Rabu, 18 Agustus 2010

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hal-hal yang membatalkan puasa dan hanya wajib qadha saja adalah sebagai berikut :
1. Makan dan minum dengan sengaja.
2. Muntah dengan sengaja.
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ذَرْعَهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَاِئمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءً وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim menyatakan kesahihannya).
Khaththabi berkata, ”Sepengetahuanku tidak ada perdebatan diantara para ulama bahwa orang yang terdesak muntah, tidak diwajibkan mengqadha, begitu juga tidak ada perdebatan bahwa orang yang menyengaja muntah, wajib mengqadha”
[lihat Bidayatul Mujtahid 1, hal. 654].

3. Haid dan Nifas.
4. Mengeluarkan mani atau sperma.
Baik disebabkan laki-laki mencium atau memeluk istrinya maupun dengan masturbasi. Hal itu membatalkan puasa dan wajib mengqadha. Tetapi seandainya semata-mata karena melihat dan mengangan-angankan, maka keadaannya tidak ubah seperti mimpi di siang hari waktu berpuasa., jadi tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga halnya madzi, tidak mempengaruhi puasa, sedikit atau banyak.

5. Memasukkan bahan yang bukan makanan ke dalam perut melalui jalan biasa, seperti banyak makan garam. Menurut ulama, hal itu membatalkan puasa.

6. Meniatkan berbuka.
Siapa yang berniat berbuka padahal ia berpuasa, maka batallah puasanya walau ia tidak melakukan sesuatu yang membatalkan.

7. Makan, minum, atau bersenggama karena menduga bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum menyingsing, kemudian ternyata bahwa dugaan itu salah, maka menurut jumhur ulama –termasuk didalamnya imam yang empat—ia wajib mengqadha. Sebaliknya Ishak, Abu Dawud, Ibnu Hazm, Atha’, Urwah, Hasan Basri, dan Mujahid berpendapat bahwa puasanya sah dan tidak perlu mengqadha. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
       •   
..... dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. ..... (QS. Al-Ahzaab 33 : 5).
Dan juga sabda Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam,
”Sesungguhnya Allah tidak membebani umatku mengenai hal-hal yang tersalah....” (HR. Ibnu Majah, Thabrani dan Hakim).

Yang membatalkan puasa dan wajib qadha dan kifarat :
8. Bersenggama
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: " وَمَا أَهْلَكَكَ ? " قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: " هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? " قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: " تَصَدَّقْ بِهَذَا ", فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: "اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ "
Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan denan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." Riwayat Imam Tujuh dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Imam Nawawi berkata, “Yang diwajibkan membayar kifarat adalah suami, sedangkan wanita tidak perlu mengeluarkan apapun dan tidak dibebani kewajiban, karena kifarat itu merupakan kewajiban mengenai harta yang khusus disebabkan senggama, maka ia dibebankan kepada pihak laki-laki semata, tidak wanita, seperti halnya mahar.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ahmad dan Ibnu Qudamah, pengarang kitab Al-Mughni.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 77; lihat Bulughul Maram, hal. ]

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menambahkan :
9. Kalau lalat masuk ke dalam perut orang, maka puasanya batal secara mutlak dengan mengeluarkannya (menimbulkan mudarat atau tidak), dan kalau sekira mudarat, ia boleh membiarkannya (di dalam( serta wajib qadha, sebagaimana fatwa Syaikhuna.
10. Batal puasa karena masuknya sesuatu zat walaupun sedikit pada anggota yang disebut lubang, yaitu lubang orang yang tersebut tadi (yaitu orang yang mengerti hukumnya dan disengaja), seperti ke dalam lubang telinga, saluran air kencing dan air susu, walau tidak melewati ujung kemaluan laki-laki atau putting susu.

11. Masuknya jari tangan yang beristinja’ ke dalam angggota yang tampak dari farji wanita ketika duduk di atas kedua telapak kakinya, membatalkan puasa.

12. Masuknya sebagian jari ke dalam lubang atau tempat keluarnya kotoran membatalkan puasa.
[Fathul Mu’in 1, hal. 625-626]

Hal-hal Yang Dianggap Membatalkan Puasa
1. Berbekam (Hijamah)
Dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam ketika beliau sedang ihram dan puasa,” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Berdasarkan penggabungan hadits-hadits tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa berbekam itu hukumnya makruh bagi yang lemah bila berbekam.

2. Muntah dan Bercelak
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud,).
Dari Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau memerintahkan agar mengoleskan celak ketika akan tidur dan bersabda, “Hendaklah dihindari oleh orang yang berpuasa,” (HR. Abu Daud dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bercelak tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Ibn Majah yang bersumber dari Aisyah : “Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercelak pada bulan Ramadhan padahal beliau sedang berpuasa”

3. Makan atau Minum karena Lupa
Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum” (HR. Jama’ah, kecuali An-Nasa’i).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Jumhur ulama berpendapat seperti demikian, mereka pun mengatakan, “Barangsiapa yang makan karena lupa, maka tidak memrusak puasanya. Tidak ada qadha maupun kaffarah (tebusan) atasnya”

4. Berkumur dan Mandi karena Cuaca Panas
Dari Umar, ia berkata, “Suatu hari aku Sangay bergairah, lalu aku mengecup padahal aku sedang berpuasa. Kemudian aku menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu kukatakan, ‘Aku telah melakukan perkara besar hari ini. Aku mengecup padahal aku sedang berpuasa,’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?’ Aku jawab, ‘Itu tidak apa-apa’. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Begitu juga pada mulut’” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman, dari seorang sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menuangkan air ke atas kepalanya akibat suhu yang panas, sementara beliau sedang berpuasa” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Imam Asy-Syaukani berkata :
Sabda beliau Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur…ini menunjukkan bahwa berkumur tidak mengurangi nilai puasa, walaupun tampaknya berkumur itu merupakan permulaan minum dan pendahuluannya. Demikian juga mencium, tidak mengurangi nilai puasa, walaupun mengecup merupakan pendorong dan pendahuluan bersetubuh.

5. Mencium Istri Bagi Yang Bisa Menahan Diri.
Dari Asilla dan Ummu Salamah,
أن النبي عليه الصلاة والسلام كان يُقَبِّلُ وهو صَائِمٌ
“Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mencium pada saat beliau berpuasa,” (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa. Maka beliau memberikan keringanan baginya. Lalu datang lagi orang lain (menanyakan hal yang sama), Namur beliau melarangnya. Ternyata, orang yang beliau beri keringanan itu hádala orang yang sudah tua, sedang yang beliau larang itu hádala orang yang maíz muda. (HR. Abu Daud).
Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat : Tidaklah batal bila keluar madzi karena mengecup, menyentuh atau berulang-ulang memandang istri. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan sebagian sahabat kami. Begitu juga mencicipi makanan dan melepekkannya lagi, atau mengoleskan madu di dalam mulut dan melepekkannya lagi, maka hal ini tidak apa-apa, seperti halnya berkumur dan istinsyaq (membersihkan hidung dengan cara menghirup air lalu mengeluarkannya lagi).
[Nailul Authar 2, hal. 356].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Kami katakan bahwa chuman itu tidak membatalkan puasa, sebab seandainya membatalkan puasa tentu Rasulullah tidak akan melakukannya.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 539].

Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan :
Kalau laki-laki menggumul wanita atau menciumnya tanpa menyentuh badan, bahkan antara mereka memakai penghalang, lalu keluar air mani, tidak batal puasanya, sebab tidak bersentuh kulit, seperti halnya bermimpi dan keluar mani karena melihat atau menghayal.
[Fathul Mu’in 1, hal. 623]

6. Junub Pada Pagi Hari
Dari Asilla dan Ummu Salamah, “Bahwasanya ketika pagi hari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah dalam kondisi junub karena jima’ (bersetubuh) bukan bermimpi kemudian beliau tetap berpuasa ramadhan” (Mutafaq ‘Alih).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa puasa orang yang ketika pagi hari dalam kondisi junub tetap sah dan tidak wajib mengqadha, baik junubnya karena jima’ atau lainnya. Ini hádala pendapat jumhur ulama. Mengenai hal ini, Imam An-Nawawi memastikan telah terjadi ijma’ atasnya.

7. Menelan Ludah.
Tidak batal puasa karena menelan ludah yang murni yang ia telan dari tempatnya (sumbernya), --yaitu sekeliling mulut—walaupun sesudah ditampungnya.

8. Makanan di sela-sela Gigi.
Apabila terdapat makanan disela-sela gigi, lalu ludah tertelan beserta sisa makanan ke perutnya dengan sendirinya, tanpa sengaja, hal itu tidak membatalkan puasa.

9. Kemasukan Air Ketika Mandi.
Jika seorang membasuh kedua telinganya ketika mandi janabat lalu airnya masuk ke dalam salah satu telinganya tidak batal puasanya walalupun ia dapat memiringkan kepalanya (agar tidak kemasukan air). Berbeda halnya dengan apabila orang mandi sambil menyelam, lalu air masuk ke dalam kuping atau hidung, maka sesungguhnya hal itu membatalkan puasa, walaupun dalam mandi wajib, sebab menyelam itu hukumnya makruh.
Dikecualikan bagi selain mandi janabat, yaitu mandi sunat dan mandi untuk mendinginkan badan, maka batal puasanya karena masuknya air waktu mandi semacam itu, walaupun tidak menyelam.
[Fathul Mu’in 1, hal. 629-634].

10. Bersiwak.
Imam Syafi’i berkata : Saya berpendapat bahwa siwak itu hukumnya tidak makruh, baik dengan menggunakan kayu yang basah atau kayu yang kering.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 543].

11. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

12. Mencicipi Makanan.
Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani Rahimahullahu Ta’ala di Al-Irwa no. 937)
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006


*Slawi, Ramadhan 1431 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...