disebutkan dalam Arruoudhoh. Dikatakan dalam Al-Majmu’ yang menjadi dasar adalah ucapan Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad sahih, dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak terdapat kata ‘ba’da dafnihi’
[Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah, Maktabah Syamilah]

6. Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan :
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Abdullah Ibnu Ja'far Radliyallaahu 'anhu, dimana dia berkata:
لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ -حِينَ قُتِلَ- قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ" أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيّ َ
“Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.’” (HR. Imam Lima kecuali Nasa'i). [Bulughul Maram, hal. ]

فيه دليل على شرعية إيناس أهل الميت بصنع الطعام لهم لما هم فيه من الشغل بالموت، ولكنه أخرج أحمد من حديث جرير بن عبد الله البجلي: "كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة". فيحمل حديث جرير على أن المراد صنعة أهل الميت الطعام لمن يدفن منهم ويحضر لديهم كما هو عرف بعض أهل الجهات، وأما الإحسان إليهم بحمل الطعام لهم فلا بأس به وهو الذي أفاده حديث جعفر.

Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa keharusan mengasihani dan menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian dengan memasakkan makanan baginya, karena mereka sibuk mengurusi kematian itu. Tetapi Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Hadits dari Jarir bin Abdullah itu ditafsirkan bahwa maksudnya adalah pembuatan makanan oleh keluarga yang mati diberikan kepada mereka yang menguburkannya bersama mereka dan dihidangkan di hadapan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak mengerti.
[Subulusssalam 1, hal. 889].
Catatan :
Subulussalam (Imam Ash-Shan’ani) adalah kitab Syarah Bulughul Maram disusun oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
7. Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Asy-Syafi’i dalam kitab Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar menjelaskan :
قَوْلُهُ : ( كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ) إلَى آخِرِهِ . يَعْنِي أَنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ ، وَأَكْلَ الطَّعَامِ عَنْدَهُمْ نَوْعًا مِنْ النِّيَاحَةِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ التَّثْقِيلِ عَلَيْهِمْ وَشَغْلِهِمْ مَعَ مَا هُمْ فِيهِ مِنْ شُغْلَةِ الْخَاطِرِ بِمَوْتِ الْمَيِّتِ وَمَا فِيهِ مِنْ مُخَالِفَةِ السُّنَّةِ ؛ لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِأَنْ يَصْنَعُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا فَخَالَفُوا ذَلِكَ وَكَلَّفُوهُمْ صَنْعَةَ الطَّعَامِ لِغَيْرِهِمْ .

Ucapan Jarir (kita (semua sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, masuk bilangan "meratap") maksudnya bahwa mereka menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayat setelah dikuburkannya dan menyantap makanan di tempat mereka adalah termasuk meratapi mayat, karena hal itu membebani dan menyibukkan keluarga si mayat, padahal mereka telah dirundung musibah kematian, disamping itu, hal ini menyelisihi sunnah, karena yang diperintahkan kepada mereka adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, sehingga bila mereka melakukan itu, berarti menyelisihi perintah tersebut dan membebani keluarga tersebut untuk membuatkan makanan bagi orang lain.
[Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Author 2, hal. 232-233]
Catatan :
Bustanul Ahyar Nuhtashar Nailul Authar (Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak) adalah merupakan kitab Ringkasan Nailul Authar (Imam Asy-Syaukani). Sedangkan Nailul Authar merupakan kitab Syarah Al-Muntaqa (Imam Al-Haraani).

8. Ibnul Qayyim Al-Jauziah Al-Hambali dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata :
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم تعزية أهل الميت ولم يكن من هديه أن يجتمع للعزاء ويقرأ له القرآن لا عند قبره ولا غيره وكل هذا بدعة حادثة مكروهة
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم أن أهل الميت لا يتكلفون الطعام للناس بل أمر أن يصنع الناس لهم طعاما يرسلونه إليهم وهذا من أعظم مكارم الأخلاق والشيم والحمل عن أهل الميت فإنهم في شغل بمصابهم عن إطعام الناس
Tuntunan beliau (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam) adalah menghibur (ta’ziyah) keluarga mayat. Bukan termasuk tuntunan beliau mengumpulkan manusia lalu dibacakan Al-Quran baik di sisi kuburan maupun di tempat lain. Semua ini merupakan bid’ah yang dibenci. Yang disunahkan ialah menciptakan suasana tenang, pasrah dan ridha terhadap qadha’ Allah. Tuntunan beliau adalah tidak membebani keluarga mayit untuk menghidangkan makanan. Tapi beliau justru menyuruh manusia agar mengirimkannya kepada keluarga mayit. Ini merupakan ahlak yang mulia dan dalam rangka meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan mayit.
[Zaadul Ma’ad 1, hal. 65]

9. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah berkata :
وما يفعله بعض الناس اليوم من الإجتماع للتعزية, وإقامه السرادقات, وفرش البسط, وصرف الأموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الأمور المحدثة والبدع المنكرة التى يجب على المسلمين اجتنابها, ويحرم عليهم فعلها, لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدى الكتاب ويناقض تعاليم السنة, ويسير وفق عادات الجاهلية, كالتغنى باقران وعدم التزام اداب التلاوة, وترك الإنصات والتساغل عنه بشرب الدخان وغيره. ولم يقف الأمر عند هذا الحد, بل تجاوزه عند كثير من دون الأهواء فلم يكتفوا بالأيام الأول, بل جعلوا يوم الأربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. و جعلوا ذكرى أولى بمناسبه مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية, وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولا نقل
Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di masa kini, yaitu bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit, termasuk bid’ah yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan menyalahi sunnah. Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliyah, misalnya menyanyikan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka peringati pada hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran dan mengulangi bid’ah ini. Tidak saja mereka peringati genap satu tahun masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Quran dan sunnah Nabi. [Fiqih Sunnah 2, hal. 203-204].

Kesimpulan
1. Mayoritas ulama menganjurkan bagi yang bertakziah untuk memberi makanan kepada keluarga yang tertimpa musibah.
2. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga yang tertimpa musibah.
Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak, Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Nawawi, Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Nawawi Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab , Maktabah Syamilah.
-Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, Irsyadul ‘Ibad, Maktabah Syamilah.
-Syeikh Zakaria Al-Anshary, Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah, Maktabah Syamilah.
-Al-Bakri Dimyati, I’anatut Thalibin (E-Book)
-Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000
*Slawi, Desember 2011

Senin, 11 Juli 2011

TAKZIAH

TAKZIAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Pengertian Takziah
Takziah berasal dari akar kata al-aza = sabar. Takziah artinya berkunjung dan berucap kepada orang yang mendapat musibah karena ada anggota keluarganya yang meninggal. Kunjungan dan ucapan itu dimaksudkan untuk menghibur dan menyabarkan penerima musibah, meringankan kesusahannya, dan mengurangi rasa sedihnya dalam menghadapi musibah itu.
Hukum takziah disunahkan (mustahabb) sekalipun kepada seorang zimmi. Menurut Imam Nawawi, Hambali, Sufyan As-Sauri, takziah disunahkan sebelum jenazah dikubur dan 3 hari sesudahnya. Hanafi berpendapat takziah disunahkan sebelum jenazah dikuburkan. Sayyid Sabbiq menyebutkan bahwa takziah bias dilakukan sesudah 3 hari apabila dalam waktu 3 hari si pentakziah atau yang ditakziahi tidak ada.
[Ensiklopedi Islam 5, hal. 51, Fiqih Sunnah 2, hal. 130.]

Tujuan Takziah
Tujuan takziah adalah menghibur keluarga yang ditinggal agar tidak meratapi kematian dan musibah yang diterimanya. Apabila jika tidak dihibur maka keluarga almarhum/ almarhumah bias menangis dan susah. Keadaan demikian, menurut satu riwayat, akan memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap almarhum/almarhumah. Takziah juga merupakan mau'izah (nasihat) bagi pelaku takziah agar mengingat kematian dan bersiap-siap mencari bekal hidup di akhirat karena maut dating tanpa memandang umur dan waktu. Kedatangannya tak dapat ditunda atau diajukan.
[Ensiklopedi Islam 5, hal. 52].

Waktu Takziah
Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
فإذا شهد الجنازة أحببت أن تؤخر التعزية إلى أن يدفن الميت إلا أن يرى جزعا من المصاب فيعزيه عند جزعه
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Apabila ikut menyaksikan jenazah, maka saya menyukai apabila ia mengundurkan ta’ziyah sampai mayit itu dikuburkan; kecuali apabila ia melihat kesedihan dan kegundahan keluarga yang mendapat musibah, maka ia dapat datang untuk meringankan musibah itu.
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Imam Syafi’i No. 602; Al-Umm 1/397 ; lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
قلت قال أصحابنا إلا أن يرى من أهل الميت جزعا شديدا فيختار تقديم التعزية ليصبرهم والله أعلم ثم تمتد التعزية إلى ثلاثة أيام ولا يعزى بعدها إلا أن يكون المعزي أو المعزى غائبا وفي وجه يعزيه ابدا وهو شاذ والصحيح المعروف الأول ثم الثانية للتقريب
Saya katakan, “Para sahabat Imam Asy-Syafi’i berpendapat, diperbolehkan ta’ziyah sebelum acara penguburan mayat, apabila dia melihat itu perlu karena keluarga yang berduka benar-benar depresi dan tertekan. Semua itu dilakukan agar bisa menyabarkan mereka dan merelakan kepergiannya. Wallahu a’lam.”
Ta’ziyah berlangsung selama tiga hari, dan tidak ada ta’ziyah setelahnya, kecuali orang yang menghibur sedang pergi. Menurut satu pendapat dari mazhab Syafi’i, dia terus menghibur yang berduka, tapi pendapat itu aneh. Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena lebih mendekati kebenaran untuk dilakukan.

[Raudhatuth Thalibin 1/948-950].

Pendapat Para Ulama Tentang Berkumpul Di rumah Ahli Mayit
1. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat mengenyangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]
2. Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لاهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ "
Dan disepakati oleh Nash-nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Muhtashar dan para pengikutnya bahwasanya disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam. Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Catatan : Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (Imam Nawawi) adalah kitab syarah Al-Muhadzdzab (Asy-Syirazi), yang terkenal dengan sebutan Kitab Madzhab Syafi’i. (pen.)

Sementara dalam kitab Raudhatuth Thalibin beliau berkata :
قلت قال صاحب الشامل وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شىء قال وهو بدعة غير مستحبة وهو كما قال
ولو اجتمع نساء ينحن لم يجز أن يتخذ لهن طعاما فإنه إعانة على معصية
Saya katakan, “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Jika para perempuan berkumpul untuk membuat makanan, maka mereka dilarang untuk mengambil makanan tersebut karena itu membantu untuk berbuat maksiat.
[Raudhatuth Thalibin 1/139 (1/950].

3. Al-Bakri Dimyati Dalam Kitab I’anatut Thalibin 2/165 menguraikan :
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.
ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية. وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan aku telah membaca pertanyaan yang ditujukan kepada Mufti Mekkah tentang apa yang dilakukan keluarga mayit dalam membuat makanan.
Jawaban mereka adalah sebagai berikut. Bentuk pertanyaannya adalah : Bagaimana pendapat Mufti-mufti yang mulia di negeri haram, semoga mereka selalu bermanfaat bagi masyarakat sepanjang hari, tentang adapt khusus yang berlaku di suatu negeri yang disana ada beberapa orang, bahwa bila seseorang telah berpindah ke negeri pembalasan (meninggal), berlaku kebiasaan bahwa mereka menunggu makanan. Karena malu yang besar bagi keluarga mayat, mereka memaksakan sesuatu dengan sempurna, dan mereka menyiapkan banyak makanan untuk mereka dan menghadirkannya kepada mereka dengan bersusah payah. Apakah bila penguasa, dengan bersikap halus terhadap rakyat dan berbelas kasih kepada keluarganya, melarang kebiasaan tersebut secara total agar mereka kembali berpegang kepada sunnah yang mulia yang berasal dari mahluk yang paling mulia (Rasulullah), semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan salam kepadanya, beliau bersabda : "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far!”. Apakah diberi pahala bila dilakukan larangan tersebut?. Berilah kami jawaban dengan jawaban yang sesuai dalil. Segala Puji bagi Allah, semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka sesudah beliau. Ya Allah, saya mohon kepadaMu agar diberi petunjuk kepada kebenaran. Ya. Apa yang dilakukan manusia dengan berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan, merupakan bid’ah yang munkar dan akan diberi pahala bagi atas pemberantasannya.
“Dan apa yang ditradisikan (dibiasakan) orang tentang pembuatan makanan oleh ahli mayit, untuk mengundang orang banyak kepadanya, adalah bid’ah yang tidak disukai (oleh agama), sebagaimana berkumpul mereka untuk itu, karena telah sah apa yang diriwayatkan Jarir, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli waris dan membuat makanan sesudah mayit ditanam, itu termasuk nihayag (meratapi mayat)”. [I’anatut Thalibin 2/165]
                                      
4. Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani Asy-Syafi’i dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menjelaskan :
ويكره لهم الجلوس لها وصنع طعام يجمعون الناس عليه لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي قال: كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. ويستحب لجيران أهل الميت ولو أجانب ومعارفهم، وإن لم يكونوا جيراناً وأقاربه الأباعد، وإن كانوا بغير بلد الميت أن يصنعوا لأهله طعاماً يكفيهم يوماً وليلة. وأن يلحوا عليهم في الأكل، ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
Dan dimakruhkan untuk duduk-dudk dan membuat makanan dengan mengumpulkan orang-orang untuk mendatanginya, karena Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,
Dan disunnahkan bagi para tetangga keluarga mayit, meskipun bukan dari pihak keluarganya dan para kenalan, meskipun bukan tatangga dan kerabat jauh, meskipun mereka berada di negeri lain, memberi makanan kepada keluarga mayit yang mencukupi untuk sehari semalam, dan mendorong mereka supaya makan. Dan haram membuatkan makanan untuk perempuan yang meratap karena hal itu membantu melakukan perbuatan maksiat.
[Irsyadul ’Ibad ila Sabilir Rashad, Maktabah Syamilah]

5. Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah menjelaskan :
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Adapun yang dilaksanakan keluarga mayit menyiapkan makanan bagi orang-orang adalah bid’ah yang tercela, sebagaimana disebutkan dalam Arruoudhoh. Dikatakan dalam Al-Majmu’ yang menjadi dasar adalah ucapan Jarir bin Abdullah bin Bajali,
Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad sahih, dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak terdapat kata  ‘ba’da dafnihi’
[Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah, Maktabah Syamilah]

6. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Abdullah Ibnu Ja'far Radliyallaahu 'anhu, dimana dia berkata:
لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ -حِينَ قُتِلَ- قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم  "اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ"   أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيّ َ 
“Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka.’” (HR. Imam Lima kecuali Nasa'i). [Bulughul Maram, hal. ]

6. Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan :
فيه دليل على شرعية إيناس أهل الميت بصنع الطعام لهم لما هم فيه من الشغل بالموت، ولكنه أخرج أحمد من حديث جرير بن عبد الله البجلي: "كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة". فيحمل حديث جرير على أن المراد صنعة أهل الميت الطعام لمن يدفن منهم ويحضر لديهم كما هو عرف بعض أهل الجهات، وأما الإحسان إليهم بحمل الطعام لهم فلا بأس به وهو الذي أفاده حديث جعفر.
Hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa keharusan mengasihani dan menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian dengan memasakkan makanan baginya, karena mereka sibuk mengurusi kematian itu. Tetapi Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
 “Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Hadits dari Jarir bin Abdullah itu ditafsirkan bahwa maksudnya adalah pembuatan makanan oleh keluarga yang mati diberikan kepada mereka yang menguburkannya bersama mereka dan dihidangkan di hadapan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak mengerti.
[Subulusssalam 1, hal. 889].

8. Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Asy-Syafi’i dalam kitab Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar mengutip perkataan  Asy-Syaukani :
قَوْلُهُ : ( كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ) إلَى آخِرِهِ . يَعْنِي أَنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ ، وَأَكْلَ الطَّعَامِ عَنْدَهُمْ نَوْعًا مِنْ النِّيَاحَةِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ التَّثْقِيلِ عَلَيْهِمْ وَشَغْلِهِمْ مَعَ مَا هُمْ فِيهِ مِنْ شُغْلَةِ الْخَاطِرِ بِمَوْتِ الْمَيِّتِ وَمَا فِيهِ مِنْ مُخَالِفَةِ السُّنَّةِ ؛ لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِأَنْ يَصْنَعُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا فَخَالَفُوا ذَلِكَ وَكَلَّفُوهُمْ صَنْعَةَ الطَّعَامِ لِغَيْرِهِمْ .
Ucapan Jarir (kita (semua sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, masuk bilangan "meratap") maksudnya bahwa mereka menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayat setelah dikuburkannya dan menyantap makanan di tempat mereka adalah termasuk meratapi mayat, karena hal itu membebani dan menyibukkan keluarga si mayat, padahal mereka telah dirundung musibah kematian, disamping itu, hal ini menyelisihi sunnah, karena yang diperintahkan kepada mereka adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, sehingga bila mereka melakukan itu, berarti menyelisihi perintah tersebut dan membebani keluarga tersebut untuk membuatkan makanan bagi orang lain.
[Bustanul Ahbar Muhtashar Nailul Author 2, hal. 232-233]
Catatan :
Bustanul Ahbar Nuhtashar Nailul Authar (Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak) adalah merupakan kitab Ringkasan Nailul Authar (Imam Asy-Syaukani). Sedangkan Nailul Authar merupakan kitab Syarah Al-Muntaqa (Imam Al-Haraani).

9. Ibnul Qayyim Al-Jauziah Al-Hambali dalam kitab Zaadul Ma’ad berkata :
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم تعزية أهل الميت ولم يكن من هديه أن يجتمع للعزاء ويقرأ له القرآن لا عند قبره ولا غيره وكل هذا بدعة حادثة مكروهة
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم أن أهل الميت لا يتكلفون الطعام للناس بل أمر أن يصنع الناس لهم طعاما يرسلونه إليهم وهذا من أعظم مكارم الأخلاق والشيم والحمل عن أهل الميت فإنهم في شغل بمصابهم عن إطعام الناس
Tuntunan beliau (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam) adalah menghibur (ta’ziyah) keluarga mayat. Bukan termasuk tuntunan beliau mengumpulkan manusia lalu dibacakan Al-Quran baik di sisi kuburan maupun di tempat lain. Semua ini merupakan bid’ah yang dibenci. Yang disunahkan ialah menciptakan suasana tenang, pasrah dan ridha terhadap qadha’ Allah. Tuntunan beliau adalah tidak membebani keluarga mayit untuk menghidangkan makanan. Tapi beliau justru menyuruh manusia agar mengirimkannya kepada keluarga mayit. Ini merupakan ahlak yang mulia dan dalam rangka meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan mayit.
[Zaadul Ma’ad 1, hal. 65]

10. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah berkata :
وما يفعله بعض الناس اليوم من الإجتماع للتعزية, وإقامه السرادقات, وفرش البسط, وصرف الأموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الأمور المحدثة والبدع المنكرة التى يجب على المسلمين اجتنابها, ويحرم عليهم فعلها, لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدى الكتاب ويناقض تعاليم السنة, ويسير وفق عادات الجاهلية, كالتغنى باقران وعدم التزام اداب التلاوة, وترك الإنصات والتساغل عنه بشرب الدخان وغيره. ولم يقف الأمر عند هذا الحد, بل تجاوزه عند كثير من دون الأهواء فلم يكتفوا بالأيام الأول, بل جعلوا يوم الأربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. و جعلوا ذكرى أولى بمناسبه مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية, وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولا نقل
Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di masa kini, yaitu bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit, termasuk bid’ah yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan menyalahi sunnah. Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliyah, misalnya menyanyikan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka peringati pada hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran dan mengulangi bid’ah ini. Tidak saja mereka peringati genap satu tahun masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Quran dan sunnah Nabi. [Fiqih Sunnah 2, hal. 203-204].


Kesimpulan
1. Dianjurkan bagi setiap muslim untuk bertakziah kepada keluarga yang tertimpa musibah kematian.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa takziah dilakukan tidak boleh melebihi hari ketiga.
3. Mayoritas ulama menganjurkan bagi yang bertakziah untuk memberi makanan kepada keluarga yang tertimpa musibah.
4. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga yang tertimpa musibah.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Al-Bakri Dimyati, I’anatut Thalibin (E-Book)
-Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000

*Slawi, Mei 2011






Affiliate Program ”Get Money from your Website”

Sabtu, 21 Mei 2011

BENARKAH AL-QURAN KARANGAN MUHAMMAD

BENARKAH AL-QURAN KARANGAN MUHAMMAD
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Orang-orang kafir selalu mengingkari kebenaran Al-Quran sebagai wahyu Allah Subhanahu wata’ala. Salah satu dalih yang dipakai adalah bahwa Al-Qur’an itu adalah karangan Muhammad. Ayat-ayat berikut ini menjelaskan betapa Al-Qur’an ini benar-benar wahyu Allah Subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Nabi dan Hamba yang dicintaiNya, Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah : 23 - 24
وَإِن كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مّمّا نَزّلْنَا عَلَىَ عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مّن مّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَآءَكُم مّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * فَإِن لّمْ تَفْعَلُواْ وَلَن تَفْعَلُواْ فَاتّقُواْ النّارَ الّتِي وَقُودُهَا النّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدّتْ لِلْكَافِرِينَ
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”.

Ibnu Katsir menafsirkan :
Artinya, buatlah satu surat yang serupa dengan surat dari kitab yang dibawa oleh Muhammad, jika kalian mengaku bahwa wahyu itu diturunkan dari selain Allah, lalu bandingkanlah surat itu dengan apa yang telah dibawa oleh Muhammad. Dan untuk melakukan itu, mintalah bantuan kepada siapa saja yang kalian kehendaki selain Allah, maka sesungguhnya kalian tidak akan pernah berhasil melakukannya.
[Tafsir Ibnu Katsir 1/85].

Al-Qurthubi berkata :
Ketika orang-orang musyrik yang ditantang mendengar Al-Quran, mereka berkata, ”Ini tidak seperti kalam Allah. Sesungguhnya kami benar-benar ragu terhadapnya” Maka turunlah ayat ini.
Firman Allah, (فَاتّقُواْ النّارَ ) ” peliharalah dirimu dari neraka”, adalah jawab dari (فَإِن لّمْ تَفْعَلُواْ ) ” Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya)”, maknanya : Peliharalah diri kalian dari api neraka dengan membenarkan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dan taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
[Tafsir Al-Qurthubi 1/527-532].

Ar-Razi berkata :
Dhamir pada ayat (مّن مّثْلِهِ ) ” yang semisal Al Qur'an itu” kembali kepada Al-Quran, pada ayat (مّمّا نَزّلْنَا عَلَىَ عَبْدِنَا ) ” yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad)”. Yakni buatlah satu surat yang semisal dengan baik dalam kefasihan maupun susunannya yang bagus. (Al-Musnad 5/186-187, Al-Bukhari 6/23)
[Tafsir Ibnu Mas’ud/160].

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Isra’ : 88
قُل لّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنّ عَلَىَ أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً * وَلَقَدْ صَرّفْنَا لِلنّاسِ فِي هَـَذَا الْقُرْآنِ مِن كُلّ مَثَلٍ فَأَبَىَ أَكْثَرُ النّاسِ إِلاّ كُفُوراً
”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur'an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya)”.

Ibnu Katsir berkata :
Allah mengisyaratkan tentang kemuliaan yang dimiliki Al-Quran. Untuk itulah Allah memberitahukan bahwa seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul, lalu mereka sepakat akan membuat hal yang semisa; dengan kitab yang yang diturunkanNya kepada wasulNya, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya untuk selama-lamanya, sekalipun mereka saling membantu dan menolong diantara sesama mereka. Karena sesungguhnya hal ini merupakan suatu perkara yang mustahil dapat mereka lakukan, karena jelas tidak ada keserupaan antara perkataan makhluk dan kalam Tuhan Yang mahapencipta yang tiada persamaan, tiada yang semisal, dan tiada yang setara dengan Dia.
[Tafsir Ibnu Katsir 15/354].

Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir telah mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Sa’id atau Ikrimah dengan bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yang telah menceritakan bahwa salam Ibnu Misykum datang kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Bersama sebagian besar orang-orang Yahudi yang nama-nama mereka disebutkan oleh Ibnu Abbas. Maka mereka berkata: "Mana mungkin kami mengikutimu, sedangkan kamu benar-benar telah meninggalkan kiblat kami. Dan sesungguhnya apa yang kamu bawa ini (Al-Qur'an), kami memandangnya kurang begitu kurang begitu serasi sebagaimana keserasian kitab Taurat. Maka turunkanlah sebuah kitab yang biasa-kami kenal; atau jika tidak, maka kami akan mendatangkan kepadamu seperti apa yang diturunkan kepadamu". Maka seketika itu juga Allah menurunkan firman-Nya: "Katahanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat mernbuat yang serupa dengan dia ...' (Q.S. 17 Al-Isra’ 88)
[Tafsir Jalalain 1/1106].

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Hud : 13
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُواْ بِعَشْرِ سُوَرٍ مّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُواْ مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مّن دُونِ اللّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Bahkan mereka mengatakan: ”Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Ibnu Katsir berkata :
Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan tentang kelebihan Al-Quran. Allah juga menyatakan, bahwa tidak ada seorangpum yang sanggup mendatangkan hal yang serupa dengannya, atau hanya dengan sepuluh surat saja yang serupa dengannya, atau bahkan saTu surat saja yang serupa dengannya, karena firman Allah yang maha tinggi itu tidak sama dengan perkataan makhluknya, sebagaimana sifat-sifatnya juga tidak bisa disamai dengan sifat-sifat makhluk ciptaanNya. Demikian juga dengan Dzat-Nya yang tidak dapat diserupai dengan sesuatu apapun. Maha tinggi lagi Mahasuci, tiada Ilah melainkan hanya Allah semata dan tidak ada Rabb selain diriNya.
[Tafsir Ibnu Katsir 11/13].

Pendapat Toko-tokoh Non Muslim terhadap Al-Quran
1. Harry Gaylord Dorman dalam buku "Towards Understanding lslam", New York, 1948, p.3, berkata: "Kitab Qur'an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini, untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad."

2. Prof. H. A. R. Gibb dalam buku "Mohammadanism", London, 1953, p. 33, berkata sebagai berikut: "Nah, jika memang Qur'an itu hasil karyanya sendiri, maka orang lain dapat menandinginya. Cobalah mereka mengarang sebuah ungkapan seperti itu. Kalau sampai mereka tidak sanggup dan boleh dikatakan mereka pasti tidak mampu, maka sewajarnyalah mereka menerima Qur'an sebagai bukti yang kuat tentang mukjizat."

3. Sir William Muir dalam buku "The Life of Mohamet", London, 1907; p. VII berkata sebagai berikut: "Qur'an adalah karya dasar Agama Islam. Kekuasaannya mutlak dalam segala hal, etika dan ilmu pengetahuan…"

4. DR. John William Draper dalam buku "A History of the intelectual Development in Europe", London, 1875, jilid 1 , p. 343-344, berkata: "Qur'an mengandung sugesti-sugesti dan proses moral yang cemerlang yang sangat berlimpah-limpah; susunannya demikian fragmenter, sehingga kita tidak dapat membuka satu lembaran tanpa menemukan ungkapan-ungkapan yang harus diterima oleh sekalian orang. Susunan fragmenter ini, mengemukakan teks-teks, moto dan peraturan- peraturan yang sempurna sendirinya, sesuai bagi setiap orang untuk setiap peristiwa dalam hidup."

5. DR. J. Shiddily dalam buku "The Lord Jesus in the Qur'an", p. 111 , berkata: "Qur'an adalah Bible kaum Muslimin dan lebih dimuliakan dari kitab suci yang manapun, lebih dari kitab Perjanjian Lama dan kitab perjanjian Baru."

6. Laura Vaccia Vaglieri dalam buku "Apologie de I'Islamism, p. 57 berkata: "Dalam keseluruhannya kita dapati dalam kitab ini, suatu koleksi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh oleh orang-orang yang paling cerdas, filosof-filosof yang terbesar dan ahli-ahli politik yang paling cakap... Tetapi ada bukti lain tentang sifat Ilahi dalam Qur'an, adalah suatu kenyataan bahwa Qur'an itu tetap utuh melintasi masa-masa sejak turunnya wahyu itu hingga pada masa kini...Kitab ini dibaca berulang-ulang oleh orang yang beriman dengan tiada jemu-jemunya. Keistimewaannya pula, Qur'an senantiasa dipelajari/dibaca oleh anak-anak sejak sekolah tingkat dasar hingga tingkat Profesor. "

"Sebaliknya malah karena diulang- ulang ia makin dicintai sehari demi sehari. Qur'an membangkitkan timbulnya perasaan penghormatan dan respek yang mendalam, pada diri orang yang membaca dan mendengarkannya.... Oleh karena itu bukan dengan jalan paksaan atau dengan senjata, tidak pula dengan tekanan mubaligh-mubaligh yang menyebabkan penyiaran Islam besar dan cepat, tetapi oleh kenyataan bahwa kitab ini, yang diperkenalkan kaum Muslimin kepada orang-orang yang ditaklukkan dengan kebebasan untuk menerima atau menolaknya adalah kitab Tuhan. Kata yang benar, mukjizat terbesar yang dapat diperlihatkan Muhammad kepada orang yang ragu dan kepada orang yang tetap berkeras kepala."

7. Prof. A. J. Amberry, dalam buku "De Kracht van den Islam", hlm. 38, berkata: "Qur'an ditulis dengan gaya tak menentu dan tidak teratur, yang menunjukkan bahwa penulisnya di atas segala hukum-hukum pengarang manusia."

8. G. Margoliouth dalam buku "Introduction to the Koran" (kata pendahuluan untuk buku J. M. H. Rodwell), London, 1918, berkata: "Diakui bahwa Our'an itu mempunyai kedudukan yang penting diantara kitab-kitab Agama di dunia. Walau kitab ini merupakan yang terakhir dari kitab-kitab yang termasuk dalam kesusasteraan ini, ia tidak kalah dari yang mana pun dalam effeknya yang mengagumkan, yang telah ditimbulkannya terhadap sejumlah besar manusia yang telah menciptakan suatu phase kemajuan manusia dan satu tipe karakter yang segar."

9. George Sale dalam buku "Joseph Charles Mardrus-Premilinary Discourse", berkata: "Di seluruh dunia diakui bahwa Qur'an tertulis dalam bahasa Arab dengan gaya yang paling tinggi, paling murni....diakui sebagai standard bahasa Arab... dan tak dapat ditiru oleh pena manusia... Oleh karena itu diakui sebagai mukjizat yang besar, lebih besar daripada membangkitkan orang mati, dan itu saja sudah cukup untuk meyakinkan dunia bahwa kitab itu berasal dari Tuhan."

10. E. Denisen Ross dari "Introduction to the Koran-George Sale", p. 5, berkata: "Qur'an memegang peranan yang lebih besar terhadap kaum Muslimin daripada peranan Bible dalam agama Kristen. Ia bukan saja merupakan sebuah kitab suci dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text book dari upacara agamanya dan prinsip-prinsip hukum kemasyarakatan.....Sungguh sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa-masa ini, di mana ruang dan waktu hampir telah dipunahkan oleh penemuan-penemuan modern."

11. James A. Michener dalam "Islam the Misunderstood Religion Readers Digest", Mei 1955, berkata sebagai berikut: "Berita Qur'an inilah yang mengusir patung-patung dewa, dan memberikan ilham kepada manusia untuk merevolusikan hidup dan bangsa mereka.... Kombinasi antara persembahan kepada Satu Tuhan ditambah dengan perintah prakteknya yang membuat Qur'an menjadi khas. Bangsa yang beragama di Timur yakin bahwa negara mereka hanya akan diperintah dengan baik apabila hukum-hukumnya sejalan dengan Qur'an.

12. W.E. Hocking dalam "Spirit of World Politics New York 32", p. 461 , berkata: "...saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa Qur'an berisi amat banyak prinsip-prinsip yang diperlukan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke-13, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat."

13. Napoleon Bonaparte
a. Dari "Stanislas Cuyard-Ency des Sciences Religioses", Paris, 1880, jilid IX, p. 501 berkata sebagai berikut: " Selama abad-abad pertengahan, sejarah Islam peradaban sepenuhnya. Berkat keuletan kaum Musliminlah maka ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani tertolong dari kebinasaan, dan kemudian datang membangunkan dunia Barat serta membangkitkan gerakan intelektual sampai pada pembaruan Bacon. Dalam abad ke-7 dunia lama itu sedang dalam sakaratulmaut. Muhammad memberi kepada mereka sebuah Qur'an yang merupakan titik tolak ke arah dunia baru."

b. Dari buku "Bonaparte et I'Islarn oleh Cherlifs, Paris, p. 105, berkata sebagai berikut: "I hope the time is not far off when I shall be able to unite all the wise and educated men of all the countries and establish a uniform regime based on the prinsiples of the Qur'an wich alone can lead men to happiness.

Artinya:
Saya meramalkan bahwa tidak lama lagi akan dapat dipersatukan semua manusia yang berakal dan berpendidikan tinggi untuk memajukan satu kesatuan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam, karena hanyalah Qur'an itu satu-satunya kebenaran yang mampu memimpin manusia kepada kebahagiaan.
[Pendapat Para Ilmuwan Non Muslim tentang: BIBEL & AL-QUR'AN/2].

Sumber Rujukan :
-Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’I, Jakarta, 2003.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Asma, Jakarta, 2009.
-Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, Pustaka Azzam, 2010.
-Drs. H. Wakhid Rosyid (Willibrordus Romanus Lasiman), Pendapat Para Ilmuwan Non Muslim tentang: BIBEL & AL-QUR'AN, Pustaka Mantiq, 1997

Selasa, 12 April 2011

ORANG JUNUB DAN WANITA HAID MASUK MASJID

ORANG JUNUB DAN WANITA HAID MASUK MASJID
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.


وعن عائشة رضي الله عنها قالتْ: قالَ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إني لا أُحِلُّ المَسْجِدَ لحائض ولا جُنُبٍ". رواه أبو داود. وصحّحه ابنُ خزيمةَ.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan junub." Riwayat bu Dawud dan hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
[Bulughul Maram/52].

Ibnu Ruyd berkata :
Hadits ini menurut penelitian ahli hadits tidak sahih. Perlu diketahui di sini bahwa perbedaan fuqaha dalam masalah orang junub ini juga mengakibatkan perbedaan mereka dalam masalah haid.
[Bidayatul Mujtahid 1/ (1/94)].

Imam Ash-Shan’ani berkata :
والحديث دليل على أنه لا يجوز للحائض والجنب دخول المسجد، وهو قول الجمهور، وقال داود، وغيره: يجوز، وكأنه بني على البراءة الأصلية، وأن هذا الحديث لا يرفعها.
وأما عبورهما المسجد، فقيل: يجوز لقوله تعالى:
{… إلا عابري سبيل …}
في الجنب، وتقاس الحائض عليه، والمراد به: مواضع الصلاة.
وأجيب: بأن الآية فيمن أجنب في المسجد فإنه يخرج منه للغسل، وهو خلاف الظاهر، وفيها تأويل اخر
Hadits tersebut adalah dalil tidak bolehnya perempuan yang sedang haidh dan junub masuk ke dalam masjid, demikianlah menurut pendapat jumhur ulama. Sementara Dawud dan ulama lainnya mengatakan boleh, sepertinya pendapatnya ini berdasarkan al-bara'ah al-ashliah (hukum asalnya, terlepasd ari kewajiban),dan hadits ini iidak dapat mengangkat hukum asal tersebut.
Adapun melewati masjid bagi yang haidh dan junub, ada yang mengatakan boleh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "..terkecuali sekedar berlalu saja.(.Q" S. An-Nisa': 43) Mengenai yang junub, sedangkan perempuan haidh diqiaskan padanya. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah tempat-tempat shalat.
Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa ayat itu berkenaan dengan orang yang junubnya terjadi di dalam masjid, maka dia harus keluar untuk mandi, ini berbeda dengan zhahirnya ayat tersebut. Dan terdapat penafsiran yang lain mengenai ayatini.
[Subulussalam 1/ (1/229)].

عن عائشة قالت‏:‏ ‏قال لي رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم نَاوِلْيِنِي الْخُمْرَةَ من المسجدِ فقلت‏:‏ إني حائضٌ فقال‏:‏ إن حَيْضَتَكَ لَيْسَتْ في يَدِكَ‏
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ambilkanlah aku sajadahku dari masjid’. Lalu aku berkata, 'Sesungguhnya aku sedang haidh, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya haidh itu tidak berada di tanganmu.,' (HR. Jama'ah keccuali Al-Bukkhari)

Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على جواز دخول الحائض المسجد للحاجة ولكنه يتوقف على تعلق الجار والمجرور أعني قوله‏:‏ من المسجد بقوله‏:‏ ناوليني وقد قال بذلك طائفة من العلماء واستدلوا به على جواز دخول الحائض المسجد للحاجة تعرض لها إذا لم يكن على جسدها نجاسة وأنها لا تمنع من المسجد إلا مخافة ما يكون منها وعلقته طائفة أخرى بقوله‏:‏ ‏(‏قال لي رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم من المسجد ناوليني الخمرة‏)‏ على التقديم والتأخير‏.‏
وعليه المشهور من مذاهب العلماء أنها لا تدخل لا مقيمة ولا عابرة لقوله‏:‏ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ‏(‏لا أحل المسجد لحائض ولا جنب‏)‏
Hadits di atas menunjukkan bolehnya masuk masjid,bagi orang orang yang haidh dengan adanya hajat . Tetapi pendapati ni tergantung pada hubungan jar dan majrur, yakni pada perkataan "minalinasjidi" berdasarkan perkataan" naawillini". Mereka yang berpendapau demikian adalah segolongan Ulama. Mereka menggunakan hadits ini sebagai dalil bolehnya masuk masjid bagi orang yang haidh karena adanya hajat, jika badannya tidak terkena najis maka tidak ada halangan baginya masuk masiid kecuali khawatir adanya najis. Golongan lain menggantungkan perkataan,
"Rasulullah mengatakan kepada kami dari masjid, ambilkanlah aku kerudung" pada taqdim dan ta’khir (lafadz yang terdahulu dan yang terkemudian).
Madzhab Ulama yang masyhur berpendapat bahwa orang yang haidh tidak masuk masjid, tidak tinggal, dan tidak melewati berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi, Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan junub."
[Nailul Authar 1/ 189 (1/514)].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Haram bagi orang junub menetap di masjid karena hadits Aisyah r.a.,
وعن عائشة قالت‏:‏ ‏جاء رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم وَوُجُوْهُ بُيُوْتِ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ في المسجدِ فقال‏:‏ وَجِّهُوْا هَذِهِ الْبُيُوْتَ عن المسجدِ ثم دخل رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم ولم يَصْنَعِ الْقَوْمُ شيئًا رَجَاءَ أن يَنْزِلَ فيهم رُخْصَةٌ فخرج إليهم فقال‏:‏ وِجِّهُوْا هذه البُيُوْتَ عن المسجدِ فَإِنِّي لا أُحِلُ المسجدَ لِحَائِضٍ ولا جُنُبٍ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke masjid, sementara bagian depan rumah para sahabatnya ada menjorok ke dalam masjid. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda, 'Pindahkan bagian depan rumah-rumah ini dari masjid! Kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun masuk sedangkan orang-orang itu belum berbuat apa-apa karena mengharapkan keringanan dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam . Akhirnya, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun keluar menjumpai para pemilik rumah itu, katanya, ’palingkan rumah-rumah ini dari masjid karena aku tiada membolehkan pertempuan haid dan orang junub memasuki masjid” (HR. Abu Dawud)
وعن أم سلمة قالت‏:‏ ‏دخل رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم صَرْحَةَ هذا المسجدِ فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ أن المسجدَ لا يحلُّ لِحَائِضٍ ولا جُنُبٍ
Dari Ummu Salamah ra, " Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya, ’Sesungguhnay masjid ini tidak boleh dimasuki orang haid dan orang junub!"'(HR Ibnu Majah dan Thabrani)

Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa orang haid dan orang junub tidak boleh tinggal atau menetap di dalam masjid, tetapi keduanya diberi keringanan untuk melintasnya saja, karena firman Allah ta'ala,
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاةَ وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جُنُبًا إلا عابري سبيلٍ حتى تغتسلوا
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.. ” (an-Nisaa' [4]: 43)

وعن جابر قال‏:‏ ‏كان أحدنا يَمُرُّ في المسجدِ جُنُبًا مَجْتَازًا‏‏
Dan diterima pula dari Jabir ra. Yang berkata, "Masing-masing kami biasa melewatl masjid dalam keadaan janabat, tetapi hanya melintas." (HR Ibnu Abu Syaibah dan Sa'id bin Manshur dalam buku Sunan-nya)

وعن زيد بن أسلم قال‏:‏ ‏كان أصحابُ رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَمْشُوْنَ في المسجدِ وهم جُنُبٌ‏
Zaid bin Aslam berkata, "Para sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa berjalan di masjid, sedangkan mereka dalam keadaan junub." (HR Ibnu Mundzir)
Dari Yazid bin Habib bahwa ada beberapa orang di antara laki-aki Anshar; pintu rumah mereka
menghadap masjid. Mereka sering dalam keadaan junub dan tidak mendapatkan air. Mereka tidak
menemukan jalan lain untuk keluar tumah melainkan melalui pintu masjid. Lalu Allah menurunkan ayat, " (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecual sekadar
berlalu saja ." (HR. Ibnu Jarir)


وعن ميمونة قالت‏:‏ ‏‏كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يدخلُ على إِحْدَانَا وهي حائضٌ فَيَضَعُ رَأْسَهُ في حِجْرِهَا فَيَقْرَأُ القرآنَ وهي حائضٌ ثم تَقُوْمُ إحدانا بِخُمْرَتِهِ فَتَضَعُهَا في المسجدِ وهي حائضٌ
"Dari Maimunah, ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepada salah seorang di antara kami –padahal ia sedang haidh- lalu ia meletakkan kepalanya di pangkuannya (istrinya itu), kemudian ia membaca Al-Quran –sedang ia dalam keadaan haidh- lalu salah seorang diantara kami membasakan sajadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia letakkan di masjid, padahal ia sedang haidh." (HR. Ahmad dan Al-Nasa'i)
[Fiqih Sunnah 1/87-88].

Kesimpulan :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang junub dan wanita haid dilarang masuk dan menetap dalam masjid, kecuali hanya sekedar lewat saja.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006

*Slawi, April 2011.

Sabtu, 09 April 2011

CARA MANDI JUNUB

CARA MANDI JUNUB
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
Syarat Mandi minimal ada dua :
Pertama, Niat.
Bemiat mandi adalah wajib. Mengenai niat berikut Furu'nya (cabang) telah disebutkank ketika membahas Sifat Wudhu .Niat mandi ini tidak boleh diakhirkan dari pertama kali melakukan mandi fardhu. Apabila niat dilakukan bersamaan dengan permulaan mandi, maka sudah cukup.
Kedua ; Airnya mengenai seluruh badan.
Termasuk dalam pengertian seluruh badan itu adalah sesuatu terlihat dari kedua lobang telinga, lekukan badan, sesuatu yang di bawah Qulfah dan sesuatu yang terlihat dari daerah
yang tertutup menurut yang Ashah di dalam keduanya.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا هل من شروط هذه الطهارة النية أم لا؟ كاختلافهم في الوضوء، فذهب مالك والشافعي وأحمد وأبو ثور وداود وأصحابه إلى أن النية من شروطها، وذهب أبو حنيفة وأصحابه والثوري إلى أنها تجزئ بغير نية كالحال في الوضوء عندهم
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah niat termasuk syarat mandi atau tidak. Perselisihan tersebut hampir sama dengan wudhu.
Menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan para pengikutnya, niat termasuk sebagian syarat dalam wudhu. Sedang menurut Tsauri, Abu Hanifah, dan para pengikutnya, niat itu bukan syarat mandi, dan mandi sah tanpa niat. Menurut mereka persoalan mereka tidak berbeda dengan persoalan wudhu.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].

Hadits-hadits Tentang Cara Mandi Junub Beserta Penjelasannya
Hadits 1

وعَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنْهَا قَالَتْ: "كانَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فيَغْسل يَدَيْهِ، ثمَّ يُفْرِغُ بيمِينِه على شِمَالِه، فيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثمَّ يَتَوَضَّأُ، ثم يأخُذُ الماءَ، فَيُدْخِلُ أصابِعَهُ في أُصُولِ الشّعْرِ، ثمَّ حَفَنَ على رأسِهِ ثلاثَ حَفَناتٍ، ثمَّ أفَاضَ على سائرِ جَسَدِهِ، ثمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ" متفقٌ عليه، واللّفظُ لمُسلمٍ.
ولَهما، مِنْ حديثِ مَيْمُونَةَ: ثُمَّ أفْرغَ على فَرْجِهِ وغَسَلَهُ بِشِمالِه، ثمَّ ضَرَبَ بها الأرْضَ.
وفي رواية: فَمَسَحَها بالتّرابِ، وفي اخرهِ: "ثمَّ أَتَيْتُهُ بالمنْديل، فرَدَّهُ، وفيه: وجَعَلَ يَنْفُضُ الماءَ بِيَدِهِ".
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika mandi karena jinabat akan mulai dengan membersihkan kedua tangannya, kemudian menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudlu, lalu mengambil air, kemudian memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambut, lalu menyiram kepalanya tiga genggam air, kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dan mencuci kedua kakinya. (HR. Bukhari 248, Muslim 316, dan lafadznya dari Muslim.)
Menurut Riwayat Bukhari-Muslim dari hadits Maimunah: Kemudian beliau menyiram kemaluannya dan membasuhnya dengan tangan kiri, lalu menggosok tangannya pada tanah. ((HR. Bukhari 249, Muslim 317)
Dalam suatu riwayat: Lalu beliau menggosok tangannya dengan debu tanah. Di akhir riwayat itu disebutkan: Kemudian aku memberikannya saputangan namun beliau menolaknya. Dalam hadits itu disebutkan: Beliau mengeringkan air dengna tangannya. ((HR. Bukhari 259, Muslim 317)
[Bulughul Maram/51].

Imam Ash-Shan’ani berkata :
وهذان الحديثان مشتملان على بيان كيفية الغسل من ابتدائه إلى انتهائه، فابتداؤه غسل اليدين قبل إدخالهما في الإناء إذا كان مستيقظاً من النوم، كما ورد صريحاً، وكان الغسل من الإناء، وقد قيّده في حديث ميمونة مرتين، أو ثلاثاً،
ويدل على أن الماء الذي يطهر به محل النجاسة طاهر مطهّر، وعلى تشريك النية للغسل الذي يزيل النجاسة برفعها الحدث. واستدلّ به على أن بقاء الرائحة بعد غسل المحل لا يضر. ويدل على أن غسل الجنابة مرة واحدة،
وأما وضوءه قبل الغسل: فإنه يحتمل أنه وضوءه للصلاة، وأنه يصح قبل رفع الحدث الأكبر، وأن يكون غسل هذه الأعضاء كافياً عن غسل الجنابة، وأنه تتداخل الطهارتان، وهو رأي زيد بن علي، والشافعي، وجماعة، ونقل ابن بطال الإجماع على ذلك،
ويحتمل أنه غسل أعضاء الوضوء للجنابة، وقدمها تشريفاً لها، ثم وضّأها للصلاة، لكن هذا لم ينقل أصلًا،
ويحتمل أنه وضّأها للصلاة، ثم أفاض عليها الماء مع بقية الجسد للجنابة، ولكن عبارة: "أفاض الماء على سائر جسده" لا تناسب هذا، إذ هي ظاهرة: أنه أفاضه على ما بقي من جسده مما لم يمسه الماء، فإن السائر: الباقي، لا الجميع. قال في القاموس: والسائر: الباقي، لا الجميع، كما توهّم جماعات.
فالحديثان ظاهران في كفاية غسل أعضاء الوضوء مرة واحدة عن الجنابة: وأنه لا يشترط في صحة الوضوء رفع الحدث الأكبر. ومن قال: لا يتداخلان، وأنه يتوضأ بعد كمال الغسل، لم ينهض له على ذلك دليل.
Kedua hadits tersebut mencakup katerangan tata cara mandi junub mulai dari permulaan sampai akhirnya, dimulai dengan mencuci kedua tangan sebelum mencelupkannya ke dalam bejana ketika baru bangun dari tidur, sebagaimana yang ditegaskan hadits,jika mandinya dari bejana, dan di
ddam hadits Maimuunah ditaqyid (dibatasi) dengan dua atau tga kali.
Haditsi ni juga menunjukkan bahwa air yang digunakan membersihkan tempat yang bernajis adalah suci lagi mensucikan. Juga menunjukkn bahwa niat untuk mandi menghilangkan najis harus didertai niat untuk menghilangkan hadats. Dan dijadikan dalil bahwa bau yang belum hilang setelah mencuci tempat yang terdapat najis tidaklah membahayakan, dan menunjukkan bahwa mandi junub (yang wajib) hanya sekali.
Adapun wudhu beliau sebelum mandi junub, boleh jadi seperti wudhunya untuk shalat, dan wudhu tersebut sah sebelum menghilangkan hadats besar. .Membasuh anggota-anggota wudhu tersebut sudah mencukupi dari mandi junub. Kedua. Cara bersuci itu digabung, ini adalah pendapat Zaid bin Ali, Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya, bahkan Ibnu Baththal menukil bahwa para ulama telah ijma’ dalam hal tersebut.
Mungkin juga beliau mencuci anggota wudhu untuk mandi .junub, beliau mendahulukannya karena untuk memuliakannya, lalu beliau berwudhu untuk shalat. Tapi pendapat ini pada dasarnya tidak ada yang menukilnya.
Mungkin juga wudhu beliau adalah untuk shalat, kemudian menuangkan air padanya beserta anggota wudhu lainnya dengan niat mandi junub. Tapi ungkapan (beliau mencurahkan air kesekujur tubuhnya) tidak sesuai dengan ungkapan ini, karena zhahirnya bahwa beliau mencurahkan air pada bagian tubuhnya yang belum terkena air, padahal kata sa’ir artinya yang tersisa bukan semuanya. Di dalam Al-Qamus dikatakan, bahwa kata sa’ir artinya sisa, bukan semuanya seperti dugaan banyak orang.
Dua hadits tersebut menjelaskan bahwa mencuci anggota wudhu cukup sekali saja, untuk mandi junub dan wudhu, dan tidak disyaratkan sahnya wudhu dengan hilangnya hadats besar. Adapun orang yang berpendapat bahwa keduanya (wudhu dan mandi junub) tidak menyatu, dan orang itu mesti berwudhu setelah sempurna mandinya, tidak ada dalil yang mendukung pendapat tersebut.
[Subulussalam 1/60 (1/223)].

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
قلت المختار أنه إن تجردت الجنابة نوى بوضوئه سنة الغسل وإن اجتمعا نوى به رفع الحدث الأصغر والله أعلم
Saya katakan. “Pendapat yang terpilih adalah, jika seseorang mandi junub tanpa berhadats kecil, maka hendaknya dia berniat dalam wudhunya untuk sunnah mandi. Dan jika berhadats besar dan berhadats kecil, maka hendaknya berwudhu dengan niat menghilangkan hadats kecil. Wallahu a’lam.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].

Ibnu Rusyd berkata :
والصفة الواردة في حديث ميمونة قريبة من هذا، إلا أنه أخر غسل رجليه من أعضاء الوضوء إلى آخر الطهر
Cara mandi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. yang disebut dalam hadis Maimunah hampir sama dengan hadis ini. Hanya saja –dalam hadis riwayat Maimunah- di antara anggota tubuh yang
masuk rukun wudu yang terakhir dicuci oleh Rasulullah adalah kaki. selanjutnya sampai akhir taharah.
[Bidayatul Mujtahid 1/31 (1/83)].

Hadits 2

وعن أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله تعالى عنها قالت: قُلْتُ: يا رسول الله، إني امْرَأَةٌ أشُدُّ شَعَرَ رأسي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغَسْلِ الجَنَابَةِ؟ وفي رواية: والحيْضَةِ؟ قالَ: "لا، إنّما يكفيكِ أنْ تحثِي على رأسِك ثلاثَ حَثَيَاتٍ" رواه مسلمٌ.
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya, wahai Rasulullah, sungguh aku ini wanita yang mengikat rambut kepalaku. Apakah aku harus membukanya untuk mandi jinabat? Dalam riwayat lain disebutkan: Dan mandi dari haid? Nabi menjawab: "Tidak, tapi kamu cukup mengguyur air di atas kepalamu tiga kali." Riwayat Muslim.

Imam Ash-Shan’ani berkata :
والحديث: دليل على أنه لا يجب نقض الشعر على المرأة في غسلها من جنابة، أو حيض، وأنه لا يشترط وصول الماء إلى أصوله،
وهي مسألة خلاف:
فعند الهادوية: لا يجب النقض في غسل الجنابة، ويجب في الحيض والنفاس. لقوله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لعائشة: "انقضي شعرك واغتسلي".
وأجيب: بأنه معارض بهذا الحديث. ويجمع بينهما: بأن الأمر بالنقض للندب، ويجاب: بأن شعر أم سلمة كان خفيفاً، فعلم صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أنه يصل الماء إلى أصوله
Hadits terrebut sebagai dalil bahwa wanita tidak wajib menguraiikan rammbutnya (membuka sanggul) waktu mandi junub, atau mandi haidh, juga tid.ak disyaaratkan sampainya air ke pangkal-pangkal rambut.
Mengenai hukum menguraikan rambut sewakru mandi junub, terdapat perbedaan pendapat:
Menurut Al-Hadawiyah,tidak wajib menguraikannya ketika mandi junub, tapi wajib hukumnya ketika mandi haidh atau nifas, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, "Urailun rambutmu, kemudian mandilah” (HR. Ibnu Majah 646)
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan hadits babi ni, padahal keduanya dapat dikompromikan, bahwa perintah menguraikan itu adalah sunnah, atau bisa juga dijawab bahwa rambut Ummu Sdamah jarang dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tahu kalau air pasti sampai ke pangkd rambutnya.
[Subulussalam 1/61 (1/226)].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وهو أقوى في إسقاط التدلك من تلك الأحاديث الأخر، لأنه لا يمكن هنالك أن يكون الواصف لطهره قد ترك التدلك وأما ههنا فإنما حصر لها شروط الطهارة
Hadis ini adalah hadis yang terkuat dibandingkan hadis-hadis lain yang menjelaskan tidak adanya kewajiban menggosok jasad dalam mandi. Sebab, tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan cara mandi yamg benar, padahal beliau sendiri tidak menggosok dan tidak memerintahkan untuk menggosok.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].

Hadits 3

وعن عائشة قالت‏:‏ ‏‏كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثم الْأَيْسَرِ ثم أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فقال بِهِمَا على رَأْسِهِ
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mandi janabat, ia minta air dalam satu bejana besar, lalu ia ambil air itu dengan tangannya, kemudian memulai pada bagian kepala sebelah kanan, kemudian yang kiri, kemudian ia mengambil air dengan kedua tapak tangannya, lalu ia tuangkan di atas kepalanya” (HR. Bukhari, Muslim)

Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب البداءة بالميامن ولا خلاف فيه وفيه الاجتزاء بثلاث غرفات وترجم على ذلك ابن حبان‏.‏
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya memulai (mandi atau wudhu) dengan tangan kanan, dan masalah ini tidak diperselisihkan lagi. Juga menunjukkan dibolehkannya dengan tiga kali tuangan, ini menurut penafsiran Ibnu Hibban.
[Nailul Authar 1/205 (1/553)].

Hadits 4

وعن ميمونة قالت‏:‏ ‏وَضَعْتُ للنبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ماءً يَغْتَسِلُ بهِ فَأَفْرَغَ على يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثلاثًا ثم أفرغ بِيَمِيْنِهِ على شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرُهُ ثم دلك يَدَهُ بالأرضِ ثم مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثم غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثم غسل رأسَهُ ثلاثًا ثم أفرغ على جَسَدِهِ ثم تَنْحَى من مَقَامِهِ فغسل قَدَمَيْهِ قالت‏:‏ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فلم يُرِدْهَا وجعل يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ‏
Dari Maimunah, ia berkata, ”Saya sediakan air untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia tuangkan (air) di atas kedua tangannya, lantas ia cuci keduanya dua kali atau tiga kali, kemudian ia tuangkan air dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu ia mencuci kemaluannya, kemudian menggosok tangannya dengan tanah, kenudian berkumur-kumur dan mengisap dengan hidung, kemudian mencuci mukanya dan kekdua tangannya, kemudian mencuci kepalanya tiga kali, kemudian menuangkan air ke atas tubuhnya, kemudian bangkit dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya. Maimunah berkata, ”Lalu saya berikan kepadanya sepotong kain, tetapi ia tidak mau, dan ia mengusap (bekas) air itu dengan tangannya” (HR. Jamaah. Dan, di dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi tidak disebutkan perkataan ’menggosok dengan tangannya’)

Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه‏:‏ وفيه دليل استحباب دلك اليد بعد الاستنجاء انتهى‏.‏
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya membersihkan tangan (dengan debu dan tanah) sesudah istinja. Selesai.
[Nailul Authar 1/205 (1/555)].

Hadits 5

وعن عائشة قالت‏:‏ ‏كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الغُسْلِ‏
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berwudgu sesudah mandi” (HR. Imam yang lima)

Asy-Syaukani berkata :
وفي الباب عن ابن عمر مرفوعًا وعنه موقوفًا أنه قال‏:‏ ‏(‏لَمَّا سُئِلَ عَنِ الْوُضُوْءِ بَعْدَ الغُسْلِ وأي وضوء أعم من الغُسْلِ‏)‏ رواه ابن أبي شيبة‏.‏ وروي عنه أنه قال لرجل قال له إني أتوضأ بعد الغسل فقال‏:‏ لقد تعقمت‏.‏
Termasuk hadits pada bab ini dari Ibnu Umar secara marfu’, dan juga daripadanya secara mauquf,bahwa ia berkata, ”Ketika ia ditanya tentang wudhu setelah mandi, wudhu yang manakah yang lebih umum (rata) daripada mandi”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, diriwayatkan daripadanya bahwa ia mengatakan kepada seorang laki-laki, ia mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya aku wudhu sesudah mandi, lalu ia menjawab, engkau telah mendalaminya (berlebih-lebihan)”
[Nailul Authar 1/206 (1/555)].

Hadits 6

وعن جبير بن مطعم قال‏:‏ ‏تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةَ عند رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال‏:‏ أمَّا أنا فَآخُذُ مِلْءُ كَفِّيْ فَأَصُبُّ على رَأْسِي ثم أُفِيْضُ بَعْدُ على سَائِرِ جَسَدِي‏

Dari Jubair bin Muth’im, ia berkata, ”Kami pernah berbindang-bindang tentang mandi jinabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bersabda, ’Adapun aku, cukup mengambil air sepenuh dua tapak tanganku, lalu aku tuangkan di atas kepalaku, kemudian aku menyiram atas seluruh tubuhku” (HR. Ahmad).

Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه‏:‏ فيه مستدل لمن لم يوجب الدلك ولا المضمضة والاستنشاق انتهى وقد تقدم الكلام في ذلك‏.‏
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang tidak mewajibkan menggosok, berkumur-kumur, dan menghisap air hidung.
[Nailul Authar 1/206 (1/557)].

Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat merupakan salah satu syarat mandi.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi junub diawali dengan berwudhu terlebih dahulu.
3. Mayoritas ulama berpendapat disunnahkan untuk membasuh bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu baik dalam berwudhu maupun mandi.
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah mandi tidak perlu berwudhu.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.

*Slawi, April 2011.

Kamis, 07 April 2011

MANDI JUM’AH

MANDI JUM’AH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Para Ulama sepakat bahwa mandi jum’at disyariatkan untuk dikerjakan menjelang shalat jum’at.

Hukum Mandi Jum’at

عن ابن عمر قال‏:‏ ‏(‏قال رسول اللَّهُ صلى اللَّهِ عليه وآله وسلم إذا جَاءَ أحَدُكُمْ إلى الْجُمْعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ‏)‏‏.‏
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang diantara engkau semua mendatangi shalat Jum'at, maka hendaklah mandi dulu." (Muttafaq 'alaih)

Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية غسل الجمعة
استدل الأولون على وجوبه بالأحاديث التي أوردها المصنف رحمه اللَّه تعالى في هذا الباب وفي بعضها التصريح بلفظ الوجوب وفي بعضها الأمر به وفي بعضها أنه حق على كل مسلم والوجوب يثبت بأقل من هذا‏.‏
واحتج الآخرون لعدم الوجوب بحديث ‏(‏من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بين الجمعة إلى الجمعة وزيادة ثلاثة أيام‏)‏ أخرجه مسلم من حديث أبي هريرة‏.‏
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi jum’ah.
Golongan pertama yang berpendapat bahwa mandi jum’at itu wajib menggunakan hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Mushannif rahimahullah pada bab ini sebagai dalil. Sebagian hadits-hadits menegaskan wajibnya mandi, sebagian berbentuk perintah, sebagian menyatakan bahwa mandi itu hak bagi setiap muslim, dan sementara wajib itu tetap dengan bentuk-bentuk seperti itu.
Golongan lain berpendapat bagwa mandi itu tidak wajib beralasan dengan hadits yang berbunyi, ” Barangsiapa berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi shalat Jum'at terus mendengar -khatib- dan berdiam diri -tidak berbicara sama sekali-, maka diampunkanlah untuknya antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya, dengan diberi tambahan tiga hari lagi" (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
[Nailul Authar 1/193 (1/523)].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengomentari hadits Abu Hurairah di atas :
قال القرطبى فى تقرير الاستدلال بهذا الحديث عن الاستحباب: ذكر الوضوء وما معه مرتبا عليه الثواب المقتضى للصحة, يدل على أن الوضوء كاف.
وقال الحافظ ابن حجر فى التلخيص : إنه من أقوى ما استدل به على عدم فرضيى الغسل للجمعة
Qurthubi menetapkan hadits ini sebagai dalil sunnah mandi pada hari Jum’at katanya, "Penyebutan wudhu dan perkara-perkara lainnya hanyalah memberitahukan bahwa jika dikerjakan, maka si pelakunya pasti meraih ganjaran pahala. Di samping itu, shalat Jumat tetap dihukumkan sah meskipun tanpa mandi sebelumnya. Sebab hadits ini menegaskan bahwa wudhu sudah cukup
dan memadai."
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab at- Talkhis mengatakan", Hadits ini merupakan dalil terkuat tentang tidak wajibnya mandi Jum’at."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].


وعن أبي سعيد الخدْرِيِّ رضي الله عنه: أنَّ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال: "غُسْلُ الجُمُعةِ واجِبٌ على كُلِّ مُحْتَلمٍ" وَالسِّوَاكُ وَأَنْ يَمَسَّ مِنَ الطِّيْبِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ‏
Dari Abu Said r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mandi Jum'at itu adalah wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi, dan siwak dan memakai wangi-wangian sekedar kemampuannya" (HR. Bukhari 879,895; Muslim 846; Abu Dawud 341)

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
والمراد بالمُحْتَلمٍ البالغ, والمراد بالوجوب تأكيد استحبابه, بدليل مارواه البخارى عن ابن عمر : "أن عمر بن الخطاب بينما هو قائم فى الخطبة يوم الجمعة , إذا دخل رجل من الهاجرين الأولين من أصحاب النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم, وهو عثمان, فناداه عمر : أية ساعة هذه؟ قال : إنى شغلت فلم أنقلب إلى أهلى حتى سمعت التأذين فلم أزد أن توضأت, فقال : والوضوء أيضا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم, كان يأمر بالغسل"
قال : الشافعى : فلما لم يترك عثمان الصلاة للغسل, ولم تأمره عمر بالخروج للغسل, دل ذلك على أنهما قد علما أن الأمر بلغسل للا ختيار, ويدل على استحباب الغسل أيضا
Yang dimaksud dengan "orang yang sudah bermimpi' adalah orang yang telah mencapai usia balig, sementara yang dimaksudkan dengan kata "wajib" di sini adalah sunnah mu'akkad. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dari lbnu Umar bahwa ketika Umar bin Khaththab sedang berdiri menyampaikan khotbah pada hari Jumat, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki dari
kalangan Muhajirin pertama dari sahabat Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, yaitu Utsman. Ia pun dipanggil Umar seraya bertanya kepadanya "Pukul berapakah sekarang ini?" Utsman menjawab, "Saya tadi bekerja. Sebelum pulang, saya mendengar suata azan dan saya pun tidak sempat lagi berbuat apa-apa selain berwudhu ." "Anda hanya berwudhu saja, padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam menitahkan agar mandi terlebih dahulu sebelum datang ke masjid?" tanya Umar lagi.
Syafi'i mengatakan, "Disebabkan Utsman tidak sampai meninggalkan shalat demi mandi, begitu pun Umar tidak menyuruhnya keluar untuk mandi, maka yang demikian itu merupakan suatu bukti bahwa mereka sama-sama mengetahui bahwa perintah mandi tersebut boleh ditinggalkan."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].

Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه تعالى‏:‏ وهذا يدل على أنه أراد بلفظ الوجوب تأكيد استحبابه كما تقول حقك علي واجب والعدة دين بدليل أنه قرنه بما ليس بواجب بالإجماع وهو السواك والطيب انتهى‏.‏
Al-Mushannif mengatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa dengan perkataan ”wajib” itu Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam menghendaki penekanan disunnahkannya mandi. Sebagaimana anda mangatakan, hakmu atasku adalah wajib, dan janji itu hutang berdasarkan dalil-dalil bahwa mandi diberi qarinah dengan suatu perbuatan yang tidak wajib menurut ujma’ yaitu siwak dan wangi-wangian, selesai.
[Nailul Authar 1/194 (1/528)].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
هذا دليل داود في إيجابه غسل الجمعة، والجمهور يتأولونه بما عرفت قريباً، وقد قيل: إنه كان للإيجاب أول الأمر بالغسل؛ لما كانوا فيه من ضيق الحال، وغالب لباسهم الصوف، وهم في أرض حارة الهواء، فكانوا يعرقون عند الاجتماع لصلاة الجمعة، فأمرهم صلى الله عليه وآله وسلم ـــ بالغسل، فلما وسع الله عليهم، ولبسوا القطن، رخص لهم في ذلك
Hadits ini dijadikan dalil wajibnya mandi pada hari jum’at, sedangkan jumhur ulama mentakwilkan hadits tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan (penjelasan hadits Samurah bin Jundab, pen).
Ada yang berpendapat, ”Pada awal mulanya mandi diwajibkan, mengingat meeka hidup dalam kesulitan dan umumnya pakaian mereka dari bahan wol, sementara mereka tinggal di wilayah yang udaranya panas. Mereka berkeringat sewaktu pergi menuju shalat jum’at, maka Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk mandi, tetapi ketika Allah lapangkan kondisi mereka dan mereka sudah mengenakan bahan dari katun, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memberikan mereka keringanan untuk (tidak) mandi.
[Subulussalam 1/58 (1/215)].

وعن أبي هريرة‏:‏ ‏(‏عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال‏:‏ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةٍ أيَّامٍ يَوْمًا يَغْسِلُ فِيْهِ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ‏
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Wajib atas tiap-tiap muslim mandi sekali dalam tiap-tiap tujuh hari, (yaitu) dengan membasuh kepala dan tubuhnya” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaukani berkata :
الحديث من أدلة القائلين بوجوب غسل الجمعة وقد تقدم الكلام عليه في أول الباب وقد بين في الروايات الأخر أن هذا اليوم هو يوم الجمعة‏.‏
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Dan, masalah itu telah dibicarakan dahulu pada awal bab, dan telah dijelaskan bahwa yang dimaksud ’hari ini’ adalah hari jum’at sebagaimana di dalam riwayat-riwayat lain.
[Nailul Authar 1/195 (1/529)].

وعن ابن عمر أن عمر‏:‏ ‏(‏بينا هو قائم في الخطبة يوم الجمعة إذ دخل رجل من المهاجرين الأولين فناداه عمر‏:‏ أية ساعة هذه فقال‏:‏ إني شغلت فلم أنقلب إلى أهلي حتى سمعت التأذين فلم أزد على أن توضأت قال‏:‏ والوضوء أيضًا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم كان يأمر بالغسل‏)‏‏.‏
Dari Ibnu Umar, bahwa ketika Umar sedang berdiri dalam khutbah jum’at, tiba-tiba masuklah seorang lak-laki dari kaum muhajirin golongan pertama, lalu Umar memanggilnya, ’sudah waktu apa sekarang ini?’ Orang laki-laki itu menjawab, ’Sesungguhnya saya sibuk sampai-sampai saya tidak sempat pulang ke rumah sehingga terdengar suara adzan, lalu saya tidak bisa berbuat lebih daripada berwudhu”. Umar berkata (kepadanya), ’dan wudhu pula yang kau kerjakan, padahal engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mandi?” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaukani berkata :
والحديث من أدلة القائلين بالوجوب لقوله‏:‏ كان يأمر وقد تقدم الكلام على ذلك
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Berdasarkan perkataan ”pernah Nabi memerintah” dan telah dibicarakan dahulu.
[Nailul Authar 1/195 (1/530)].

وعن سَمُرَةَ بنِ جُنْدَبٍ رضي الله عنهُ قالَ: قالَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمعَةِ فبهَا وَنِعْمَتْ، ومَنْ اغْتَسَلَ فالْغُسْلُ أَفْضَلُ".
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang berwudlu pada hari Jum'at berarti telah menjalankan sunnah dan sudah baik, dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama." (HR. Abu Dawud 354; Tirmidzi 497; Ibnu Majah 1091, hadits hasan)

Asy-Syaukani berkata :
والحديث دليل لمن قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد ذكرنا تقرير الاستدلال به على ذلك والجواب عليه في أول الباب‏.‏
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat, dan telah kami sebutkan ketetapan penggunaan dalil dengan hadits ini sebagai tidak wajibnya mandi jum’at, dan bantahannya ada di awal bab.
[Nailul Authar 1/196 (1/531)].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والحديث: دليل على عدم وجوب الغسل، وهو كما عرفت دليل الجمهور على ذلك، وعلى تأويل حديث الإيجاب، إلا أنّ فيه سؤالاً، وهو: أنه كيف يفضّل الغسل ــــ وهو سنة ــــ على الوضوء ــــ وهو فريضة ــــ والفريضة أفضل إجماعاً
Hadits tersebut adalah dalil tidak wajibnya mandi –sebagaimana yang anda ketahui- menjadi dalil jumhur ulama atas hal itu, juga sebagai dalil untuk mentakwilkan hadits yang mewajibkan mandi. Hanya saja muncul pertanyaan, bagaimana bisa mandi yang hukumnya sunnah, lebih utama dari pada wudhu yang hukumnya wajib menurut ijma’ ulama? Jawabannya adalah, maksudnya bukanlah keutamaan atas wudhu itu sendiri, tapi atas wudhu yang tidak disertai mandi, seakan-akan beliau bersabda, ”Barangsiapa berwudhu dan mandi, maka dia lebih utama dari orang yang hanya berwudhu saja,”
Dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya mandi adalah hadits Muslim,
”Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian ia pergi shalat jum’at, dia mendengarkan khutbah dengan diam penuh perhatian, maka akan diampuni dosanya antara jum’at itu hingga jum’at berikutnya dan ditambah lagi tiga hari” (HR. Muslim 857)
[Subulussalam 1/58 (1/216)].

وعن عروة عن عائشة قالت‏:‏ ‏‏كان الناسُ يَتُنًاوَبُوْنَ الْجُمُعَةَ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَمِنَ الْعَوَالِي فَيَأْتُوْنَ فِي الْعَبَاءِ فَيُصِيْبُهُمُ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ فَتَخْرُجُ مِنْهُمُ الرِّيْحُ فَأَتَى النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم إنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي فقال النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم‏:‏ لَوْ أنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا‏)‏‏.‏
Dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata, ”Adalah orang-orang mendatangi shalat jum’at dari rumah-rumah mereka dan dari kampung-kampung. Mereka datang dengan memakai ’abaa (semacam jubah), yang penuh dengan debu dan keringat sehingga keluar bau dari mereka. Kemudian salah seorang diantara mereka datang kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, (ketika itu) Nabi berada di rumahnya, lalu beliau bersabda, ’Alangkah baiknya, kalau kamu bersih pada hari-mu ini!”
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaukani berkata :
الحديث استدل به من قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد قدمنا تقرير الاستدلال به والجواب عليه في أول الباب‏.‏
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat. Ketetapan penggunaan hadits sebagai dalil telah dibicarakan dahulu. Juga bantahannya pada awal bab ini.
[Nailul Authar 1/196 (1/532)].

وعن أوس بن أوس الثقفي قال‏:‏ ‏سَمِعْتُ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول‏:‏ من غَسَلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ الإمَامِ فاسْتَمَعَ ولم يَلْغُ كان لهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا‏‏
Dari Aus bin Al-Tsaqafi, ia berkata, pernah aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa membersihkan dan mandi pada hari jum’ah, segera pergi dan bercepat-cepat, dengan berjalan dan tidak berkenaraan, dan mendekati imam lalu ia memperhatikan khutbah dan tidak bercakap-cakap, maka setiap langkahnya itu (sama) dengan amal satu tahun, (yaitu) pahala puasa dan amal shalatnya,” (HR. Imam yang lima, tetapi At-Tirmidzi tidak menyebut perkataan “dengan berjalan dan tidak berkenaraan”).

Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية الغسل يوم الجمعة وقد تقدم الخلاف فيه وعلى مشروعية التبكير والمشي والدنو من الإمام والاستماع وترك اللغو وأن الجمع بين هذه الأمور سبب لاستحقاق ذلك الثواب الجزيل‏.‏
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi pada hari jum’at, dan selisih pendapat dalam soal itu telah dibicarakan dahulu. Dan menunjukkan disyari’atkannya menyegerakan, berjalan, mendekat kepada imam, mendengarkan (khutbah), dan meninggalkan omong-omong. Dan melaksanakan perintah-perintah tersebut menyebabkan adanya pahala yang banyak.
[Nailul Authar 1/196 (1/533)].

Waktu Mandi Jum’at
Sayyid Sabiq berkata :
ووقت الغسل يمتد من طلوع الفجر إلى صلاة الجمعة, وإن كان المستهب أن ينصل الغسل بالدهاب, وإذا أحدث بعد يكفية الغسل الوضوء.
ويحرج وقت الغسل بالفراغ من الصلاة فمن اغتسل بعد الصلاة لا يكون غسلا للجمعة, ولا يعتبر فاعله أتيا بما أمر به
Waktu mandi jum’at semenjak terbit fajar sampai sebelum shalat Jum’at, walaupun waktu yang lebih utama dalah mandi dan kemudian langsung sehera berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat jum’at. Jika seseorang berhadats setelah mandi Jum’at, maka cukuplah ia berwudhu saja.
Waktu mandi Jum’at berakhir jika shalat Jum’at sudah dilaksanakan. Jadi, seseorang yang mandi setelah shalat Jum’at, maka tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan mandi Jum’at dan tidak dianggap melaksanakan perintah syara’ yang menyuruh melaksanakannya.
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/90)].

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
أحدها الغسل يوم الجمعة سنة ووقته بعد الفجر على المذهب وانفرد في النهاية بحكاية وجه أنه يجزىء قبل الفجر كغسل العيد وهو شاذ منكر ويستحب تقريب الغسل من الرواح إلى الجمعة ثم الصحيح إنما يستحب لمن يحضر الجمعة والثاني يستحب لكل أحد كغسل العيد فإذا قلنا بالصحيح فهو مستحب لكل حاضر سواء من تجب عليه وغيره
Mandi pada hari Jum'at merupakan suatu yang disunahkan. Adapun waktunya adalah setelah fajar menurut pendapat pengikut madzhab Syafi’i. Tetapi dalam kitab An-Nihayah disebutkan satu pendapat dari pengikut madzhab Syafi’, “Bahwa mandi itu sah sebelum fajar seperti halnya mandi Hari Raya" pendapat ini aneh dan tidak dapat diterima Disunnahkan mandi sebelum pergi melaksanakan shalat Jum'at. Namun menurut pendapat yang –shahih adalah disunahkan bagi orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at untuk mandi.
Disunahkan bagi setiap orang untuk mmdi seperti halnya mandi di Hari Raya. Jika kita mengatakan dengan pendapat shahih, maka ini menjadi sunah bagi setiap orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at, baik bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jum’at atau lainnya.
[Raudhatuth Thalibin 2/55 (1/814)].

Kesimpulan
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi jum’at hukumnya sunnah.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu mandi jum’at adalah mulai dari terbit fajar sampai menjelang shalat jum’at, tapi yang lebih afdhol adalah menjelang pelaksanaan shalat jum’at.

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.

*Slawi, April 2011.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...