Minggu, 22 Juli 2018


BERPUASA ATAS NAMA ORANG  YANG SUDAH MENINGGAL

Oleh : Masnun Tholab

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah hokum berpuasa atas nama orang yang sudah meninggal. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits dalam masalah tersebut.

Firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39 :
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Imam Syafi’i dalam kitab Tafsir Imam Syafi’i berkata :
Aku berkata kepada orang yang berdebat denganku, kita sama-sama tahu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang perempuan untuk melakukan haji atas nama bapaknya, juga memerintahkan seorang laki-laki agar melakukan haji atas nama bapaknya. Jadi kita sama. Kita juga sependapat bahwa seseorang tidak bisa berpuasa atas nama orang lain. Tidak juga shalat atas nama orang lain. [Tafsir Imam Syafi’i 3, hal. 441].

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ الْمَيِّتَ صِيَامُ وَلِيِّهِ عَنْهُ إذَا مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ وَاجِبٌ وَالْإِخْبَارُ فِي مَعْنَى الْأَمْرِ أَيْ لِيَصُمْ عَنْهُ وَلِيُّهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافٌ فَقَالَ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ وَأَبُو ثَوْرٍ وَجَمَاعَةٌ: إنَّهُ يُجْزِئُ صَوْمُ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ لِهَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ. وَذَهَبَتْ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا صِيَامَ عَنْ الْمَيِّتِ وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ الْكَفَّارَةُ لِمَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ» إلَّا أَنَّهُ قَالَ بَعْدَ إخْرَاجِهِ: غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عُمَرَ
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dan ia memiliki tanggungan puasa maka diperbolehkan bagi walinya untuk mengganti puasanya, dan ungkapan ini walaupun berbentuk berita namun maknanya adalah perintah, yakni, “Hendaklah walinya berpuasa untuknya”
Dalam hal  ini para ulama berbeda pendapat, para ahli hadits, Abu Tsaur dan beberapa golongan berpendapat bahwa puasa seorang kerabat bisa menggantikan puasa seseorang yang telah meninggal berdasarkan hadits ini. Beberapa golongan dari Al-Aal, Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa puasa orang  yang telah meninggal tidak bisa  diwakili, yang wajib dilakukan ialah  membayar kafarat, berdasarkan hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Umar,


مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ
Barangsiapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa” (HR. Tirmidzi no. 718. Abu ‘Isa berkata, “Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadits ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.
[Subulussalam, 2/209].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Menurut sebagian ulama, seseorang tidak bisa menanggung puasa orang lain. Menurut sebagian  yang lain, walinya  wajib berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkannya. Menurut Syafi’i walinya wajib membayarnya satu mud. Menurut Malik, walinya tidak wajib berpuasa dan tidak juga membayar mud, kecuali bila ada wasiat. Menurut Abu Hanifah, walinya wajib berpuasa, apabila tidak puasa maka wajib membayar mud.
Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila yang ditinggalkan itu puasa nazar, walinya wajib  berpuasa. Apabila puasa fardhu (Ramadhan), walinya tidak wajib berpuasa.
Perbedaan tersebut berasal dari adanya pertentangan antara qiyas dengan hadits.
Hadits Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ فَأَصُومُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: «أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يُؤَدَّى ذَلِكَ عَنْهَا» ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ» . أَخْرَجَاهُ
Ada seorang perempuan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata,
 Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”
Ulama yang menganggap hadits tersebut bertentangan dengan hukum asal, seperti seseorang tidak bisa melakukan shalat untuk mewakili orang lain, tidak bisa berwudhu  untuk mewakili orang lain, maka puasapun tidak bisa diwakili. Berdasarkan  hal ini, maka walinya tidak wajib berpuasa untuk menanggungnya.
Ulama yang tidak menggunakan  hadits tersebut, berpendapat bahwa walinya wajib berpuasa untuk menanggungnya hanya sebatas puasa nazar.
Ulama yang mengqiyaskan hal tersebut dengan puasa ramadhan, maka walinya hanya menanggung puasa Ramadhan. Ulama yang mewajibkan walinya membayar mud berdasar pada ayat :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ
“....dan orang-orang  yang tidak kuat menjalankannya wajib membayar fidyah...” (QS. Al-Baqarah : 184)
Sedangkan pendapat  yang terbaik adalah memadukan ayat al-Qur’an ini dengan hadits di atas.
[Bidayatul Mujtahid 1/673]
  
Asy-Syaukani berkata :
وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ صَوْمَ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَذَهَبَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ إلَى أَنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْ الْمَيِّتِ مُطْلَقًا، وَبِهِ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيٍّ وَالْهَادِي وَالْقَاسِمُ. وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو عُبَيْدٍ: إنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْهُ إلَّا النَّذْرُ
Sementara jumhur mengatakan, bahwa tidaklah wajib bagi wali si mayat untuk berpuasa atas namanya bila ia mempunyai hutang puasa. Malik dan Abu Hanifah dan Syafi’i dalam pendapat barunya mengatakan, bahwa tidak boleh berpuasa atas nama orang yang sudah meninggal. Demikian juga pendapat Zaid bin Ali, Al-Hadi dan Al-Qasim. Sementara
Al-Laits, Ahmad, Ishaq dan Abu Ubaid mengatakan, bahwa tidak boleh berpuasa atas namanya kecuali karena nazar. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/390, hadits no. 2202]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula,
ولو كان عليه قضاءُ شئٍ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذرٍ اِتَّصَلَ بالموت لم يجب عليه شئٌ لانه فرضٌ لم يَتَمَكَّن من فعله إلي الموت فسقط حُكْمُهُ كالحج وإن زال العذرِ وتمكن فلم يصمه حتى مات أَطْعَمَ عنه لكل مسكين مدٌّ من طعامٍ عن كل يومٍ
“Barangsiapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’, 6: 367).

Sementara itu, di dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin Imam Nawawi berkata :
وَفِي صِفَةِ التَّدَارُكِ قَوْلَانِ.الْجَدِيدُ: أَنَّهُ يُطْعَمُ مِنْ تَرِكَتِهِ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ. وَالْقَدِيمُ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ، وَلَا يَلْزَمُهُ. فَعَلَى الْقَدِيمِ: لَوْ أَمَرَ الْوَلِيُّ أَجْنَبِيًّا فَصَامَ عَنْهُ بِأُجْرَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا، جَازَ كَالْحَجِّ. وَلَوِ اسْتَقَلَّ بِهِ الْأَجْنَبِيُّ، لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْأَصَحِّ
Di dalam sifat melakukan perbuatan yang ditinggalkan si mayit terdapat dua qoul :
Qaul Jadid Imam Syafi’i mengatakan bahwa dengan cara mengeluarkan makanan dari harta peninggalannya pada setiap hari adalah satu mud.
Qaul Qadim Imam Syafi’i mengatakan bahwa walinya boleh berpuasa untuknya sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi bukan merupakan sebuah kewajiban baginya.
[Rhaudhatuth Thalibin 2/390]

Kesimpulan
Mayoritas ulama berpendapat, orang yang meninggal dunia dalam keadaaan memiliki hutang puasa, maka wajib membayar fidyah sebesar 1 mud (6 ons beras) untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...