APAKAH
WANITA HAMIL DIWAJIBKAN PUASA?
Oleh
: Masnun Tholab
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Keringanan Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui Untuk Tidak Berpuasa
Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir
terhadap dirinya atau anaknya, maka mereka boleh berbuka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ
الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ وَعَنْ
الْمُرْضِعِ أَوْ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah shalat dan
puasa bagi seorang musafir; serta wanita yang menyusui dan wanita yang
hamil" [HR. Abu Daawud no.
2408, At-Tirmidziy no. 715, An-Nasaa’iy 4/190, Ahmad 4/347 & 5/29,].
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata :
عن بن جريج عن عطاء قال : تفطر الحامل
والمرضع في رمضان إذا خافتا على أولادهما في الصيف، قال : وفي الشتاء إذا خافتا
على أولادهما.
“Wanita hamil dan menyusui
boleh berbuka di bulan Ramadlaan apabila khawatir terhadap anaknya, baik di
musim panas ataupun di musim dingin” [HR. ‘Abdurrazzaaq 4/217 no. 7557; shahih].
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS.
Al-Baqarah : 183-184].
dari ‘Athaa’
سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ
الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ
يَوْمٍ مِسْكِينًا
(bahwa) ia mendengar Ibnu
‘Abbaas membaca : ‘wa ‘alalladziina yuthawwaquunahu fidyatun
tha’aamu miskiina (Dan bagi orang-orang yang dibebani puasa, membayar fidyah
yaitu : memberi makan seorang miskin)’. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Ayat ini
tidak mansuukh (hukumnya), yaitu laki-laki tua renta atau
wanita tua renta dimana keduanya sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya
wajib memberi makan seorang miskin sebagai ganti untuk setiap harinya” [HR. Al-Bukhaariy no.
4505].
dari Yaziid maulaa Salamah bin Al-Akwa’, dari Salamah, ia berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ {وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ
وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Ketika turun ayat : ‘Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin’ , barangsiapa
yang ingin berbuka maka hendaklah membayarkan fidyah hingga
kemudian turunlah ayat setelahnya yang menghapus (hukum)-nya” [HR. Al-Bukhaariy no.
4507].
dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia
berkata :
عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو
يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية {فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا
يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Diberikan keringanan (rukhshah)
bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia atas hal itu meskipun
mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan
orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan
ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah
: 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih
berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka
tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka
khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin setiap harinya” [HR. Ibnul-Jaaruud no. 381].
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ
لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi
wanita hamil dan menyusui” [HR. Abu Daawud no. 2317;].
Mengqadha Atau Membayar Fidyah?
Asy-Syaukani berkata :
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ
عَلَى أَنَّ الْمُسَافِرَ لَا صَوْمَ عَلَيْهِ، وَأَنَّهُ يُصَلِّي قَصْرًا،
وَأَنَّهُ يَجُوزُ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ الْإِفْطَارُ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى
ذَلِكَ الْعِتْرَةُ وَالْفُقَهَاءُ إذَا خَافَتْ الْمُرْضِعَةُ عَلَى الرَّضِيعِ،
وَالْحَامِلُ عَلَى الْجَنِينِ
Hadits ini menunjukkan bahwa musafir dibolehkan
tidak berpuasa, dan iapun boleh mengqashar shalat. Juga bagi wanita hamil dan
wanita menyusui dibolehkan berbuka. Al-Utrah dan para ahli fiqih berpendapat
demikian, yaitu bila wanita menyusui itu mengkhawatirkan keselamatan bayinya
dan bila wanita yang hamil itu mengkhawatirkan keselamatan janinnya. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/384]
Asy-Syaukani juga berkata :
قَالَ فِي المقنع: وَمَنْ عَجَزَ عَنْ الصَّوْمِ لِكِبَرٍ أو مَرضٍ لا
يُرْجى بُرْؤُه أَفْطَرَ وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَالْحامل
وَالْمُرْضِعُ إذَا خَافَتَا عَلَى أَنْفسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا، وَإنْ
خَافَتَا عَلَى وَلَدِيهِمَا أَفْطَرَتَا وقَضتَا وَأَطْعَمَتَا
Disebutkan di dalam Al-Mughni : Barangsiapa
yang tidak mampu berpuasa karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak
diharapkan lagi kesembuhannya, maka boleh berbuka dan memberi makan seorang
miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Juga wanita hamil dan wanita
menyusui, jika mereka menghawatirkan keselamatan dirinya, mereka boleh berbuka
lalu nantinya mengqadha, namun bila hanya menghawatirkan anaknya (janinnya)
saja, maka mereka boleh berbuka lalu memberi makan orang miskin (untuk setiap
hari yang ditinggalkan) dan nantinya mengqodho. [Bustanul Ahbar Mukhtashar
Nailul Authar, 2/384]
Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
فَالْحَامِلُ
وَالْمُرْضِعُ، إِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا، أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا، وَلَا
فِدْيَةَ كَالْمَرِيضِ.
وَإِنْ لَمْ تَخَافَا مِنَ الصَّوْمِ، إِلَّا عَلَى الْوَلَدِ،
فَلَهُمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ
Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya takut
terjadi sesuatu pada mereka, kemudian mereka berbuka dan mengqadha puasa, maka
mereka wajib membayar fidyah seperti orang sakit.
Jika puasa menurut keduanya tidak takut akan diri mereka,
tapi takut kalau puasanya akan menimbulkan madharat kepada anaknya, maka mereka
boleh berbuka dan mereka wajib melakukan qadha puasa.
وَقَطَعَ بِهِ
الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ: يَحِلُّ لَهَا الْإِفْطَارُ، بَلْ
يَجِبُ إِنْ أَضَرَّ الصَّوْمُ بِالرَّضِيعِ
Al-Qadhi Husain berkata, “Orang yang menyusui boleh
berbuka bahkan wajib berbuka puasa jika berpuasa sambil menyusui akan
menimbulkan madharat baginya,”
[Rhaudhatuth-Thalibin 2/394]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
عند الاحناف وأبي
عبيد وأبي ثور: أنهما يقضيان فقط، ولا إطعام عليهما.
وعند أحمد، والشافعي: أنهما - إن خافتا على الولد فقط وأفطرتا -
فعليهما القضاء والفدية، وإن خافتا على أنفسهما فقط، أو على أنفسهما وعلى ولدهما،
فعليهما القضاء، لا غير
Menurut golongan Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur, mereka hanya
diwajibkan mengqadha, dan tidak membayar fidyah, sedangkan menurut pendapat
Ahmad dan Syafi’I, jika mereka berbuka karena kekhawatiran terhadap keselamatan
anaknya saja, maka mereka wajib mengqadha dan membayar fidyah. Tetapi bila yang
mereka khawatirkan adalah keselamatan diri mereka sendiri, atau keselamatan
diri serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya wajib mengqodho.
[Fiqih Sunnah 2/39].
Dalam Kitab Fataawa ar-Romly dijelaskan :
قال الرملي الشافعي رحمه الله:
ويتخير في إخراجها بين تأخيرها وبين إخراج قيمة كل يوم فيه أو بعد فراغه، ولا يجوز
تعجيل شيء منها لما فيه من تقديمها على وجوبه. انتهى.
Imam ar-Romly dari madhab As-Syafi’i berpendapat “Dalam
pelaksanaan pembayaran fidyah diperkenankan memilih waktunya antara
mengakhirkannya (di akhir bulan ramadhan) dan antara mengeluarkan nilai harga
fidyahnya disetiap hari atau setelah selesainya tiap hari ramadhan dan tidak
diperbolehkan mempercepat pembayarannya karena artinya mendahulukan
pelaksanaannya sebelum waktu diwajibkannya”
Wallahu a’lam.
وَإِنْ لَمْ تَخَافَا مِنَ الصَّوْمِ، إِلَّا عَلَى الْوَلَدِ، فَلَهُمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ
وعند أحمد، والشافعي: أنهما - إن خافتا على الولد فقط وأفطرتا - فعليهما القضاء والفدية، وإن خافتا على أنفسهما فقط، أو على أنفسهما وعلى ولدهما، فعليهما القضاء، لا غير
Tidak ada komentar:
Posting Komentar