Sabtu, 28 Juli 2018

APAKAH WANITA HAMIL DIWAJIBKAN PUASA?

APAKAH WANITA HAMIL DIWAJIBKAN PUASA?

Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Keringanan Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui Untuk Tidak Berpuasa
Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap dirinya atau anaknya, maka mereka boleh berbuka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ وَعَنْ الْمُرْضِعِ أَوْ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah shalat dan puasa bagi seorang musafir; serta wanita yang menyusui dan wanita yang hamil" [HR. Abu Daawud no. 2408, At-Tirmidziy no. 715, An-Nasaa’iy 4/190, Ahmad 4/347 & 5/29,].

Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata :
عن بن جريج عن عطاء قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان إذا خافتا على أولادهما في الصيف، قال : وفي الشتاء إذا خافتا على أولادهما.
 “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan apabila khawatir terhadap anaknya, baik di musim panas ataupun di musim dingin” [HR. ‘Abdurrazzaaq 4/217 no. 7557; shahih].

Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 183-184].
dari ‘Athaa’
سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ {وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
 (bahwa) ia mendengar Ibnu ‘Abbaas membaca : ‘wa ‘alalladziina yuthawwaquunahu fidyatun tha’aamu miskiina (Dan bagi orang-orang yang dibebani puasa, membayar fidyah yaitu : memberi makan seorang miskin)’. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Ayat ini tidak mansuukh (hukumnya), yaitu laki-laki tua renta atau wanita tua renta dimana keduanya sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya wajib memberi makan seorang miskin sebagai ganti untuk setiap harinya” [HR. Al-Bukhaariy no. 4505].


dari Yaziid maulaa Salamah bin Al-Akwa’, dari Salamah, ia berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
 “Ketika turun ayat : ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin’ , barangsiapa yang ingin berbuka maka hendaklah membayarkan fidyah hingga kemudian turunlah ayat setelahnya yang menghapus (hukum)-nya” [HR. Al-Bukhaariy no. 4507].

dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata :
عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
 “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya” [HR. Ibnul-Jaaruud no. 381].
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi wanita hamil dan menyusui” [HR. Abu Daawud no. 2317;].

Mengqadha Atau Membayar Fidyah?
Asy-Syaukani berkata :
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسَافِرَ لَا صَوْمَ عَلَيْهِ، وَأَنَّهُ يُصَلِّي قَصْرًا، وَأَنَّهُ يَجُوزُ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ الْإِفْطَارُ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْعِتْرَةُ وَالْفُقَهَاءُ إذَا خَافَتْ الْمُرْضِعَةُ عَلَى الرَّضِيعِ، وَالْحَامِلُ عَلَى الْجَنِينِ
Hadits ini menunjukkan bahwa musafir dibolehkan tidak berpuasa, dan iapun boleh mengqashar shalat. Juga bagi wanita hamil dan wanita menyusui dibolehkan berbuka. Al-Utrah dan para ahli fiqih berpendapat demikian, yaitu bila wanita menyusui itu mengkhawatirkan keselamatan bayinya dan bila wanita yang hamil itu mengkhawatirkan keselamatan janinnya. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/384]
Asy-Syaukani juga berkata :
قَالَ فِي المقنع: وَمَنْ عَجَزَ عَنْ الصَّوْمِ لِكِبَرٍ أو مَرضٍ لا يُرْجى بُرْؤُه أَفْطَرَ وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَالْحامل وَالْمُرْضِعُ إذَا خَافَتَا عَلَى أَنْفسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا، وَإنْ خَافَتَا عَلَى وَلَدِيهِمَا أَفْطَرَتَا وقَضتَا وَأَطْعَمَتَا
Disebutkan di dalam Al-Mughni : Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka boleh berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Juga wanita hamil dan wanita menyusui, jika mereka menghawatirkan keselamatan dirinya, mereka boleh berbuka lalu nantinya mengqadha, namun bila hanya menghawatirkan anaknya (janinnya) saja, maka mereka boleh berbuka lalu memberi makan orang miskin (untuk setiap hari yang ditinggalkan) dan nantinya mengqodho. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/384]

Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
فَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ، إِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا، أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا، وَلَا فِدْيَةَ كَالْمَرِيضِ.
وَإِنْ لَمْ تَخَافَا مِنَ الصَّوْمِ، إِلَّا عَلَى الْوَلَدِ، فَلَهُمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ
Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya takut terjadi sesuatu pada mereka, kemudian mereka berbuka dan mengqadha puasa, maka mereka wajib membayar fidyah seperti orang sakit.
Jika puasa menurut keduanya tidak takut akan diri mereka, tapi takut kalau puasanya akan menimbulkan madharat kepada anaknya, maka mereka boleh berbuka dan mereka wajib melakukan qadha puasa.

وَقَطَعَ بِهِ الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ: يَحِلُّ لَهَا الْإِفْطَارُ، بَلْ يَجِبُ إِنْ أَضَرَّ الصَّوْمُ بِالرَّضِيعِ
Al-Qadhi Husain berkata, “Orang yang menyusui boleh berbuka bahkan wajib berbuka puasa jika berpuasa sambil menyusui akan menimbulkan madharat baginya,”
[Rhaudhatuth-Thalibin 2/394]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
عند الاحناف وأبي عبيد وأبي ثور: أنهما يقضيان فقط، ولا إطعام عليهما.
وعند أحمد، والشافعي: أنهما - إن خافتا على الولد فقط وأفطرتا - فعليهما القضاء والفدية، وإن خافتا على أنفسهما فقط، أو على أنفسهما وعلى ولدهما، فعليهما القضاء، لا غير
Menurut golongan Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur, mereka hanya diwajibkan mengqadha, dan tidak membayar fidyah, sedangkan menurut pendapat Ahmad dan Syafi’I, jika mereka berbuka karena kekhawatiran terhadap keselamatan anaknya saja, maka mereka wajib mengqadha dan membayar fidyah. Tetapi bila yang mereka khawatirkan adalah keselamatan diri mereka sendiri, atau keselamatan diri serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya wajib mengqodho.
[Fiqih Sunnah 2/39].

Dalam Kitab Fataawa ar-Romly dijelaskan :
قال الرملي الشافعي رحمه الله: ويتخير في إخراجها بين تأخيرها وبين إخراج قيمة كل يوم فيه أو بعد فراغه، ولا يجوز تعجيل شيء منها لما فيه من تقديمها على وجوبه. انتهى.
Imam ar-Romly dari madhab As-Syafi’i berpendapat “Dalam pelaksanaan pembayaran fidyah diperkenankan memilih waktunya antara mengakhirkannya (di akhir bulan ramadhan) dan antara mengeluarkan nilai harga fidyahnya disetiap hari atau setelah selesainya tiap hari ramadhan dan tidak diperbolehkan mempercepat pembayarannya karena artinya mendahulukan pelaksanaannya sebelum waktu diwajibkannya”

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...