PUASA
SYAWAL
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
إنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ
بِاَللَّهِ من شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا من يهده اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ له وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ له وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Hukum Puasa 6 Hari di Bulan Syawal
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu
‘anhu bahwa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
مِنْ شَوَّالَ كَانَ
كَصِيَامِ الدَّهْرِ. مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan
Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia
seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim (no. 1164), Abu Dawud (no. 2433), At-Tirmidzi (no.
759), An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa (2/no. 2862))
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab
Subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ
صَوْمِ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ وَهُوَ مَذْهَبُ جَمَاعَةٍ مِنْ الْآلِ
وَأَحْمَدَ وَالشَّافِعِيِّ (وَقَالَ) مَالِكٌ يُكْرَهُ صَوْمُهَا قَالَ:
لِأَنَّهُ مَا رَأَى أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا وَلِئَلَّا يُظَنَّ
وُجُوبُهَا (وَالْجَوَابُ) أَنَّهُ بَعْدَ ثُبُوتِ النَّصِّ بِذَلِكَ لَا حُكْمَ
لِهَذِهِ التَّعْلِيلَاتِ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ
إنَّهُ لَمْ يَبْلُغْ مَالِكًا هَذَا الْحَدِيثُ يَعْنِي حَدِيثُ مُسْلِمٍ
Hadits ini merupakan dalil
dianjurkannya berpuasa enam hari di bulan Syawal, dan inilah pendapat beberapa
golongan dari al-Aal, Ahmad dan Syafi’i. Sedangkan Malik berpendapat bahwa
hukumnya makruh. Ia berkata, “Karena saya tidak melihat seorangpun dari ahli
ilmu yang melakukannya dan agar puasa tersebut tidak dianggap wajib”. Bantahan
atas pendapat ini, bahwa setelah jelas ada dalil atas puasa tersebut maka semua
alasan di atas tidak berguna lagi. Dan alangkah indahnya komentar Ibnu Abdil
Barr, “Hadits ini belum sampai kepada Malik, yakni hadits Muslim” [Subulussalam,
2/156]
Beliau juga berkata :
وَإِنَّمَا شَبَّهَهَا بِصِيَامِ
الدَّهْرِ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشْرَةِ
أَشْهُرٍ وَسِتٌّ مِنْ شَوَّالٍ بِشَهْرَيْنِ
Kemudian, puasa ini disamakan
dengan puasa setahun karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali
lipat. Maka puasa Ramadhan dihitung sepuluh bulan, sedangkan enam hari di bulan
Syawal dihitung dua bulan. [Subulussalam, 2/157]
Dari Tsauban radliyallaahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ
بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ
تَمَامُ السَّنَةِ.
”Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan
maka puasa sebulan itu sama dengan sepuluh bulan; dan dengan puasa enam hari
setelah berbuka (‘Iedul-Fithri), maka ia melengkapi puasa setahun”. (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (2/no.
2860 & 2861), Ibnu Majah (no. 1715), Ahmad (5/280), Ad-Darimi (2/21), Ibnu
Khuzaimah (no. 2115), Al-Baihaqiy dlam Al-Kubraa (4/393))
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul-Authaar :
اُسْتُدِلَّ بِأَحَادِيثِ
الْبَابِ عَلَى اسْتِحْبَابِ صَوْمِ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ، وَإِلَيْهِ
ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ، وَبِهِ قَالَتْ
الْعِتْرَةُ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ: يُكْرَهُ صَوْمُهَا،
وَاسْتَدَلَّا عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهُ رُبَّمَا ظَنَّ وُجُوبَهَا وَهُوَ بَاطِلٌ
لَا يَلِيقُ بِعَاقِلٍ فَضْلًا عَنْ عَالِمٍ نَصَّبَ مِثْلَهُ فِي مُقَابَلَةِ
السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ الصَّرِيحَةِ، وَأَيْضًا يَلْزَمُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي
سَائِرِ أَنْوَاعِ الصَّوْمِ الْمُرَغَّبِ فِيهَا وَلَا قَائِلَ بِهِ
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ عَلَى
الْكَرَاهَةِ بِمَا قَالَ فِي الْمُوَطَّأِ مِنْ أَنَّهُ مَا رَأَى أَحَدًا مِنْ
أَهْلِ الْعِلْمِ يَصُومُهَا، وَلَا يَخْفَى أَنَّ النَّاسَ إذَا تَرَكُوا
الْعَمَلَ بِسُنَّةٍ لَمْ يَكُنْ تَرْكُهُمْ دَلِيلًا تُرَدُّ بِهِ السُّنَّةُ
Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan dianjurkannya
puasa enam hari di bulan Syawal. Ini merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad, Dawun
dan para ulama selain mereka.
“Abu Hanifah dan Malik berkata : ‘Makruh hukumnya puasa
Syawal’. Mereka berargumentasi bahwa mungkin itu akan dianggap puasa wajib. Ini
adalah pendapat yang bathil dan tidak pantas dilakukan oleh orang yang memiliki
akal pikiran, apalagi seorang ulama seperti mereka dalam menentang sunnah yang
shahih dan sharih (jelas). Kemudian pandangan seperti itu akan
berlaku pula pada semua puasa yang dianjurkan agama dan tak seorang pun yang
mengatakan demikian.
Sementara Malik berargumentasi dalam memakruhkannya
sebagaimana yang ia katakan dalam Al-Muwaththa’ bahwa ia tidak
pernah melihat seorang pun ulama yang melakukannya. Padahal sangat jelas bahwa
bila manusia tidak mengamalkan sunnah, tidak berarti itu dapat menolak sunnah”
[Nailul-Authaar (4/282)].
Ibnu Ruysd berkata :
إِلَّا أَنَّ مَالِكًا كَرِهَ
ذَلِكَ، إِمَّا مَخَافَةَ أَنْ يُلْحِقَ النَّاسُ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ فِي
رَمَضَانَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْهُ الْحَدِيثُ أَوْ لَمْ
يَصِحَّ عِنْدَهُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ.
Malik memakruhkan puasa syawal, mungkin karena khawatir puasa
yang bukan Ramadhan itu dianggap Ramadhan, atau karena hadits tersebut tidak
sampai kepadanya, atau karena dianggap tidak sahih. [Bidayatul Mujtahid,
1/694].
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata
dalam Syarh Muslim :
قال العلماء: وإنما كان
ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين، وقد
جاء هذا في حديث مرفوع في كتاب النسائي
”Para ulama mengatakan bahwa hal itu sebanding dengan puasa
setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan
Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan
puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam
kitab An-Nasa’i” [Syarh Muslim (3/238)].
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy :
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ
صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِن شَوَّال مُستَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ. رُوِيَ ذلك عَنْ كَعْب الأَحْبَاب، وَالشَّعْبِيِّ، وَمَيْمُونِ بن
مِهْرَانَ. وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ.
“Kesimpulan dari hal itu adalah bahwa puasa enam hari pada
bulan Syawwal disunnahkan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama’ dan hal itu
diriwayatkan dari Ka’ab Al-Ahbar, Asy-Sya’bi, dan Maimun bin Mihran; dan hal
ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy” [Al-Mughniy (4/438)].
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :
لا بأس بصيامها إنما قال
النبي {صلى الله عليه وسلم} ستة ايام من شوال فإذا صام ستة ايام من شوال لا يبالي
فرق او تابع
“Tidak mengapa ia berpuasa, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :’Enam hari dari bulan Syawwal’.
Maka bila seseorang berpuasa enam hari tersebut, tidak masalah apakah ia
dilakukan secara acak atau berturutan”. [Masaa’il Abdullah (hal. 193)]
Ibnu Rajab dalam Lathaaiful-Ma’aarif setelah
menyebutkan atsar Al-Hasan mengatakan :
ولعله إنما أنكر على من
اعتقد وجوب صيامها وأنه لا يكتفي بصيام رمضان عنها في الوجوب وظاهر كلامه يدل على
هذا
“Barangkali pengingkarannya itu ditujukan terhadap orang yang
meyakini puasa enam hari itu wajib, dan menurutnya puasa Ramadlan telah menjadi
kewajiban untuk satu tahun. Dhahir perkataannya memang menunjukkan itu” [Lathaaiful-Ma’aarif (hal.
398)].
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Malik menyatakan makruh.
Abu Yusuf berkata :
كانوا يكرهون أن يتبعوا
رمضان صوما خوفا أن يلحق ذلك بالفرضية
“Para ulama kalangan Hanafiyyah memandang makruh mengiringi
puasa Ramadlan dengan puasa lain (puasa enam hari bulan Syawal) karena
dikhawatirkan akan disamakan dengan puasa wajib”.
Dalam Al-Muwaththa’ disebutkan :
قال يحيى وسمعتُ مالكا
يقول في صيام ستة أيام بعد الفطر من رمضان إنه لم ير أحدا من أهل العلم والفقهِ
يصومها ولم يبلغَنِي ذلك عن أحد من السلف وإن أهلَ العلم يكرهون ذلك ويخافون بدعتُه
وأن يلحقَ برمضان ما ليس منه أهلُ الجهالة والجفاء لو رأوا في ذلك رُخصةٍ عند أهل
العلم ورأوهم يعملون ذلك
“Yahya berkata : Aku mendengar Malik berkata tentang puasa
enam hari setelah berbuka (‘Iedul-Fithri) dari bulan Ramadlan : Bahwasannya ia
(Malik) tidak melihat seorang ulama pun dan fuqahaa yang
melakukan puasa ini dan ia juga tidak mendengar itu seorang pun dari kaum
salaf. Para ulama telah memakruhkannya dan mereka takut itu termasuk bid’ah.
Mereka juga takut orang yang tidak mengerti akan menyamakannya dengan puasa
Ramadlan ketika mereka melihat ulama membolehkannya dan melakukannya” [Al-Muwaththa’ (1/330)].
Haruskah Puasa Enam Hari Syawal Dilakukan
Berturut-Turut ?
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab
Subulussalam berkata :
وَاعْلَمْ أَنَّ أَجْرَ صَوْمِهَا
يَحْصُلُ لِمَنْ صَامَهَا مُتَفَرِّقَةً أَوْ مُتَوَالِيَةً وَمَنْ صَامَهَا
عَقِيبَ الْعِيدِ أَوْ فِي أَثْنَاءِ الشَّهْرِ وَفِي سُنَنِ التِّرْمِذِيِّ عَنْ
ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ اخْتَارَ أَنْ يَكُونَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ
شَوَّالٍ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ
سِتَّةَ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُتَفَرِّقًا فَهُوَ جَائِزٌ
Ketahuilah, bahwa pahala puasa
tersebut akan diterima oleh orang yang melakukannya, baik ia melakukannya
secara terpisah maupun secara beruntun, baik ia melakukannya langsung setelah
hari raya maupun ia lakukan pada pertengahan bulan. Di dalam sunan At-Tirmidzi
disebutkan, diriwayatkan dari Ibnu Al-Mubarak bahwa ia lebih menyukai agar
puasa tersebut dilakukan pada awal Syawal. Dan telah diriwayatkan darinya bahwa
ia berkata, “Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal secara terpisah,
maka hukumnya mubah” [Subulussalam, 2/156]
An-Nawawi berkata :
فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ
صَوْمُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ لِهَذَا الْحَدِيثِ قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ
ان يصومها متتايعة فِي أَوَّلِ شَوَّالٍ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عن أول
شَوَّالٍ جَازَ وَكَانَ فَاعِلًا لِأَصْلِ هَذِهِ السُّنَّةِ لِعُمُومِ الْحَدِيثِ
وَإِطْلَاقِهِ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وداود
“Para shahabat kami berkata : ‘Disunnahkan puasa enam hari
bulan Syawal berdasarkan hadits ini’. Mereka juga berkata : ‘Dan juga disunnahkan
berpuasa secara berurutan mulai awal Syawal. Namun jika dilakukan secara acak,
atau ditunda hingga akhir bulan, maka itu jga dibolehkan, dan orang yang
melakukannya telah menjalankan sunnah sesuai dengan keumuman makna hadits dan
kemutlakannya. Tidak ada perbedaan (pendapat) di kalangan madzhab kami. Dan ini
juga menjadi pendapat Ahmad dan Abu Dawud”.[ Al-Majmu’ (6/379)]
Bolehkah Puasa Syawal Diniatkan Sekaligus Puasa Qadha?
Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
وَلَوْ صَامَ فِي شَوَّالٍ قَضَاءً أَوْ نَذْرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، هَلْ
تَحْصُلُ لَهُ السُّنَّةُ أَوْ لَا؟ لَمْ أَرَ مَنْ ذَكَرَهُ، وَالظَّاهِرُ
الْحُصُولُ.
“Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan
qodho’ puasa, puasa nadzar atau puasa lainnya, apakah ia pun akan mendapati
pahala puasa sunnah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat
seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapati pahala puasa sunnah
tersebut.” [Mughnil Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, 1/654]
Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata :
إذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ لَيْسَتْ
إحْدَاهُمَا مَفْعُولَةً عَلَى جِهَةِ الْقَضَاءِ وَلَا عَلَى طَرِيقِ
التَّبَعِيَّةِ لِلْأُخْرَى فِي الْوَقْتِ تَدَاخَلَتْ أَفْعَالُهُمَا، وَاكْتَفَى
فِيهِمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ
“Jika dua ibadah dari jenis yang sama
berkumpul dalam waktu yang sama, yang mana salah satunya tidak dilakukan
sebagai qadha atau sebagai tab’iyyah / ibadah yang mengikuti ibadah lainnya
dalam waktu (seperti rawaatib -pent) , maka amalan-amalan keduanya saling
berkaitan sehingga cukup melakukan keduanya dengan satu amalan saja”. (Al-Qawaa’id fil Fiqh: hal.23)
Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan,
من صام يوم عرفة ، أو يوم عاشوراء وعليه
قضاء من رمضان فصيامه صحيح ، لكن لو نوى أن يصوم هذا اليوم عن قضاء رمضان حصل له الأجران
: أجر يوم عرفة ، وأجر يوم عاشوراء مع أجر القضاء ، هذا بالنسبة لصوم التطوع
المطلق الذي لا يرتبط برمضان
”Orang yang
melakukan puasa hari arafah, atau puasa hari asyura, dan dia punya tanggungan
qadha ramadhan, maka puasanya sah. Dan jika dia meniatkan puasa pada hari itu
sekaligus qadha ramadhan, maka dia mendapatkan dua pahala: (1) Pahala puasa
arafah, atau pahala puasa Asyura, dan (2) Pahala puasa qadha. Ini untuk puasa
sunah mutlak, yang tidak ada hubungannya dengan ramadhan.” (Fatawa as-Shiyam, 438).
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar