AIR MUTLAK
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
ان الحمد لله نَحْمَدُهُ ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Pengertian Air Mutlak
Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وهو ما يقعُ عليه اسمُ الماءِ بلا قيدٍ. وإن رُشِحَ من بُخَارِ الماءِ الطهورِ الْمُغَلَّي أو اسْتَهْلَكَ فيه الخليطُ أو قُيِّدَ بمُوَافَقَةِ الوَاقِعِ كماءِ البحرِ.بخلافِ ما لا يُذْكَرُ إلا مُقَيَّدًا كماءِ الوَرْدِ.
Pengertian air muthlaq ialah yang dinamai “AIR” tanpa ada tambahan apapun, meskipun hasil penyulingan daripada uap air mendidih, atau dilarutkan campurannya ataupun ada tambahan pada nama airnya, di mana tambahan ini menjelaskan atau menerangkan tentang wadah atau tempatnya, misalnya “AIR LAUT”, hal ini berbeda dengan air yang namanya selalu disebut memakai tambahan, misalnya “AIR MAWAR”. [Fathul Mu’in jilid 1, hal. 27].
Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin mengatakan :
Air mutlak adalah air yang terlepas dari ifadhah (tambahan atau ikatan) yang tetap. Dikatakan: air mutlak adalah air yang tetap dengan sifat aslinya. [Rhaudhatuth Thalibin, 1/123]
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengatakan:
Air Mutlak hukumnya adalah bahwa ia suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya sendiri dan menyucikan bagi lainnya. [Fiqih Sunnah, jilid 1, hal. 13]
Macam-macam Air Mutlak
Di dalamnya termasuk macam-macam air sebagai berikut:
1. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ
“...dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu” (QS. Al-Anfal : 11)
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi mensucikan.” (QS. Al Furqan:48)
Juga berdasarkan hadit Abu Hurairah ra, katanya:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah, maka saya tanyakan: ‘Demi kedua orangtuanku, wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiam diri di antara takbir dan membaca Al Fatihah?’ Rasulullah pun menjawab: ‘Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dari Barat. Ya Allah, bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahan dengan salju, air dan embun.‘” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)
2. Air laut,
berdasarkan hadits Abu Hurairah ra, katanya :
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلُ مِنَ الْمَاءِ إِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَـتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya : ‘Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhu, akibatnya kami akan kehausan. Maka bolehkan kami berwudhu dengan air laut?’ Berkatalah Rasulullah Shallallau ‘alaihi wasallam : ‘Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya hala dimakan.‘” (Diriwayatkan oleh Imam Yang Lima)
Berkata Imam Tirmidzi -rahimahullah- : “Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari -rahimahullah- tentang hadits ini, jawabnya ialah ‘Hadits ini shahih.’”
3. Air telaga (sumur)
karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra, katanya :
ثُمَّ أَفَاضَرَسُولُ اللَّهِ s فَدَعَا بِسِجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya untuk berwudhu.” (HR Ahmad)
4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang dan tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan dain-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci.
Firman Allah Ta’ala :
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu!” (QS. Al Maidah:6)
[Dikutip dari kitab Fiqih Sunnah, jilid 1, hal. 13-14].
Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وهو ما يقعُ عليه اسمُ الماءِ بلا قيدٍ. وإن رُشِحَ من بُخَارِ الماءِ الطهورِ الْمُغَلَّي أو اسْتَهْلَكَ فيه الخليطُ أو قُيِّدَ بمُوَافَقَةِ الوَاقِعِ كماءِ البحرِ.بخلافِ ما لا يُذْكَرُ إلا مُقَيَّدًا كماءِ الوَرْدِ.
Pengertian air muthlaq ialah yang dinamai “AIR” tanpa ada tambahan apapun, meskipun hasil penyulingan daripada uap air mendidih, atau dilarutkan campurannya ataupun ada tambahan pada nama airnya, di mana tambahan ini menjelaskan atau menerangkan tentang wadah atau tempatnya, misalnya “AIR LAUT”, hal ini berbeda dengan air yang namanya selalu disebut memakai tambahan, misalnya “AIR MAWAR”.
غيرَ مستعملٍ في فرضِ طهارةٍ من رفعِ حدثٍ أصْغَرَ أو أكبرَ ولو من طُهْرِ حَنَفِيٍّ لم يَنْوِ أو صَبِيٍّ لم يُمَيِّزْ لطوافٍ وإزالةِ نَجْسٍ ولو معفُوًّا عنه.قليلا أي حالَ كونِ المستعملِ قليلا أي دونَ القلتينِ
Bukan air musta’mal (air bekas thaharah), baik air bekas menghilangkan hadats kecil maupun besar, walaupun thaharahnya orang yang bermadzhab hanafi yang tanpa menggunakan niat, ataupun anak kecil yang belum mumayyiz untuk thawaf dan mencuci najis meskipun najis ma’fuw, yang mana air bekas thaharah tersebut jumlahnya sedikit, yakni kurang daripada dua kullah.
فإن جُمِعَ المستعملُ فبلغَ قلتينِ فمُطَهِّرٌ كما لو جُمِعَ المتنجسُ فبلغ قلتين ولم يَتَغَيَّرْ وإن قَلَّ بعدُ بتَفْرِيْقِهِ.
Maka apabila air-air musta’mal dikumpulkan hingga mencapai dua kullah maka jadilah ia air muthahhir yang dapat digunakan untuk bersuci, sebagaimana terkumpulnya air mutanajjis hingga dua kullah dengan syarat dalam keadaan tidak berubah meskipun setelah diambil jumlahnya akan kembali menjadi sedikit.
فعُلِمَ أن الاستعمالَ لا يَثْبُتُ إلا مع قِلَّةِ الماءِ أي وبعد فَصْلِهِ عن المَحَلِّ المستعملِ ولو حُكْمًا كَأَنْ جاوز مَنْكِبَ المُتَوَضِّئِ أو رُكْبَتَهُ وإن عَادَ لِمَحَلِّهِ أو انْتَقَلَ من يدٍ لأُخْرَى
Maka dapat diketahui bahwasanya kemusta’malan air itu hanya pada air yang jumlahnya sedikit, setelah terpisah dari tempat kegunaannya –meskipun hanya secara hukum– sepertihalnya air basuhan yang melewati pundak orang yang berwudhu atau lututnya, walaupun kembali ke tempatnya yang semula, atau air yang berpindah dari tangan yang satu kepada bagian yang lainnya.
نعم لا يَضُرُّ في المُحْدِثِ اِنْفِصَالُ الماءِ من الكَفِّ إلى السَّاعِدِ ولا في الجُنُبِ اِنْفِصَالُهُ من الرأسِ إلى نحوِ الصدرِ مما يَغْلِبُ فيه التَّقَاذُفُ
Ya benar, tidak mengapa bagi orang yang berhadats kecil, air itu berpindah dari telapak tangan ke lengan. Dan bagi orang yang dalam keadaan junub, tidak mengapa berpindahnya air dari kepala ke anggota tubuh lain yang dapat kena tetes air dari kepala itu seperti halnya pada bagian dada. [Fathul Mu’in jilid 1, hal. 27-28].
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar