AIR YANG BERCAMPUR DENGAN BENDA LAIN
Oleh
: Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
ان
الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiquh sunnah berkata :
Air yang bercampur dengan
barang yang suci, misalnya sabun, lumut, tepung dan lain-lain yang biasanya
terpisah dari air, hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara.
Jika sudah tidak terpelihara, hingga ia tak dapat lagi dikatakan sebagai air
mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya dan tidak menyucikan bagi
lainnya.
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi kami di saat kami sedang memandikan puterinya,
lalu bersabda:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا
أَوْ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ
فِي اْلأَخِرَةِ كاَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كاَفُوْرٍ, فَإِذَا فَرَغْتُنَّ
فَآذِنَّنِى. فَلَمَّا فَرَغْنَا أَذَناَّهُ فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ،
فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ.
“Mandikanlah
ia dengan air yang dicampur daun bidara sebanyak tiga atau lima kali atau lebih
dari itu jika menurut kalian diperlukan, dan jadikanlah akhir pencuciannya
dengan air kapur barus atau air yang dicampur sedikit kapur barus. Apabila
kalian telah selesai beritahukanlah aku. Manakala kami telah selesai, kami
memberitahu beliau, kemudian beliau melemparkan kain kepada kami dan bersabda,
‘Jadikanlah kain ini sebagai pembungkusnya.’” (HR. Bukhari no. 640; Ibnu Majah no. 1458)
Sebagaimana yang telah diketahui, mayat tidak boleh dimandikan kecuali
dengan air yang suci lagi menyucikan untuk orang yang masih hidup.
Menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ
إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Maimunah pernah mandi
dari satu bejana dalam satu ember besar bekas adonan. [HR.
Ibnu Majah No.372].
Jadi,
di dalam kedua hadits tersebut terdapat percampuran, tetapi tidak sampai
menyebabkan air menjadi tidak mutlak. [Fiqih Sunnah 1/16].
Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayatul Mujtahid berkata :
الْمَاءُ الَّذِي خَالَطَهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ غَيْرُهُ مِنَ الْأَشْيَاءِ
الطَّاهِرَةِ الَّتِي تَنْفَكُّ مِنْهُ غَالِبًا مَتَى غَيَّرَتْ أَحَدَ
أَوْصَافِهِ، فَإِنَّهُ طَاهِرٌ عِنْدَ جَمِيعِ الْعُلَمَاءِ غَيْرُ مُطَهِّرٍ
عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ، وَمُطَهِّرٌ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ مَا لَمْ
يَكُنِ التَّغَيُّرُ عَنْ طَبْخٍ.
وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمْ هُوَ خَفَاءُ تَنَاوُلِ اسْمِ الْمَاءِ
الْمُطْلَقِ لِلْمَاءِ الَّذِي خَالَطَهُ أَمْثَالُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ،
Air yang bercampur dengan
za’faran atau benda dan zat lain yang suci, keadaannya tetap dianggap suci
menurut jumhur ulama. Menurut Malik dan Syafi’i air itu tidak suci. Sedang
menurut Abu Hanifah air itu tetap suci dalam perubahan yang terjadi pada air
tidak karena dimasak.
Sebab perbedaan itu adalah
ketidakjelasan maksud air mutlak, apakah air yang sudah tercampur za’faran itu
masuk kriteria air mutlak.
وَالْحَقُّ أَنَّ الِاخْتِلَاطَ يَخْتَلِفُ بِالْكَثْرَةِ وَالْقِلَّةِ،
فَقَدْ يَبْلُغُ مِنَ الْكَثْرَةِ إِلَى حَدٍّ لَا يَتَنَاوَلُهُ اسْمُ الْمَاءِ
الْمُطْلَقِ مِثْلَ مَا يُقَالُ مَاءُ الْغُسْلِ، وَقَدْ لَا يَبْلُغُ إِلَى
ذَلِكَ الْحَدِّ، وَبِخَاصَّةٍ مَتَى تَغَيَّرَتْ مِنْهُ الرِّيحُ فَقَطْ،
وَلِذَلِكَ لَمْ يَعْتَبِرِ الرِّيحَ قَوْمٌ مِمَّنْ مَنَعُوا الْمَاءَ الْمُضَافَ
Yang
benar adalah bahwa percampuran tersebut tergantung pada jumlahnya, sedikit atau
banyak. Terkadang percampuran itu sebegitu banyaknya sehingga air tersebut
tidak bisa lagi disebut air mutlak, seperti ‘Air Mandi’ (musta’mal). Dan terkadang tidak sampai demikian meskipun
percampurannya banyak, terutama kalau yang berubah hanya baunya saja.
Karenanya, sebagian orang tidak menganggap perubahan bau sebagai hal yang
menyebabkan hilangnya status mutlak.
[Bidayatul Mujtahid 1/44].
Imam Syafi'i berkata:
فَإِذَا تَغَيَّرَ
الْمَاءُ الْقَلِيلُ أَوْ الْكَثِيرُ فَأَنْتَنَ أَوْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ بِلَا
حَرَامٍ خَالَطَهُ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ، وَكَذَلِكَ لَوْ بَالَ فِيهِ
إنْسَانٌ فَلَمْ يَدْرِ أَخَالَطَهُ نَجَاسَةٌ أَمْ لَا وَهُوَ مُتَغَيِّرُ
الرِّيحِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الطَّعْمِ فَهُوَ عَلَى الطَّهَارَةِ حَتَّى
تُعْلَمَ نَجَاسَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُتْرَكُ لَا يُسْتَقَى مِنْهُ فَيَتَغَيَّرُ،
وَيُخَالِطُهُ الشَّجَرُ وَالطُّحْلُبُ فَيُغَيِّرُهُ
Apabila air yang sedikit atau banyak telah berubah sehingga membusuk atau
berubah warnanya dikarenakan bercampur dengan sesuatu yang tidak haram, maka
air itu dikategorikan sebagi air yang suci. Demikian juga halnya apabila
seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui apakah air itu bercampur
najis atau tidak sementara wama, bau dan rasanya telah berubah, maka air itu
tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab najisnya. Karena
ketika air itu dibiarkan dan tidak diambil sebagai air minum, maka barangkali
saja ia berubah dikarenakan bercampur dengan daun kayu dan lain sebagainya.
Imam
Syafi'i berkata:
وَإِذَا وَقَعَ فِي
الْمَاءِ شَيْءٌ حَلَالٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا، وَلَمْ يَكُنْ
الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ
يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطْرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ
وَإِنْ أَخَذَ مَاءً
فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا
فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا
يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوبٌ
وَإِنْ طُرِحَ مِنْهُ
فِيهِ شَيْءٌ قَلِيلٌ يَكُونُ مَا طُرِحَ فِيهِ مِنْ سَوِيقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ
مُسْتَهْلَكًا فِيهِ، وَيَكُونُ لَوْنُ الْمَاءِ الظَّاهِرُ وَلَا طَعْمَ لِشَيْءٍ
مِنْ هَذَا فِيهِ تَوَضَّأَ بِهِ، وَهَذَا مَاءٌ بِحَالِهِ
Apabila sesuatu yang halal terjatuh pada air dan merubah bau dan rasanya,
akan tetapi air tidak menjadi rusak olehnya, maka seseorang bisa menggunakannya
untuk berwudhu; seperti apabila yang jatuh ke dalam air itu adalah kayu
sehingga menimbulkan aroma tersendiri.
Adapun
jika air bercampur dengan susu, tepung, madu
atau yang lainnya, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu
tidak dapat digunakan untuk berwudhu dikarenakan air yang didominasi oleh
benda-benda itu dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, seperti dikatakan;
air tepung, air susu, atau air madu yang bercampur.
Kemudian
apabila sesuatu yang mempunyai kadar rendah dimasukkan ke dalam air tersebut;
baik berupa tepung, susu atau madu, lalu benda-benda ini tampak pada air
tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh digunakan
untuk berwudhu, sebab air itu tidak berubah.
Imam
Syafi'i berkata:
وَلَوْ صُبَّ فِيهِ
دُهْنٌ طَيِّبٌ أَوْ أُلْقِيَ فِيهِ عَنْبَرٌ أَوْ عُودٌ أَوْ شَيْءٌ ذُو رِيحٍ
لَا يَخْتَلِطُ بِالْمَاءِ فَظَهَرَ رِيحُهُ فِي الْمَاءِ تَوَضَّأَ بِهِ؛
لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْهُ يُسَمَّى الْمَاءُ مَخُوضًا بِهِ،
وَلَوْ كَانَ صُبَّ فِيهِ
مِسْكٌ أَوْ ذَرِيرَةٌ أَوْ شَيْءٌ يَنْمَاعُ فِي الْمَاءِ حَتَّى يَصِيرَ
الْمَاءُ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ مِنْهُ فَظَهَرَ فِيهِ رِيحٌ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِهِ؛
لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ مَاءٌ مَخُوضٌ بِهِ
Jika minyak wangi, miyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang mempunyai
aroma dituangkan ke dalam air, namun tidak dapat melebur di dalamnya melainkan
menimbulkan bau, maka dibolehkan berwudhu dengan air itu, karena tidak ada
sesuatu pun dari benda-benda tersebut yang bercampur dengannya.
Jika dituangkan minyak kesturi atau dzarirah (sejenis
wangi-wangian) atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan
tidak dapat dibedakan, lalu timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudhu
dengan air itu, karena dia bukan air lagi, tapi air yang bercampur dengan
benda. [Al-Umm
1/17-18]..
Imam Nawawi dalam kitab
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :
وَأَمَّا صِفَةُ التَّغَيُّرِ فَإِنْ كَانَ تَغَيُّرًا كَثِيرًا سَلَبَ
قَطْعًا: وَإِنْ كَانَ يَسِيرًا بِأَنْ وَقَعَ فِيهِ قَلِيلُ زَعْفَرَانٍ
فَاصْفَرَّ قَلِيلًا أَوْ صَابُونٌ أَوْ دَقِيقٌ فَابْيَضَّ قَلِيلًا بِحَيْثُ لَا
يُضَافُ إلَيْهِ فَوَجْهَانِ
الصَّحِيحُ منهما انه طهور لبقاء الاسم هكذا صححه الخراسانيون وهو المختار:
وَالثَّانِي لَيْسَ بِطَهُورٍ نَقَلَهُ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَغَيْرُهُ
عَنْ الْعِرَاقِيِّينَ وَالْقَفَّالُ: وَوَجْهُهُ الْقِيَاسُ عَلَى النَّجَاسَةِ
فَلَا فَرْقَ فِيهَا بَيْنَ التَّغَيُّرِ الْكَثِيرِ وَالْيَسِيرِ: ويجاب عن هذا
للمذهب الْمُخْتَارِ بِأَنَّ بَابَ النَّجَاسَةِ أَغْلَظُ
Adapun sifat perubahan, jika
itu perubahan yang banyak, maka tentu menghilangkan sifat kesucian air. Jika
perubahan itu sedikit, yaitu terdapat sedikit kunyit di dalamnya lantas
warnanya menjadi sedikit kuning, atau sabun atau tepung lantas warnanya menjadi
sedikit putih dengan tidak membaur secara keseluruhan, maka terdapat dua
pendapat :
1. Yang
shahih dari keduanya adalah air itu suci. Pendapat ini shahih menurut ulama
Khurasan dan inilah yang dipilih madzhab ini.
2. Tidak
suci. Pendapat ini dinukil oleh Imam Al-Haramain dan lainnya dari ulama Irak
dan Al-Qaffal. Alasannya adalah karena diqiyaskan dengan najis, maka dalam hal
ini tidak ada perbedaan antara perubahan yang banyak dengan perubahan yang sedikit.
Pandangan yang dipilih ini dapat dijawab bahwa pembahasan tentang najis lebih
berat.
[Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab 1/285].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar