HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT
Oleh
: Masnun Tholab
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Apakah Orang
Sakit Diperbolehkan Berbuka?
Sayid
Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Dibolehkan
berbuka bagi orang yang sakit yang memiliki harapan sembuh dan bagi musafir.
Mereka juga wajib mengqadha’
Allah
ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ
“Maka bagia siapa
diantara kamu sakit atau dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan di
hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184)
Diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi dengan sanad yang shahih, dari Muadz, dia
berkata :
إن الله تعالى فرض على النبي صلى الله عليه وسلم الصيام، فأنزل: (يا أيها
الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم) إلى قوله: (وعلى الذين
يطيقونه فدية طعام مسكين) فكان من شاء صام. ومن شاء أطعم مسكينا. فأجزأ ذلك عنه
ثم إن الله تعالى أنزل الآية الاخرى: (شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن) إلى
قوله (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) فأثْبَتَ الله صيامه على المقيم الصحيح، ورَخَّصَ
فيه للمريضِ والمسافر، وأثبت الاطعامَ للكبير الذي لايستطيعُ الصيامَ
Sesungguhnya
Allah ta’ala mewajibkan padanya untuk berpuasa, maka Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183) sampai nfirmanNya, “......Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang
msikin......” (QS.
Al Baqarah: 184) hingga siapa yang suka, maka ia berpuasa, dan siapa yang
tidak, diberi makannya seorang miskin, dan itu sudah cukup”. Kemudian Allah
menurunkan ayat lain,
“Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al
Qur’an...” sampai
firmanNya, “....Karena
itu, barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah....” (QS. Al Baqarah: 185)
Dengan
begitu, ditetapkanlah kewajiban berpuasa kepada orang-orang mukmin dan
orang-orang yang sehat, dan diberi keringan bagi orang yang sakit dan musafir,
serta diwajibkan membayar fidyah bagi orang yang tak kuat berpuasa lagi” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, dan Baihaqi dengan sanad yang kuat).
والمرضُ المبيحُ للفطر، هو المرضُ الشديدُ الذي يزيدُ بالصومِ، أو يخشى
تأخر برئه
قال في المغني: " وحكى عن بعض السلف: أنه أباحَ الفطرَ بكل مرضٍ، حتى
من وجع الاصبع والضِرسَ، لعموم الآية فيه، ولان المسافرَ يباح له الفطرُ، وإن لم
يحتج إليه، فكذلك المريضُ " وهذا مذهب البخاري، وعطاء، وأهلِ الظاهر
Sakit
yang menyebabkan bolehnya berbuka adalah sakit berat yang akan bertambah parah
dengan berpuasa atau dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan.
Pengarang
Al-Mughni berkata, “Menurut berita, ada beberapa ulama salaf yang membolehkan
berbuka karena segala macam penyakit, bahkan walau karena sakit pada anak jari
atau geraham sekalipun. Alasannya adalah karena umumny ayat, juga karena
musasfir dibolehkan berbuka walau ia tidak memerlukannya. Maka, begitu pula
orang yang sakit”. Hal itu juga merupakan pendapat Bukhari, Atha’ dan Ahlus
Zahir.
والصحيح الذي يخاف المرضِ بالصيام، يُفْطِرُ، مثل المريضِ وكذلك مَن غلبه
الجوعُ أو العطشُ، فخاف الهلاك، لَزِمَهُ الفطرُ وإن كان صحيحا مقيما وعليه القضاءُ.قال الله تعالى: (ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما .وقال تعالى (وما جعل عليكم في الدين من حرج .
وإذا صام المريضُ، وتَحْمِلُ المَشَقَّةَ، صح صومُه، إلا أنه يكره له ذلك لِاعراضِه
عن الرخصةِ التي يُحِبُّها اللهُ، وقد يَلْحَقَه بذلك ضررٌ
Orang
yang sehat yang takut akan jatuh sakit karena berpuasa, maka boleh berbuka
seperti orangg yang sakit, begitu pula orang yang sangat kelaparan atau
kehausan hingga mungkin celaka, hendaknya ia berbuka dan mengqadha, walaupun ia
seorang yang sehat dan buka musafir.
Allah
ta’ala berfirman,
“....Dan
janganlah kamu bunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS.
An-Nisa : 29)
FirmanNya,
“....Dan
Dia tidak menjadikan kesukran untukmu dalam agama....” (QS. Al-Hajj : 78)
Seandainya
orang sakit berpuasa dan rela menanggung penderitaan, maka puasanya sah, hanya
saja tindakannya itu makruh hukumnya karena tidak hendak menerima keringanan
yang disukai Allh, dan siapa tahu mungkin ia mendapat bahaya karena
perbuatannya itu.
[Fiqih
Sunnah, 2/39].
Imam
Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :
فَالْمَرَضُ وَالسَّفَرُ، مُبِيحَانِ بِالنَّصِّ وَالْإِجْمَاعِ، وَكَذَلِكَ
مَنْ غَلَبَهُ الْجُوعُ أَوِ الْعَطَشُ، فَخَافَ الْهَلَاكَ، فَلَهُ الْفِطْرُ
وَإِنْ كَانَ مُقِيمًا صَحِيحَ الْبَدَنِ ثُمَّ شَرْطُ كَوْنِ الْمَرَضِ مُبِيحًا،
أَنْ يُجْهِدَهُ الصَّوْمُ مَعَهُ، فَيَلْحَقُهُ ضَرَرٌ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ
عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوهِ الْمَضَارِّ فِي التَّيَمُّمِ.ثُمَّ الْمَرَضُ إِنْ كَانَ مُطْبِقًا، فَلَهُ تَرْكُ
النِّيَّةِ بِاللَّيْلِ
Orang
yang sakit dan dalam perjalanan dibolehkan berbuka puasa berdasarkan nash dan
ijma’. Begitu juga orang yang sangat kelaparan dan kehausan, jika ia takut akan
terjadi sesuatu yang merusak dirinya jika terus melakukan puasa, maka ia boleh
berbuka walaupun badannya masih sehat.
Syarat
bolehnya berbuka bagi orang yang sakit adalah orang yang sengaja melakukan
puasa pada saat sakit, kemudian akan terjadi sesuatu yang sangat menimbulkan
madharat, dan kemungkinan hal tersebut sdeperti yang telah kita jelaskan, yaitu
dari peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan madharat di dalam tayamum. Orang yang
sakit apabila sakitnya parah, maka ia boleh tidak berniat puasa di malam hari. [Rhaudhatuth
Thalibin, 2/370]
Hukum
Puasa Bagi Pekerja Berat
Syeikh
Zainudin dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وأفتى الأذرعي بأنه يلزم الحصادين أي ونحوَهم تَبْيِيْتُ النيةِ كلَّ ليلة
ثم من لَحِقَهُ منهم مَشَقَّةً شديدةٌ أَفْطَرَ وإلا فلا
Imam
Al-Adzra’i memberi fatwa, sesungguhnya pemotong padi dan sejenisnya wajib
berniat puasa setiap malam, kemudian siapa diantara yang merasakan masyaqat
(keletihan yang sangat) boleh membatalkan puasanya. Kalau tidak (merasakan keletihan),
tidak boleh membatalkan puasanya. [Fathul Mu’in, 1/638].
Dalam kitab Buhyah alMustarsyidiin dijelaskan :
لا
يجوز الفطر لنحو الحصاد وجُذاذِ النخلِ والحراث إلا إن اِجْتَمَعَتْ فيه الشروطُ.
وحاصلها كما يعلم من كلامهم ستة : أن لا يُمْكِنُ تأخير العملِ إلى شوّالِ ، وأن
يَتَعَذَّرُ العملَ
ليلاً ، أو لم يُغْنِهِ ذلك فيُؤَدِّي إلى تَلْفِه أو نقصه نقصاً لا يتغابنُ به ،
وأن يَشُقَّ عليه الصومَ مَشَقَّةٌ لا تَحْتَمِلُ عادةً بأن تُبِيْحَ التيممِ أو الجلوسِ في الفرضِ
خلافاً لابن حجر ، وأن ينوي ليلاً ويُصْحَبُ صائماً فلا يُفطر إلا عند وجود العذرِ
، وأن ينوي التُرَخِّصَ بالفطرِ ليُمْتَازِ الفطرِ المباحِ عن غيرهِ ، كمريضٍ أراد
الفطرِ للمرضِ فلا بد أن ينوي بفطرهِ الرخصةِ أيضاً ، وأن لا يُقْصِدَ ذلك العملَ
وتكليفُ نفسَهُ لمَحْضِ الترخصِ بالفطرِ
Bagi pekerja berat (seperti pengetam, kuli
bangunan, tukang becak, nelayan, pembajak tanah dll.) tidak diperbolehkan
berbuka puasa (mokel-java-pen) kecuali bila memenuhi 6 persyaratan :
1.Pekerjaannya tidak bisa diundur hingga bulan
syawal.
2.Ada halangan untuk dikerjakan di malam hari.
3.Terjadi masyaqqat (kesulitan) menurut
kebiasaan manusia bila menjalani puasa hingga dalam batasan masyaqqat yang
memperkenankan baginya tayammum atau menjalani shalat dengan duduk.
4.Di malam hari tetap niat, di pagi hari tetap
puasa baru setelah benar-benar tidak kuat boleh berbuka.
5.Saat berbuka diniati mencari keringanan
hukuman.
6.Tidak boleh menyalahgunakan keringanan dalam
arti pekerjaannya dijadikan tujuan atau membebani diri diluar batas kemampuan
agar dapat keringanan berbuka puasa.
[ Buhyah al Mustarsyidiin
Hal. 234]
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar