NIAT SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ من شُرُورِ
أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده
اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ له وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Renungan
Dari Ummul Mu’minin;
Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي
رواية مسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam
urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak.
[Riwayat Bukhari dan Muslim], dan dalam riwayat Muslim disebutkan: Barangsiapa
yang melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak sesuai dengan urusan (agama)
kami, maka amalan itu tertolak” [HR.
Al-Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718, 17, dan 18; Ahmad no. 256,
dan 270; Abu Dawud no. 4606; Ibnu Majah
no.14]
Pendahuluan
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وأما
النية فاتفق العلماء على كونها شرطا في صحة الصلاة لكون الصلاة هي رأس العبادات
التي وردت في الشرع
Para
ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat syah shalat. Sebab dalam syarak, niat
merupakan pangkal semua ibadah. [Bidayatul Mujtahid 1, hal. 264].
Umar bin
Alchattab Rodhiyallahu
‘anhu. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alihi wasallam
bersabda :
اِنَّمَاالْأَ عْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ مْرِىءٍ مَّانَوَى،
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ
وَرَسُوْلِهِ ، ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِمْرَأةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَجَرَ اِلَيْهِ
"Sesungguhnya Sahnya
suatu perbuatan tergantung niatnya. Dan yang teranggap bagi tiap orang
adalah menurut apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang
berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu
diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena keuntungan
dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya
terhenti pada apa yang ia niat hijrah kepadaNya. (HR. Buchari no. 1)
[lihat Riyadus Salihin 1, hal. 11 ; lihat Al-Jami'us Saghir 1,
hal. 31]
Definisi Niat
Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani dalam kitab Fat-hul
Mu’in arti niat menurut syara :
هو قصد الشيء مقترنا
بفعله
“Bermaksud sesuatu yang disertai
dengan mengerjakannya” [Fat-hul Mu’in 1, hal. 148]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa dalam
kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim menyatakan,
النيةُ هي
القصدُ والعزمُ على فعلِ الشيء ومَحلُّها القلبُ ، لا تعَلُّقَ لها باللسانِ أصلا
ولذلك لم ينقل عن النبي ولا عن أصحابه في النية لفظ بحال
"Arti
niat adalah menyengaja dan bermaksud secara sungguh-sungguh untuk melakukan
sesuatu. Tempatnya adalah di dalam hati dan ia tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan penuturan lisan. [Fiqih
Sunnah 1, hal. 187].
Melafadzkan Niat
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam tidak melafadzkan niat dalam
shalat dan tidak pula memerintahkan melafadzkan niat dalam shalat
Dari Abu Hurairah Rodhiyallahu ‘anhu., Nabi Shallallahu
‘alihi wasallam bersabda,
فَإِذَا قُمْتَ اِلىَ الصَّلاةِ فأسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ
فَكَبِّرْ
"Apabila kamu berdiri hendak
shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu
takbirlah" (Al-Hadits) [lihat Nailul Author 2, 477;
Bulughul Maram, hal. 112]
Dari Humaid Rodhiyallahu ‘anhu.,dia
berkata,
اَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم كانَ اِذَا قَامَ اِلىَ الصَّلاةِ اِعْتَدَلَ
قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ :
الله اَكْبَرْ
"Apabila Nabi Shallallahu
‘alihi wasallam berdiri hendak mengerjakan shalat, beliau berdiri tegak
lurus dan mengangkat kedua belah lengannya, lalu mengucapkan 'Allahu
Akbar'" (HR.Ibnu Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban) [lihat Fiqih Sunnah 1, hal. 188].
Dari Ummul Mu’minin
A’isyah Rodhiyallahu ‘anha berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ
“Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- membuka shalatnya dengan takbir” .[HR. Muslim dalam Ash-Shahih (498)]
Dari Rifa’ah bin Rafi’, ia berkata : Seorang laki-laki dating dan shalat
di masjid Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia dating memberi salam
kepada Nabi Shollallahu
‘alaihi wasallam. Lalu beliau berkata kepadanya :
أَعِدْ صَلَاتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ تَُصَلِّ فَعَادَ فَصَلَّى كَنَحْوٍ مِمَّا صَلَّى
فقال النبي صلى الله عليه وسلم أَعِدْ صَلَاتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ تَُصَلِّ فقال عَلَّمْنِي يا رسول الله كَيْفَ أُصَلِّى
قَالَ إِذَا تَوَجَّهْتَ إِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ
“Ulangilah shalatmu, karena sesungguhnya engkau belum mengerjakan
shalat”. Maka ia mengulangi shalatnya seperti yang pertama. Lalu Nabi Shollallahu ‘alaihi
wasallam berkata lagi kepadanya, “Ulangilah shalatmu karena
sesungguhnya engkau belum mengerjakan shalat”. Lalu ia berkata, “Ajarkanlah
kepadaku, wahai Rasulullah, bagaimana aku mengerjakan shalat”. Rasul Shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Apabila engkau menghadap kiblat, maka
bertakbirlah …dst”
[HR. Abu Daud, Muslim, Bab
“Shalat”]
Hadits-hadits tersebut diatas menggambarkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wasallam tidak melafadzkan niat dalam shalat dan
tidak pula memerintahkan melafadzkan niat dalam shalat.
Pendapat Para Ulama
Tentang Melafadzkan Niat Shalat
Abu Ishaq As-Sirozi
Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Muhadzdzab, mengatakan :
ومحل النية القلب فان نوى بقلبه
دون لسانه أجزأه ومن اصحابنا من قال ينوى بالقلب ويتلفظ باللسان وليس بشئ لان
النية هي القصد بالقلب
Tempat niat adalah di
dalam hati. Jika berniat di dalam hati dan tidak diucapkan dengan lisan
diperbolehkan. Sebagian sahabat kami berpendapat : “Berniat di hati dan
diucapkan secara lisan” Pendapat ini tidak benar, karena niat adalah
berkehendak dengan hati.
[Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab 3/525]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I
berkata :
الجهر
بالنّية وبالقراءة خلف الإمام ليس من السنّة، بل مكروه،
فإن حصل به تشويش على المصلّين فحرام، ومن قال بإن الجهر بلفظ النيّة
من السنّة فهو مخطئ، ولا يحلّ له ولا لغيره أن يقول في دين الله تعالى بغير
علم
“Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak
termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat
bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram
baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa
didasari ilmu. [Al A'lam 3/194 [10]
Zainuddin
bin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain
bimuhimmati ad-Din, Hal. 153 ;
. (و) سن (نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ) قبل
التكبير، لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القلبَ، وخُرُوجًا من خلافٍ من أوجبَهُ.
“Disunnahkan mengucapkan
niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati),
dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam
Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, juz I : 437
:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ
قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ
عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum
takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar
dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama
yang mewajibkannya”.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
والنية لا تقوم مقام التكبير ولا
تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Niat tidak bisa menggantikan kedudukan takbir,
namun niat tidak cukup apabila tidak disertai takbir, niat tidak mendahului
takbir dan tidak pula sesudahnya. (niat bersamaan dengan takbiratul ihram, pen).
[Lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 155].
Imam Syafi’i berkata :
حَكَيْنَا مِنْ
الْأَحَادِيثِ عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ
نِيَّةَ الْمُلَبِّي كَافِيَةٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُظْهِرَ مَا يُحْرِمُ بِهِ كَمَا
تَكُونُ نِيَّةُ الْمُصَلِّي مَكْتُوبَةً أَوْ نَافِلَةً أَوْ نَذْرًا كَافِيَةً
لَهُ مِنْ إظْهَارِ مَا يَنْوِي مِنْهَا
Hadits-hadits yang telah kami riwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan dalil bahwa niat sesorang yang ber-talbiyah
itu hanya di hati (tidak dilafadzkan), hal itu sudah cukup dan sah. Jadi
sesoerang yang berihram tidak perlu melafadzkan niat ihramnya. Hal ini
sebagaimana niat seseorang untuk shalat wajib, shalat sunnah atau shalat nadzar
yang hanya terdapat di dalam hati, maka hal itu sudah cukup dengan tidak perlu
dilafadzkan dengan lisan. [Ringkasan
Kitab Al-Umm 1, hal. 618].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih
Sunnah mengatakan :
وهذه العبارات التي أحدثت عند
افتتاح الطهارة والصلاة، قد جعلها الشيطان معتركا لاهل الوسواس
bahwa Penuturan niat pada
lisan pada saat memulai bersuci dan mengerjakan shalat akan membukakan ruang
kepada syetan untuk selalu mengganggu dan menanamkan rasa was-was dalam diri
seseorang. [Fiqih Sunnah 1, hal.
187]
Kesimpulan :
- Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa niat merupakan salah satu rukun shalat,
sehingga tanpa niat shalat tidak sah.
- Para Ulama sepakat (ijma’) bahwa niat tempatnya di dalam hati.
- Para ulama berbeda pendapat tentang hokum melafadzkan niat shalat,
sebagian berpendapat sunnah, sebagian berpendapat bid’ah atau makruh.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar