HUKUM BERBUKA PUASA TANPA UDZUR
Oleh
: Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian
alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Makan dan Minum Tanpa Udzur
Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى
رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ :
اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ
فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ
شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ
النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ
بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ
قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ
تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang
mendatangiku, keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah
gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak
mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik.
Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara
yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan
penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang
tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas),
ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu
siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum
waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah;
al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568;]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ
رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka sehari dari
(puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan) keringanan yang Allâh berikan
kepadanya, maka tidak akan diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun
semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu Khuzaimah, no.1987;
dll]
Dari
Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا
مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَقِيَ اللَّهَ بِهِ، وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ
كُلَّهُ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun dia berpuasa
setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan
jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya”. [HR. Thabarani,
no. 9459, Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275]
Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu,
bahwa dia berkata:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا
مِنْ رَمَضَانَ مُتَعَمِّدًا لَمْ يَقْضِهِ أَبَدًا طُولُ الدَّهْرِ
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Riwayat Ibnu
Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya,
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي
طَالِبٍ أُتِيَ بِالنَّجَاشِيِّ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي رَمَضَانَ, فَضَرَبَهُ
ثَمَانِينَ, ثُمَّ ضَرَبَهُ مِنْ الْغَدِ عِشْرِينَ, وَقَالَ: ضَرَبْنَاكَ
الْعِشْرِينَ لِجُرْأَتِكَ عَلَى اللَّهِ وَإِفْطَارِكَ فِي رَمَضَانَ.
bahwa An-Najasyi dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib,
dia telah minum khamr di bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian
esoknya dia memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali
karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau berbuka di bulan
Ramadhân”. [Riwayat Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla, 6/184]
Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Orang Yang Membatalkan
Puasa Tanpa Udzur
Sayyid Sabiq berkata :
قال الذهبي :
وعند المؤمنين مقرر : أن من ترك صوم رمضان بلا مرض ، أنه شر من الزاني ، ومدمن
الخمر ، بل يشكون في إسلامه ، ويظنون به الزندقة ، والانحلال
Adz-Dzahabi berkata, “Dan bagi kaum mukminin telah
menjadi ketetapan bahwa orang yang meninggalkan puasa ramadhan tanpa sakit
adalah lebih jelek daripada pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan
keislamannya dan mencurigainya sebagai zindik dan telah meninggalkan agamanya”
[Fiqih Sunnah 2/32].
Ibnul Abdil Bar berkata,
وأجمعت الأمة
، ونقلت الكافة ، فيمن لم يصم رمضان عامدا وهو مؤمن بفرضه ، وإنما تركه أشرا وبطرا
، تعمد ذلك ثم تاب عنه : أن عليه قضاءه
“Umat telah sepakat dan mereka
seluruhnya telah menyatakan perihal orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan
dengan sengaja sementara dia masih mengimani kewajibannya akan tetapi ia
meninggalkan puasa karena malas atau sombong, dia lakukan hal tersebut dengan
sengaja kemudian dia bertaubat maka ia wajib mengganti puasa tersebut.” (Al-Istidzkar, 1:77)
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab
berkata :
ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَ يَوْمٍ بَدَلَهُ
وَإِمْسَاكَ بَقِيَّةِ النَّهَارِ وَإِذَا قَضَى يَوْمًا كَفَاهُ عَنْ الصَّوْمِ
وَبَرِئَتْ ذِمَّتُهُ مِنْهُ وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ
وَأَحْمَدُ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ
Telah kami sebutkan pendapat madzhab kami (madzhab
Syafi’i) bahwa ia wajib mengqadha satu hari penggantinya dan menahan diri
sepanjang sisa hari tersebut. Dan jika telah mengqadha satu hari maka dinilai
telah mencukupinya dari puasa dan bebas dari tanggungan. Dan inilah pendapat
yang dikatakan oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan mayoritas ulama.
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 6/184].
Berjima’
Ketika Berpuasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا
صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً
تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ
مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ،
فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ
فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ
أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ
مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ
الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ «
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria
menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
“Wahai
Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?”
Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang
budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa
dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi
makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu
Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya
tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah
dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada
orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang
lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi
taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada
keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Pendapat Para Ulama Tentang Kaffarat (denda)
Bagi Yang Bersetubuh Ketika Berpuasa
Al-Kasani Al-Hanafi dalam kitab Fathul Qadir
berkata :
ثُمَّ عِنْدَنَا كَمَا
تَجِبُ الْكَفَّارَةُ بِالْوِقَاعِ عَلَى الرَّجُلِ تَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ .
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي قَوْلٍ : لَا تَجِبُ عَلَيْهَا
لِأَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْجِمَاعِ وَهُوَ فِعْلُهُ وَإِنَّمَا هِيَ مَحَلُّ
الْفِعْلِ
Kemudian
menurut kami kewajiban kafarat itu dibebankan kepada istri sebagaimana
dibebankan pula pada suami. Imam syafii mengatakan tidak wajib bagi sang istri
untuk membayar kafarat. Karena kafarat itu berhubungan dengan jima’ yang
dilakukan oleh sang suami. Sedangkan sang istri itu hanya tempat melakukan jima
saja. [ Badai’
As-Sonai’, jilid 2 hal. 681]
Imam
An-Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan :
فِي الْكَفَّارَةِ
ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ (أَصَحُّهَا) تَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ خَاصَّةً (وَالثَّانِي) تَجِبُ عَلَيْهِ عنه
وَعَنْهَا (وَالثَّالِثُ) يَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفَّارَةٌ
Kewajiban
kafarat ada tiga pendapat. Yang pertama dan ini adalah pendapat yang benar
mengatakan bahwa kafarat wajib bagi sang suami saja. Pendapat kedua mengatakan
bahwa kafarat wajib atas suami untuk dirinya dan istrinya. Pendapat
ketiga mengatakan bahwa suami dan sang istri masing-masing
wajib
membayar kafarat. [Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab 7/189]
Imam An-Nawawi juga
berkata :
(أَمَّا) أَحْكَامُ
الْفَصْلِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى
هَذِهِ الْكَفَّارَةُ مُرَتَّبَةٌ كَكَفَّارَةِ الظِّهَارِ فَيَجِبُ عِتْقُ
رَقَبَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ الْمَذْكُورِ
Dalam fasal ini Asy-Syafi’i dan para sahabat beliau
rahimahumullah berkata : Kafarat ini adalah berurutan seperti kafarat dzihar,
maka ia wajib memerdekakan budak, jika tidak mampu, maka ia harus berpuasa dua
bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka ia harus memmberikan makanan
kepada enam puluh orang miskin, sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang tersebut
di atas.
[Al-Majmu’
Syarah Al-Muhadzdzab 7/194]
Al-Mardawi Al-Hanbali
berkata :
قَوْلُهُ
(وَلَا يَلْزَمُ الْمَرْأَةَ كَفَّارَةٌ مَعَ الْعُذْرِ) هَذَا الْمَذْهَبُ، نَصَّ
عَلَيْهِ. وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ، وَذَكَرَ الْقَاضِي رِوَايَةً
تُكَفِّرُ
Tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat jima’. Ini adalah
pendapat madzhab. Dan ini juga pendapat sebagian besar ashab. Al-qodhi berkata:
ada pendapat lain mengatakan bahwa sang istri harus membayar kafarat. [Al-Inshaf fi
Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf, jilid 3
hal. 313]
Kesimpulan
1. Para Ulama
berpendapat, berbuka puasa tanpa udzur adalah merupakan dosa besar.
2. Mayoritas ulama
berpendapat hanya suami yang dikenai kafarat jika bersetubuh dengan istrinya di
siang hari bulan ramadhan.
Wallahu a’lam.