Sabtu, 28 Juli 2018

I’TIKAF

I’TIKAF
Oleh : Masnun Tholab

ان الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

Pengertian I’tikaf
Menurut Imam Nawawi, I’tikaf adalah:
الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [Syarh Shahih Muslim 8/66}.
Imam Ash-Shan’ani berkata :Yang dimaksud dengan i’tikaf ialah berkonsentrasi untuk khusyu’ beribadah kepada Allah dengan cara menyendiri, dalam keadaan perut kosong, bermunajat kepadaNya, dan berusaha berpaling dari segala sesuati selainNya. [Subulussalam 2/178]

Hukum I’tikaf
Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,
وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[ Al Ijma’ hlm. 7]
An Nawaw mengatakan,  “Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[ Al Majmu’ 6/475]

I’tikaf Pada Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172, Bulughul maram Hadits ke-49).

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الِاعْتِكَافَ سُنَّةٌ وَاظَبَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَأَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ قَالَ أَبُو دَاوُد عَنْ أَحْمَدَ لَا أَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ خِلَافًا
Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melaksanakannya, kemudian istri-istri beliau melanjutkan kebiasaan tersebut. Abu Dawud meriwayatkan dari Ahmad bahwa beliau berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan diantara ulama tentang hukum i’tikaf, yaitu sunnah” [Subulussalam 2/178]

Waktu I’tikaf
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,
 كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
 bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bila hendak beri’tikaf, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. (HR. Muslim no. 1173) [Bulughul maram Hadits ke-50]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الِاعْتِكَافِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي ذَلِكَ، وَقَدْ خَالَفَ فِيهِ مَنْ قَالَ: إنَّهُ يَدْخُلُ الْمَسْجِدَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إذَا كَانَ مُعْتَكِفًا نَهَارًا وَقَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ إذَا كَانَ مُعْتَكِفًا لَيْلًا
Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa permulaan waktu i’tikaf ialah setelah shalat shubuh. Dengan demikian orang yang mengatakan bahwa bila seseorang ingin beri’tikaf pada siang hari maka ia harus memasuki masjid sebelum terbit fajar dan orang yang beri’tikaf pada malam hari maka ia harus memasuki masjid sebelum terbenamnya matahari telah menyelishi hadits di atas.
[Subulussalam 2/178]

Sayyid Sabiq berkata :
I’tikaf sunnah tidak terbatas waktunya. Apabila seseorang telah masuk masjid dan meniatkan taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalamnya, berarti dia beri’tikaf hingga keluar. Dan jika sesorang berniat hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan ramadhan, hendaknya ia mulai masukmasjid sebelum matahari terbenam.
Mengenai waktu keluar masjid bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, menurut Abu Hanifah dan Syafi’I adalah setelah matahri terbenam, sedangkan menurut Malik dan Ahmad boleh keluar setelah matahri terbenam itu, tetapi menurut mereka disunahkan ia tinggal di masjid hingga waktu shalat hari raya. [Fiqih Sunnah, 2/89].

Larangan Keluar Masjid Ketika I’tikaf
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,
إنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِيُدْخِلَ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إلَّا لِحَاجَةٍ إذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah memasukkan kepalany ke dalam rumah — beliau di dalam masjid–, lalu aku menyisir rambutnya dan jika beri’tikaf beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk suatu keperluan. (HR. Bukhari no. 2029) [Bulughul maram Hadits ke-51]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
فِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ الْمُعْتَكِفُ مِنْ الْمَسْجِدِ بِكُلِّ بَدَنِهِ وَأَنَّ خُرُوجَ بَعْضِ بَدَنِهِ لَا يَضُرُّ وَفِيهِ أَنَّهُ يُشْرَعُ لِلْمُعْتَكِفِ النَّظَافَةُ وَالْغُسْلُ وَالْحَلْقُ وَالتَّزَيُّنُ وَعَلَى أَنَّ الْعَمَلَ الْيَسِيرَ مِنْ الْأَفْعَالِ الْخَاصَّةِ بِالْإِنْسَانِ يَجُوزُ فِعْلُهَا وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَعَلَى جَوَازِ اسْتِخْدَامِ الرَّجُلِ لِزَوْجَتِهِ
Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa seseorang yang sedang beri’tikaf tidak mengeluarkan seluruh badannya dari masjid, sedangkan keluarnya sebagian anggota tubuh diperbolehkan. Hadits ini juga menjelaskan, bahwa seyogyanya seseorang yang sedang beri’tikaf manjaga kebersihan, mandi, mencukur dan berhias. Juga menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan kecil yang berkenaan dengan urusan pribadi boleh dilakukan di masjid, dan seseorang diperbolehkan meminta bantuan istrinya untuk itu.
Beliau juga berkata :
وَقَوْلُهُ (إلَّا لِحَاجَةٍ) يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ الْمُعْتَكِفُ مِنْ الْمَسْجِدِ إلَّا لِلْأَمْرِ الضَّرُورِيِّ وَالْحَاجَةُ فَسَّرَهَا الزُّهْرِيُّ بِالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَقَدْ اُتُّفِقَ عَلَى اسْتِثْنَائِهِمَا وَاخْتُلِفَ فِي غَيْرِهِمَا مِنْ الْحَاجَاتِ كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ.
Sabda beliau, “kecuali untuk satu keperluan’ menunjukkan bahwa seseorang yang sedang beri’tikaf tidak diperkenankan keluar dari masjid kecuali untuk urusan yang sangat penting. Kemudian Az-Zuhri menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keperluan disini adalah buang air besar maupun buang air kecil. Para ulama telah bersepakat atas kedua hal ini, namun mereka berbeda pendapat tentang masalah lainnya, seperti makan dan minum. [Subulussalam 2/179]

Haruskah I’tikaf Dilakukan Di Masjid?
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,
السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جِنَازَةً، وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إلَّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ وَلَا اعْتِكَافَ إلَّا بِصَوْمٍ، وَلَا اعْتِكَافَ إلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ.
Disunatkan bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak melawat jenazah, tidak menyentuh perempuan dan tidak juga menciumnya, tidak keluar masjid untuk suatu keperluan kecuali keperluan yang sangat mendesak, tidak boleh i’tikaf kecuali dengan puasa, dan tidak boleh i’tikaf kecuali di masjid jami’. Riwayat Abu Dawud. Menurut pendapat yang kuat hadits ini mauquf akhirnya. [Bulughul maram Hadits ke-52]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
وَفِيهِ دَلَالَةٌ أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ الْمُعْتَكِفُ لِشَيْءٍ مِمَّا عَيَّنَتْهُ هَذِهِ الرِّوَايَةُ وَأَنَّهُ أَيْضًا لَا يَخْرُجُ لِشُهُودِ الْجُمُعَةِ وَأَنَّهُ إنْ فَعَلَ - أَيْ ذَلِكَ - بَطَلَ اعْتِكَافُهُ. وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافٌ كَبِيرٌ وَلَكِنَّ الدَّلِيلَ قَائِمٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ
Hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa seseorang yang sedang beri’tikaf tidak boleh melakukan hal-hal yang yang telah disebtkan di dalam hadits itu. Ia juga tidak menghadiri shalat jum’at. Jika ia melakukan hal-hal di atas, maka i’tikafnya batal. Walaupun sebenarnya dalam masalah ini terdapat banyak pendapat, namun dalil-dalil yang kuat mendukung apa yang saya sebutkan.
[Subulussalam 2/176]

Sayyid Sabiq berkata :
Khattabi berkata, “Segolongan ulama mengatakan bahwa orang yang sedang beri’tikaf boleh turut mengerjakan shalat jum’at, menjenguk orang sakit, dan menghadiri penyelenggaraan jenazah.
Dari Aisyah,
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يمر بالمريض وهو معتكف، فيمر كما هو ولا يعرج يسأل عنه
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa lewat pada orang yang sakit sementara ia beri’tikaf. Ia lewat dalam keadaan seperti beri’tikaf dan tidak berhenti sewaktu menyapanya” (HR. Abu Dawud)
[Fiqih Sunnah, 2/94].

 Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim berkata :
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَصِحُّ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَزْوَاجَهُ وَأَصْحَابَهُ إِنَّمَا اعْتَكَفُوا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ الْمَشَقَّةِ فِي مُلَازَمَتِهِ فَلَوْ جَازَ فِي الْبَيْتِ لفعلوه ولو مرة لاسيما النِّسَاءُ لِأَنَّ حَاجَتَهُنَّ إِلَيْهِ فِي الْبُيُوتِ أَكْثَرُ وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنَ اخْتِصَاصِهِ بِالْمَسْجِدِ وَأَنَّهُ لَا يَصِحُّ فِي غَيْرِهِ هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَالْجُمْهُورِ سَوَاءٌ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ
Di dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan bahwa i’tikaf tidak sah melainkan dilaksanakan di dalam masjid. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, istri-istrinya dan para sahabatnya rhadiallahu ‘anhum hanya melaksanakan i’tikaf di dalam masjid meskipun dalam keadaan yang sulit. Seandainya memang diperbolehkan beri’tikaf di dalam rumah, pasti mereka telah melakukannya meskipun hanya sekali, apalagi kaum wanita, karena kebutuhan mereka untuk melaksanakan i’tikaf di dalam rumah lebih besar. Pendapat yang kami sebutkan ini, yaitu i’tikaf hanya di dalam masjid dan tidak sah jika dilakukan pada selainnya adalah madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, Dawud dan mayoritas ulama, baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan. [Syarah Shahih Muslim, 5/818].
Beliau juga berkata :
فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَجُمْهُورُهُمْ يَصِحُّ الِاعْتِكَافُ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ وَقَالَ أَحْمَدُ يَخْتَصُّ بِمَسْجِدٍ تُقَامُ الْجَمَاعَةُ الرَّاتِبَةُ فِيهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَخْتَصُّ بِمَسْجِدٍ تُصَلَّى فِيهِ الصَّلَوَاتُ كُلُّهَا وَقَالَ الزُّهْرِيُّ وَآخَرُونَ يَخْتَصُّ بِالْجَامِعِ الَّذِي تُقَامُ فِيهِ الْجُمُعَةُ
Imam Syafi’i, Malik dan jumhur ulama berpendapat i’tikaf sah dilaksanakan di semua masjid. Imam Ahmad berpendapat, I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid yang mana shalat berjamaah dilaksanakan secara rutin di dalamnya. Abu Hanifah berpendapat, I’tikaf boleh dilakukan di masjid yang seluruh shalat dilaksanakan di dalamnya. Az-Zuhri dan lainnya berpendapat, I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid jami’ yang mana shalat jum’at dilaksanakan di dalamnya. [Syarah Shahih Muslim, 5/819].

I’tikaf Tidak Harus Dalam Kondisi Puasa
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim berkata :
وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ وَمُوَافِقِيهِمْ أَنَّ الصَّوْمَ لَيْسَ بِشَرْطٍ لِصِحَّةِ الِاعْتِكَافِ بَلْ يَصِحُّ اعْتِكَافُ الْفِطْرِ وَيَصِحُّ اعْتِكَافُ سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَحْظَةٍ وَاحِدَةٍ وَضَابِطُهُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا مُكْثُ يَزِيدَ عَلَى طُمَأْنِينَةِ الرُّكُوعِ أَدْنَى زِيَادَةٍ هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ
Menurut Madzhab Imam Syafi’i Rahimahullah dan para sahabatnya, dan orang-orang yang sepakat dengannya, bahwa puasa bukan merupakan syarat sahnya beri’tikaf. Bahkan i’tikaf yang dilakukan pada hari raya idul fitri, i’tikaf selama satu jam, i’tikaf sesaat adalah sah. Ketentuan i’tikaf menurut sahabat-sahabat kami adalah berdiam diri melebihi batas thuma’ninah (berhennti sejenak) ketika ruku’ meskipun sedikit. Itulah pendapat yang benar. [Syarah Shahih Muslim, 5/817].

Wallahu a’lam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...