Senin, 01 November 2010

GERAKAN YANG MEMBATALKAN SHALAT

GERAKAN YANG MEMBATALKAN SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Disunnahkan bagi seorang mukmin untuk mendirikan shalat dan khusyu’ dan melaksanakannya dengan sepenuh jiwa dan raganya, baik itu shalat fardhu ataupun shalat sunnah.. Di samping itu ia harus thuma’ninah (tenang dan tidak terburu-buru), yang mana hal ini merupakan rukun dan kewajiban terpenting dalam shalat.
Agar shalat kita khusyu’ dan tumaninah, maka kita harus menghindari melakukan gerakan-gerakan yang membatalkan shalat.

Gerakan Yang Membatalkan Shalat
Menurut Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in gerakan yang membatalkan shalat adalah :
(وبفعل كثير) يقينا من غير جنس أفعالها إن صدر ممن علم تحريمه أو جهله ولم يعذر حال كونه (ولاء) عرفا في غير شدة الخوف ونفل السفر، بخلاف القليل كخطوتين وإن اتسعتا حيث لا وثبة، والضربتين
Banyak melakukan pekerjaan menurut adat, misalnya melangkah, menepuk nyamuk, atau menggaruk di tempat yang berlainan sebanyak tiga kali secara berturut-turut. Kecuali pekerjaan yang sedikit, misalnya : dua kali melangkah walaupun langkahnya jauh sekira tidak termasuk melompat, atau dua kali memukul. (Begitu juga melepaskan sepatu, membetulkan pakaian, membuang bangkai nyamuk atau lainnya. Sebagaimana Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam ketika pernah melepaskan sepatu dan menaruhnya di sebelah kirinya. Beliau pernah menyuruh membunuh kala atau ular, menolak orang yang lewat di depan orang shalat, dan mengizinkan untuk meratakan kerikil pada tempat shalat).
[Fathul Mu’in 1, hal. 280].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Para Ulama berselisih pendapat mengenai ukuran sedikit banyaknya gerakan yang dapat membatalkan shalat.
Imam Nawawi berkata : ”Adapun pendapat yang sahih dan masyhur ialah mengembalikan soal ini kepada kebiasaan yang lazim. Jadi yang biasa dianggap gerakan sedikit oleh orang banyak, seperti memberi isyarat ketika menjawab salam, menanggalkan sandal, melepaskan sorban atau meletakkannya, juga mengenakan pakaian yang ringan atau melepasnya, begitu pula mengambil benda kecil atau meletakkannya, menolak orang yang hendak lewat di depan atau menggosok lendir di baju dan lain-lainnya, semua itu tidaklah membatalkan. Akan tetapi kalau menurut anggapan orang pekerjaan itu dikatagorikan gerak yang banyak, seperti banyak melangkah dan berturut-turut atau melakukan perbuatan yang sambung menyambung, hal itu membatalkan”.
[Fiqih Sunnah 1, hal.411].

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Apabila seseorang shalat saat keadaan sangat menakutkan, diatas kendaraan kemudian turun, maka saya lebih menyukai agar ia mengulangi shalatnya. Apabila ia tidak memalingkan wajahnya, maka ia tidak perlu mengulanginya lagi, karena turun adalah pekerjaan yang tidak terlalu berat. Namun apabila wajahnya telah berpaling dari arah kiblat hingga berbalik, maka ia harus mengulangi shalatnya, karena ia tidak lagi menghadap kiblat.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 311].

Gerakan Yang Tidak Membatalkan Shalat
Menurut Sayyid Sabiq gerakan-gerakan yang tidak membatalkan shalat adalah sebagai berikut :
1. Membunuh ular, kalajengking, kumbang, serta binatang-binatang lainnya yang berbahaya, meskipun memerlukan banyak gerakan.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
اُقْتُلُوا الْأَسْوِدَيْنِ فِى الصَّلَاةِ : اَلْحَيَّةَ وَالْعَقْرَبَ
”Boleh membunuh dua jenis binatang di dalam shalat, yaitu ular dan kalajengking” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan. Hadits ini hasan lagi sahih)

2. Berjalan karena ada keperluan
Dari Aisyah RA, berkata,
كان رسول اللّه صَلَّى اللّهُ عليهِ وآلهِ وسلَّمَ يُصَلِّى فىِ الْبَيْتِ وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ فَجِنْتُ فَاسْتَفْتَحْتُ فَعَشَى فَفَتَحَ لِي ثُمَّ رَجَعَ اِلَى مُصَلَّاهُ وَوَصَفَتْ اَنَّ الْبَابَ فِى الْقِبْلَةِ
”Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam sedang mengerjakan shalat di rumah, sedangkan pintu dalam keadaan terkunci. Kebetulan aku datang dan meminta supaya pintu dibukakan. Beliaupun berjalan membuka pintu lalu kembali ke tempat shalatnya”. Selanjutnya Aisyah menceritakan bahwa pintu itu berada di sebelah arah kiblat. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi yang menganggapnya sebagai hadits hasan)
Yang dimaksud dengan ”pintu berada di sebelah arah kiblat” ialah ketika Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam pergi ke pintu atau pada saat kembali ke tempat semula, beliau tidak sampai berpaling dari kiblat.

3. Menggendong dan Memikul Anak Kecil Ketika Shalat
Abu Qatadah berkata,
”Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam pernah mengerjakan shalat, sedangkan Umamah putri Zainab (putri Nabi) ada di pundaknya. Jika Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam ruku’ beliau meletakkan anak itu dan jika berdiri dari sujud, beliau mengembalikan dan meletakkannya kembali ke atas pundaknya. Ibnu Juraij mengatakan bahwa itu shalat shubuh” (HR. Ahmad, Nasa’i)
[Fiqih Sunnah 1, hal 392-394].


Syaikh Ibnu Baz dalam Kitab Ad-Da’wah menjelaskan : Di antara dalil yang menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang sedikit tidak membatalkan shalat, juga gerakan-gerakan yang terpisah-pisah dan tidak berkesinambungan tidak membatalkan shalat, adalah sebagaimana yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa suatu hari beliau membukakan pintu masuk ‘Aisyah, padahal saat itu beliau sedang shalat. (Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 922, At-Turmudzi, kitab Ash-Shalah 601, An-Nasa’i, kitab As-Sahw 2/11)
Diriwayatkan juga dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau shalat bersama orang-orang dengan memangku Umamah bintu Zainab, apabila beliau sujud, beliau menurunkannya, dan saat beliau berdiri, beliau memangkunya lagi. (Al-Bukhari, kitab Al-Adab 5996, Muslim kitab Al-Masajid 543)
Wallahu waliyut taifiq.
Sumber:
Kitab Ad-Da’wah, hal 86-87, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Hal. 191-193, penerbit Darul Haq.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005

*Slawi, Nopember 2010

Selasa, 28 September 2010

SEDEKAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pengertian Sedekah
Menurut Ensiklopedi Islam sedekah adalah suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu atau jumlah tertentu; suatu pemberian yang dilakukan seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah Subhanahu wata’ala dan pahala semata.
[Ensiklopedi Islam 4, hal. 259]

Menurut Sayyid Sabiq sedekah tidak terbatas hanya pada satu jenis tertentu amal kebajikan. Prinsipnya adalah bahwa setiap kebajikan berarti sedekah.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 14].

Dalil-Dalil Tentang Sedekah
QS. Al-Baqarah 2 : 261
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةً واللهِ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءَ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir berkata : Yang dimaksud dengan ‘jalan Allah’ menurut Sa’id Ibnu Jubair ialah dalam rangka ta’at kepada Allah Subhanahu wata’ala.
[Tafsir Ibnu Katsir 3, hal. 74].

QS. Ali Imran 3 : 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin As-Suyuti dalam Kitab Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘apa yang kamu cintai’ adalah berupa harta benda.
[Tafsir Jalalain 1, hal. 244].

Macam-macam Sedekah dan Dalilnya
a. Sedekah Suami Kepada Istri dan Anak-anaknya
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رقبة وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنَ وَ دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرَا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
"Sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk perjuangan fisabilillah, sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk seseorang hamba sahaya - lalu dapat segera merdeka, sebuah dinar yang engkau sedekahkan kepada seseorang miskin dan sebuah dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang terbesar pahalanya ialah yang engkau nafkahkan kepada keluargamu itu." (Riwayat Muslim)
Dari Mas'ud al-Badri r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., sabdanya: "Jikalau seseorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat mengharapkan keredhaan Allah, maka apa yang dinafkahkan itu adalah sebagai sedekah baginya - yakni mendapat kan pahala seperti orang yang bersedekah." (Muttafaq 'alaih)
[Riyadus Shalihin 1, hal. 282].

b. Sedekah Istri Kepada Suami dan Anak-anaknya
Dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, katanya:
قُلْتُ يَا رسولَ اللهِ هَلْ لِي أَجْرٌ فِي بَنِيْ أَبِيْ سَلَمَةَ أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْهِمْ وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ فَقَالَ نَعَمْ لَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ
"Saya bertanya: "Ya Rasulullah, adakah saya dapat memperolehi pahala jikalau saya menafkahi anak-anak Abu Salamah dan saya tidak membiarkan mereka berpisah begini begitu - yakni bercerai berai ke sana ke mari untuk mencari nafkahnya sendiri-sendiri, sebab hanyasanya mereka itu anak-anak saya juga - kerana Abu Salamah adalah suaminya Ummu Salamah." Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. menjawab: "Ya, engkau memperolehi pahala dari apa yang engkau nafkahkan kepada anak-anak itu." (HR. Al-Bukhari no. 1467 dan Muslim no. 2317)
[Riyadus Shalihin 1, hal. 282].
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Zainab, istri Ibnu Mas'ud, bertanya: Wahai Rasulullah, baginda telah memerintahkan untuk bersedekah hari ini, dan aku mempunyai perhiasan padaku yang hendak saya sedekahkan, namun Ibnu Mas'ud menganggap bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak untuk aku beri sedekah. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ibnu Mas'ud memang benar, suamimu dan anakmu adalah orang yang lebih berhak untuk engkau beri sedekah." Riwayat Bukhari.
[Bulughul Maram, hal. 262]

c. Sedekah Suami Kepada Istrinya
Dari Abu Zar pula,
أنَّ نَاسًا قَالُوْا يَا رسولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بالْأَجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ بِهِ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً ونَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا يَا رسولَ اللهِ أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Bahawasanya orang-orang sama berkata: "Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya raya sama pergi dengan membawa pahala yang banyak - kerana banyak pula amalannya. Mereka itu bersembahyang sebagaimana kita juga bersembahyang, mereka berpuasa sebagaimana kita juga berpuasa, tambahan lagi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Bukankah Allah telah menjadikan untukmu semua sesuatu yang dapat engkau semua gunakan sebagai sedekah. Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, memerintahkan kebaikan juga sedekah, melarang kemungkaran itu pun sedekah pula dan bahkan dalam bersetubuhnya seseorang dari engkau semua itu pun sedekah."
Para sahabat berkata: "Ya Rasulullah apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya itu juga memperolehi pahala?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda:
"Adakah engkau semua mengerti, bagaimana jikalau syahwat itu diletakkannya dalam sesuatu yang haram, adakah orang itu memperolehi dosa? Maka demikian itu pulalah jikalau ia meletakkan syahwatnya itu dalam hal yang dihalalkan, ia pun memperolehi pahala." (Riwayat Muslim)
[Riyadus Salihin 1, hal. 139].



d. Sedekah Kepada Pencuri dan Binatang
Dari Jabir r.a., katanya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أَكَلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةً وَفِي رِوَايَةِ لَهُ فَلَا يَغْرِسُ الْمُسْلِمَ غَرْسًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دابَّةٌ وَلَا طَيْرٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman, melainkan apa saja yang dapat dimakan dari hasil tanamannya itu, maka itu adalah sebagai sedekah baginya, dan apa saja yang tercuri daripadanya, itu pun sebagai sedekah baginya. Dan tidak pula dikurangi oleh seseorang lain, melainkan itu pun sebagai sedekah baginya." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan: "Maka tidaklah seseorang muslim itu menanam sesuatu tanaman, kemudian dari hasil tanamannya itu dimakan oleh manusia ataupun binatang, ataupun burung, kecuali semuanya itu adalah sebagai sedekah baginya sampai hari kiamat." (HR. Muslim) [Riyadus Salihin 1, hal. 146].

e. Sedekah Seorang Bendahara
Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a.. bahawasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْخَازِنُ الْمُسْلِمُ الْأمِيْنُ الَّذِيْ يُنَفِّذُ مَا أُمِرَ بِهِ فَيُعْطِيْهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِيْ أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ
"Bendahara yang Muslim dan dapat dipercaya yang dapat melangsungkan apa yang diperintahkan padanya, kemudian memberikan harta yang disimpannya dengan lengkap dan cukup, juga memberikannya itu dengan hati yang baik - tidak kesal atau iri hati pada orang yang diberi, selanjutnya menyampaikan harta itu kepada apa yang diperintah padanya, maka dicatatlah ia - bendahara tersebut - sebagai salah seorang dari dua orang yang bersedekah - bendahara dan pemiliknya." (Muttafaq 'alaih)
[Riyadus Salihin 1, hal. 192].

f. Bersedekah dengan Shalat Dhuha
Dari Abu Zar r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., sabdanya:
يُصَبِّحْ عَلَى كُلِّ سُلَامِي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ. وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ. وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ. وَنَهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ. وَيَجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى".
"Setiap ruas tulang dari seseorang di antara engkau semua itu harus ada sedekahnya pada saban pagi harinya, maka setiap sekali tasbih adalah sedekah, setiap sekali tahmid adalah sedekah, setiap sekali tahlil adalah sedekah, setiap sekali takbir adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemunkaran adalah sedekah dan yang sedemikian itu dapat dicukupi oleh dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dart shalat Dhuha." (Riwayat Muslim) [Riyadhus Shalihin 2, hal. 195].

Sumber Rujukan :
-Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Jalaluddin Al-Mahalli /Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
*23 September 2010

Selasa, 31 Agustus 2010

ZAKAT FITRAH

ZAKAT FITRAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hukum Zakat Fitrah
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Zakat Fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, dan budak atau merdeka.
Dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu,
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat korma atau satu sukat tepung kepada hamba dan orang-orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat.” (Muttafaq Alaihi)
[lihat Bulughul Maram, hal. 259]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya zakat fitrah, karena beliau menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “mewajibkan”. Ishaq berkata, “Zakat fitrah hukumnya wajib secara ijma’”
Namun ada pendapat lain dari Dawud dan beberapa pengikut madzhab Asy-Syafi’iyah bahwa zakat fitrah hukumnya sunnah.
[Subulussalam 2, hal. 61].

Syekh Muhammad Abid As-Sindi dalam kitab musnad Syafi’i berkata :
Kaidah atau patokan zakat fitrah menurut madzhab Syafi’i adalah “Setiap orang yang nafkah penghidupannya dijamin oleh seseorang, maka zakat fitrahnya dibebankan kepada orang yang menjaminnya”. Hal yang sama dikatakan pula oleh madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik.
Menurut Madzhab Hanafi, zakat fitrah diwajibkan atas setiap orang yang nafkahnya dijamin oleh kita, dan kita mempunyai kekuasaan terhadapnya. Karena itu, anak tidak wajib menzakati orang tuanya, sekalipun si anak wajib menafkahinya, demikian pula terhadap istri.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 592].

Hikmah zakat fitrah adalah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin.

Banyaknya Zakat Fitrah
Jumlah yang wajib dikeluarkan pada zakat fitrah adalah satu sha’ atau satu sukat gandum, beras Belanda, kurma, anggur, keju, beras biasa, atau yang lainnya yang dianggap sebagai bahan makanan pokok.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata : Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat bahwa zakat fitrah boleh ditunaikan dengan jenis makanan pokok negerinya seperti beras dan sebagainya. Hal ini bisa dianggap sebagai kiasan terhadap jenis-jenis makanan tadi.
[Nailul Authar 2, hal. 335].

Abu Hanifah membolehkan zakat dengan memberikan uang yang sebanding. Ia juga berkata, “Apabila yang diberikan orang yang berzakat itu berupa gandum, maka cukup setengah sha”.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata,
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di tengah kami, kami mengeluarkan zakat fitrah itu untuk setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka ataupun budak adalah satu sha’ makanan, satu sha’ keju,, satu sha’ beras Belanda, satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur.
Kami selalu mengeluarkan sebanyak itu hingga datang Mu’awiyah untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Maka ia memberikan amanat kepada oranng banyak dari atas mimbar, diantaranya bahwa menurut apa yang disaksikannya, dua mud gandum dari Syam itu sama dengan setengah sha’ kurma. Orang-orangpun memegang ucapannya itu”.
“Adapun sha’” , kata Abu Sa’id, “tetap akan mengeluarkan sebanyak semula, selama aku diberi usia,” (HR. Jama’ah).
Waktu Wajibnya
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa para fuqaha telah sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib pada akhir Ramadhan, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai batas waktu wajib itu. Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’i dalam Al-Jadid serta menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka (selesainya) puasa Ramadhan. Akan tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dan menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbit fajar pada hari Lebaran.
Akibat pertikaian ini adalah menyangkut bayi yang lahir sebelum fajar hari lebaran dan yang sesudah terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fitrah atau tidak. Menurut golongan pertama (yang mewajibkan fitrah setelah matahari terbenam), hukumnya tidak wajib karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedangkan menurut golongan kedua, hukumnya adalah wajib karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.

Membayar Zakat Fitrah di Awal Ramadhan
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa menurut jumhur fuqaha, boleh memajukan pembayaran zakat fitrah sebelum hari raya sekitar satu atau dua hari.
Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu berkata, “Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai zakat fitrah agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar pergi shalat”.
Nafi’ berkata, “Biasanya, Ibnu Umar membayarnya satu atau dua hari di awal Ramadhan. Dan terjadi pertikaian bila seseorang membayar lebih maju daripada itu. Maka menurut Abu Hanifah, boleh dimajukan sampai sebelum bulan puasa. Syafi’I berkata bahwa boleh memajukannya hingga awal bulan. Dan menurut Malik, begitupun menurut yang lebih terkenal dari madzhab Ahmad, yaitu boleh dimajukan sekitar satu atau dua hari. (lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 598].
Para Imam sependapat bahwa zakat fitrah tidaklah gugur dengan mengundurkannya dari waktu wajib, melainkan menjadi utang yang menjadi tanggung jawabnya hingga lunas dibayar walau hingga ahir usia. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh menagguhkannya lebih dari hari lebaran, kecuali Ibnu Sirin dan Nakha’i yang berpendapat boleh ditangguhkan dari hari lebaran. Ahmad berkata, “Harapanku bahwa itu tidak menjadi apa,”.
Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin Siapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu menjadi zakat, namun siapa yang membayarnya sesudah salat, maka itu menjadi sedekah diantara bermacam-macam jenis sedekah” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah , dan Hakim menyatakan shahih).
[Fiqih Sunnah 2, hal. 1-3]

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Sabda beliau ‘untuk memberi makan kepada orang-orang miskin’ menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya dikhususkan untuk mereka saja, inilah pendapat orang dari Al-Aal. Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa zakat fitrah seperti zakat yang lainnya, ia dibagikan kepada delapan golongan tersebut.
[Subulussalam 2, hal. 65].

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa pihak yang berhak menerima zakat fitrah itu sama halnya dengan yang boleh menerima zakat, artinya fitrah itu hendaklah dibagikan kepada delapan golongan yang tersebut di dalam ayat,
ِإنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ واللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah 9 : 60).
Berdasarkan ayat di atas, yang berhak menerima zakat fitrah adalah :
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil (Panitia Zakat)
4. Muallaf (golongan yang baru masuk islam, atau orang islam yang lemah imannya).
5. Budak
6. Gharim (Orang yang berhutang)
7. Fi Sabilillah (Orang yang berjihad di medan perang).
8. Musafir (Orang yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat).

Fakir miskin merupakan golongan yang lebih utama menerimanya berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin”.
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah, sabda beliau, ‘Penuhilah kebutuhan mereka pada hari ini!’”
[Fiqih Sunnah 2, hal. 4]

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Seorang petugas zakat hendaklah memulai perhitungan zakatnya dengan mencatat orang-orang yang berhak menerima zakat kemudian mengelompokkan nereka berdasarkan kelompok masing-masing, kemudian setiap asnaf (golongan kelompok) dihitung berdasarkan jumlah kelompok tersebut. Lalu mulailah ia mencatat nama-nama orang fakir dan orang miskin, dimulai dari orang yang fakir.
Lalu setelah orang-orang fakir tersebut tercatat semua, barulah sisanya dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang miskin sampai orang-orang yang berada dalam batas terendah dari orang kaya (orang yang masih dianggap miskin).
Setelah itu dilanjutkan dengan nama-nama gharim (orang yang terlilit utang), bahkan jumlah utang masing-masing.
Kemudian dilanjutkan dengan mencatat nama-nama ibnu sabil (musafir), berikut jumlah harta (uang) yang diperlukan untuk biaya (transportasi) ke negeri yang dituju.
Kemudian nama-nama budak yang akan yang akan memerdekakan dirinya, berikut biaya yang diperlukan untuk membebaskan dirinya.
Kemudian nama-nama orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
Kemudian nama-nama muallaf dan nama-nama amil berikut bagian mereka masing-masing sesuai dengan pekerjaannya, dimana dengan pekerjaan tersebut orang-orang yang berhak menerima zakat bisa diketahui dengan wadah-wadah tertentu yang dikhususkan untuk masing-masing asnaf berikut jumlah yang terdapat dalam wadah tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 503-504].

Pengertian Fi Sabilillah
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Sabilillah adalah orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 504].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Sabilillah yaitu orang yang mengerjakan jihad (perang) karena Allah (bukan karena gaji dan sebagainya), walaupun ia orang kaya. Orang tersebut berhak diberi biaya untuk pakaian dan keluarganya, ongkos pergi dan pulang, serta biaya peralatan perang.
[Fathul Mu’in 1, hal. 587].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Menurut Malik dan Abu Hanifah, untuk peperangan membela agama Allah dan pertahanan.
Menurut ulama lain (Imam Ahmad) untuk orang-orang yang berhaji dan umroh,
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.
Sayyid Sabiq berkata :
Fi Sabilillah ialah jalan orang yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah berperang dan bagian fi sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Orang-orang inilah yang yang berhak menerima zakat, baik mereka yang miskin atau kaya.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 573]

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir mengutip hadits dari Sa’id Al-Khudri dimana Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيِّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٍ اَشْتَرَاهَا بِمَالِهِ, أَوْ غَارِمٍ, أَوْ غَازِ فِي سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِيْنٍ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ
Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali bila ia salah seorang dari lima ini, “Amil zakat, pembeli zakat dengan hartanya, piutang, mujahid di jalan Allah atau zakat yang didapatnya sebagai hadiah dari orang miskin. (HR. Abu Daud)
[Tafsir Ibnu Katsir 10, hal ]

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Fi Sabilillah maksudnya adalah para prajurit Islam yang berperang di jalan Allah dan para penjaga tapal batas daerah Islam. Mereka diberikan segala yang dibutuhkan untuk berperang beserta peralatannya, tanpa memandang latar belakang mereka, orang kaya atau miskin, semuanya diberikan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ini juga pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki.
[Tafsir Al-Qurthubi 8, hal. 451].

Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-Mahali dalam Tafsir Jalalain menjelaskan :
Sabilillah adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.
[Tafsir Jalalain 1, hal. 744].

Imam Al-Ghazali dalam kitab Bulughul Maram berkata :
Fi Sabilillah orang yang berperang, yaitu orang-orang yang tidak tercatat dalam buku orang-orang yang diberi gaji. Mereka diberi bagian meskipun mereka orang-orang kaya, sebagai bantuan bagi orang yang berperang itu.
[Ihya Ulumiddin 2, hal. 51].

Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz Zakah, menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, termasukdi antaranya adalah:
Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam, Menerbitkan tulisan tentang Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya, biaya pendidikan sekolah Islam, biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.
(http://blogcahyo.blogspot.com)

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’I, Jakarta, 2003.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.
-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang, 1990.
*Ramadhan 1431 H.

Sabtu, 28 Agustus 2010

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN DALAM SHALAT

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN DALAM SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Tidak ada perbuatan membaca yang dihargai begitu tinggi oleh Allah Subhanahu wata’ala selain membaca Al-Quran. Allah Subhanahu wata’ala membayar para pembaca Al-Quran tidak tiap surat maupun tiap ayat, melainkan tiap huruf.
Dari Ibnu Mas'ud Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ . رواه الترمذي
"Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Al Qur'an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengatakan " الم "Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf" (HHR. Tirmidzi)

Membaca Al-Quran dalam Shalat
Keutamaannya
Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فى الصَّلاَةِ اَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فىِ غَيْرِ الصَّلاَةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فى غَيْرِ الصَّلاَةِ اَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيْحِ وَالتَّكْبِيْرِ التَّسْبِيْحُ اَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ اَفْضَلُ مِنَ الصَّوْمِ الصَّوْمُ مِنَ النَّارِ
Membaca Al-Quran di dalam shalat lebih utama dari pada di luar shalat, membaca al-Quran diluar shalat lebih utama daripada tasbih dan takbir, tasbih lebih utama daripada sedekah, sedekah lebih utama daripada puasa, dan puasa adalah penghalang dari api neraka,” (HR. Baihaqi)
Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandhalawi, dalam kitab fadha’il A’mal menjelaskan :
Kemuliaan membaca Al-Quran dibandingkan dzikrullah adalah jelas karena Al-Quran merupakan firman Allah. Telah disebutkan sebelum ini, bahwa kemuliaan kalamullah di atas segala perkataan, bagaikan kemuliaan Allah di atas semua makhluknya.
(Fadha’il A’mal, hal. 342).

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa membaca Al-quran yang paling utama adalah di waktu shalat.
[Al-Adzkar, hal. 186].

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin berkata :
Seutama-utama keadaan itu adalah ia membaca di dalam shalat dengan berdiri dan ia berada dalam masjid. Itu termasuk amal yang paling utama. Jika ia membaca tanpa wudhu’ sambil berbaring di hamparan (tempat tidur), maka itu utama juga, tetapi itu di bawahnya.
Allah Ta’ala berfirman :
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi . (QS. Ali-Imran : 191)
Allah Azza wajalla memuji seluruhnya, tetapi ia mendahulukan berdiri dalam dzikir, kemudian dzikir dengan duduk, kemudian dzikir dengan berbaring.
Ali Radhiallahu 'anhu berkata :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَهُوَ قَائِمٌ فىِ الصَّلاَةِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمَنْ قَرَأَ هُ وَهُوَ جَالِسٌ فىِ الصَّلاَةِ فلَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ َمْسُوْنَ حَسَنَةٍ ‏.‏وَمَنْ قَرَأَهُ فىِ غَيْرِ الصَّلاَةِ وَهُوَ َلَى وُضُوْءٍ فَخَمْسُ وَعِشْرُوْنَ حَسَنَةٍ.‏ وَمَنْ قَرَأَهُ على غَيْرِ وُضُوْءٍ فَعَشَرَ حَسَنَاتٍ‏.‏
“Barangsiapa membaca Al-Quran sambil berdiri di dalam shalat, maka dengan setiap huruf ia mendapat seratus kebaikan. Barangsiapa membacanya sambil duduk di dalam shalat, maka dengan setiap hurufnya ia mendapat lima puluh kebaikan, barangsiapa membaca di luar shalat dalam keadaan wudhu’, maka ia mendapat dua puluh lima kebaikan dan barangsiapa membacanya dengan tidak berwudhu’, maka ia mendapat sepuluh kebaikan.
(Ihya Ulumiddin 2, ha. 261).

Membaca dengan Tartil
Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
QS. Al-Muzammil 73 : 4
ورتل القرآن ترتيلا
dan Bacalah Al Quran itu dengan tartil.

Imam Syafi’i ketika menafsirkan ayat di atas berkata : Hendaklah Al-Quran itu dibaca dengan perlan-lahan, sehingga bacaannya benar dan jelas. Semakin jelas bacaan dilantunkan semakin aku sukai, selama pemanjangan bacaan tidak berlebihan sehingga melanggar rambu bacaan. Bacaan semacam itu kusukai bila dibaca oleh seseorang dalam shalat atau diluar shalat. Bahkan di dalam shalat lebih aku tekankah daripada diluar shalat.
(Tafsir Imam Syafi’i 3, hal. 610).

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin mengutip perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, dia berkata,
لَأَنْ أَقْرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلِ عِمْرَانَ أرْتِلَهُمَا وَأتَدَبَّرُهُمَا أحَبُّ إلي مِنْ أنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ هَذْرُمَةً‏.‏ لَأَنْ أَقْرَأَ إِذَا زُلْزِلَتِ وَالْقَارِعَةُ أتدبرهما أحَبُّ إلي مِنْ أنْ أَقْرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلِ عِمْرَانَ تَهَذَيْراً‏.
“Sungguh saya membaca Al-Baqarah dan Ali-Imran dengan saya tartilkan dan saya renungkan adalah lebih saya sukai daripada saya membaca Al-Quran seluruhnya dengan hadzar (cepat). Sungguh saya membaca surat Idzazulzilat dan Al-Qariah, dengan saya renungkan adalah lebih saya sukai daripada saya membaca Al-Baqarah dan Ali-Imran dengan hadzar (cepat)”
[Ihya ‘Ulumiddin 2, hal. 266].

Bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau Radhiyallahu ta’ala ‘anha menjawab :
كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :إِذَا قَرَأَةَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ قَطَعَهَا أٰيَةً أٰيَةً
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti di setiap ayat . [Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi]

Qatadah meriwayatkan, “Saya bertanya kepada Anas, ’Bagaimana cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al Quran ? Ia menjawab, ’Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan mad (huruf yang panjang) jika membaca Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Beliau memanjangkan bacaan bizmilla, memanjangkan ar-rahmaan, dan memanjangkan ar-rahiim” . (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa`i)

Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha meriwayatkan, “Rusululuh Shallallahu ‘alaihi wasallam. memotong bacaan beliau (ayat per ayat). Beliau membaca ayat Alhamdulillahirabbil ’alamin, lalu berhenti. Kemudian Beliau membaca ayat Ar rahmani rahim, lalu berhenti lagi. Setelah itu, beliau membaca ayat Maliki yaumid – din” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Baihaqi, Hakim)
[Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 19]

Sumber Rujukan :
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darl Ihya’ Indonesia, 2008.
-Syaikh Ahmad Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang
-Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandhalawi, Fadha’il A’mal, Pustaka Ramadhan, Bandung, 2001.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Yakarta, 2007.

*Ramadhan 1431 H.

Rabu, 18 Agustus 2010

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hal-hal yang membatalkan puasa dan hanya wajib qadha saja adalah sebagai berikut :
1. Makan dan minum dengan sengaja.
2. Muntah dengan sengaja.
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ذَرْعَهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَاِئمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءً وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim menyatakan kesahihannya).
Khaththabi berkata, ”Sepengetahuanku tidak ada perdebatan diantara para ulama bahwa orang yang terdesak muntah, tidak diwajibkan mengqadha, begitu juga tidak ada perdebatan bahwa orang yang menyengaja muntah, wajib mengqadha”
[lihat Bidayatul Mujtahid 1, hal. 654].

3. Haid dan Nifas.
4. Mengeluarkan mani atau sperma.
Baik disebabkan laki-laki mencium atau memeluk istrinya maupun dengan masturbasi. Hal itu membatalkan puasa dan wajib mengqadha. Tetapi seandainya semata-mata karena melihat dan mengangan-angankan, maka keadaannya tidak ubah seperti mimpi di siang hari waktu berpuasa., jadi tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga halnya madzi, tidak mempengaruhi puasa, sedikit atau banyak.

5. Memasukkan bahan yang bukan makanan ke dalam perut melalui jalan biasa, seperti banyak makan garam. Menurut ulama, hal itu membatalkan puasa.

6. Meniatkan berbuka.
Siapa yang berniat berbuka padahal ia berpuasa, maka batallah puasanya walau ia tidak melakukan sesuatu yang membatalkan.

7. Makan, minum, atau bersenggama karena menduga bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum menyingsing, kemudian ternyata bahwa dugaan itu salah, maka menurut jumhur ulama –termasuk didalamnya imam yang empat—ia wajib mengqadha. Sebaliknya Ishak, Abu Dawud, Ibnu Hazm, Atha’, Urwah, Hasan Basri, dan Mujahid berpendapat bahwa puasanya sah dan tidak perlu mengqadha. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
       •   
..... dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. ..... (QS. Al-Ahzaab 33 : 5).
Dan juga sabda Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam,
”Sesungguhnya Allah tidak membebani umatku mengenai hal-hal yang tersalah....” (HR. Ibnu Majah, Thabrani dan Hakim).

Yang membatalkan puasa dan wajib qadha dan kifarat :
8. Bersenggama
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: " وَمَا أَهْلَكَكَ ? " قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: " هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? " قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: " تَصَدَّقْ بِهَذَا ", فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: "اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ "
Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan denan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." Riwayat Imam Tujuh dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Imam Nawawi berkata, “Yang diwajibkan membayar kifarat adalah suami, sedangkan wanita tidak perlu mengeluarkan apapun dan tidak dibebani kewajiban, karena kifarat itu merupakan kewajiban mengenai harta yang khusus disebabkan senggama, maka ia dibebankan kepada pihak laki-laki semata, tidak wanita, seperti halnya mahar.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ahmad dan Ibnu Qudamah, pengarang kitab Al-Mughni.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 77; lihat Bulughul Maram, hal. ]

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menambahkan :
9. Kalau lalat masuk ke dalam perut orang, maka puasanya batal secara mutlak dengan mengeluarkannya (menimbulkan mudarat atau tidak), dan kalau sekira mudarat, ia boleh membiarkannya (di dalam( serta wajib qadha, sebagaimana fatwa Syaikhuna.
10. Batal puasa karena masuknya sesuatu zat walaupun sedikit pada anggota yang disebut lubang, yaitu lubang orang yang tersebut tadi (yaitu orang yang mengerti hukumnya dan disengaja), seperti ke dalam lubang telinga, saluran air kencing dan air susu, walau tidak melewati ujung kemaluan laki-laki atau putting susu.

11. Masuknya jari tangan yang beristinja’ ke dalam angggota yang tampak dari farji wanita ketika duduk di atas kedua telapak kakinya, membatalkan puasa.

12. Masuknya sebagian jari ke dalam lubang atau tempat keluarnya kotoran membatalkan puasa.
[Fathul Mu’in 1, hal. 625-626]

Hal-hal Yang Dianggap Membatalkan Puasa
1. Berbekam (Hijamah)
Dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam ketika beliau sedang ihram dan puasa,” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Berdasarkan penggabungan hadits-hadits tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa berbekam itu hukumnya makruh bagi yang lemah bila berbekam.

2. Muntah dan Bercelak
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud,).
Dari Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau memerintahkan agar mengoleskan celak ketika akan tidur dan bersabda, “Hendaklah dihindari oleh orang yang berpuasa,” (HR. Abu Daud dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bercelak tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Ibn Majah yang bersumber dari Aisyah : “Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercelak pada bulan Ramadhan padahal beliau sedang berpuasa”

3. Makan atau Minum karena Lupa
Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum” (HR. Jama’ah, kecuali An-Nasa’i).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Jumhur ulama berpendapat seperti demikian, mereka pun mengatakan, “Barangsiapa yang makan karena lupa, maka tidak memrusak puasanya. Tidak ada qadha maupun kaffarah (tebusan) atasnya”

4. Berkumur dan Mandi karena Cuaca Panas
Dari Umar, ia berkata, “Suatu hari aku Sangay bergairah, lalu aku mengecup padahal aku sedang berpuasa. Kemudian aku menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu kukatakan, ‘Aku telah melakukan perkara besar hari ini. Aku mengecup padahal aku sedang berpuasa,’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?’ Aku jawab, ‘Itu tidak apa-apa’. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Begitu juga pada mulut’” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman, dari seorang sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menuangkan air ke atas kepalanya akibat suhu yang panas, sementara beliau sedang berpuasa” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Imam Asy-Syaukani berkata :
Sabda beliau Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur…ini menunjukkan bahwa berkumur tidak mengurangi nilai puasa, walaupun tampaknya berkumur itu merupakan permulaan minum dan pendahuluannya. Demikian juga mencium, tidak mengurangi nilai puasa, walaupun mengecup merupakan pendorong dan pendahuluan bersetubuh.

5. Mencium Istri Bagi Yang Bisa Menahan Diri.
Dari Asilla dan Ummu Salamah,
أن النبي عليه الصلاة والسلام كان يُقَبِّلُ وهو صَائِمٌ
“Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mencium pada saat beliau berpuasa,” (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa. Maka beliau memberikan keringanan baginya. Lalu datang lagi orang lain (menanyakan hal yang sama), Namur beliau melarangnya. Ternyata, orang yang beliau beri keringanan itu hádala orang yang sudah tua, sedang yang beliau larang itu hádala orang yang maíz muda. (HR. Abu Daud).
Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat : Tidaklah batal bila keluar madzi karena mengecup, menyentuh atau berulang-ulang memandang istri. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan sebagian sahabat kami. Begitu juga mencicipi makanan dan melepekkannya lagi, atau mengoleskan madu di dalam mulut dan melepekkannya lagi, maka hal ini tidak apa-apa, seperti halnya berkumur dan istinsyaq (membersihkan hidung dengan cara menghirup air lalu mengeluarkannya lagi).
[Nailul Authar 2, hal. 356].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Kami katakan bahwa chuman itu tidak membatalkan puasa, sebab seandainya membatalkan puasa tentu Rasulullah tidak akan melakukannya.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 539].

Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan :
Kalau laki-laki menggumul wanita atau menciumnya tanpa menyentuh badan, bahkan antara mereka memakai penghalang, lalu keluar air mani, tidak batal puasanya, sebab tidak bersentuh kulit, seperti halnya bermimpi dan keluar mani karena melihat atau menghayal.
[Fathul Mu’in 1, hal. 623]

6. Junub Pada Pagi Hari
Dari Asilla dan Ummu Salamah, “Bahwasanya ketika pagi hari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah dalam kondisi junub karena jima’ (bersetubuh) bukan bermimpi kemudian beliau tetap berpuasa ramadhan” (Mutafaq ‘Alih).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa puasa orang yang ketika pagi hari dalam kondisi junub tetap sah dan tidak wajib mengqadha, baik junubnya karena jima’ atau lainnya. Ini hádala pendapat jumhur ulama. Mengenai hal ini, Imam An-Nawawi memastikan telah terjadi ijma’ atasnya.

7. Menelan Ludah.
Tidak batal puasa karena menelan ludah yang murni yang ia telan dari tempatnya (sumbernya), --yaitu sekeliling mulut—walaupun sesudah ditampungnya.

8. Makanan di sela-sela Gigi.
Apabila terdapat makanan disela-sela gigi, lalu ludah tertelan beserta sisa makanan ke perutnya dengan sendirinya, tanpa sengaja, hal itu tidak membatalkan puasa.

9. Kemasukan Air Ketika Mandi.
Jika seorang membasuh kedua telinganya ketika mandi janabat lalu airnya masuk ke dalam salah satu telinganya tidak batal puasanya walalupun ia dapat memiringkan kepalanya (agar tidak kemasukan air). Berbeda halnya dengan apabila orang mandi sambil menyelam, lalu air masuk ke dalam kuping atau hidung, maka sesungguhnya hal itu membatalkan puasa, walaupun dalam mandi wajib, sebab menyelam itu hukumnya makruh.
Dikecualikan bagi selain mandi janabat, yaitu mandi sunat dan mandi untuk mendinginkan badan, maka batal puasanya karena masuknya air waktu mandi semacam itu, walaupun tidak menyelam.
[Fathul Mu’in 1, hal. 629-634].

10. Bersiwak.
Imam Syafi’i berkata : Saya berpendapat bahwa siwak itu hukumnya tidak makruh, baik dengan menggunakan kayu yang basah atau kayu yang kering.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 543].

11. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

12. Mencicipi Makanan.
Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani Rahimahullahu Ta’ala di Al-Irwa no. 937)
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006


*Slawi, Ramadhan 1431 H.

SAHUR DAN KEUTAMAANNYA

SAHUR DAN KEUTAMAANNYA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk mengikuti perintah-perintah dan contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagai bukti kecintaan kita kepadaNya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang bukan termasuk tuntunan kami, maka amalnya itu ditolak”
[Tafsir Ibnu Katsir 3, hal. 339]

Oleh karena itu, ketika kita hendak melakukan sesuatu, termasuk makan sahur, sudah seharusnya kalau kita mengikuti apa-apa yang diperintahkan oleh Raulullah dan dicontohkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam., sehingga sahur kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pengertian Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur. Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)

Hukum Sahur
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Umat islam telah berijma’ menyatakan sunnah untuk makan sahur, tetapi tidak berdosa bila ditinggalkan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (HR. Bukhari no. 1923, Muslim no. 1095).
[Fiqih Sunnah 2, hal. 61; Bulughul Maram, hal.273]]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata : Secara nash, hadits ini mengisyaratkan bahwa bersahur hukumnya wajib. Akan tetapi riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah dan beberapa sahabat pernah meneruskan puasa tanpa bersahur membawa hokum ini kepada sunnah.
Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan ijma’ ulama atas sunnahnya hokum bersahur, dan berkah yang ada di dalamnya adalah karena mengikuti sunnah dan tidak menyerupai adapt ahli kitab, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam hadits marfu’,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab ialah makanan sahur” (HR. Muslim)
Dan dengan makan sahur, bisa menguatkan fisik untuk beribadah, bertambahnya semangat, dan adanya sebab untuk bersedekah jika ada yang meminta-minta pada waktu sahur.
[subulussalam 2, hal. 120].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim 7, hal. 207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ …
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad)
[Fiqih Sunnah 2, hal. 61, Al-Jami’us saghir 2, hal. 348, hadits no. 3293]

Keutamaan Sahur
1. Dalam sahur terdapat barakah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
[Nailul Authar 2, hal. 372]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya: “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.
(Fathul Bari 4, hal. 166)

2. Pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad)

Waktu Sahur dan Keutamaan Mengakhirkan Sahur
Sayyid Sabiq berkata :
Waktu sahur adalah dari pertengahan malam hingga terbit fajar. Kita juga disunnahkan mengahirkannya.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
[Fathul Bari 4, hal.164]

Syekh Muhammad Abid Al-Zindi dalam kitab Musnad Syafi’i berkata :
Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Bilal akan menyerukan azan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum menyerukan azan (subuh). Dia adalah seorang tuna netra, ia tidak menyerukan azan (subuh) sebelum dikatakan kepadanya, ‘Engkau memasuki waktu subuh, engkau memasuki waktu subuh”’
Dari hadits ini ditarik kesimpulan bahwa mereka (para sahabat) mengadakan dua kali azan. Azan pertama untuk mengingatkan dan membangunkan mereka yang tidur, sedang azan yang kedua ialah sesudah fajar subuh menyingsing, kegunaannya adalah untuk shalat dan puasa.
Ditarik kesimpulan pula bahwa boleh makan, minum dan jima’ hingga fajar terbit (subuh).
[Musnad Syafi’i 1, hal. 655].

Ibnu Ruyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata : Menurut Imam Malik sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama), batasannya adalah eksistensi terbitnya fajar, bukan tampaknya fajar, bahkan sebagian ulama membatasi sebelum terbit fajar.
Dasar pendapat Malik dan jumhur adalah hadits dalam kitab Bukhari, saya kira dalam riwayatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).
Mereka yang menentukan batas sebelum fajar hanya sebagai tindakan hati-hati dan menghilangkan keraguan.
Pendapat yang pertama (Malik dan jumhur) lebih tepat dan pendapat yang kedua (sebelum terbit fajar) lebih berhati-hati. Wallahu a’lam.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 649]

Imam Syafi’I berkata dalam kitab Al-Umm :
Disunahkan untuk mengakhirkan sahur selama tidak terlalu mendekati waktu fajar, karena dikhawatirkan fajar terbit sebelum selesai makan sahur. Tapi apabila di tengah makan sahur fajar telah terbit (subuh), saya lebih suka untuk memutuskan sahur tersebut.
Misalnya fajar sudah terbit dan ketika itu di mulutnya masih ada makanan yang sedang dikunyah, maka makanan tersebut harus dikeluarkan lagi. Namun hal ini tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa adalah memasukkan memasukkan makanan ke dalam rongga perut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 538].

Makanan Untuk Sahur
Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Sumber rujukan :
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Mawawi, Syarah Shahiih Muslim, Mustaqiim, Jakarta
-Imam As-Suyuti, Al-Jami’us Shaghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.

*Slawi, Ramadhan 1431 H.

LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN

LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya adalah karena pada bulan itu terdapat malam yang sangat agung yaitu malam Lailatul Qadar. Malam lailatul Qadar adalah malam diturunkannya Al-Quran, dimana pada pada malam tersebut Allah melimpahkan berkahNya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, “ (QS. Ad Dukhaan: 3-5)
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ -وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ -لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ -تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ -سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) keselamatan hingga terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)
Alangkah agungnya (kedudukan) malam tersebut dibandingkan malam yang lain, alangkah mulia kebaikannya, dan alangkah melimpahnya keberkahan di malam tersebut.
Mengingat begitu besar keagungan dan keberkahan malam Lailatul Qadar itu, maka amat beruntunglah orang-orang yang mendapatkannya.


Pengertian Dan Keutamaan Lailatul Qadar
Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةُ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an. Deskripsi tentang keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al Qadar, surat ke-97 dalam Al Qur'an.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang paling utama sepanjang tahun, berdasarkan firman Allah ta’ala,
"Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
(QS. Al-Qadr [97] : 1-3)
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa beribadah di malam lailatul Qadar lebih baik dan lebih besar pahalanya dari pada beribadah selama seribu bulan (83 tahun) pada bulan-bulan lainnya.

Kapankah Lailatul Qadar itu?
Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam menentukan malam ini. Hal itu disebabkan karena banyaknya hadits tentang malam datangnya Lailatul Qadar itu.
1. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang sah dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,

كَانَ مُتَحَرَّبَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
“Barangsiapa mencarinya, hendaklah dicari pada malam ke dua puluh tujuh” (HR. Ahmad).

2. Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Rhadiallahu ‘anhuma,
عَنْ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Mengenai lailatul qadar, yaitu malam dua puluh tujuh”. (HR. Abu Daud).

3. Dari Sa’id Al-Khudri, ia berkata,
إَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ. ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ على سُدَّتِهَا حَصِيْرٌ. قال: فَأَخَذَ الْحَصِيْرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ. ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ. فَدَنَوْا مِنْهُ. فقال:
"إني اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ. أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ. اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. ثم أُتِيْتُ. فَقِيْلَ لِي: إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ. فمن أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ" فاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ. قال: "وإِنِّي أُرِيْتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ، وأني أَسْجُدُ صَبِيْحَتِهَا في طِيْنٍ وَمَاءٍ" فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ، وقد قام إلى الصُّبْحِ. فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ. فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ. فَأَبْصَرْتُ الطِّيْنَ والْمَاءَ. فَخَرَجَ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَجَبِيْنُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيْهِمَا الطِّيْنُ والْمَاءُ. وإذا هي ليلةُ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ من الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ.
Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada 10 hari pertama dari Ramadhan, kemudian beri’tikaf pada 10 hari pertengahan di Qutbah Turki (kemah kecil), sementara di pintunya terdapat tikar, lalu beliau mengambil tikar itu dengan tangannya, lantas memindahkannya ke sudut Qutbah tadi, kemudian beliau mengulurkan kepalanya sembari berbicara kepada manusia, merekapun mendekatinya. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku telah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul Qadar). Kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahannya, lalu aku di datangi oleh malaikat Jibril, lalu dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya ia ada pada sepuluh hari terakhir’. Karena itu siapa saja diantara kalian yang ingin beri’tikaf, maka beri’tikaflah”. Lalu orang-orangpun beri’tikaf bersama beliau. Beliau juga mengatakan, “Dan sungguh aku telah bermimpi (bahwa itu) pada malam ganjil, yang mana aku bersujud pada pagi harinya dalam keadaan berlumuran dengan tanah dan basah dengan air, ”Dan ternyata, pada malam ke dua puluh satu, di pagi harinya ketika aku melaksanakan shalat subuh, langit mengguyurkan hujan, masjidpun bocor sehingga aku melihat tanah dan air. Beliau keluar setelah shalat subuh, sementara kedua alis dan ujung hidungnya ada tanah dan air. Itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh hari terakhir,” (Muttafaq ‘alaih).

4. Dari Abdullah bin Unais, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
رَأَيْتُ ليلةَ القدرِ ثم أُنْسِيْتُهَا. وَأَرَانِي صَبِيْحَتَهَا أَسْجُدُ في ماءٍ وطِّيْنٍ" قال: فَمُطِرْنَا ليلةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ فَصَلِّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَانْصَرَفَ وَإِنْ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ على جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ. قال: وكان عبدُاللهِ بْنُ أُنَيْسٍ يقول: ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ.

“Aku telah melihat Lailatul Qadar tapi kemudian aku lupa. Aku bermimpi sujud pada pagi harinya dengan air dan tanah”. Kemudian kami diguyur hujan pada malam ke dua puluh tiga, lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengimami kami salta, lalu berbalik, ternyata ada bekas air dan tanah pada dahi dan hidung beliau,”. Abdullah bin Unais mengatakan, ‘Dua puluh tiga’. (HR. Ahmad dan Muslim).

5. Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan”. (HR. Muslim).

6. Dari Ibnu Abbas Rhadiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

اَلْتَمِسُوْهَا في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ ، لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، في تَاسِعَةٍ تَبْقَى، في سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah itu pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, Lailatul Qadar (Sangat mungkin) pada malam kesembilan terakhir, malam ketujuh terakhir, malam ke lima terakhir” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Abu Daud).
[Nailul Authar 2, hal. 429-433}.

Dan hadits-hadits lainnya.

Pendapat Para Ulama
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
Dari berbagai pendapat, nampaknya yang kuat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada tujuh hari terakhir. Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitab Fath Al-Bari, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dia atas, “Dan pendapat yang paling kuat dari semuanya, bahwa Lailatul Qadar terjadi pada hari-hari ganjil dari sepuluh hari terakhir, dan ia berpindah-pindah sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits bab ini, dan menurut Asy-Syafi’iyah bilangan witir (ganjil) yang paling tepat yaitu 21, 23 sebagaimana disebutkan dalam hadits Said dan hadits Abdullah bin Unais, Sedangkan menurut jumhur ulama yang paling mungkin ialah pada tanggal 27.
[Subulussalam 2, hal. 274].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan: Kebanyakan mereka berpendapat bahwa jatuhnya adalah pada malam ke dua puluh tujuh.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 83]



Imam Asy-Syaukani berkata : Asy-Syafi’i berkata, “Menurutku riwayat yang paling kuat tentang Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh satu”
[Nailul Authar 2, hal. 435}.

Zainudin Al-Malibari dalam kitab fathul Mu’in berkata : Menurut Imam Syafi’i malam ganjil yang paling dapat diharapkan ialah malam ke dua puluh satu dan ke dua puluh tiga, Imam Nawawi dan lainnya telah memilih bahwa (lailatul Qadar) berpindah-pindah.

Menurut hasil penelitian Imam Ghazali adalah sebagai berikut :
1. Kalau puasa dimulai hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29 Ramadhan.
2. Kalau puasa dimulai hari Senin, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadhan.
3. Kalau puasa dimulai hari Selasa atau Jum’at, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan.
4. Kalau puasa dimulai hari Kamis, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadhan.
5. Kalau puasa dimulai hari Sabtu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadhan.
[Fathul Mu’in 1, hal. 658].

Tanda-tanda Lailatul Qadar
Dari Ubadah bin Shomit, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيْهَا قَمْرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةً سَجِيَّةً، لَا بَرَدَ فِيْهَا وَلَا حَرَّ، ولا يَحِلُّ لِكَوْكَبَ يُرْمَى بِهِ فِيْهَا حَتَّى تُصْبِحُ. وأن أَمَارَتَهَا أن الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تُخْرِجُ مُسْتَوِيَةً، لَيْسَ لَهَا شَعَاعٌ مِثْلُ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانَ أن يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ"
Tanda malam Lailatul Qadar suasana malam bersih bening terang seakan-akan ada bulan, tidak terasa dingin atau panas, dan tidak ada bintang yang dilemparkan kepada setan, hingga fajar, dan matahar terbit tiada bercahaya panas dan tajam, seakan-akan bagaikan bulan purnama.
[Tafsir Ibnu Katsir 8, hal. 407].

Dari Ubay radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR Muslim 762).

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231).

Imam Ash-Shan’ani berkata :
Dikatakan, bahwa tanda-tanda Lailatul Qadar bagi yang mengetahuinya, ia melihat segala sesuatu bersujud. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan melihat cahaya-cahaya yang terang ingá ke tempat-tempat yang gelap. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan mendengar salam atau sapaan para malaikat. Ada juga yang mengatakan bahwa tandanya ialah terkabulnya doa bagi orang yang mendapatinya. Ath-Thabari berkata, ”Semua itu tidak bersifat pasti, karena terkadang seseorang itu (mendapat Lailatul Qadar), namun ia tidak melihat dan tidak pula mendengar apapun.
[Subulussalam 2, hal. 274].

Beribadah pada Malam Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قاَمَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau” (HR. Jamaah, kecuali Ibnu Majah)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa dia bertanya:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: " قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah
aku)." Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim.
[Bulughul Maram ,hal. ; Al-Adzkar, hal. 314].

Penutup
Allah Subhanahu wata’ala dengan kemurahannya telah menganugerahkan malam yang begitu agung, yaitu malam Lailatil Qadar kepada kita. Dia memberi kesempatan kepada kita untuk melipatgandakan nilai ibadah kita dengan beribadah di malam itu. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkannya.


Sumber Rujukan :
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006.
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darul Ihya’ Indonesia, 2008.



*Slawi, Ramadhan 1431 H.

Kamis, 22 Juli 2010

SHALAT WITIR

SHALAT WITIR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Hukum Salat Witir
Menurut Sayyid Sabbiq Shalat witir termasuk shalat sunnah muakkad yang dianjurkan dan disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 274].
Namun menurut Imam Hanafi shalat witir hukumnya wajib.
{Bidayatul Mujtahid 1, hal.192}

Dari Abi Ayub, ia berkata : Telah bersada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوِتْرُ حَقٌّ ، فَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَ مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ ، وَ مَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِوَا حِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Witir itu adalah haq, maka barangsiapa yang suka witir dengan lima rekaat maka kerjakanlah, dan barangsiapa yang suka witir dengan tiga rekaat maka kerjakanlah, barangsiapa yang suka witir dengan satu rekaat maka kerjakanlah. (HR.Imam yang lima, kecuali Tirmidzi)
[Nailul Author 2, hal. 677 ; Bidayatul Mujtahid 1, hal. 443].
Imam Shan’ani mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil wajibnya shalat witir. Sebagaimana disebutkan juga oleh Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad,
مَنْ لَمْ يُوْ تِرُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang tidak berwitir, maka ia bukan dari kami”. Yang berpendapat wajibnya shalat witir adalah Al-Hanafiyah.
[Subulus Salam 1, hal. 586].

Dari Ali r.a. ia berkata :
اَلْوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ الْمَكْتُوْبَةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

Witir itu bukan satu keharusan seperti keadaan shalat fardlu, tetapi dia adalah sunnat yang dibiasakannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR.Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).
[Bulughul Maram, hal. 161; Nailul Author 2, hal. 677].
Imam Ash-Shan’ani berkata bahwa hadits ini telah dijadikan hujjah oleh jumhur tentang tidak wajibnya shalat witir.
[Subulus Salam 1, hal. 589].

Waktu Shalat Witir
Dari Jabir r.a. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اَللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ, وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اَللَّيْلِ, فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اَللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ, وَذَلِكَ أَفْضَلُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
"Barangsiapa yang tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, sebaiknya ia berwitir pada permulaan malam. Akan tetapi, barangsiapa yang merasa sanggup bangun pada akhir malam, sebaiknya ia berwitir pada akhir malam itu. Sebab mengerjakan shalat pada akhir malam itu dihadiri dan disaksikan oleh malaikat. Oleh karena itu, ia lebih utama" (HR.Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 277; Bulughul Maram, hal 167].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam
Berkata : Hadits ini menjadi dalil bahwa mengakhirkan witir itu lebih utama. Akan tetapi jika khawatir tidak bias bangun hendaklah shalat witir dilaksanakan sebelum tidur (didahulukan) supaya tidak kehilangan pelaksanaannya.
[Subulussalam 1, hal. 607; lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 456].

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اِجْعَلُوْا اَخِرَصَلاَ تِكُمْ بِااللَّيْلِ وِتْرًا
Dan dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Jadikan shalat witir sebagai akhir shalatmu waktu malam. (Muttafaq alaih)
Hadits di atas menjadi dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa tidak boleh shalat sunnah setelah shalat witir. Tetapi Ulama yang lain termasuk Imam An-Nawawi berpendapat bolehnya shalat sunnah setelah shalat witir. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua reka’at setelah witir dengan duduk,”(HR.Muslim 738)
[Subulus Salam 1, hal. 603].

Dari Jabir r.a. pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakar : "Bilakah engkau berwitir?", Abu Bakar menjawab, "Pada permulaan malam sesudah shalat isya". Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar,
"Bilakah engkau berwitir wahai Umar?" Umar menjawab, "Pada akhir malam". Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Engkau ini wahai Abu Bakar suka berhati-hati, sedangkan engkau wahai Umar telah menunjukkan keteguhanmu". (HR.Abu Dawud, Hakim)
[Fiqih Sunnah 1, hal.].

Dan dari Tolq bin Ali, dia berkata :
سَمِعْتُ رسول الله صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : لَا وِتْرَانِ فِى لَيْلَةِ
Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tidak diperkenankan dua witir dalam satu malam". (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, disahihkan oleh Ibnu Hibban)
[Bulughul Maram, hal. 165 ; Fiqih Sunnah 1, hal. 277].

Jumlah rekaat shalat witir
Dari Abi Ayub, ia berkata : Telah bersada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ , مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Witir itu adalah haq, maka barangsiapa yang suka witir dengan lima rekaat maka kerjakanlah, dan barangsiapa yang suka witir dengan tiga rekaat maka kerjakanlah, barangsiapa yang suka witir dengan satu rekaat maka kerjakanlah. (HR.Imam yang lima, kecuali Tirmidzi)
[Bulughul Maram, hal. 160, hal. 677 ; Bidayatul Mujtahid 1, hal. 443].

Imam Syafi’i berkata dalam kitab Musnad Syafi’i : Malik telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dan Abdullah Ibnu Dinar, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صلاة اَللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خَشِيَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً ِوَاحِدَةً تُوْتِرُلَهُ مَاقَدْ صَلَّى
“Shalat malam hari adalah dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah ia shalat satu rakaat mewitirkan semua shalat yang telah dikerjakannya.”
[Musnad Syafi’i 1, hal. 445; Bulughul Maram, hal. 159].

Dari Aisyah, beliau berkata:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)
Dan dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah witir tiga reka'at, tanpa memisahkan antara reka'at-reka'at tersebut. (HR.Ahmad)
[Nailul Author 2, hal. 682].

Malik telah menceritakan kepada kami, dari Nafi’ :
Bahwa Ibnu Umar melakukan shalat di antara satu rekaat dan dua rekaat dari witirnya hingga ia sempat mengatur sebagian keperluannya.
Syekh Muhammad Abid As-Sindi menjelaskan dalam kitab Musnad Syafi’i :
Bainar rak’ati war rak’ataini, menurut hemat kami yang benar adalah bainar rak’ataini war rak’ati. Makna yang dimaksud ialah, Ibnu Umar bila mempunyai suatu keperluan, terlebih dahulu ia melakukan salam di penghujung dua rekaatnya, setelah selesai dari keperluan yang mendesak itu, lalu melakukan witir dengan rekaat yang ketiga. Hal itu diperbolehkan menurut kalangan madzhab Syafi’i.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 458]

Imam Ghazali berkata, boleh witir itu dipisah dan disambung dengan satu salam dan dua salam.
[Lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 640].

Dan dari Sa'ad bin Hisyam, sesungguhnya ia pernah berkata kepada 'Aisyah : Beritahukan kepadaku tentang witirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berkatalah 'Aisyah : Kami menydiakan untuknya siwaknya dan air wudlunya, lalu Allah membangunkan dia kapan saja Ia mau membangunkan dia di waktu malam, lalu ia bersiwak, berwudlu dan shalat sembilan reka'at, yang ia tidak duduk sama sekali kecuali di reka'at ke delapan; lalu dia berdzikir, bertahmid dan berdo'a; kemudian ia bangun dan tidak salam, lalu melanjutkan ke reka'at sembilan, terus duduk serta bertasyahud dan mengucapkan salam dengan suara yang keras sehingga kami dapat mendengarkannya. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua reka'at lagi setelah salam tadi dalam keadaan duduk. Dengan demikian, seluruh jumlah reka'at shalat adalah sebelas rekaat. (HR.Ahmad, Nasa'I dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 279].

Bacaan dalam shalat witir
Ubay bin Ka'ab. berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُوْتِرُ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبُِّكَ الْاَعْلَى ، و قُلْ يَاَيُّهَاالْكَافِرُوْنَ و قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ ،
وَلَا يُسَلِّمُ اِلَّا فِى اَخِرِهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat witir dengan membaca "sabbihisma robbikal a'la" , Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan Qul huwallahu ahad. (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i, Nasa'i menambah : "Beliau tidak salam kecuali pada reka'at terahir)
Dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi terdapat gadits yang sama dari Aisyah Rhadiallaahu ‘anha. Di situ ada keterangan : Tiap-tiap surat untuk satu rekaat. Dalam rekaat terakhir membaca Qul huwallaahu ahad dan surat Al-Falaq dan An-Naas.
[Bulughul Maram , hal. 165 ; Nailul Author 2, hal. 690 ; Lihat Ihya Ulumiddin 1, hal. 639 ; Fiqih Sunnah 1, hal. 280].

Zainudin Al-Malibari berkata dalam kitab Fathul Mu’in :
Orang yang shalat tiga rekaat disunatkan membaca surat Al-A’la pada rekaat pertama, Al-Kafirun pada rekaat kedua, sedangkan pada rekaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan Mu’awwidatain, sebab ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan Nasai dari Ibnu Majah).
[Fathul Mu’in 1, hal. 328].

Imam Syafi’I berkata bahwa yang dibaca pada shalat witir adalah : qul huwallahu ahad, qul ‘audzu birabbilfalaq dan qul ‘audzubirabbinnaas, dan dipisahkan antara dua rekaat dan satu rekaat dengan memberi salam.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 207].

Imam Syafi’i berkata : Shalat witir dikerjakan sendiri-sendiri (tidak berjamaah),
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 207; lihat Fathul Mu’in 1, Hl. 326].


Doa Qunut dalam Shalat Witir
Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Sayyid Sabiq berpendapat Qunut boleh dibaca sebelum atau sesudah ruku’. Dasarnya adalah hadits dari Humaid :
“Aku bertanya kepada Anas tentang qunut, apakah ia sebelum ruku’ atau sesudahnya?” Iapun menjawab, “Kebiasaannya, kami membacanya sebelum ataupun sesudah ruku’” (HR. Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 281].

Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan.
Hal ini berdasarkan hadits :
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)

Di antara doa qunut witir adalah:
الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْك


(Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan menjadi mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau, wahai Tuhan kami adalah maha mulia serta maha tinggi. tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu)[HR. Ahmad]
Imam Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits di atas sahih.
[Fiqih Sunnah 1, hal.281].

Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.
-Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang



*Slawi, Juli 2010

Selasa, 18 Mei 2010

ISBAL

ISBAL
Oleh : Masnun Tholab
masnuntholab.blogspot.com

DEFINISI ISBAL
Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul ‘Aroby rahimahullah dan selainnya adalah ; memanjangkan,
melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul 'Arob, Ibnul Munzhir 11/321]

DALIL-DALIL TENTANG ISBAL
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
"Barangsiapa menjulurkan pakainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Sungguh salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya." Rasulullah saw. bersabda, "Kamu tidak melakukan itu karena sombong," (HR Bukhari [3665, 5784] dan Muslim [2085]).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِأزَرَةُ الْمُسْلِمُ إِلَى نَصَفِ السَّاقِ وَلَاحَرَجَ أَوْ لَا جَنَاحٍ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَراً لَمْ يَنْظُرُ اللّهُ إلَيْهِ".

“Artinya : Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12]
-lihat Al-Jami’s Saghir 1, hal. 292
-Lihat Riyadus Salihin 2, hal. 4

Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ

“Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى مَنْ يَجَرَّ إِزَارَهُ بَطَرٍ

"Allah tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan kain sarungnya karena kesombongan," (HR Bukhari [5788] dan Muslim [2087]).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kain sarung yang berada di bawah mata kaki tempatnya di neraka," (HR Bukhari [5787]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan kain sarungnya karena kesombongan," (HR Bukhari [5788] dan Muslim [2087]).

PENDAPAT ULAMA TENTANG ISBAL
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalaam berkata :
Ibnu Abdil Bar berkata, “Orang yang menjulurkan kainnya tanpa dibarengi sikap sombong juga termasuk katagori melakukan perbuatan tercela. An-Nawawi berkata, “Hukumbya makruh, demikian yang dinyatakan oleh Asy-Syafi’I”
Sunnah telah menyebutkan bahwa posisi kain yang terbaik adalah stengah betis. Sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tir,idzi dan An-Nasa’I dari Ubaid bin Khalid, ia berkata, “Ketika aku sedang berjalan dengan mengenakan kain panjang yang terjulur, seorang berkata kepadaku, ‘angkat kainmu, karena hal itu sikap yang lebih takwa dan lebih bersih,’ Setelah aku menoleh kepadanya ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu aku berkata, ‘Ini adalah kain panjang’, Beliau bersabda, ‘Bukankah aku tauladan bagimu?’ Setelah itu aku melihat pakaian yang beliau kenakan, ternyata panjang kain beliau setengah betis,”
[Subulussalaam 3, hal. 787].

Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salihin berkata :
Abu Hurairah radiallahu anhu berkata : Ketika seseorang sedang sembahyang dengan kain yang di bawah mata kaki maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Pergilah berwudlu” dan sesudah berwudlu Nabi berkata pula, “Pergilah berwudlu”. Maka seseorang bertanya : “Ya Rasulullah mengapakah kau suruh berwudlu, kemudian setelah ia berwudlu kau diamkan dia?” Jawab Nabi, “Dia telah sembahyang dengan kain di bawah mata kaki. Dan Allah tidak menerima sembahyang seorang yang berkain di bawah mata kaki” (Abu Dawud)
-Lihat Riyadus Salihin 2, hal. 7

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki. Beliau menjawab :’ Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah
tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu' Fatawa 22/14]

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka. [As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Dasarnya adalah hadits yang menyatakan:
Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim) –pesantren.or.id.29.webmasternet.

Wallahu a’lam.
Segala Puji bagi Allah. Semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sumber Rujukan :
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
- Imam Nawawi, Riyadus Salihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Ash-Shan’ani, Subulussalaam, Darus Sunnah, Jakarta, 2008.
-Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
–pesantren.or.id.29.webmasternet.

***Slawi, April 2009.

BACAAN SALAM DALAM SHALAT

BACAAN SALAM DALAM SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
masnuntholab.blogspot.com

Hadits-hadits dan Pendapat ‘Ulama Tentang Bacaan Salam
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata : Kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu seseorang diantara kami dengan tangan kanan dan kirinya mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’. Seraya mengisyaratkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Maka beliau bersabda :
ما بالكم تومئون بأيديكم كأنها أذناب خيل شمس أو لا يكفي أو إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يسلم عن يمينه وعن شماله السلام عليكم ورحمة الله السلام عليكم ورحمة الله
“Ada apa dengan kalian sehingga mengisyaratkan dengan tangan seakan-akan hal itu adalah ekor kuda matahari. Apakah tidak cukup atau cukup, bagi salah seorang diantara kalian meletakkan tangannya di atas paha kemudian mengucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullah, Assalamu ‘alaikum warahmatullah” (HR. Abu Daud no. 985)

Imam Syafi’i berkata :
وبهذه الأحاديث كلها نأخذ فنأمر كل مصل أن يسلم تسليمتين إماما كان أو مأموما أو منفردا ونأمر المصلي خلف الإمام إذا لم يسلم الإمام تسليمتين أن يسلم هو تسليمتين ويقول في كل واحدة منهما السلام عليكم ورحمة الله
Semua hadits di atas menjadi pegangan, maka kami menyuruh setiap orang yang mengerjakan shalat agar memberi salam sebanyak dua kali, baik ia sebagai imam auat shalat sendirian.
Kami memerintahkan kepada makmum apabila imam tidak memberi salam sebanyak dua kali, maka ia harus memberi salam dua kali dengan ucapan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah, Assalamu ‘alaikum warahmatullah”

Imam Syafi’i berkata :
من تسليمه أن يقول السلام عليكم فإن نقص من هذا حرفا عاد فسلم وإن لم يفعل حتى قام عاد فسجد للسهو ثم سلم
Pengucapan salam sekurang-kurangnya dengan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum. Apabila ia mengurangi satu huruf saja, maka ia harus mengulanginya. Apabila ia tidak memberi salam sampai ia pergi, maka ia harus kembali dan melakukan sujud sahwi, kemudian memberi salam lagi.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 186-187].

Zainudin Al-Malibari (‘Ulama Madzhab Syafi’i dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
(و) ثالث عشرها: تسليمة أولى، (وأقلها: السلام عليكم) للاتباع، ويكره عليكم السلام
(و) يسن أن يقرن كلا من التسليمتين (برحمة الله) أي معها، دون: وبركاته، على المنقول في غير الجنازة. لكن اختير ندبها لثبوتها من عدة طرق.
Rukun shalat yang ketiga belas ialah membaca salam yang pertama, paling sedikit assalaamu’alaikum, sebab ‘ittiba kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Disunatkan melengkapi kedua salam dengan lafadz Warakhmatullah tidak dengan lafadz Wabarakaatuh, sesuai dengan nash yang disalin dar salat selain salat jenazah.
Akan tetapi dipilih sunnat memakai lafadz wabarakaatuh, sebab nash-nya dari berbagai jalan.
[Fathul Mu’in 1, hal. 223-224].

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Wail bin Hajar Rhadiallahu ‘anhuma, dia berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ : " اَلسَّلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اَللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ " وَعَنْ شِمَالِهِ : " اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اَللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau membaca salam ke kanan dengan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum warakhmatullaahi wabarakaatuh”, demikian pula ke kiri, “Assalaamu’alaikum warakhmatullaahi wabarakaatuh” (HR. Abu Daud dengan riwayat yang sahih)
[Bulughul Maraam hadits no. 39, hal. 139; lihat Fiqih Sunnah 1, hal. 198 ]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وحديث التسليمتين رواه خمسة عشر من الصحابة بأحاديث مختلفة، ففيها صحيح، وحسن، وضعيف، ومتروك، وكلها بدون زيادة: "وبركاته" إلا في رواية وائل هذه، ورواية عن ابن مسعود. وعند ابن ماجه، وعند ابن حبان، ومع صحة إسناد حديث وائل، كما قال المصنف هنا: يتعين قبول زيادته؛ إذ هي زيادة عدل، وعدم ذكرها في رواية غيره ليست رواية لعدمها
Hadits tentang mengucap dua kali salam ini telah diriwayatkan oleh lima belas sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hadits yang berbeda-beda, ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang dha’if dan ada yang matruk, dan semuanya tanpa tambahan Wabarakaatuh kecuali dalam riwayat Wa’il ini, serta dalam riwayat Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dan jika riwayat Wa’il ini shahih, maka tambahan Wabarakaatuh harus diterima karena ia tambahan yang benar. Sedangkan ketiadaannya dalam riwayat-riwayat yang lain tidak menunjukkan bahwa tambahan ini tidak ada.
[Subulussalam 1, hal. 522].

Imam Ghazali (‘Ulama madzhab Syafi’i) dalam kitab ihya ‘Ulumiddin berkata :
Bacaan salam dalam shalat adalah Assalaamu’alaikum warakhmatullaah.
[Ihya ‘Ulumiddin 1, hal. 514].

Kesimpulan
1. Menurut mayoritas ulama, bacaan salam dalam shalat boleh dengan lafadz Assalamu’alaikum, Assalamu’alaikum warahmatullaah, atau Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
2. Bacaan salam menurut Imam Syafi’i dan Imam Ghazali adalah . Assalamu’alaikum warahmatullaah,
Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang, 1990.

*Slawi, 6 Mei 2010.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...