BERPUASA ATAS NAMA ORANG YANG SUDAH
MENINGGAL
Oleh
: Masnun Tholab
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para
Ulama berbeda pendapat dalam masalah hokum berpuasa atas nama orang yang sudah
meninggal. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits dalam masalah
tersebut.
Firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39 :
وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya.
Imam Syafi’i dalam
kitab Tafsir Imam Syafi’i berkata :
Aku berkata kepada
orang yang berdebat denganku, kita sama-sama tahu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam memerintahkan seorang perempuan untuk melakukan haji atas nama
bapaknya, juga memerintahkan seorang laki-laki agar melakukan haji atas nama
bapaknya. Jadi kita sama. Kita juga sependapat bahwa seseorang tidak bisa
berpuasa atas nama orang lain. Tidak juga shalat atas nama orang lain. [Tafsir
Imam Syafi’i 3, hal. 441].
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya
(walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952
dan Muslim no. 1147)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ الْمَيِّتَ صِيَامُ وَلِيِّهِ عَنْهُ
إذَا مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ وَاجِبٌ وَالْإِخْبَارُ فِي مَعْنَى الْأَمْرِ أَيْ
لِيَصُمْ عَنْهُ وَلِيُّهُ وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافٌ فَقَالَ أَصْحَابُ الْحَدِيثِ وَأَبُو ثَوْرٍ
وَجَمَاعَةٌ: إنَّهُ يُجْزِئُ صَوْمُ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ لِهَذَا
الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ. وَذَهَبَتْ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ وَمَالِكٌ وَأَبُو
حَنِيفَةَ أَنَّهُ لَا صِيَامَ عَنْ الْمَيِّتِ وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ الْكَفَّارَةُ
لِمَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا «مَنْ
مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ» إلَّا
أَنَّهُ قَالَ بَعْدَ إخْرَاجِهِ: غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إلَّا مِنْ هَذَا
الْوَجْهِ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عُمَرَ
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dan ia memiliki
tanggungan puasa maka diperbolehkan bagi walinya untuk mengganti puasanya, dan
ungkapan ini walaupun berbentuk berita namun maknanya adalah perintah, yakni,
“Hendaklah walinya berpuasa untuknya”
Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat, para ahli hadits, Abu Tsaur dan beberapa golongan berpendapat bahwa
puasa seorang kerabat bisa menggantikan puasa seseorang yang telah meninggal
berdasarkan hadits ini. Beberapa golongan dari Al-Aal, Malik dan Abu Hanifah
berpendapat bahwa puasa orang yang telah
meninggal tidak bisa diwakili, yang
wajib dilakukan ialah membayar kafarat,
berdasarkan hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Umar,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ
مِسْكِينٌ
“Barangsiapa yang meninggal dunia lantas ia
masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan
fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa” (HR. Tirmidzi no.
718. Abu ‘Isa berkata, “Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai
perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadits
ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar.
[Subulussalam, 2/209].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Menurut sebagian ulama, seseorang tidak bisa menanggung puasa orang lain.
Menurut sebagian yang lain, walinya wajib berpuasa sejumlah hari yang
ditinggalkannya. Menurut Syafi’i walinya wajib membayarnya satu mud. Menurut
Malik, walinya tidak wajib berpuasa dan tidak juga membayar mud, kecuali bila
ada wasiat. Menurut Abu Hanifah, walinya wajib berpuasa, apabila tidak puasa
maka wajib membayar mud.
Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila yang ditinggalkan itu puasa nazar,
walinya wajib berpuasa. Apabila puasa
fardhu (Ramadhan), walinya tidak wajib berpuasa.
Perbedaan tersebut berasal dari adanya pertentangan antara qiyas dengan
hadits.
Hadits Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya
(walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952
dan Muslim no. 1147)
Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي مَاتَتْ
وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ فَأَصُومُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: «أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ
عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يُؤَدَّى ذَلِكَ عَنْهَا» ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ، قَالَ: «فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ» . أَخْرَجَاهُ
Ada seorang perempuan menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas ia berkata,
“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki
utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama
dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah
engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau lalu
bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.”
(HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”
Ulama yang menganggap hadits tersebut bertentangan dengan hukum asal,
seperti seseorang tidak bisa melakukan shalat untuk mewakili orang lain, tidak
bisa berwudhu untuk mewakili orang lain,
maka puasapun tidak bisa diwakili. Berdasarkan
hal ini, maka walinya tidak wajib berpuasa untuk menanggungnya.
Ulama yang tidak menggunakan hadits
tersebut, berpendapat bahwa walinya wajib berpuasa untuk menanggungnya hanya
sebatas puasa nazar.
Ulama yang mengqiyaskan hal tersebut dengan puasa ramadhan, maka walinya hanya
menanggung puasa Ramadhan. Ulama yang mewajibkan walinya membayar mud berdasar
pada ayat :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ
“....dan orang-orang yang tidak kuat
menjalankannya wajib membayar fidyah...” (QS. Al-Baqarah : 184)
Sedangkan pendapat yang terbaik
adalah memadukan ayat al-Qur’an ini dengan hadits di atas.
[Bidayatul Mujtahid 1/673]
Asy-Syaukani berkata :
وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ صَوْمَ الْوَلِيِّ عَنْ الْمَيِّتِ لَيْسَ
بِوَاجِبٍ، وَذَهَبَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ
إلَى أَنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْ الْمَيِّتِ مُطْلَقًا، وَبِهِ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيٍّ
وَالْهَادِي وَالْقَاسِمُ. وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو
عُبَيْدٍ: إنَّهُ لَا يُصَامُ عَنْهُ إلَّا النَّذْرُ
Sementara jumhur mengatakan, bahwa tidaklah wajib bagi wali si mayat untuk
berpuasa atas namanya bila ia mempunyai hutang puasa. Malik dan Abu Hanifah dan
Syafi’i dalam pendapat barunya mengatakan, bahwa tidak boleh berpuasa atas nama
orang yang sudah meninggal. Demikian juga pendapat Zaid bin Ali, Al-Hadi dan
Al-Qasim. Sementara
Al-Laits, Ahmad, Ishaq dan Abu Ubaid mengatakan, bahwa tidak boleh berpuasa
atas namanya kecuali karena nazar. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar,
2/390, hadits no. 2202]
Imam
Nawawi rahimahullah menjelaskan pula,
ولو كان عليه قضاءُ شئٍ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذرٍ اِتَّصَلَ
بالموت لم يجب عليه شئٌ لانه فرضٌ لم يَتَمَكَّن من فعله إلي
الموت فسقط حُكْمُهُ كالحج وإن زال العذرِ وتمكن فلم يصمه حتى مات أَطْعَمَ عنه
لكل مسكين مدٌّ من طعامٍ عن كل يومٍ
“Barangsiapa
masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal
dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur
lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka
ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada
kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur
sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki
kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia,
maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu
hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al Majmu’, 6: 367).
Sementara itu, di dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin
Imam Nawawi berkata :
وَفِي صِفَةِ التَّدَارُكِ قَوْلَانِ.الْجَدِيدُ: أَنَّهُ يُطْعَمُ مِنْ تَرِكَتِهِ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ.
وَالْقَدِيمُ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ، وَلَا
يَلْزَمُهُ. فَعَلَى الْقَدِيمِ: لَوْ أَمَرَ الْوَلِيُّ أَجْنَبِيًّا فَصَامَ
عَنْهُ بِأُجْرَةٍ أَوْ بِغَيْرِهَا، جَازَ كَالْحَجِّ. وَلَوِ اسْتَقَلَّ بِهِ
الْأَجْنَبِيُّ، لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْأَصَحِّ
Di dalam sifat melakukan perbuatan yang
ditinggalkan si mayit terdapat dua qoul :
Qaul Jadid Imam Syafi’i mengatakan bahwa dengan
cara mengeluarkan makanan dari harta peninggalannya pada setiap hari adalah
satu mud.
Qaul Qadim Imam Syafi’i mengatakan bahwa walinya
boleh berpuasa untuknya sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi bukan
merupakan sebuah kewajiban baginya.
[Rhaudhatuth Thalibin 2/390]
Kesimpulan
Mayoritas ulama berpendapat, orang yang meninggal dunia dalam keadaaan
memiliki hutang puasa, maka wajib membayar fidyah sebesar 1 mud (6 ons beras)
untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar