AIR SUCI DAN MENSUCIKAN
Oleh
: Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
ان
الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Sucinya Air Laut
Dari
Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -،
فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ» أَخْرَجَهُ
الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ،
Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang (hukum) air laut:
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Tirmidziyy, Nasaa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan
lafazhnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Tirmidziyy dan telah
diriwayatkan pula oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad, Bulughul Maram no.1)
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab
subulussalam :
قَالَ الزَّرْقَانِيُّ فِي شَرْحِ الْمُوَطَّأِ: وَهَذَا
الْحَدِيثُ أَصْلٌ مِنْ أُصُولِ الْإِسْلَامِ، تَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ
بِالْقَبُولِ، وَتَدَاوَلَهُ فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ فِي سَائِرِ الْأَعْصَارِ فِي
جَمِيعِ الْأَقْطَارِ، وَرَوَاهُ الْأَئِمَّةُ الْكِبَارُ،
Az-Zarqani berkata dalam Syarah
Al-Muwatha: “Hadits ini salah satu dasar dari poko-pokok islam, telah diterima
oleh umat, sangat populer dikalangan ulama fiqih di semua negeri, pada setiap
masa, dan diriwayatkan oleh para imam besar” [Subulussalam 1/34]
Imam Ash-Shan’ani juga berkata :
ثُمَّ الْمُرَادُ مَا مَاتَ فِيهِ مِنْ دَوَابِّهِ مِمَّا لَا
يَعِيشُ إلَّا فِيهِ، لَا مَا مَاتَ فِيهِ مُطْلَقًا، فَإِنَّهُ وَإِنْ صَدَقَ
عَلَيْهِ لُغَةً أَنَّهُ مَيْتَةُ بَحْرٍ فَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا يُرَادُ إلَّا
مَا ذَكَرْنَاهُ،
Yang dimaksud dengan bangkai air laut
adalah binatang laut yang mati di dalamnya. Yakni binatang yang hanya hidup di
laut, tidak berarti semua binatang yang mati di dalamnya secara mutlak. Karena
meskipun secara bahasa benar bangkai laut, akan tetapi sudah maklum bahwa yang
dimaksud adalah apa yang telah kami sebutkan. [Subulussalam 1/35]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul
Authar berkata :
قَالَ ابْنُ الْمُلَقِّنِ: إنَّهُ حَدِيثٌ عَظِيمٌ، أَصْلٌ مِنْ
أُصُولِ الطَّهَارَةِ مُشْتَمِلٌ عَلَى أَحْكَامٍ كَثِيرَةٍ وَقَوَاعِدَ مُهِمَّةٍ
Ibnu Al-Mulkin mengatakan, “Ini hadits
yang agung, merupakan salah satu pokok thaharah (bersuci) yang mengandung banyak
hukum dan kaidah-kaidah utama” [Bustanul Ahbar 1/8].
Sesungguhnya Air Itu Suci
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radliallahu ‘anhu ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ»
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu
suci tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya” (Diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, dan telah dishahihkan oleh Ahmad, Bulughul Maram
no.2)
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab
subulussalam :
فَذَهَبَ الْقَاسِمُ، وَيَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، وَجَمَاعَةٌ
مِنْ الْآلِ، وَمَالِكٌ وَالظَّاهِرِيَّةُ، وَأَحْمَدُ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ،
وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، إلَى أَنَّهُ طَهُورٌ، قَلِيلًا كَانَ أَوْ
كَثِيرًا، عَمَلًا بِحَدِيثِ «الْمَاءُ طَهُورٌ» وَإِنَّمَا حَكَمُوا بِعَدَمِ
طَهُورِيَّةِ مَا غَيَّرَتْ النَّجَاسَةُ أَحَدَ أَوْصَافِهِ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى
ذَلِكَ، كَمَا يَأْتِي الْكَلَامُ عَلَيْهِ قَرِيبًا.
وَذَهَبَ الْهَادَوِيَّةُ، وَالْحَنَفِيَّةُ، وَالشَّافِعِيَّةُ، إلَى قِسْمَةِ الْمَاءِ إلَى قَلِيلٍ تَضُرُّهُ النَّجَاسَةُ مُطْلَقًا، وَكَثِيرٍ لَا تَضُرُّهُ إلَّا إذَا غَيَّرَتْ بَعْضَ أَوْصَافِهِ
وَذَهَبَ الْهَادَوِيَّةُ، وَالْحَنَفِيَّةُ، وَالشَّافِعِيَّةُ، إلَى قِسْمَةِ الْمَاءِ إلَى قَلِيلٍ تَضُرُّهُ النَّجَاسَةُ مُطْلَقًا، وَكَثِيرٍ لَا تَضُرُّهُ إلَّا إذَا غَيَّرَتْ بَعْضَ أَوْصَافِهِ
Al-Qasim, Yahya bin Hamzah dan
sekelompok pengikutnya, Malik dan Azh-Zhahiriyyah berpendapat bahwa air itu
suci baik sedikit maupun banyak, berdasarkan hadits, “Air itu suci”. Hanya
saja, mereka menghukumi ketidaksucian air jika berubah salah satu sifatnya
sebab terkena najis, berdasarkan kesepakatan ulama atas hal tersebut,
sebagaimana yang sebentar lagi akan dibahas.
Menurut golongan Al-Hadawiyah dan
Asy-Syafi’iyah, mereka membagi air dalam dua katagori, air sedikit yang dapat
dirusak oleh najis secara mutlak, dan air banyak yang tidak dapat dirusak
kecuali jika dapat merubah salah satu dari sifat-sifatnya. [Subulussalam 1/37]
Imam Ash-Shan’ani berkata :
وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إلَى تَحْدِيدِ الْكَثِيرِ مِنْ
الْمَاءِ بِمَا إذَا حَرَّكَ أَحَدَ طَرَفَيْهِ آدَمِيٌّ لَمْ تَسِرْ الْحَرَكَةُ
إلَى الطَّرَفِ الْآخَرِ، وَهَذَا رَأْيُ الْإِمَامِ، أَمَّا رَأْيُ صَاحِبَيْهِ:
فَعَشْرَةٌ فِي عَشْرَةٍ، وَمَا عَدَاهُ فَهُوَ الْقَلِيلُ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إلَى تَحْدِيدِ الْكَثِيرِ مِنْ الْمَاءِ بِمَا بَلَغَ قُلَّتَيْنِ مِنْ قِلَالِ هَجَرَ، وَذَلِكَ نَحْوُ خَمْسِمِائَةِ رِطْلٍ عَمَلًا بِحَدِيثِ الْقُلَّتَيْنِ، وَمَا عَدَاهُ فَهُوَ الْقَلِيلُ
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إلَى تَحْدِيدِ الْكَثِيرِ مِنْ الْمَاءِ بِمَا بَلَغَ قُلَّتَيْنِ مِنْ قِلَالِ هَجَرَ، وَذَلِكَ نَحْوُ خَمْسِمِائَةِ رِطْلٍ عَمَلًا بِحَدِيثِ الْقُلَّتَيْنِ، وَمَا عَدَاهُ فَهُوَ الْقَلِيلُ
Al-Hanafiyah berkata, “Batasan air yang
banyak adalah air yang apabila seseorang menggerakkan salah satu ujungnya,
gerakan tersebut tidak sampai pada ujung lainnya. Selain itu berarti sedikit”.
Sementara Asy-Syafi’iyah berkata, “Air
yang banyak adalah air yang sampai dua qullah menurut ukuran qullah bani Hajar,
yaitu sekitar 500 liter, berdasarkan hadits tentang air dua qullah, dan jika
kurang berarti sedikit” [Subulussalam 1/38]
Hukum Air Yang Terkena Najis
Dari Abu Umamah Al Bahili Radliallahu ‘anhu ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ
وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ» أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ -
وَلِلْبَيْهَقِيِّ «الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ،
أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ»
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu
(suci) tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali apabila telah berubah
baunya atau rasanya atau warnanya.” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan telah di-dlaif-kan oleh Abu Hatim,).
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya,
rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya." (Bulughul Maram no.3).
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab
subulussalam :
قَالَ " ابْنُ الْمُنْذِرِ ": أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ
عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ وَالْكَثِيرَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ
فَغَيَّرَتْ لَهُ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رِيحًا فَهُوَ نَجِسٌ
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa air
sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh kedalamnya lalu merubah rasa,
warna atau baunya, maka air itu najis, [Subulussalam 1/42]
Dari Abu
Said Al Khudri RA, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَتَوَضَّأُ مِنْ ... بِئْرِ
بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلابِ
وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ ... رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -:
«الْمَاءُ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» . رَوَاهُ أَحْمَدَ
وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ: حَدِيثُ بِئْرِ بُضَاعَةَ صَحِيحٌ
"Wahai Rasulullah, Apakah
kita akan berwudhu dengan memakai air sumur Budho'ah? Sedangkan sumur tersebut
biasa di airi air hujan, yang membawa kain bekas darah haid, daging-daging
anjing, dan kotoran manusia? "Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, "Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh
sesuatu apapun. " (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, ia
mengatakan “hadits hasan”. Ahmad bin Hanbal mengatakan “hadits sumur budha’ah
shahih” ; Nailul Authar no. 22)
Imam Asy-Syaukani berkata :
الْحَدِيثُ يَدُلُّ أَنَّ الْمَاءَ لا يَتَنَجُسُ بِوُقُوعِ
شَيْءٍ فِيهِ سَوَاءٌ كَانَ قَلِيلاً أَوْ كَثِيرًا وَلَوْ تَغَيَّرَتْ أَوْصَافُهُ
أَوْ بَعْضُهَا، لَكِنَّهُ قَامَ الإِجْمَاعُ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ إذَا تَغَيَّرَ
أَحَدُ أَوْصَافِهِ بِالنَّجَاسَةِ خَرَجَ عَنْ الطَّهُورِيَّةِ
Hadits ini menunjukkan bahwa air tidak
najis karena kejatuhan sesuatu, baik air itu sedikit atau banyak, bahkan
sekalipun sifatnya atau sebagian sifatnya berubah. Namun ijma’ menunjukkan
bahwa bila air itu telah berubah salah satu sifatnya (rasa, warna atau baunya)
karena kejatuhan najis, maka air itu keluar dari kesuciannya. [Bustanul Ahbar 1/20].
Kadar Air Dua Qullah
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
«إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» وَفِي لَفْظٍ "
لَمْ يَنْجُسْ " أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung
kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan
oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban,
Bulughul Maram no.4).
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab
subulussalam :
وَقَدْ سَبَقَتْ الْإِشَارَةُ إلَى أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ هُوَ
دَلِيلُ الشَّافِعِيَّةِ فِي جَعْلِهِمْ الْكَثِيرَ مَا بَلَغَ قُلَّتَيْنِ وَسَبَقَ
اعْتِذَارُ الْهَادَوِيَّةِ وَالْحَنَفِيَّةِ عَنْ الْعَمَلِ بِهِ لِلِاضْطِرَابِ
فِي مَتْنِهِ إذْ فِي رِوَايَةٍ [إذَا
بَلَغَ ثَلَاثَ قِلَالٍ] وَفِي رِوَايَةٍ [قُلَّةً]
وَبِجَهَالَةِ قَدْرِ الْقُلَّةِ وَبِاحْتِمَالِ مَعْنَاهُ
Hadits ini telah diisyaratkan terdahulu, bahwa ia
merupakan dalil Asy-Syafi’iyah dalam hal menjadikan air yang banyak yaitu yang
sampai dua qullah. Telah dijelaskan bahwa Al-Hadawiyah dan Al-Hanafiah tidak
mengamalkannya karena alasan idhtirab
(goncang) pada matannya, dimana dalam satu riwayat, “Jika sampai tiga qullah”,
dan dalam riwayat lainnya, “satu qullah”, juga lantaran tidak diketahuinya
ukuran satu qullah itu, dan maknanya mengandung kemungkinan lain.[Subulussalam 1/43]
Larangan Buang Air Pada Air Yang Tergenang
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ - وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ
الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي
دَاوُد: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak
mengalir) ketika dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.
Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali
seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir
kemudian dia mandi di dalamnya."
Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah
seseorang mandi junub di dalamnya."
Imam Ash-Shan’ani berkata dalam kitab
subulussalam :
قَالَ فِي الشَّرْحِ:
وَهَذَا النَّهْيُ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ لِلْكَرَاهَةِ، وَفِي الْمَاءِ
الْقَلِيلِ لِلتَّحْرِيمِ
Abu Dawud berkata dalam kitab Asy-Syarh,
“Larangan ini jika pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air
yang sedikit menunjukkan haram” [Subulussalam 1/42]
Imam Asy-Syaukani mengatakan :
والبولُ في الماءِ ينجسه إذا كان قلِيلاً، ويقذره إذا كان
كثيرًا، فلذلك ورد النهي عن البول فيه مطلقًا
Kencing pada air yang sedikit akan
menyebabkannya menjadi najis, dan bila banyak akan menyebabkannya menjadi
kotor. Karena itulah ada larangan mutlak kencing di air.
[Bustanul Ahbar 1/20].
Kesimpulan
- Para Ulama
sepakat (ijma’) tentang kesucian air laut dan kehalalan bangkainya.
- Para Ulama
sepakat (ijma’) bahwa bila air itu telah berubah salah satu sifatnya
(rasa, warna atau baunya) karena kejatuhan najis, maka air itu keluar dari
kesuciannya.
- Mayoritas ulama
melarang kencing pada air yang tergenang baik air itu banyak atau sedikit.
Wallahu a’lam.
(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar