APAKAH MUSAFIR
DIPERBOLEHKAN BERBUKA?
Oleh
: Masnun Tholab
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Hadits-Hadits Tentang
Puasa Bagi Musafir
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-
أَنَّ
حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – :
أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ – وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ – فَقَالَ : إنْ شِئْتَ
فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر
bahwa Hamzah
bin ‘Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Apakah
saya boleh berpuasa ketika bepergian (safar)?’ (Dan dia adalah orang yang
sering puasa). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau engkau
mau berpuasalah, dan kalau engkau mau berbukalah tidak berpuasa’. (HR. Muslim no. 1118).
Hamzah bin ‘Amr
Al-Aslami berkata:
يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّى صَاحِبُ ظَهْرٍ أُعَالِجُهُ أُسَافِرُ عَلَيْهِ وَأَكْرِيهِ
وَإِنَّهُ رُبَّمَا صَادَفَنِى هَذَا الشَّهْرُ – يَعْنِى رَمَضَانَ – وَأَنَا
أَجِدُ الْقُوَّةَ وَأَنَا شَابٌّ وَأَجِدُ بِأَنْ أَصُومَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَهْوَنَ عَلَىَّ مِنْ أَنْ أُؤَخِّرَهُ فَيَكُونَ دَيْنًا أَفَأَصُومُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَعْظَمُ لأَجْرِى أَوْ أُفْطِرُ قَالَ أَىُّ ذَلِكَ شِئْتَ يَا حَمْزَةُ
“Wahai
Rasulullah, saya sering bepergian dengan jarak yang panjang, terkadang sampai
bertepatan dengan bulan Ramadhan, sedangkan saya punya kekuatan untuk
mengerjakannya, dan saya adalah seorang pemuda yang saya merasa lebih ringan
untuk berpuasa saat itu daripada saya tunda sebagai hutang. Apakah kalau
berpuasa wahai Rasulullah itu lebih besar pahalanya bagiku ataukah berbuka.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Terserah mana yang kau suka
wahai Hamzah.” (Muslim no. 1121)
Dari Abud
Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ
شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ
شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ.
Kami pernah
keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang
udaranya sangat panas, sehingga salah satu dari kami meletakkan tangannya di
atas kepala untuk melindungi dari terik matahari, dan tidak ada di antara kami
yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin
Rawahah.” (HR. Muslim no. 1122)
Dari Ibnu ‘Umar, ia
berkata :
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يكره أن تؤتى معصيته.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan
rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat
kepada-Nya” [HR. Ahmad 2/108; shahih]
Dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي سَفَرٍ . فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ
ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : صَائِمٌ . قَالَ : لَيْسَ
مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan
orang dan seorang di antaranya dibawa ke tempat teduh, maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berkata: Apa ini? orang-orang mengatakan bahwa dia sedang
berpuasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan suatu
kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.” [HR.
Muslim no. 1115].
Dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ
فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ
مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ
بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ.
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu Fathu Makkah di bulan Ramadhan.
Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ Al-Ghamim, maka orang-orang pun ikut berpuasa.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya diambilkan
semangkuk air minum, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya hingga
terlihat oleh orang-orang dan kemudian meminumnya. Setelah itu disampaikan
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa masih ada sebagian orang yang
berpuasa, maka beliau pun bersabda: “Mereka orang-orang yang membangkang,
mereka orang-orang yang membangkang.” (HR. Muslim
no. 1114)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُسَافِرَ لَهُ أَنْ يَصُومَ وَلَهُ
أَنْ يُفْطِرَ وَأَنَّ لَهُ الْإِفْطَارَ وَإِنْ صَامَ أَكْثَرَ النَّهَارِ
وَخَالَفَ فِي الطَّرَفِ الْأَوَّلِ دَاوُد وَالْإِمَامِيَّةُ فَقَالُوا: لَا
يُجْزِئُ الصَّوْمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] وَبِقَوْلِهِ "
أُولَئِكَ الْعُصَاةُ " وَقَوْلُهُ «لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي
السَّفَرِ
Hadits ini menjelaskan bahwa musafir boleh berpuasa dan
boleh berbuka, walaupun ia telah berpuasa pada sebagian besar dari siang
harinya.
Namun Dawud dan Al-Imamiyah berbeda pendapat. Menurut
mereka seorang musafir tidak boleh berbuka puasa, berdasarkan firman Allah :
“Maka bagia siapa diantara kamu sakit atau
dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan di hari-hari lain” (QS.
Al-Baqarah : 184)
Juga berdasarkan sabda beliau, “Mereka orang-orang yang
membangkang, mereka orang-orang yang membangkang” dan
juga sabdanya, “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.” [Subulussalam, 2/188]
Mana yang lebih utama bagi Musafir, Tetap
Berpuasa atau berbuka?
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فَذَهَبَتْ الْهَادَوِيَّةُ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ إلَى أَنَّ
الصَّوْمَ أَفْضَلُ لِلْمُسَافِرِ حَيْثُ لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِ وَلَا ضَرَرَ
فَإِنْ تَضَرَّرَ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ.وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَآخَرُونَ الْفِطْرُ أَفْضَلُ مُطْلَقًا
Menurut
Al-Hadawiyah, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i bahwa berpuasa lebih utama bagi
seorang musafir jika tidak ada kesulitan maupun bahaya baginya, namun jika
puasa tersebut akan membahayakannya, maka berbuka lebih baik baginya. Sedangkan
menurut Ahmad, Ishaq dan yang lainnya, bahwa bagaimanapun kondisinya, berbuka
lebih utama. [Subulussalam, 2/188]
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata
:
فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:فَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ
بِهَذَا الْقَوْلِ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ.وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا
الْقَوْلِ أَحْمَدُ وَجَمَاعَةٌ.
وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ ذَلِكَ عَلَى التَّخْيِيرِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ
أَحَدُهُمَا أَفْضَلَ
Dalam hal ini jumhur dibagi tiga pendapat :
- Tetap berpuasa
adalah lebih utama. Yang berpendapat seperti ini antara lain Malik dan Abu
Hanifah.
- Lebih utama
berbuka dinyatakan oleh Ahmad dan segolongan ulama.
- Sebagian yang
lain berpendapat boleh memilih berbuka atau tetap berpuasa tanpa ada satu
orang yang lebih utama.
[Bidayatul Mujtahid, 1/666].
Bepergian Yang Bagaimana Yang DIperbolehkan
Berbuka?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid
berkata :
فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ إِنَّمَا يُفْطِرُ فِي السَّفَرِ
الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَذَلِكَ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي
هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّهُ يُفْطِرُ فِي كُلِّ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ
اسْمُ السَّفَرِ وَهُمْ أَهْلُ الظَّاهِرِ.وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ: مُعَارَضَةُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ
لِلْمَعْنَى،
Dalam hal tersebut, menurut jumhur ulama,
bepergian yang diperbolehkan berbuka, ukurannya adalah bepergian yang boleh
mengqasar shalat. Dalam hal ini juga terdapat lebih dari satu pendapat.
Menurut madzhab Zhahiri, bepergian apapun
bentuknya diperbolehkan berbuka. Perbedaan tersebut karena ada pertentangan
antara makna lafal dengan makna yang dipahami.
وَذَلِكَ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ أَنَّ كُلَّ مَنْ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ
اسْمُ مُسَافِرٍ فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ لِقَوْلِهِ - تَعَالَى - {فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 184] . وَأَمَّا
الْمَعْنَى الْمَعْقُولُ مِنْ إِجَازَةِ الْفِطْرِ فِي السَّفَرِ فَهُوَ
الْمَشَقَّةُ، وَلَمَّا كَانَ الصَّحَابَةُ كَأَنَّهُمْ مُجْمِعُونَ عَلَى
الْحَدِّ فِي ذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُقَاسَ ذَلِكَ عَلَى الْحَدِّ فِي تَقْصِيرِ
الصَّلَاةِ
Menurut makna lafal, setiap orang yang
bepergian boleh berbuka berdasarkan firman Allah :
“Maka bagia siapa diantara kamu sakit atau
dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan di hari-hari lain” (QS.
Al-Baqarah : 184)
Menurut makna logis, bepergian yang
diperbolehkan berbuka adalah bepergian yang berat. Karena tidak semua bepergian
itu berat dan lagi, para sahabat cenderung membatasi criteria bepergian, ukuran
bepergian itu harus dianalogkan dengan bats bepergian yang diperbolehkan mengqasar shalat. [Bidayatul Mujtahid,
1/664].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar