Rabu, 16 Maret 2011

BERTURUT-TURUT (TERTIB) DALAM WUDHU

BERTURUT-TURUT (TERTIB) DALAM WUDHU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا في وجود ترتيب أفعال الوضوء على نسق الآية. فقال قوم: هو سنة، وهو الذي حكاه المتأخرون من أصحاب مالك عن المذهب، وبه قال أبو حنيفة والثوري وداود. وقال قوم: هو فريضة، وبه قال الشافعي وأحمد وأبو عبيد،
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما الاشتراك الذي في واو العطف، وذلك أنه قد يعطف بها الأشياء المترتبة بعضها على بعض، وقد يعطف بها غير المرتبة، وذلك ظاهر من استقراء كلام العرب، ولذلك انقسم النحويون فيها قسمين، فقال نحاة البصرة: ليس تقتضي نسقا ولا ترتيبا، وإنما تقتضي الجمع فقط، وقال الكوفيون: بل تقتضي النسق والترتيب؛
والسبب الثاني اختلافهم في أفعاله عليه الصلاة والسلام، هل هي محمولة على الوجوب أو على الندب؟ فمن حملها على الوجوب قال بوجوب الترتيب، لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه توضأ قط إلا مرتبا، ومن حملها على الندب قال إن الترتيب سنة،
Para ulama berbeda pendapat tentang urutan (tertib) perbuatan yang harus dilakukan dalam wudhu sesuai dengan urutan dalam ayat. Segolongan ulama mutaakhirin dari pengikut Malik, Abu Hanifah, Tsauri, dan Dawud berpendapat bahwa tertib perbuatan dalam ayat itu berkonotasi sunnat. Sedangkan menurut Syafi’i’ Ahmad, dan Abu Ubaid, tertib perbuatan itu berkonotasi wajib.
Dua hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat di atas; Pertama, kata penghubung ‘wawu athaf’ yang berarti ‘dan’ itu mengandung fungsi ganda. Yakni dapat difungsikan sebagai penghubung antara satu perbuatan dengan perbuatan lain secara tertib dan bisa juga secara tidak tertib. Fungsi tersebut sudah sering digunakan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli nahwu terbagi menjadi dua aliran. Aliran Basrah mengatakan bahwa penghubung ‘wawu athaf’ itu tidak menunjukkan arti berurutan (tertib), tapi hanya menunjukkan ‘adanya perbuatan’ itu. Sedang menurut aliran Kufah, penghubung itu menunjukkan arti ‘berurutan’ (tertib).
Kedua, perselisihan para ulama dalam menafsirkan perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Apakah perbuatan Nabi dalam wudhu itu menunjukkan arti wajib atau sunnat?
Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi tersebut menunjukkan hukum wajib, maka urut (tertib) itu wajib, karena Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam selalu melaksanakan wudhu secara tertib. Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam tersebut menunjukkan sunnat, maka tertib dalam wudhu itu hukumnya sunnat.
[Bidayatul Mujtahid 1/13 (1/ 23].


عن خالد بن مَعْدَانَ عن بعضِ أزواجِ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ‏(‏أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم رأى رجلًا يصلي في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمَ لَمْ يُصِبْهَا الماءُ فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم أن يُعِيْدَ الوضوءَ‏)‏‏.‏
رواه أحمد وأبو داود وزاد والصلاةَ قال الأَثْرَمُ‏:‏ قُلْتُ لأحمدَ هذا إسْنَادُهُ جَيِّدٌ قال جَيِّدٌ‏.‏
Dari Khalid bin Ma’dan dan dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki sedang shalat padahal di atas tapak kakinya ada kulit yang mengkilat selebar dirham yang tidak kena air (wudhu), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia mengulangi wudhu” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan Abu Dawud menambah dengan perkataan “Dan mengulangi shalat” Al-Atsram berkata, “Aku bertanya pada Imam Ahmad, adakah sanad hadits ini baik? Ia menjawab : ‘Baik)

وعن عُمَرِ بن الخطابِ‏:‏ ‏(‏أنَّ رجلًا توضأَ فترك مَوْضِعَ ظُفْرٍ على قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال‏:‏ ارجعْ فأحْسِنْ وضوءك قال‏:‏ فرجع فتوضأَ ثم صلَّى‏)‏‏.‏
رواه أحمد ومسلم ولم يذكر فتوضأ‏.‏
Dari Umar bin Khattab, bahwa seorang laki-laki wudhu tetapi ia tidak menyiram tempat kuku atas kakinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, maka ia bersabda, “Ulangilah dan perbaikilah wudhumu”. Umar berkata, “Lalu ia mengulangi wudhu lalu shalat” (HR. Ahmad, dan Muslim tidak menyebut, ‘lalu ia wudhu’)

Imam Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول يدل على وجوب إعادة الوضوء من أوله على من ترك من غسل أعضائه مثل ذلك المقدار‏.‏
والحديث الثاني لا يدل على وجوب الإعادة لأنه أمره فيه بالإحسان لا بالإعادة والإحسان يحصل بمجرد إسباغ غسل ذلك العضو‏.‏
Hadits pertama menunjukkan wajib mengulangi wudhu dari permulaannya bagi orang yang tidak mencuci sebagian anggotanya sebesar ukuran yang terdapat di dalam hadits itu. Hadits kedua menunjukkan tidak wajib mengulangi karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memperbaiki cukup dengan menyempurnakan anggota yang tidak tercuci itu saja.
فالحديث الأول يدل على مذهب من قال بوجوب الموالاة لأن الأمر بالإعادة للوضوء كاملًا للإخلال بها بترك اللمعة وهو الأوزاعي ومالك وأحمد بن حنبل والشافعي في قول له‏.‏
والحديث الثاني وحديث أنس السابق يدلان على مذهب من قال بعدم الوجوب وهم العترة وأبو حنيفة والشافعي في قول له
Hadits pertama menjadi dalil bagi orang yang berpendapat atas wajibnya berturut-turut, karena perintah mengulangi wudhu dengan sempurna itu disebabkan oleh meninggalkan kulit yang mengkilat (tidak tercuci). Demikian menurut Al-Auza’I, Malik, Ahmad, Ibnu Hanbal, dan menurut salah satu pendapat Al-Syafi’i.
Hadits kedua dan hadits Anas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya ‘berturut-turut’. Mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Atrah, Abu Hanifah, dan menurut Syafi’i di dalam salah satu pendapatnya.
[Nailul Authar 1/144 (1/386)]

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
قال الله عز وجل فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم إلى الكعبين
قال وتوضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم كما أمره الله عز وجل وبدأ بما بدأ الله تعالى به قال فأشبه والله تعالى أعلم أن يكون على المتوضيء في الوضوء شيئان أن يبدأ بما بدأ الله ثم رسوله عليه الصلاة والسلام به منه ويأتي على إكمال ما أمر به فمن بدأ بيده قبل وجهه أو رأسه قبل يديه أو رجليه قبل رأسه كان عليه عندى أن يعيد حتى يغسل كلا في موضعه بعد الذي قبله وقبل الذي بعده لا يجزيه عندي غير ذلك وإن صلى أعاد الصلاة بعد أن يعيد الوضوء ومسح الرأس وغيره في هذا سواء
Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “…. apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…” (QS. Al-Ma’idah 5 : 6)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu sebagaimana yang diperintahkan kepadanya, dan memulai dengan apa yang dimulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dengan demikian –wallahu a’lam- orang yang berwudhu hendaklah memperhatikan dua perkara; yaitu memulai dengan apa yang dumulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala, kemudian yang dimulai oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hendaknya menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya. Barangsiapa memulai dengan tangannya sebelum muka, atau kepalanya sebelum dua tangannya, atau dua kakinya sebelum kepalanya, maka menurut saya hendaklah ia mengulang wudhunya sehingga ia membasuh sesuai urutan. Wudhunya tidak sah –menurut saya- kecuali bila dikerjakan sesuai urutannya. Lalu apabila ia telah melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya setelah berwudhu terlebih dahulu sesuai dengan urutan.
[Al-Umm 1/35 (Ringkasan Kitab Al-Umm 1/43)]

Imam Nawawi dakam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
الفرض السادس الترتيب فلو تركه عمدا لم يصح وضوؤه لكن يعتد بالوجه وما غسله
بعده على الترتيب ولو تركه ناسيا فقولان المشهور الجديد لا يجزئه ولو غسل أربعة أنفس أعضاءه دفعة باذنه لم يحصل إلا الوجه على الصحيح وعلى الثاني يحصل الجميع
Syarat wajib wudhu yang keenam adalah Tertib (berurutan). Apabila dia meninggalkannya dengan sengaja, maka wudhunya tidak sah. Akan tetapi membasuh wajah dan lainnya setelah wajah secara berurutan dianggap sah. Apabila meninggalkannya karena lupa, maka dal hal ini terdapat dua pendapat Imam Syafi’i; Pertama, menurut pendapat yang masyhur dan baru tidak sah. Apabila ada empat orang yang membasuhkan anggota wudhunya secara bersamaan dengan seizinnya, maka tidak dianggap kecuali membasuh wajah saja, menurut pendapat yang sahih. Kedua, semua sah dan dianggap.
[Raudhatuth Thalibin 1/41 (1/204)].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
فلم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه توضأ إلا مرتبا, والوضوء عبادة ومدار الأمر فى العبادات على الإتباع, فليس لأ حد أن يخالف المأثور فى كيفية وضوئه رسول الله صلى الله عليه وسلم خصوصا ماكان مطردا منها
Tidak ada sebuah haditspun yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam berwudhu tanpa berurutan dan tanpa tertib. Wudhu merupakan suatu ibadah, sedangkan prinsip utama ibadah itu ialah meneladani atau mengikuti jejak langkah sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak boleh menyalahi sunnah yang sahih yang berhubung tata cara wudhu Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, terutama tata cara yang sudah menjadi suatu ketetapan.
[Fiqih Sunnah1/ (1/52)[.

Kesimpulam
Mayoritas ulama berpendapat bahwa berurutan (tertib) dalam membasuh anggota wudhu ketika berwudhu hukumnya wajib.

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.


*Slawi, Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...