Sabtu, 05 Maret 2011

NIAT WUDHU

NIAT WUDHU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah Niat Wudhu. Ada yang berpendapat diwajibkan, ada yang berpendapat tidak diwajibkan. Ulama yang berpendapat bahwa Niat Wudhu itu diwajibkan, berbeda pendapat apakah Niat Wudhu itu dilafalkan atau tidak dilafalkan.
Berikut pendapat para ulama tentang Niat Wudhu beserta dalil masing-masing.

1. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
الفرض الأول : النية, وحقيقتها الإرادة المتوجهة نحوالفعل, ابتغاء رضاالله تعالى وامتثال حكمه, وهي عمل قلبى محض لادخل للسان فيه, والنلفظ بها غير مشروع, ودليل فرضيتها حديث عمر رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم
"إنما الأعمال بالنيات"
Fardhu wudhu yang pertama adalah niat. Maksudnya ialah kemauan yang tertuju untuk melakukan suatu perbuatan demi mengharap keridhaan Allah dan mematuhi pertaurannya. Ia merupakan perbuatan hati semata, yang tidak ada sangkut pautnya dengan lisan. Sementara pengucapan niat secara lisan tidak dianjurkan hukum syara’. Dalil wajib niat adalah hadits Umar RA, Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
”Sah tergantung suatu amal itu tergantung niatnya”
(HR. Bukhari dan Muslim)
[Fiqih Sunnah 1/29 (1/49)].

2. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلف علماء الأمصار هل النية شرط في صحة الوضوء أم لا بعد اتفاقهم على اشتراط النية في العبادات لقوله تعالى {وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين} ولقوله صلى الله عليه وسلم "إنما الأعمال بالنيات" الحديث المشهور.
Dalam hal ini para ulama Amshar (ulama yang tersebar di kota Baghdad, Damaskus, Hijaz, Cordova, dan lain-lain) berbeda pendapat mengenai niat itu termasuk syarat sah wudhu atau tidak, setelah mereka menentukan bahwa niat adalah syarat untuk melakukan ibadah, seperti tersebut dalam firman Allah Ta’ala :
”Dan kalian tidak diperintahkan apapun kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas kepadaNya karena agama”
(QS. Al-Bayyinah : 5)
Hadits masyhur menyebutkan :
”Sah tergantung suatu amal itu tergantung niatnya”
(HR. Bukhari dan Muslim)
فذهب فريق منهم إلى أنها شرط، وهو مذهب الشافعي ومالك وأحمد وأبي ثور وداود. وذهب فريق آخر إلى أنها ليست بشرط، وهو مذهب أبي حنيفة والثوري. وسبب اختلافهم تردد الوضوء بين أن يكون عبادة محضة: أعني غير معقولة المعنى، وإنما يقصد بها القربة فقط كالصلاة وغيرها، وبين أن يكون عبادة معقولة المعنى كغسل النجاسة،
Mazhab Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Dawud berpendapat bahwa niat itu adalah syarat. Lain dengan mazhab Abu Hanifah dan Tsauri. Mereka berpendapat bahwa niat itu tidak termasuk syarat. Sebab perselidihan mereka berpangkal dari ketidak jelasan keberadaan wudhu sebagai ibadah mahdhah (tidak dirasionalkan) yang hanya bermaksud untuk taqarrub kepada Allah, seperti shalat dan lainnya, dan wudhu sebagai ibadah yang bisa dirasionalkan, seperti menghilangkan najis yang berfungsi sebagai kebersihan.
فإنهم لا يختلفون أن العبادة المحضة مفتقرة إلى النية، والعبادة المفهومة المعنى غير مفتقرة إلى النية، والوضوء فيه شبه من العبادتين، ولذلك وقع الخلاف فيه، وذلك أنه يجمع عبادة ونظافة،
Para ulama sepakat bahwa ibadah mahdhah itu harus disertai dengan niat. Sedang ibadah yang ghaira maghdah (dapat dirasionalkan) itu tidak perlu niat. Dalam hal ini wudhu berada diantara kedua ibadah tersebut. Oleh sebeb itu terjadilah perbedaan pendapat, karena wudhu dapat dikatagorikan mengandung aspek ibadah mahdhah dan kebersihan juga
[Bidayatul Mujtahid 1/7 (1/8)]

3. Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
قال الحافظ‏:‏ وقد اتفق العلماء على أن النية شرط في المقاصد واختلفوا في الوسائل ومن ثم خالفت الحنفية في اشتراطها للوضوء‏.‏
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa para ulama telah sepakat bahwa niat itu merupakan syarat untuk menuju suatu tujuan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang sarananya. Para pengikut Imam Hanafi menentang pernyataan itu, khususnya tentang niat di dalam berwudhu.
قال النووي‏:‏ والنية القصد وهو عزيمة القلب وتعقبه الكرماني بأن عزيمة القلب قدر زائد على أصل القصد‏.‏
An-Nawawi berpendapat bahwa kata-kata niyat berarti kemauan, yakni suatu kemauan atau kehendak hati yang didahului oleh ’al-karummi’ yakni kemurahan hati yang menunjukkan bahwa kehendak hati tadi merupakan kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan.
وقال البيضاوي‏:‏ النية عبارة عن انبعاث القلب نحو ما يراه موافقًا لغرض من جلب نفع أو دفع ضرر حالًا ومآلًا والشرع خصصه بالإرادة المتوجهة نحو الفعل لابتغاء رضاء اللَّه وامتثال حكمه‏.‏
Sedangkan Al-Badhawi berkata, bahwa niat itu merupakan jelmaan atas ketulusan hati yang cepat terhadap apa yang dianggapnya ccocok dengan tujuan tertentu yang bisa diambil faedahnya dan dicampakkan kemungkarannya, baik secara materi maupun immateri. Oleh karena itu kemudian syariat mengkhususkan sesuai dengan kemauan yang menuju kepada timbulnya suatu perbuatan demi mencapai keridhaan Allah subhanahu wata’ala sebagai manifestasi ketaatan terhadap segala hokum-Nya.
[Nailul Authar 1/107 (1/292)].

4. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
الوضوء له فروض وسنن فالفروض ستة الأول النية وهي فرض في طهارات الأحداث ولا تجب في إزالة النجاسة على الصحيح لا يصح وضوء كافر أصلي ولا غسله على الصحيح ويصحان على وجه ويصح الغسل دون الوضوء على وجه فيصلي به إذا أسلم
Niat hukumnya wajib dalam bersuci dari berbagai macam hadats. Akan tetapi menurut pendapat yang sahih tidak wajib dalam membersihkan najis. Wudhu orang kafir tidak sah. Demikian juga dengan mandinya menurut pendapat yang sahih. Akan tetapi keduanya sah menurut satu pendapat. Sah hukumnya mandi tanpa berwudhu menurut satu pendapat menurut pengikut madzhab Syafi’i, dan dia dapat melaksanakan shalat apabila telah masuk islam.
[Raudhatuth Thalibin 1/311 (1/190)].

Dalam terjemah kitab Raudhatuth Thalibin ada penjelasan sebagai berikut :
Niat adalah tujuan dari perbuatan. Tidak ada yang mengetahui niat kecuali Allah, dan ini merupakan syarat dalam melaksanakan semua ibadah. Niat inilah yang membedakan antara ibdah dan pekerjaan biasa. Adapun tempatnya adalah di dalam hati.
Apakah diperbolehkan mengucapkan dan melafadzkan niat dalam melaksanakan ibadah?

5. Syeikh Al-Utsaimin berkata :
Menurut pendapat yang sahih, tidak diucapkan, dan bahwa beribadah kepada Allah dengan mengucapkan niat adalah bid’ah yang dilarang. Adapun dalilnya, bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak mengucapkan niat. Kalau itu disyariatkan niscaya beliau akan menjelaskannya dengan perbuatan dan perkataannya.
Mengucapkan niat adalah bid’ah baik dalam melaksanakan shalat, menunaikan zakat, maupun dalam berpuasa.
Sedangkan dalam melaksanakan ibadah haji tidak pernah Nabi mengatakan, ”Saya berniat melaksanakan ibadah haji, atau saya berniat melaksanakan ibadah atas fulan, melainkan beliau mengucapkan talbiyah dan dari sinilah tampak niat itu. Niat tentunya dilakukan sebelum mengucapkan talbiyah. Tidak ada tuntnan yang mengharuskan mengucapkan niat, karena Allah Subhanahu wata’ala mengetahui hal itu. (Asy-Syarh Al-Munti 1/158-159)
[Raudhatuth Thalibin 1/190].

Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Niat merupakan syarat wajib Wudhu.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Niat Wudhu tidak disyariatkan untuk dilafalkan (diucapkan)

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.

*Slawi, Maret 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...