Sabtu, 28 Juli 2018

APAKAH MUSAFIR DIPERBOLEHKAN BERBUKA?

APAKAH MUSAFIR DIPERBOLEHKAN BERBUKA?

Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Hadits-Hadits Tentang Puasa Bagi Musafir
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-
أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – : أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ – وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ – فَقَالَ : إنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر
bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Apakah saya boleh berpuasa ketika bepergian (safar)?’ (Dan dia adalah orang yang sering puasa). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau engkau mau berpuasalah, dan kalau engkau mau berbukalah tidak berpuasa’. (HR. Muslim no. 1118).

Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى صَاحِبُ ظَهْرٍ أُعَالِجُهُ أُسَافِرُ عَلَيْهِ وَأَكْرِيهِ وَإِنَّهُ رُبَّمَا صَادَفَنِى هَذَا الشَّهْرُ – يَعْنِى رَمَضَانَ – وَأَنَا أَجِدُ الْقُوَّةَ وَأَنَا شَابٌّ وَأَجِدُ بِأَنْ أَصُومَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ أَنْ أُؤَخِّرَهُ فَيَكُونَ دَيْنًا أَفَأَصُومُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْظَمُ لأَجْرِى أَوْ أُفْطِرُ قَالَ  أَىُّ ذَلِكَ شِئْتَ يَا حَمْزَةُ
“Wahai Rasulullah, saya sering bepergian dengan jarak yang panjang, terkadang sampai bertepatan dengan bulan Ramadhan, sedangkan saya punya kekuatan untuk mengerjakannya, dan saya adalah seorang pemuda yang saya merasa lebih ringan untuk berpuasa saat itu daripada saya tunda sebagai hutang. Apakah kalau berpuasa wahai Rasulullah itu lebih besar pahalanya bagiku ataukah berbuka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Terserah mana yang kau suka wahai Hamzah.” (Muslim no. 1121)

Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ.
Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang udaranya sangat panas, sehingga salah satu dari kami meletakkan tangannya di atas kepala untuk melindungi dari terik matahari, dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muslim no. 1122)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يكره أن تؤتى معصيته.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [HR. Ahmad 2/108; shahih]
  
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي سَفَرٍ . فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : صَائِمٌ . قَالَ : لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan orang dan seorang di antaranya dibawa ke tempat teduh, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Apa ini? orang-orang mengatakan bahwa dia sedang berpuasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.” [HR. Muslim no. 1115].

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ  أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu Fathu Makkah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ Al-Ghamim, maka orang-orang pun ikut berpuasa. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya diambilkan semangkuk air minum, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya hingga terlihat oleh orang-orang dan kemudian meminumnya. Setelah itu disampaikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa masih ada sebagian orang yang berpuasa, maka beliau pun bersabda: “Mereka orang-orang yang membangkang, mereka orang-orang yang membangkang.” (HR. Muslim no. 1114)

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُسَافِرَ لَهُ أَنْ يَصُومَ وَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَأَنَّ لَهُ الْإِفْطَارَ وَإِنْ صَامَ أَكْثَرَ النَّهَارِ وَخَالَفَ فِي الطَّرَفِ الْأَوَّلِ دَاوُد وَالْإِمَامِيَّةُ فَقَالُوا: لَا يُجْزِئُ الصَّوْمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] وَبِقَوْلِهِ " أُولَئِكَ الْعُصَاةُ " وَقَوْلُهُ «لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ
Hadits ini menjelaskan bahwa musafir boleh berpuasa dan boleh berbuka, walaupun ia telah berpuasa pada sebagian besar dari siang harinya.
Namun Dawud dan Al-Imamiyah berbeda pendapat. Menurut mereka seorang musafir tidak boleh berbuka puasa, berdasarkan firman Allah :
“Maka bagia siapa diantara kamu sakit atau dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan di hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184)
Juga berdasarkan sabda beliau, “Mereka orang-orang yang membangkang, mereka orang-orang yang membangkang dan juga sabdanya, “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.” [Subulussalam, 2/188]

Mana yang lebih utama bagi Musafir, Tetap Berpuasa atau berbuka?
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فَذَهَبَتْ الْهَادَوِيَّةُ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ إلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ لِلْمُسَافِرِ حَيْثُ لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِ وَلَا ضَرَرَ فَإِنْ تَضَرَّرَ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ.وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَآخَرُونَ الْفِطْرُ أَفْضَلُ مُطْلَقًا
Menurut Al-Hadawiyah, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i bahwa berpuasa lebih utama bagi seorang musafir jika tidak ada kesulitan maupun bahaya baginya, namun jika puasa tersebut akan membahayakannya, maka berbuka lebih baik baginya. Sedangkan menurut Ahmad, Ishaq dan yang lainnya, bahwa bagaimanapun kondisinya, berbuka lebih utama. [Subulussalam, 2/188]
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:فَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ.وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَحْمَدُ وَجَمَاعَةٌ.
وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ ذَلِكَ عَلَى التَّخْيِيرِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُهُمَا أَفْضَلَ
Dalam hal ini jumhur dibagi tiga pendapat :
  1. Tetap berpuasa adalah lebih utama. Yang berpendapat seperti ini antara lain Malik dan Abu Hanifah.
  2. Lebih utama berbuka dinyatakan oleh Ahmad dan segolongan ulama.
  3. Sebagian yang lain berpendapat boleh memilih berbuka atau tetap berpuasa tanpa ada satu orang yang lebih utama.
[Bidayatul Mujtahid, 1/666].

Bepergian Yang Bagaimana Yang DIperbolehkan Berbuka?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ إِنَّمَا يُفْطِرُ فِي السَّفَرِ الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَذَلِكَ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّهُ يُفْطِرُ فِي كُلِّ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ السَّفَرِ وَهُمْ أَهْلُ الظَّاهِرِ.وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ: مُعَارَضَةُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ لِلْمَعْنَى،
Dalam hal tersebut, menurut jumhur ulama, bepergian yang diperbolehkan berbuka, ukurannya adalah bepergian yang boleh mengqasar shalat. Dalam hal ini juga terdapat lebih dari satu pendapat.
Menurut madzhab Zhahiri, bepergian apapun bentuknya diperbolehkan berbuka. Perbedaan tersebut karena ada pertentangan antara makna lafal dengan makna yang dipahami.

وَذَلِكَ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ أَنَّ كُلَّ مَنْ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ مُسَافِرٍ فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ لِقَوْلِهِ - تَعَالَى - {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] . وَأَمَّا الْمَعْنَى الْمَعْقُولُ مِنْ إِجَازَةِ الْفِطْرِ فِي السَّفَرِ فَهُوَ الْمَشَقَّةُ، وَلَمَّا كَانَ الصَّحَابَةُ كَأَنَّهُمْ مُجْمِعُونَ عَلَى الْحَدِّ فِي ذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُقَاسَ ذَلِكَ عَلَى الْحَدِّ فِي تَقْصِيرِ الصَّلَاةِ
Menurut makna lafal, setiap orang yang bepergian boleh berbuka berdasarkan firman Allah :
“Maka bagia siapa diantara kamu sakit atau dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan di hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184)
Menurut makna logis, bepergian yang diperbolehkan berbuka adalah bepergian yang berat. Karena tidak semua bepergian itu berat dan lagi, para sahabat cenderung membatasi criteria bepergian, ukuran bepergian itu harus dianalogkan dengan bats bepergian yang diperbolehkan  mengqasar shalat. [Bidayatul Mujtahid, 1/664].

Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...