Selasa, 31 Agustus 2010

ZAKAT FITRAH

ZAKAT FITRAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hukum Zakat Fitrah
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Zakat Fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, dan budak atau merdeka.
Dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu,
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat korma atau satu sukat tepung kepada hamba dan orang-orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat.” (Muttafaq Alaihi)
[lihat Bulughul Maram, hal. 259]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya zakat fitrah, karena beliau menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “mewajibkan”. Ishaq berkata, “Zakat fitrah hukumnya wajib secara ijma’”
Namun ada pendapat lain dari Dawud dan beberapa pengikut madzhab Asy-Syafi’iyah bahwa zakat fitrah hukumnya sunnah.
[Subulussalam 2, hal. 61].

Syekh Muhammad Abid As-Sindi dalam kitab musnad Syafi’i berkata :
Kaidah atau patokan zakat fitrah menurut madzhab Syafi’i adalah “Setiap orang yang nafkah penghidupannya dijamin oleh seseorang, maka zakat fitrahnya dibebankan kepada orang yang menjaminnya”. Hal yang sama dikatakan pula oleh madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik.
Menurut Madzhab Hanafi, zakat fitrah diwajibkan atas setiap orang yang nafkahnya dijamin oleh kita, dan kita mempunyai kekuasaan terhadapnya. Karena itu, anak tidak wajib menzakati orang tuanya, sekalipun si anak wajib menafkahinya, demikian pula terhadap istri.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 592].

Hikmah zakat fitrah adalah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin.

Banyaknya Zakat Fitrah
Jumlah yang wajib dikeluarkan pada zakat fitrah adalah satu sha’ atau satu sukat gandum, beras Belanda, kurma, anggur, keju, beras biasa, atau yang lainnya yang dianggap sebagai bahan makanan pokok.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata : Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat bahwa zakat fitrah boleh ditunaikan dengan jenis makanan pokok negerinya seperti beras dan sebagainya. Hal ini bisa dianggap sebagai kiasan terhadap jenis-jenis makanan tadi.
[Nailul Authar 2, hal. 335].

Abu Hanifah membolehkan zakat dengan memberikan uang yang sebanding. Ia juga berkata, “Apabila yang diberikan orang yang berzakat itu berupa gandum, maka cukup setengah sha”.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata,
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di tengah kami, kami mengeluarkan zakat fitrah itu untuk setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka ataupun budak adalah satu sha’ makanan, satu sha’ keju,, satu sha’ beras Belanda, satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur.
Kami selalu mengeluarkan sebanyak itu hingga datang Mu’awiyah untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Maka ia memberikan amanat kepada oranng banyak dari atas mimbar, diantaranya bahwa menurut apa yang disaksikannya, dua mud gandum dari Syam itu sama dengan setengah sha’ kurma. Orang-orangpun memegang ucapannya itu”.
“Adapun sha’” , kata Abu Sa’id, “tetap akan mengeluarkan sebanyak semula, selama aku diberi usia,” (HR. Jama’ah).
Waktu Wajibnya
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa para fuqaha telah sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib pada akhir Ramadhan, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai batas waktu wajib itu. Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’i dalam Al-Jadid serta menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka (selesainya) puasa Ramadhan. Akan tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dan menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbit fajar pada hari Lebaran.
Akibat pertikaian ini adalah menyangkut bayi yang lahir sebelum fajar hari lebaran dan yang sesudah terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fitrah atau tidak. Menurut golongan pertama (yang mewajibkan fitrah setelah matahari terbenam), hukumnya tidak wajib karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedangkan menurut golongan kedua, hukumnya adalah wajib karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.

Membayar Zakat Fitrah di Awal Ramadhan
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa menurut jumhur fuqaha, boleh memajukan pembayaran zakat fitrah sebelum hari raya sekitar satu atau dua hari.
Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu berkata, “Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai zakat fitrah agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar pergi shalat”.
Nafi’ berkata, “Biasanya, Ibnu Umar membayarnya satu atau dua hari di awal Ramadhan. Dan terjadi pertikaian bila seseorang membayar lebih maju daripada itu. Maka menurut Abu Hanifah, boleh dimajukan sampai sebelum bulan puasa. Syafi’I berkata bahwa boleh memajukannya hingga awal bulan. Dan menurut Malik, begitupun menurut yang lebih terkenal dari madzhab Ahmad, yaitu boleh dimajukan sekitar satu atau dua hari. (lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 598].
Para Imam sependapat bahwa zakat fitrah tidaklah gugur dengan mengundurkannya dari waktu wajib, melainkan menjadi utang yang menjadi tanggung jawabnya hingga lunas dibayar walau hingga ahir usia. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh menagguhkannya lebih dari hari lebaran, kecuali Ibnu Sirin dan Nakha’i yang berpendapat boleh ditangguhkan dari hari lebaran. Ahmad berkata, “Harapanku bahwa itu tidak menjadi apa,”.
Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin Siapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu menjadi zakat, namun siapa yang membayarnya sesudah salat, maka itu menjadi sedekah diantara bermacam-macam jenis sedekah” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah , dan Hakim menyatakan shahih).
[Fiqih Sunnah 2, hal. 1-3]

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Sabda beliau ‘untuk memberi makan kepada orang-orang miskin’ menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya dikhususkan untuk mereka saja, inilah pendapat orang dari Al-Aal. Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa zakat fitrah seperti zakat yang lainnya, ia dibagikan kepada delapan golongan tersebut.
[Subulussalam 2, hal. 65].

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa pihak yang berhak menerima zakat fitrah itu sama halnya dengan yang boleh menerima zakat, artinya fitrah itu hendaklah dibagikan kepada delapan golongan yang tersebut di dalam ayat,
ِإنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ واللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah 9 : 60).
Berdasarkan ayat di atas, yang berhak menerima zakat fitrah adalah :
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil (Panitia Zakat)
4. Muallaf (golongan yang baru masuk islam, atau orang islam yang lemah imannya).
5. Budak
6. Gharim (Orang yang berhutang)
7. Fi Sabilillah (Orang yang berjihad di medan perang).
8. Musafir (Orang yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat).

Fakir miskin merupakan golongan yang lebih utama menerimanya berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin”.
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah, sabda beliau, ‘Penuhilah kebutuhan mereka pada hari ini!’”
[Fiqih Sunnah 2, hal. 4]

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Seorang petugas zakat hendaklah memulai perhitungan zakatnya dengan mencatat orang-orang yang berhak menerima zakat kemudian mengelompokkan nereka berdasarkan kelompok masing-masing, kemudian setiap asnaf (golongan kelompok) dihitung berdasarkan jumlah kelompok tersebut. Lalu mulailah ia mencatat nama-nama orang fakir dan orang miskin, dimulai dari orang yang fakir.
Lalu setelah orang-orang fakir tersebut tercatat semua, barulah sisanya dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang miskin sampai orang-orang yang berada dalam batas terendah dari orang kaya (orang yang masih dianggap miskin).
Setelah itu dilanjutkan dengan nama-nama gharim (orang yang terlilit utang), bahkan jumlah utang masing-masing.
Kemudian dilanjutkan dengan mencatat nama-nama ibnu sabil (musafir), berikut jumlah harta (uang) yang diperlukan untuk biaya (transportasi) ke negeri yang dituju.
Kemudian nama-nama budak yang akan yang akan memerdekakan dirinya, berikut biaya yang diperlukan untuk membebaskan dirinya.
Kemudian nama-nama orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
Kemudian nama-nama muallaf dan nama-nama amil berikut bagian mereka masing-masing sesuai dengan pekerjaannya, dimana dengan pekerjaan tersebut orang-orang yang berhak menerima zakat bisa diketahui dengan wadah-wadah tertentu yang dikhususkan untuk masing-masing asnaf berikut jumlah yang terdapat dalam wadah tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 503-504].

Pengertian Fi Sabilillah
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Sabilillah adalah orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 504].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Sabilillah yaitu orang yang mengerjakan jihad (perang) karena Allah (bukan karena gaji dan sebagainya), walaupun ia orang kaya. Orang tersebut berhak diberi biaya untuk pakaian dan keluarganya, ongkos pergi dan pulang, serta biaya peralatan perang.
[Fathul Mu’in 1, hal. 587].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Menurut Malik dan Abu Hanifah, untuk peperangan membela agama Allah dan pertahanan.
Menurut ulama lain (Imam Ahmad) untuk orang-orang yang berhaji dan umroh,
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.
Sayyid Sabiq berkata :
Fi Sabilillah ialah jalan orang yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah berperang dan bagian fi sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Orang-orang inilah yang yang berhak menerima zakat, baik mereka yang miskin atau kaya.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 573]

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir mengutip hadits dari Sa’id Al-Khudri dimana Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيِّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٍ اَشْتَرَاهَا بِمَالِهِ, أَوْ غَارِمٍ, أَوْ غَازِ فِي سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِيْنٍ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ
Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali bila ia salah seorang dari lima ini, “Amil zakat, pembeli zakat dengan hartanya, piutang, mujahid di jalan Allah atau zakat yang didapatnya sebagai hadiah dari orang miskin. (HR. Abu Daud)
[Tafsir Ibnu Katsir 10, hal ]

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Fi Sabilillah maksudnya adalah para prajurit Islam yang berperang di jalan Allah dan para penjaga tapal batas daerah Islam. Mereka diberikan segala yang dibutuhkan untuk berperang beserta peralatannya, tanpa memandang latar belakang mereka, orang kaya atau miskin, semuanya diberikan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ini juga pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki.
[Tafsir Al-Qurthubi 8, hal. 451].

Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-Mahali dalam Tafsir Jalalain menjelaskan :
Sabilillah adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.
[Tafsir Jalalain 1, hal. 744].

Imam Al-Ghazali dalam kitab Bulughul Maram berkata :
Fi Sabilillah orang yang berperang, yaitu orang-orang yang tidak tercatat dalam buku orang-orang yang diberi gaji. Mereka diberi bagian meskipun mereka orang-orang kaya, sebagai bantuan bagi orang yang berperang itu.
[Ihya Ulumiddin 2, hal. 51].

Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz Zakah, menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, termasukdi antaranya adalah:
Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam, Menerbitkan tulisan tentang Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya, biaya pendidikan sekolah Islam, biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.
(http://blogcahyo.blogspot.com)

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’I, Jakarta, 2003.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.
-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang, 1990.
*Ramadhan 1431 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...