MEMULIAKAN TAMU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, termasuk diantaranya dalam memuliakan tamu yang datang ke rumah mereka.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Ada seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya saya ini adalah seorang yang sedang dalam kesengsaraan." Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruh ke tempat sebahagian isteri-isterinya - untuk meminta sesuatu yang hendak disedekahkan, lalu isteri-isterinya itu berkata: "Demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak mempunyai sesuatu melainkan air." Kemudian beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruh lagi ke tempat isterinya yang lain, maka yang ini pun mengatakan sebagaimana di atas itu. Jadi mereka itu semuanya mengatakan seperti itu pula, iaitu: "Tidak ada, demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak mempunyai sesuatu melainkan air." Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: - kepada sahabat-sahabatnya: "Siapakah yang akan membawa orang ini sebagai tamunya pada malam ini?" Seorang lelaki dari golongan Anshar berkata: "Saya, ya Rasulullah." Orang itu berangkat dengan tamunya ke tempat kediamannya, lalu berkata kepada isterinya: "Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam ini."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Orang itu berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu jamuan?" Isterinya menjawab: "Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anakku." Lelaki itu berkata pula: "Buatlah sesuatu sebab kepada anak-anak itu dengan sesuatu - sehingga terlupa dari makan malamnya. Jadi kalau sudah waktunya mereka makan malam, maka tidurkanlah mereka. Jikalau tamu kita telah masuk rumah, lalu padamkanlah lampunya dan perhatikanlah padanya bahwa kita juga makan. Demikianlah lalu mereka duduk-duduk - yakni tuan rumah dengan tamunya, tamu itupun makan dan keduanya- lelaki dan isterinya -semalam itu dalam keadaan perut kosong.
Ketika menjelang pagi harinya, orang itu - yang menjadi tuan rumah - pergi kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam - untuk menerangkan peristiwa malam harinya - lalu beliau s.a.w. bersabda:
"Benar-benar Allah menjadi heran dari kelakuanmu berdua -suami-isteri - terhadap tamumu tadi malam itu." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, April 2011.
Kamis, 31 Maret 2011
ROTI YANG DIBERKAHI
ROTI YANG DIBERKAHI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah tentang roti yang bisa menghilangkan lapar tujuh puluh sampai delapan puluh orang, karena keberkahannya.
Dari Anas r.a., katanya: "Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: "Saya mendengar suara Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam itu lemah sekali dan saya mengetahui bahawa beliau adalah dalam keadaan lapar. Maka dari itu, apakah engkau tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan?" Ummu Sulaim lalu mengeluarkan beberapa bulatan dari gandum, kemudian ia mengambil kerudungnya, kemudian ia melipatkan roti dengan sebahagian kerudung tadi, lalu memasukkannya di bawah bajuku dan mengembalikannya padaku dengan sebahagian lagi - maksudnya bahawa Ummu Sulaim itu melipat roti dengan sebahagian kerudung dan dengan sebahagiannya lagi dilipatkan untuk Anas. Seterusnya Ummu Sulaim menyuruh saya - Anas - untuk menemui Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu saya pergi dan saya menemui Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk di dalam masjid disertai oleh orang-orang banyak. Seterusnya lalu saya berdiri di muka orang-orang itu, kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Adakah engkau diutus oleh Abu Thalhah." Saya menjawab: "Ya." Beliau bersabda lagi: "Apakah untuk sesuatu makanan?" Saya menjawab: "Ya." Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda kepada sahabat-sahabatnya yang ada di masjid: "Berdirilah engkau semua dan berangkatlah." Saya juga berangkat mengikuti mereka itu, sehingga datanglah saya kepada Abu Thalhah, lalu saya memberitahukan padanya - bahawa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mengajak orang banyak. Abu Thalhah berkata: "Hai Ummu Sulaim. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam telah datang dengan orang-orang banyak, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makanan kepada mereka semuanya itu." Isterinya berkata: "Allah dan RasulNya adalah lebih mengetahui itu." Abu Thalhah lalu berangkat sehingga bertemu dengan Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian berhadapanlah Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam dengannya sehingga keduanya itu masuk rumah. Selanjutnya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Bawa saya kemari apa yang engkau punyai, hai Ummu Sulaim." Wanita itu datang dengan roti tersebut di atas, lalu Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruh supaya dipotong-potongkan dan Ummu Sulaim memeraskan di atas roti itu suatu tempat berisi samin, maka itulah yang merupakan lauknya. Kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda sekehendak yang beliau sabdakan, selanjutnya lalu bersabda pula: "Izinkanlah masuk sepuluh orang." Orang sepuluh itu diizinkan masuk lalu mereka semuanya makan sehingga kenyang, lalu keluarlah setelah itu. Seterusnya beliau bersabda lagi: "Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi." Orang sepuluh itu diizinkan lalu mereka makan sehingga kenyang kemudian keluarlah mereka itu pula. Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda lagi: "Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi." Demikianlah sehingga seluruh kaum - yakni yang menyertai Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam dari masjid - dapat makan sehingga kenyang semuanya, sedangkan jumlah kaum itu ada tujuh puluh atau delapan puluh orang." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, April 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah tentang roti yang bisa menghilangkan lapar tujuh puluh sampai delapan puluh orang, karena keberkahannya.
Dari Anas r.a., katanya: "Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: "Saya mendengar suara Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam itu lemah sekali dan saya mengetahui bahawa beliau adalah dalam keadaan lapar. Maka dari itu, apakah engkau tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan?" Ummu Sulaim lalu mengeluarkan beberapa bulatan dari gandum, kemudian ia mengambil kerudungnya, kemudian ia melipatkan roti dengan sebahagian kerudung tadi, lalu memasukkannya di bawah bajuku dan mengembalikannya padaku dengan sebahagian lagi - maksudnya bahawa Ummu Sulaim itu melipat roti dengan sebahagian kerudung dan dengan sebahagiannya lagi dilipatkan untuk Anas. Seterusnya Ummu Sulaim menyuruh saya - Anas - untuk menemui Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu saya pergi dan saya menemui Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk di dalam masjid disertai oleh orang-orang banyak. Seterusnya lalu saya berdiri di muka orang-orang itu, kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Adakah engkau diutus oleh Abu Thalhah." Saya menjawab: "Ya." Beliau bersabda lagi: "Apakah untuk sesuatu makanan?" Saya menjawab: "Ya." Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda kepada sahabat-sahabatnya yang ada di masjid: "Berdirilah engkau semua dan berangkatlah." Saya juga berangkat mengikuti mereka itu, sehingga datanglah saya kepada Abu Thalhah, lalu saya memberitahukan padanya - bahawa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mengajak orang banyak. Abu Thalhah berkata: "Hai Ummu Sulaim. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam telah datang dengan orang-orang banyak, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makanan kepada mereka semuanya itu." Isterinya berkata: "Allah dan RasulNya adalah lebih mengetahui itu." Abu Thalhah lalu berangkat sehingga bertemu dengan Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian berhadapanlah Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam dengannya sehingga keduanya itu masuk rumah. Selanjutnya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Bawa saya kemari apa yang engkau punyai, hai Ummu Sulaim." Wanita itu datang dengan roti tersebut di atas, lalu Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruh supaya dipotong-potongkan dan Ummu Sulaim memeraskan di atas roti itu suatu tempat berisi samin, maka itulah yang merupakan lauknya. Kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda sekehendak yang beliau sabdakan, selanjutnya lalu bersabda pula: "Izinkanlah masuk sepuluh orang." Orang sepuluh itu diizinkan masuk lalu mereka semuanya makan sehingga kenyang, lalu keluarlah setelah itu. Seterusnya beliau bersabda lagi: "Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi." Orang sepuluh itu diizinkan lalu mereka makan sehingga kenyang kemudian keluarlah mereka itu pula. Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda lagi: "Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi." Demikianlah sehingga seluruh kaum - yakni yang menyertai Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam dari masjid - dapat makan sehingga kenyang semuanya, sedangkan jumlah kaum itu ada tujuh puluh atau delapan puluh orang." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, April 2011.
SUSU YANG DIBERKAHI
SUSU YANG DIBERKAHI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Segelas susu yang diberkahi oleh Allah subhanahu wata’ala dapat menghilangkan lapar dan haus puluhan orang. Keberkahan nilainya tidak bisa dihitung secara matematis.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip mengutip kisah tentang susu yang diberkahi dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Demi Zat yang tiada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnyaiah bahawa saya menyandarkan hatiku ke tanah karena kelaparan dan sesungguhnya pula bahwa saya mengikatkan batu pada perut saya karena kelaparan. Sebenarnya saya pernah duduk-duduk pada suatu hari di jalanan orang-orang yang sama keluar melalui jalanan itu - untuk mencari nafkahnya masing-masing. Kemudian Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam berjalan melalui tempat saya dan beliau tersenyum ketika melihat saya, kerana mengetahui keadaan dan hal-ehwal yang ada dalam wajahku dan diriku, kemudian beliau bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Mari ikut," dan beliau terus berlalu dan saya mengikutinya. Selanjutnya beliau masuklah di rumah keluarganya, saya mohon izin lalu beliau mengizinkan masuk untukku. Saya pun masuklah, di situ beliau menemukan susu dalam gelas. Beliau bertanya: "Dari manakah susu ini?" Keluarganya berkata: "Fulan atau Fulanah itu menghadiahkan untuk Tuan." Beliau bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda pula: "Susullah para ahlush-shuffah, lalu panggillah mereka untuk datang padaku."
Abu Hurairah berkata: "Ahlush-shuffah itu adalah merupakan tamu-tamu Islam, kerana tidak bertempat pada sesuatu keluarga, tidak pula berharta dan tidak berkerabat pada seseorang pun. Jikalau ada sedekah - zakat - yang datang pada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu sedekah -atau zakat - itu dikirimkan semuanya oleh beliau kepada mereka itu dan beliau sendiri tidak mengambil sedikitpun daripadanya, tetapi kalau beliau menerima hadiah, maka dikirimkanlah kepada orang-orang itu dan beliau sendiri mengambil sebahagian daripadanya. Jadi beliau bersama-sama dengan para ahlush-shuffah itu untuk menggunakannya."
Perintah Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil ahlush-shuffah itu tidak mengenakkan hati saya dan oleh sebab itu saya berkata: "Apa hubungannya susu ini untuk diberikan ahlush-shuffah. Saya adalah lebih berhak untuk memperolehi susu ini dengan sekali minuman saja, agar saya dapat merasa kuat tubuhku." Kemudian, jikalau orang-orang itu datang, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam tentu menyuruh saya agar saya memberikan itu kepada mereka. Barangkali tidak akan dapat sampai padaku - yakni bahwa saya tidak memperolehi bahagian - susu itu, tetapi juga tidak ada jalan lain kecuali mentaati Allah dan mentaati RasulNya Shallallaahu ’alaihi wasallam. Oleh karena itu mereka saya datangi dan saya panggillah semuanya. Mereka menghadap dan meminta izin, lalu Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mengizinkan mereka masuk, juga sama mengambil tempat duduk sendiri-sendiri dalam rumah.
Beliau lalu bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Ambillah susu itu dan berikanlah kepada mereka."
Abu Hurairah berkata: "Saya lalu mengambil gelas, kemudian saya berikan pada seseorang dulu. Ia minum sampai kenyang minumnya lalu gelas dikembalikan. Seterusnya saya berikan kepada yang lain, ia pun minumlah sampai kenyang pula minumnya, lalu dikembalikanlah gelasnya, sehingga akhirnya sampai giliran saya memberikan itu kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, sedang orang-orang ahlush-shuffah itu sudah puas minum semuanya. Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil gelas lalu diletakkan di tangannya, kemudian beliau melihat saya dan tersenyum, kemudian bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda pula: "Sekarang tinggallah saya dan engkau - yang belum minum." Saya menjawab: "Benar Tuan, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Duduklah dan minumlah." Saya pun duduklah lalu saya minum. Beliau bersabda lagi: "Minumlah lagi." Saya pun minumlah. Beliau tidak henti-hentinya bersabda: "Minumlah lagi," sehingga saya berkata: "Tidak, demi Allah yang mengutus Tuan dengan benar, saya sudah tidak mendapatkan jalan lagi untuk minum itu - ertinya sudah amat kenyang minumnya itu. Setelah itu beliau bersabda: "Kalau begitu, berikanlah saya gelas itu "Gelaspun saya berikan, kemudian beliau memuji kepada Allah Ta'ala dan membaca bismillah di permulaan minumnya lalu beliau minumlah sisanya itu." (Riwayat Bukhari)
Slawi, April 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Segelas susu yang diberkahi oleh Allah subhanahu wata’ala dapat menghilangkan lapar dan haus puluhan orang. Keberkahan nilainya tidak bisa dihitung secara matematis.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip mengutip kisah tentang susu yang diberkahi dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Demi Zat yang tiada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnyaiah bahawa saya menyandarkan hatiku ke tanah karena kelaparan dan sesungguhnya pula bahwa saya mengikatkan batu pada perut saya karena kelaparan. Sebenarnya saya pernah duduk-duduk pada suatu hari di jalanan orang-orang yang sama keluar melalui jalanan itu - untuk mencari nafkahnya masing-masing. Kemudian Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam berjalan melalui tempat saya dan beliau tersenyum ketika melihat saya, kerana mengetahui keadaan dan hal-ehwal yang ada dalam wajahku dan diriku, kemudian beliau bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Mari ikut," dan beliau terus berlalu dan saya mengikutinya. Selanjutnya beliau masuklah di rumah keluarganya, saya mohon izin lalu beliau mengizinkan masuk untukku. Saya pun masuklah, di situ beliau menemukan susu dalam gelas. Beliau bertanya: "Dari manakah susu ini?" Keluarganya berkata: "Fulan atau Fulanah itu menghadiahkan untuk Tuan." Beliau bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda pula: "Susullah para ahlush-shuffah, lalu panggillah mereka untuk datang padaku."
Abu Hurairah berkata: "Ahlush-shuffah itu adalah merupakan tamu-tamu Islam, kerana tidak bertempat pada sesuatu keluarga, tidak pula berharta dan tidak berkerabat pada seseorang pun. Jikalau ada sedekah - zakat - yang datang pada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu sedekah -atau zakat - itu dikirimkan semuanya oleh beliau kepada mereka itu dan beliau sendiri tidak mengambil sedikitpun daripadanya, tetapi kalau beliau menerima hadiah, maka dikirimkanlah kepada orang-orang itu dan beliau sendiri mengambil sebahagian daripadanya. Jadi beliau bersama-sama dengan para ahlush-shuffah itu untuk menggunakannya."
Perintah Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil ahlush-shuffah itu tidak mengenakkan hati saya dan oleh sebab itu saya berkata: "Apa hubungannya susu ini untuk diberikan ahlush-shuffah. Saya adalah lebih berhak untuk memperolehi susu ini dengan sekali minuman saja, agar saya dapat merasa kuat tubuhku." Kemudian, jikalau orang-orang itu datang, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam tentu menyuruh saya agar saya memberikan itu kepada mereka. Barangkali tidak akan dapat sampai padaku - yakni bahwa saya tidak memperolehi bahagian - susu itu, tetapi juga tidak ada jalan lain kecuali mentaati Allah dan mentaati RasulNya Shallallaahu ’alaihi wasallam. Oleh karena itu mereka saya datangi dan saya panggillah semuanya. Mereka menghadap dan meminta izin, lalu Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mengizinkan mereka masuk, juga sama mengambil tempat duduk sendiri-sendiri dalam rumah.
Beliau lalu bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Ambillah susu itu dan berikanlah kepada mereka."
Abu Hurairah berkata: "Saya lalu mengambil gelas, kemudian saya berikan pada seseorang dulu. Ia minum sampai kenyang minumnya lalu gelas dikembalikan. Seterusnya saya berikan kepada yang lain, ia pun minumlah sampai kenyang pula minumnya, lalu dikembalikanlah gelasnya, sehingga akhirnya sampai giliran saya memberikan itu kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, sedang orang-orang ahlush-shuffah itu sudah puas minum semuanya. Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil gelas lalu diletakkan di tangannya, kemudian beliau melihat saya dan tersenyum, kemudian bersabda: "Abu Hir." Saya menjawab: "Labbaik ya Rasulullah." Beliau bersabda pula: "Sekarang tinggallah saya dan engkau - yang belum minum." Saya menjawab: "Benar Tuan, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Duduklah dan minumlah." Saya pun duduklah lalu saya minum. Beliau bersabda lagi: "Minumlah lagi." Saya pun minumlah. Beliau tidak henti-hentinya bersabda: "Minumlah lagi," sehingga saya berkata: "Tidak, demi Allah yang mengutus Tuan dengan benar, saya sudah tidak mendapatkan jalan lagi untuk minum itu - ertinya sudah amat kenyang minumnya itu. Setelah itu beliau bersabda: "Kalau begitu, berikanlah saya gelas itu "Gelaspun saya berikan, kemudian beliau memuji kepada Allah Ta'ala dan membaca bismillah di permulaan minumnya lalu beliau minumlah sisanya itu." (Riwayat Bukhari)
Slawi, April 2011
BAYI YANG BISA BICARA
BAYI YANG BISA BICARA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah tentang seorang ahli ibadah yang lupa kepada ibunya. Sehingga Allah mengujinya dengan seorang perempuan lacur.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لم يتكلم في المهد إلا ثلاثة عيسى ابن مريم وصاحب جريج وكان جريج رجلا عابدا فاتخذ صومعة فكان فيها فأتته أمه وهو يصلي فقالت يا جريج فقال يارب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فانصرفت فلما كان من الغد أتته وهو يصلي فقالت يا جريج فقال أي رب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فلما كان من الغد أتته وهو يصلي فقالت يا جريج فقال أي رب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فقالت اللهم لا تمته حتى ينظر إلى وجوه المومسات فتذاكر بنو إسرائيل جريجا وعبادته وكانت امرأة بغي يتمثل بحسنها فقالت إن شئتم لأفتننه فتعرضت له فلم يلتفت إليها فأتت راعيا كان يأوي إلى صومعته فأمكنته من نفسها فوقع عليها فحملت فلما ولدت قالت هو جريج فأتوه فاستنزلوه وهدموا صومعته وجعلوا يضربونه فقال ما شأنكم قالوا زنيت بهذه البغي فولدت منك قال أين الصبي فجاءوا به فقال دعوني حتى أصلي فصلى فلما انصرف أتى الصبي فطعن في بطنه وقال يا غلام من أبوك قال فلان الراعي فأقبلوا على جريج يقبلونه ويتمسحون به وقالوا نبني لك صومعتك من ذهب قال لا أعيدوها من طين كما كانت ففعلوا
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Tidak seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika masih dalam belaian kecuali tiga anak. Ini yang dari kalangan Bani Israil, sedang yang tidak dari kalangan mereka ada pula yang lain-lain seperti tertera dalam Hadis nombor 30. Tiga anak itu ialah Isa putera Maryam. Kedua sahabat Juraij -yang menyaksikan kebenaran Juraij. Juraij adalah seorang lelaki yang tekun ibadatnya, lalu ia mengambil sebuah tempat yang tinggi letaknya. Ia senantiasa berada di situ. Suatu ketika ibunya datang dan ia sedang bersembahyang, serunya: "Hai Juraij." Juraij berkata - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus tekun dalam shalatnya - dan ibunya tidak dihiraukan olehnya. Ibunya lalu pergi. Ketika menjelang esok harinya, ibunya datang lagi dan ia juga sedang bersembahyang. Ibunya berseru: "Hai Juraij." Ia berkata pula - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus tekun dalam shalatnya. selanjutnya pada esok harinya lagi, ibunya datang sekali lagi dan ia sedang bersembahyang. Ibunya berseru: "Hai Juraij." Ia berkata pula - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus pula tekun dalam shalatnya. lbunya lalu berkata - berdoa "Ya Allah, janganlah Engkau mematikannya, sehingga ia melihat wajahnya wanita-wanita pelacur."
Kaum Bani Israil sama menyebut-nyebutkan perihal diri juraij itu serta ketekunan ibadatnya. Di kalangan mereka ada seorang wanita pelacur yang kerana cantiknya sampai dibuat sebagai perumpamaan. Wanita itu berkata: "Jikalau engkau semua suka, nescaya dapatlah aku memfitnahnya." Wanita itu menunjukkan diri pada Juraij, tetapi ia tidak menoleh sama sekali pada wanita itu. Wanita itu lalu mendatangi seorang penggembala yang berdiam di tempat peribadatan Juraij lalu ia memungkinkan dirinya pada penggembala itu - yakni membolehkan dirinya disetubuhi olehnya. Penggembala itu menyetubuhinya kemudian ia pun hamillah. Setelah wanita itu melahirkan, ia berkata bahawa anak itu adalah hasil dari hubungannya dengan Juraij. Orang-orang banyak sama mendatangi Juraij, ia diturunkan dan mereka merobohkan tempat ibadatnya, bahkan mereka pun memukulnya. Juraij bertanya: "Ada apa engkau semua ini?" Orang-orang sama berkata: "Engkau berzina dengan wanita pelacur ini, lalu ia melahirkan anak dari hasil perbuatanmu." Ia berkata: "Manakah anak itu?" Orang-orang sama mendatangkan anak itu padanya. Juraij lalu berkata: "Biarkanlah saya hendak bersembahyang dulu." Ia pun bersembahyanglah. Ketika ia kembali di hadapan orang banyak, ia mendatangi anak itu lalu menusuk perutnya - dengan jarinya - dan berkata: "Hai anak, siapakah ayahmu?" Anak kecil itu berkata: "Ayahku si Fulan, penggembala itu." Kemudian orang-orang banyak itu sama menghadapi Juraij menciuminya dan mengusap-usap tubuhnya. Mereka berkata: "Kita akan mendirikan tempat sembahyangmu itu dari emas." Juraij berkata: "Jangan, kembalikan sajalah dari tanah - batu merah -sebagaimana dahulunya." Mereka terus mengerjakan pembangunannya kembali. (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah tentang seorang ahli ibadah yang lupa kepada ibunya. Sehingga Allah mengujinya dengan seorang perempuan lacur.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لم يتكلم في المهد إلا ثلاثة عيسى ابن مريم وصاحب جريج وكان جريج رجلا عابدا فاتخذ صومعة فكان فيها فأتته أمه وهو يصلي فقالت يا جريج فقال يارب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فانصرفت فلما كان من الغد أتته وهو يصلي فقالت يا جريج فقال أي رب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فلما كان من الغد أتته وهو يصلي فقالت يا جريج فقال أي رب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فقالت اللهم لا تمته حتى ينظر إلى وجوه المومسات فتذاكر بنو إسرائيل جريجا وعبادته وكانت امرأة بغي يتمثل بحسنها فقالت إن شئتم لأفتننه فتعرضت له فلم يلتفت إليها فأتت راعيا كان يأوي إلى صومعته فأمكنته من نفسها فوقع عليها فحملت فلما ولدت قالت هو جريج فأتوه فاستنزلوه وهدموا صومعته وجعلوا يضربونه فقال ما شأنكم قالوا زنيت بهذه البغي فولدت منك قال أين الصبي فجاءوا به فقال دعوني حتى أصلي فصلى فلما انصرف أتى الصبي فطعن في بطنه وقال يا غلام من أبوك قال فلان الراعي فأقبلوا على جريج يقبلونه ويتمسحون به وقالوا نبني لك صومعتك من ذهب قال لا أعيدوها من طين كما كانت ففعلوا
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Tidak seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika masih dalam belaian kecuali tiga anak. Ini yang dari kalangan Bani Israil, sedang yang tidak dari kalangan mereka ada pula yang lain-lain seperti tertera dalam Hadis nombor 30. Tiga anak itu ialah Isa putera Maryam. Kedua sahabat Juraij -yang menyaksikan kebenaran Juraij. Juraij adalah seorang lelaki yang tekun ibadatnya, lalu ia mengambil sebuah tempat yang tinggi letaknya. Ia senantiasa berada di situ. Suatu ketika ibunya datang dan ia sedang bersembahyang, serunya: "Hai Juraij." Juraij berkata - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus tekun dalam shalatnya - dan ibunya tidak dihiraukan olehnya. Ibunya lalu pergi. Ketika menjelang esok harinya, ibunya datang lagi dan ia juga sedang bersembahyang. Ibunya berseru: "Hai Juraij." Ia berkata pula - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus tekun dalam shalatnya. selanjutnya pada esok harinya lagi, ibunya datang sekali lagi dan ia sedang bersembahyang. Ibunya berseru: "Hai Juraij." Ia berkata pula - dalam hatinya: "Ya Tuhanku, itu adalah ibuku, tetapi saya lebih mengutamakan shalatku." Ia terus pula tekun dalam shalatnya. lbunya lalu berkata - berdoa "Ya Allah, janganlah Engkau mematikannya, sehingga ia melihat wajahnya wanita-wanita pelacur."
Kaum Bani Israil sama menyebut-nyebutkan perihal diri juraij itu serta ketekunan ibadatnya. Di kalangan mereka ada seorang wanita pelacur yang kerana cantiknya sampai dibuat sebagai perumpamaan. Wanita itu berkata: "Jikalau engkau semua suka, nescaya dapatlah aku memfitnahnya." Wanita itu menunjukkan diri pada Juraij, tetapi ia tidak menoleh sama sekali pada wanita itu. Wanita itu lalu mendatangi seorang penggembala yang berdiam di tempat peribadatan Juraij lalu ia memungkinkan dirinya pada penggembala itu - yakni membolehkan dirinya disetubuhi olehnya. Penggembala itu menyetubuhinya kemudian ia pun hamillah. Setelah wanita itu melahirkan, ia berkata bahawa anak itu adalah hasil dari hubungannya dengan Juraij. Orang-orang banyak sama mendatangi Juraij, ia diturunkan dan mereka merobohkan tempat ibadatnya, bahkan mereka pun memukulnya. Juraij bertanya: "Ada apa engkau semua ini?" Orang-orang sama berkata: "Engkau berzina dengan wanita pelacur ini, lalu ia melahirkan anak dari hasil perbuatanmu." Ia berkata: "Manakah anak itu?" Orang-orang sama mendatangkan anak itu padanya. Juraij lalu berkata: "Biarkanlah saya hendak bersembahyang dulu." Ia pun bersembahyanglah. Ketika ia kembali di hadapan orang banyak, ia mendatangi anak itu lalu menusuk perutnya - dengan jarinya - dan berkata: "Hai anak, siapakah ayahmu?" Anak kecil itu berkata: "Ayahku si Fulan, penggembala itu." Kemudian orang-orang banyak itu sama menghadapi Juraij menciuminya dan mengusap-usap tubuhnya. Mereka berkata: "Kita akan mendirikan tempat sembahyangmu itu dari emas." Juraij berkata: "Jangan, kembalikan sajalah dari tanah - batu merah -sebagaimana dahulunya." Mereka terus mengerjakan pembangunannya kembali. (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011
Rabu, 30 Maret 2011
SEDEKAH SUAMI KEPADA ISTRINYA
SEDEKAH SUAMI KEPADA ISTRINYA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Bersedekah tidak harus berupa uang atau harta benda, tapi bisa juga berupa persetubuhan suami istri.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Abu Zar, bahawasanya orang-orang sama berkata:
يا رسولَ الله ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالْأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُوْمُوْنَ كما نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قال أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ لَكُمْ ما تَصَدَّقُوْنَ بِهِ إنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىُ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وفي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قالوا يا رسولَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ قال أَرَأَيْتَمُ ْلَوْ وَضَعَهَا في حَرَامٍ أكَانَ عليهِ وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إذا وَضَعَهَا في الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya raya sama pergi dengan membawa pahala yang banyak - kerana banyak pula amalannya. Mereka itu bersembahyang sebagaimana kita juga bersembahyang, mereka berpuasa sebagaimana kita juga berpuasa, tambahan lagi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Bukankah Allah telah menjadikan untukmu semua sesuatu yang dapat engkau semua gunakan sebagai sedekah. Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, memerintahkan kebaikan juga sedekah, melarang kemungkaran itu pun sedekah pula dan bahkan dalam bersetubuhnya seseorang dari engkau semua itu pun sedekah."
Para sahabat berkata: "Ya Rasulullah apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya itu juga memperoleh pahala?" Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Adakah engkau semua mengerti, bagaimana jikalau syahwat itu diletakkannya dalam sesuatu yang haram, adakah orang itu memperolehi dosa? Maka demikian itu pulalah jikalau ia meletakkan syahwatnya itu dalam hal yang dihalalkan, ia pun memperoleh pahala." (Riwayat Muslim)
Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Bersedekah tidak harus berupa uang atau harta benda, tapi bisa juga berupa persetubuhan suami istri.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Abu Zar, bahawasanya orang-orang sama berkata:
يا رسولَ الله ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالْأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُوْمُوْنَ كما نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قال أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ لَكُمْ ما تَصَدَّقُوْنَ بِهِ إنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىُ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وفي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قالوا يا رسولَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ قال أَرَأَيْتَمُ ْلَوْ وَضَعَهَا في حَرَامٍ أكَانَ عليهِ وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إذا وَضَعَهَا في الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya raya sama pergi dengan membawa pahala yang banyak - kerana banyak pula amalannya. Mereka itu bersembahyang sebagaimana kita juga bersembahyang, mereka berpuasa sebagaimana kita juga berpuasa, tambahan lagi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Bukankah Allah telah menjadikan untukmu semua sesuatu yang dapat engkau semua gunakan sebagai sedekah. Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, memerintahkan kebaikan juga sedekah, melarang kemungkaran itu pun sedekah pula dan bahkan dalam bersetubuhnya seseorang dari engkau semua itu pun sedekah."
Para sahabat berkata: "Ya Rasulullah apakah seseorang dari kita yang melampiaskan syahwatnya itu juga memperoleh pahala?" Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Adakah engkau semua mengerti, bagaimana jikalau syahwat itu diletakkannya dalam sesuatu yang haram, adakah orang itu memperolehi dosa? Maka demikian itu pulalah jikalau ia meletakkan syahwatnya itu dalam hal yang dihalalkan, ia pun memperoleh pahala." (Riwayat Muslim)
Slawi, Maret 2011.
SI BUTA YANG BERSYUKUR
SI BUTA YANG BERSYUKUR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 :
” Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya ia mendengar Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya ada tiga orang dari kaum Bani Israil, iaitu orang sopak - yakni belang-belang kulitnya, orang botak dan orang buta. Allah hendak menguji mereka itu, kemudian mengutus seorang malaikat kepada mereka. Ia mendatangi orang supak lalu berkata: "Keadaan yang bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang supak berkata: "Warna yang baik dan kulit yang bagus, juga lenyaplah kiranya penyakit yang menyebabkan orang-orang merasa jijik padaku ini." Malaikat itu lalu mengusapnya dan lenyaplah kotoran-kotoran itu dari tubuhnya dan dikurniai -oleh Allah Ta'ala - warna yang baik dan kulit yang bagus. Malaikat itu berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Orang itu menjawab: "Unta." Atau katanya: "Lembu," yang merawikan Hadis ini sangsi - apakah unta ataukah lembu. Ia lalu dikurniai unta yang bunting, kemudian malaikat berkata: "Semoga Allah memberi keberkahan untukmu dalam unta ini."
Malaikat itu seterusnya mendatangi orang botak, kemudian berkata: "Keadaan yang bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang botak berkata: "Rambut yang bagus dan lenyaplah kiranya apa-apa yang menyebabkan orang-orang merasa jijik padaku ini." Malaikat itu lalu mengusapnya dan lenyaplah botak itu dari kepalanya dan ia dikurnia rambut yang bagus. Malaikat berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Ia berkata: "Lembu." la pun lalu dikurnia lembu yang bunting dan malaikat itu berkata: "Semoga Allah memberikan keberkahan untukmu dalam lembu ini."
Akhirnya malaikat itu mendatangi orang buta lalu berkata: "Keadaan bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang buta menjawab: "Iaitu hendaknya Allah mengembalikan penglihatanku padaku sehingga aku dapat melihat semua orang." Malaikat lalu mengusapnya dan Allah mengembalikan lagi penglihatan padanya. Malaikat berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Ia menjawab: "Kambing." la pun dikurnia kambing yang bunting - hampir beranak.
Yang dua ini - unta dan lembu melahirkan anak-anaknya dan yang ini - kambing - juga melahirkan anaknya. Kemudian yang seorang - yang supak - mempunyai selembah penuh unta dan yang satunya lagi - yang botak - mempunyai selembah lembu dan yang lainnya lagi - yang buta - mempunyai selembah kambing.
Malaikat itu lalu mendatangi lagi orang - yang asalnya - supak dalam rupa seperti orang supak itu dahulu keadannya - yakni berpakaian serba buruk - dan berkata: "Saya adalah orang miskin, sudah terputus semua sebab-sebab untuk dapat memperolehi rezeki bagiku dalam berpergianku ini. Maka tidak ada yang dapat menyampaikan maksudku pada hari ini kecuali Allah kemudian dengan pertolongan mu pula. Saya meminta padamu dengan atas nama Allah yang telah mengurniakan padamu warna yang baik dan kulit yang bagus dan pula harta yang banyak, sudi kiranya engkau menyampaikan maksudku dalam berpergianku ini - untuk sekadar bekal perjalanannya."
Orang supak itu menjawab: "Keperluan-keperluanku masih banyak sekali." Jadi enggan memberikan sedekah padanya. Malaikat itu berkata lagi: "Seolah-olah saya pernah mengenalmu. Bukankah engkau dahulu seorang yang berpenyakit supak yang dijijiki oleh seluruh manusia, bukankah engkau dulu seorang fakir, kemudian Allah mengurniakan harta padamu?"
Orang supak dahulu itu menjawab: "Semua harta ini saya mewarisi dari nenek-moyangku dulu dan mereka pun dari nenek-moyangnya pula." Malaikat berkata pula: "Jikalau engkau berdusta dalam perkataanmu yang menyebutkan bahwa harta itu adalah berasal dari warisan, maka Allah pasti akan menjadikan engkau kembali seperti keadaanmu semula.
Malaikat itu selanjutnya mendatangi orang - yang asalnya -botak, dalam rupa - seperti orang botak dulu - dan keadaannya -yang hina dina, kemudian berkata kepadanya sebagaimana yang dikatakan kepada orang supak dan orang botak itu menolak permintaannya seperti halnya orang supak itu pula. Akhirnya malaikat itu berkata: "Jikalau engkau berdusta, maka Allah pasti akan menjadikan engkau kembali sebagaimana keadaanmu semula."
Seterusnya malaikat itu mendatangi orang - yang asalnya - buta dalam rupanya - seperti orang buta itu dahulu - serta keadaannya - yang menyedihkan, kemudian ia berkata: "Saya adalah orang miskin dan anak jalan - maksudnya sedang bepergian dan kehabisan bekal, sudah terputus semua sebab-sebab untuk dapat memperoleh rezeki bagiku dalam berpergianku ini, maka tidak ada yang dapat menyampaikan maksudku pada hari ini, kecuali Allah kemudian dengan pertolonganmu pula. Saya meminta padamu dengan atas nama Allah yang mengembalikan penglihatan untukmu iaitu seekor kambing yang dapat saya gunakan untuk menyampaikan tujuanku dalam berpergian ini."
Orang buta dahulu itu berkata: "Saya dahulu pernah menjadi orang buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatan padaku. Maka oleh sebab itu ambillah mana saja yang engkau inginkan dan tinggalkanlah mana saja yang engkau inginkan. Demi Allah saya tidak akan membuat kesukaran padamu - kerana tidak meluluskan permintaanmu -pada hari ini dengan sesuatu yang engkau ambil kerana mengharapkan keredhaan Allah 'Azzawajalla."
Malaikat itu lalu berkata: "Tahanlah hartamu - artinya tidak diambil sedikitpun, sebab sebenarnya engkau semua ini telah diuji, kemudian Allah telah meredhai dirimu dan memurkai pada dua orang sahabatmu - yakni si supak dan si botak." (Muttafaq alaih)
Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 :
” Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya ia mendengar Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya ada tiga orang dari kaum Bani Israil, iaitu orang sopak - yakni belang-belang kulitnya, orang botak dan orang buta. Allah hendak menguji mereka itu, kemudian mengutus seorang malaikat kepada mereka. Ia mendatangi orang supak lalu berkata: "Keadaan yang bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang supak berkata: "Warna yang baik dan kulit yang bagus, juga lenyaplah kiranya penyakit yang menyebabkan orang-orang merasa jijik padaku ini." Malaikat itu lalu mengusapnya dan lenyaplah kotoran-kotoran itu dari tubuhnya dan dikurniai -oleh Allah Ta'ala - warna yang baik dan kulit yang bagus. Malaikat itu berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Orang itu menjawab: "Unta." Atau katanya: "Lembu," yang merawikan Hadis ini sangsi - apakah unta ataukah lembu. Ia lalu dikurniai unta yang bunting, kemudian malaikat berkata: "Semoga Allah memberi keberkahan untukmu dalam unta ini."
Malaikat itu seterusnya mendatangi orang botak, kemudian berkata: "Keadaan yang bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang botak berkata: "Rambut yang bagus dan lenyaplah kiranya apa-apa yang menyebabkan orang-orang merasa jijik padaku ini." Malaikat itu lalu mengusapnya dan lenyaplah botak itu dari kepalanya dan ia dikurnia rambut yang bagus. Malaikat berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Ia berkata: "Lembu." la pun lalu dikurnia lembu yang bunting dan malaikat itu berkata: "Semoga Allah memberikan keberkahan untukmu dalam lembu ini."
Akhirnya malaikat itu mendatangi orang buta lalu berkata: "Keadaan bagaimanakah yang amat tercinta bagimu?" Orang buta menjawab: "Iaitu hendaknya Allah mengembalikan penglihatanku padaku sehingga aku dapat melihat semua orang." Malaikat lalu mengusapnya dan Allah mengembalikan lagi penglihatan padanya. Malaikat berkata pula: "Harta macam apakah yang amat tercinta bagimu?" Ia menjawab: "Kambing." la pun dikurnia kambing yang bunting - hampir beranak.
Yang dua ini - unta dan lembu melahirkan anak-anaknya dan yang ini - kambing - juga melahirkan anaknya. Kemudian yang seorang - yang supak - mempunyai selembah penuh unta dan yang satunya lagi - yang botak - mempunyai selembah lembu dan yang lainnya lagi - yang buta - mempunyai selembah kambing.
Malaikat itu lalu mendatangi lagi orang - yang asalnya - supak dalam rupa seperti orang supak itu dahulu keadannya - yakni berpakaian serba buruk - dan berkata: "Saya adalah orang miskin, sudah terputus semua sebab-sebab untuk dapat memperolehi rezeki bagiku dalam berpergianku ini. Maka tidak ada yang dapat menyampaikan maksudku pada hari ini kecuali Allah kemudian dengan pertolongan mu pula. Saya meminta padamu dengan atas nama Allah yang telah mengurniakan padamu warna yang baik dan kulit yang bagus dan pula harta yang banyak, sudi kiranya engkau menyampaikan maksudku dalam berpergianku ini - untuk sekadar bekal perjalanannya."
Orang supak itu menjawab: "Keperluan-keperluanku masih banyak sekali." Jadi enggan memberikan sedekah padanya. Malaikat itu berkata lagi: "Seolah-olah saya pernah mengenalmu. Bukankah engkau dahulu seorang yang berpenyakit supak yang dijijiki oleh seluruh manusia, bukankah engkau dulu seorang fakir, kemudian Allah mengurniakan harta padamu?"
Orang supak dahulu itu menjawab: "Semua harta ini saya mewarisi dari nenek-moyangku dulu dan mereka pun dari nenek-moyangnya pula." Malaikat berkata pula: "Jikalau engkau berdusta dalam perkataanmu yang menyebutkan bahwa harta itu adalah berasal dari warisan, maka Allah pasti akan menjadikan engkau kembali seperti keadaanmu semula.
Malaikat itu selanjutnya mendatangi orang - yang asalnya -botak, dalam rupa - seperti orang botak dulu - dan keadaannya -yang hina dina, kemudian berkata kepadanya sebagaimana yang dikatakan kepada orang supak dan orang botak itu menolak permintaannya seperti halnya orang supak itu pula. Akhirnya malaikat itu berkata: "Jikalau engkau berdusta, maka Allah pasti akan menjadikan engkau kembali sebagaimana keadaanmu semula."
Seterusnya malaikat itu mendatangi orang - yang asalnya - buta dalam rupanya - seperti orang buta itu dahulu - serta keadaannya - yang menyedihkan, kemudian ia berkata: "Saya adalah orang miskin dan anak jalan - maksudnya sedang bepergian dan kehabisan bekal, sudah terputus semua sebab-sebab untuk dapat memperoleh rezeki bagiku dalam berpergianku ini, maka tidak ada yang dapat menyampaikan maksudku pada hari ini, kecuali Allah kemudian dengan pertolonganmu pula. Saya meminta padamu dengan atas nama Allah yang mengembalikan penglihatan untukmu iaitu seekor kambing yang dapat saya gunakan untuk menyampaikan tujuanku dalam berpergian ini."
Orang buta dahulu itu berkata: "Saya dahulu pernah menjadi orang buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatan padaku. Maka oleh sebab itu ambillah mana saja yang engkau inginkan dan tinggalkanlah mana saja yang engkau inginkan. Demi Allah saya tidak akan membuat kesukaran padamu - kerana tidak meluluskan permintaanmu -pada hari ini dengan sesuatu yang engkau ambil kerana mengharapkan keredhaan Allah 'Azzawajalla."
Malaikat itu lalu berkata: "Tahanlah hartamu - artinya tidak diambil sedikitpun, sebab sebenarnya engkau semua ini telah diuji, kemudian Allah telah meredhai dirimu dan memurkai pada dua orang sahabatmu - yakni si supak dan si botak." (Muttafaq alaih)
Slawi, Maret 2011.
BERSEDEKAH KEPADA KELUARGA
BERSEDEKAH KEPADA KELUARGA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam bersedekah. Salah satunya adalah Abu Thalhah, yang merelakan harta yang paling dicintainya untuk disedekahkan di jalan Allah.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Anas r.a., katanya:
كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ رضي الله عنه أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِيْنَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ, وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إليهِ بَيْرُحَاءَ, وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمسجدِ وكان رسولُ صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فيها طَيِّبٍ قال أنسٌ فلمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ " لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ " قَامَ أبُوْ طَلْحَةَ إلى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسولَ الله إنَّ اللهَ تعالى أَنْزَلَ عَلَيْكَ " لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ " وَإِنْ أَحَبَّ مَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءُ وإنها صَدَقَةٌ لِلَّهِ تعالى أَرْجُوْ بِرُّهَا وَذُخْرَهَا عندَ اللهِ تعالى فَضَعْهَا يَا رسولَ الله حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أنْ تَجْعَلَهَا في الْأَقْرَبِيْنَ فقال أَبُوْ طَلْحَةَ أَفْعَلُ يا رسولَ الله فَقَسَّمَهَا أَبُوْ طَلْحَةَ في أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
"Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid - Nabawi di Madinah. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman."
Anas berkata: "Ketika ayat ini turun, yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperolehi kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," (ali-lmran: 92), maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam, lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Engkau semua tidak akan memperolehi kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai,"
Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya serta sebagai simpanan - di akhirat di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan.
Kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya - berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya. Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu - sebagai sedekah."
Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membahagi-bahagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak bap saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam bersedekah. Salah satunya adalah Abu Thalhah, yang merelakan harta yang paling dicintainya untuk disedekahkan di jalan Allah.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip hadits dari Anas r.a., katanya:
كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ رضي الله عنه أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِيْنَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ, وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إليهِ بَيْرُحَاءَ, وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمسجدِ وكان رسولُ صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فيها طَيِّبٍ قال أنسٌ فلمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ " لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ " قَامَ أبُوْ طَلْحَةَ إلى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسولَ الله إنَّ اللهَ تعالى أَنْزَلَ عَلَيْكَ " لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ " وَإِنْ أَحَبَّ مَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءُ وإنها صَدَقَةٌ لِلَّهِ تعالى أَرْجُوْ بِرُّهَا وَذُخْرَهَا عندَ اللهِ تعالى فَضَعْهَا يَا رسولَ الله حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أنْ تَجْعَلَهَا في الْأَقْرَبِيْنَ فقال أَبُوْ طَلْحَةَ أَفْعَلُ يا رسولَ الله فَقَسَّمَهَا أَبُوْ طَلْحَةَ في أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ
"Abu Thalhah adalah seorang dari golongan kaum Anshar di Madinah yang terbanyak hartanya, terdiri dari kebun kurma. Di antara harta-hartanya itu yang paling dicintai olehnya ialah kebun kurma Bairuha'. Kebun ini letaknya menghadap masjid - Nabawi di Madinah. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam suka memasukinya dan minum dari airnya yang nyaman."
Anas berkata: "Ketika ayat ini turun, yakni yang artinya: "Engkau semua tidak akan memperolehi kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai," (ali-lmran: 92), maka Abu Thalhah berdiri menuju ke tempat Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam, lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: "Engkau semua tidak akan memperolehi kebajikan sehingga engkau semua suka menafkahkan dari sesuatu yang engkau semua cintai,"
Padahal hartaku yang paling saya cintai ialah kebun kurma Bairuha', maka sesungguhnya kebun itu saya sedekahkan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala. Saya mengharapkan kebajikannya serta sebagai simpanan - di akhirat di sisi Allah. Maka dari itu gunakanlah kebun itu ya Rasulullah, sebagaimana yang Allah memberitahukan kepada Tuan.
Kemudian Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Aduh, yang sedemikian itu adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya - berlipat ganda pahalanya bagi yang bersedekah, yang sedemikian adalah merupakan harta yang banyak keuntungannya. Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan dan sesungguhnya saya berpendapat supaya kebun itu engkau berikan kepada kaum keluargamu - sebagai sedekah."
Abu Thalhah berkata: "Saya akan melaksanakan itu, ya Rasulullah." Selanjutnya Abu Thalhah membahagi-bahagikan kebun Bairuha' itu kepada keluarga serta anak-anak bap saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011.
TIGA LAKI-LAKI DALAM GUA
TIGA LAKI-LAKI DALAM GUA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Ikhlas sangat ringan diucapkan tapi sangat berat untuk diamalkan. Kisah berikut ini sangat berharga bagi kita yang masih belajar mengikhlaskan setiap amal kita.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah di bawah ini :
وعن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب، رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: " انطلق ثلاثة نفر ممن كان قبلكم حتى آواهم المبيت إلى غار فدخلوه، فانحدرت صخرة من الجبل فسدت عليهم الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا الله بصالح أعمالكم. قال رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران، وكنت لا أغبق قبلهما أهلاً ولا مالاً. فنأى بى طلب الشجر يوماً فلم أرح عليهما حتى ناما فحلبت لهما غبوقهما فوجدتهما نائمين فكرهت أن أوقظهما وأن أغبق قبلهما أهلاً أو مالاً، فلبثت- والقدح على يدى- أنتظر استيقاظهما حتى برق الفجر والصبية يتضاغون عند قدمى- فاستيقظا فشربا غبوقهما. اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة، فانفرجت شيئاً لا يستطيعون الخروج منه. قال الآخر: اللهم إنه كانت لي ابنة عم كانت أحب الناس إلىّ " وفى رواية: "كنت أحبها كأشد ما يحب الرجال النساء، فأردتها على نفسها فامتنعت منى حتى ألمّت بها سنة من السنين فجاءتنى فأعطيتها عشرين ومائة دينار على أن تخلى بينى وبين نفسها ففعلت، حتى إذا قدرت عليها" وفى رواية: "فلما قعدت بين رجليها، قالت: اتق الله ولا تفض الخاتم إلا بحقه، فانصرفت عنها وهى أحب الناس إلى وتركت الذهب الذى أعطيتها، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها. وقال الثالث: اللهم استأجرت أجراء وأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذى له وذهب، فثمرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءنى بعد حين فقال: يا عبد الله أدّ إلى أجرى، فقلت: كل ما ترى من أجرك: من الإبل والبقر والغنم والرقيق. فقال: يا عبد الله لا تستهزئ بى! فقلت: لا أستهزئ بك، فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئاً، اللهم إن كنتُ فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة فخرجوا يمشون"
Dari Abu Abdur Rahman, iaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahawasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.
Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu - yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya saya pun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keredhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak bapa saudara yang wanita - jadi sepupu wanita - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia - dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita - kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperolehi kesukaran. lapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus dua puluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya - dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya - sepupuku itu lalu berkata: "Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini - melainkan dengan haknya - yakni dengan perkahwinan yang sah -, lalu saya pun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Ikhlas sangat ringan diucapkan tapi sangat berat untuk diamalkan. Kisah berikut ini sangat berharga bagi kita yang masih belajar mengikhlaskan setiap amal kita.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin mengutip kisah di bawah ini :
وعن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب، رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: " انطلق ثلاثة نفر ممن كان قبلكم حتى آواهم المبيت إلى غار فدخلوه، فانحدرت صخرة من الجبل فسدت عليهم الغار، فقالوا: إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا الله بصالح أعمالكم. قال رجل منهم: اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران، وكنت لا أغبق قبلهما أهلاً ولا مالاً. فنأى بى طلب الشجر يوماً فلم أرح عليهما حتى ناما فحلبت لهما غبوقهما فوجدتهما نائمين فكرهت أن أوقظهما وأن أغبق قبلهما أهلاً أو مالاً، فلبثت- والقدح على يدى- أنتظر استيقاظهما حتى برق الفجر والصبية يتضاغون عند قدمى- فاستيقظا فشربا غبوقهما. اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة، فانفرجت شيئاً لا يستطيعون الخروج منه. قال الآخر: اللهم إنه كانت لي ابنة عم كانت أحب الناس إلىّ " وفى رواية: "كنت أحبها كأشد ما يحب الرجال النساء، فأردتها على نفسها فامتنعت منى حتى ألمّت بها سنة من السنين فجاءتنى فأعطيتها عشرين ومائة دينار على أن تخلى بينى وبين نفسها ففعلت، حتى إذا قدرت عليها" وفى رواية: "فلما قعدت بين رجليها، قالت: اتق الله ولا تفض الخاتم إلا بحقه، فانصرفت عنها وهى أحب الناس إلى وتركت الذهب الذى أعطيتها، اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها. وقال الثالث: اللهم استأجرت أجراء وأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذى له وذهب، فثمرت أجره حتى كثرت منه الأموال، فجاءنى بعد حين فقال: يا عبد الله أدّ إلى أجرى، فقلت: كل ما ترى من أجرك: من الإبل والبقر والغنم والرقيق. فقال: يا عبد الله لا تستهزئ بى! فقلت: لا أستهزئ بك، فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئاً، اللهم إن كنتُ فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة فخرجوا يمشون"
Dari Abu Abdur Rahman, iaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:
"Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahawasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.
Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu - yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya saya pun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keredhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak bapa saudara yang wanita - jadi sepupu wanita - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia - dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita - kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperolehi kesukaran. lapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus dua puluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya - dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya - sepupuku itu lalu berkata: "Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini - melainkan dengan haknya - yakni dengan perkahwinan yang sah -, lalu saya pun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011.
HAKIM YANG ADIL
HAKIM YANG ADIL
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para hakim dan para pengambil keputusan bisa belajar dari kisah yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salikhin berikut ini.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه أنه سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول كَانَتِ امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا اَبْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ لِصَاحِبَتِهَا إنما ذَهَبَ بِابْنِكَ وَقَالَتِ الْأُخْرَى إنما ذهب بِابْنِكَ فَتَحَاكَمَا إلى دَاوُدَ صلى الله عليه وسلم فَقَضَي بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجْتَا على سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ صلى الله عليه وسلم فأخْبَرَتَاهُ فقال ائْتُوْنِي بِالسِّكِّيْنِ أَشُقُّهُ بَيْنَهُمَا فَقَالَتِ الصُّغْرَى لا تَفْعَلْ رَحِمَكَ اللهُ هو ابْنُهَا فَقَضَي بِهِ لِلصُّغْرَى
Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ada dua orang wanita yang disertai oleh anaknya masing-masing. Lalu datanglah seekor serigala, kemudian serigala ini pergi membawa anak salah seorang dari keduanya itu.
Yang seorang berkata kepada kawannya: "Hanyasanya serigala tadi pergi dengan membawa anakmu," sedang lainnya berkata: "Hanyasanya yang dibawa pergi olehnya tadi adalah anakmu."
Keduanya meminta keputusan hukum kepada Nabi Dawud Alaihissalam, lalu memutuskan untuk diberikan kepada yang tertua di antara kedua wanita tadi.
Keduanya keluar untuk meminta keputusan hukum kepada Nabi Sulaiman bin Dawud Alaihissalam, lalu keduanya memberitahukan hal- ihwalnya. Sulaiman berkata: "Bawalah ke mari pisau itu, agar saya dapat membelahnya untuk dibahagikan kepada keduanya."
Tiba-tiba yang kecil - yakni yang muda - di antara kedua wanita itu berkata: "Jangan anda kerjakan itu, semoga Allah memberikan kerahmatan kepada anda. Memang itu adalah anak sahabatku ini."
Tetapi Sulaiman Alaihissalam lalu memutuskan bahawa anak itu adalah milik yang muda." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para hakim dan para pengambil keputusan bisa belajar dari kisah yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salikhin berikut ini.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه أنه سَمِعَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول كَانَتِ امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا اَبْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إِحْدَاهُمَا فَقَالَتْ لِصَاحِبَتِهَا إنما ذَهَبَ بِابْنِكَ وَقَالَتِ الْأُخْرَى إنما ذهب بِابْنِكَ فَتَحَاكَمَا إلى دَاوُدَ صلى الله عليه وسلم فَقَضَي بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجْتَا على سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ صلى الله عليه وسلم فأخْبَرَتَاهُ فقال ائْتُوْنِي بِالسِّكِّيْنِ أَشُقُّهُ بَيْنَهُمَا فَقَالَتِ الصُّغْرَى لا تَفْعَلْ رَحِمَكَ اللهُ هو ابْنُهَا فَقَضَي بِهِ لِلصُّغْرَى
Dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ada dua orang wanita yang disertai oleh anaknya masing-masing. Lalu datanglah seekor serigala, kemudian serigala ini pergi membawa anak salah seorang dari keduanya itu.
Yang seorang berkata kepada kawannya: "Hanyasanya serigala tadi pergi dengan membawa anakmu," sedang lainnya berkata: "Hanyasanya yang dibawa pergi olehnya tadi adalah anakmu."
Keduanya meminta keputusan hukum kepada Nabi Dawud Alaihissalam, lalu memutuskan untuk diberikan kepada yang tertua di antara kedua wanita tadi.
Keduanya keluar untuk meminta keputusan hukum kepada Nabi Sulaiman bin Dawud Alaihissalam, lalu keduanya memberitahukan hal- ihwalnya. Sulaiman berkata: "Bawalah ke mari pisau itu, agar saya dapat membelahnya untuk dibahagikan kepada keduanya."
Tiba-tiba yang kecil - yakni yang muda - di antara kedua wanita itu berkata: "Jangan anda kerjakan itu, semoga Allah memberikan kerahmatan kepada anda. Memang itu adalah anak sahabatku ini."
Tetapi Sulaiman Alaihissalam lalu memutuskan bahawa anak itu adalah milik yang muda." (Muttafaq 'alaih)
Slawi, Maret 2011
PEMBELI YANG JUJUR
PEMBELI YANG JUJUR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salikhin mengutip kisah yang sangat berharga bagi kita, di saat kejujuran terasa amat mahal di zaman sekarang ini.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اَشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا فَوَجَدَ الذي اشْتَرَى العَقَارَ في عَقَارِهِ جَرَّةً فيها ذَهَبٌ, فقال له الذي اشْتَرَى العَقَارَ خُذْ ذَهَبَكَ إنما اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ ولم أَشْتَرِ الذَّهَبَ, وقال الذي لَهُ الْأَرْضُ إنما بِعْتُكَ الْأَرْضَ وما فيها, فَتَحَاكَمَا إلى رَجُلٍ فقال الذي تَحَاكَمَا إليه, أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قال أحَدُهُمَا لي غُلَامٌ, وقال الْآخَرُ لي جَارِيَةٌ, قال أَنْكِحَا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وأَنْفِقَا على أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sabdanya:
"Ada seorang lelaki membeli sebidang tanah dari lelaki lain, kemudian orang yang membeli sebidang tanah tadi menemukan sebuah kendil yang di dalamnya terdapat emas dalam tanah itu. Orang yang membeli tanah itu berkata kepada penjualnya: "Ambillah emasmu, sebab hanyasanya yang saya beli daripadamu itu adalah tanahnya saja dan saya tidak merasa membeli emasnya."
Tetapi orang yang mempunyai tanah-yakni penjualnya- berkata: "Hanya-sanya yang saya jual kepadamu itu adalah tanah beserta apa yang ada di dalamnya - jadi termasuk emas itu pula."
Keduanya berselisih lalu meminta hukum kepada seseorang lain. Kemudian orang yang dimintai pertimbangan hukum ini berkata: "Apakah salah seorang dari engkau berdua ini ada yang mempunyai anak lelaki?"
Seorang di antara keduanya berkata: "Saya mempunyai seorang anak lelaki. Yang seorang lagi berkata: "Saya mempunyai seorang anak perempuan."
Orang tadi lalu berkata: "Kahwinkan sajalah anak lelaki dengan anak perempuan itu dan belanjakanlah untuk kepentingan kedua anak itu dari emas ini dan bersedekahlah engkau berdua dengan harta itu." (Muttafaq 'alaih)
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salikhin mengutip kisah yang sangat berharga bagi kita, di saat kejujuran terasa amat mahal di zaman sekarang ini.
وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اَشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا فَوَجَدَ الذي اشْتَرَى العَقَارَ في عَقَارِهِ جَرَّةً فيها ذَهَبٌ, فقال له الذي اشْتَرَى العَقَارَ خُذْ ذَهَبَكَ إنما اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ ولم أَشْتَرِ الذَّهَبَ, وقال الذي لَهُ الْأَرْضُ إنما بِعْتُكَ الْأَرْضَ وما فيها, فَتَحَاكَمَا إلى رَجُلٍ فقال الذي تَحَاكَمَا إليه, أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قال أحَدُهُمَا لي غُلَامٌ, وقال الْآخَرُ لي جَارِيَةٌ, قال أَنْكِحَا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وأَنْفِقَا على أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sabdanya:
"Ada seorang lelaki membeli sebidang tanah dari lelaki lain, kemudian orang yang membeli sebidang tanah tadi menemukan sebuah kendil yang di dalamnya terdapat emas dalam tanah itu. Orang yang membeli tanah itu berkata kepada penjualnya: "Ambillah emasmu, sebab hanyasanya yang saya beli daripadamu itu adalah tanahnya saja dan saya tidak merasa membeli emasnya."
Tetapi orang yang mempunyai tanah-yakni penjualnya- berkata: "Hanya-sanya yang saya jual kepadamu itu adalah tanah beserta apa yang ada di dalamnya - jadi termasuk emas itu pula."
Keduanya berselisih lalu meminta hukum kepada seseorang lain. Kemudian orang yang dimintai pertimbangan hukum ini berkata: "Apakah salah seorang dari engkau berdua ini ada yang mempunyai anak lelaki?"
Seorang di antara keduanya berkata: "Saya mempunyai seorang anak lelaki. Yang seorang lagi berkata: "Saya mempunyai seorang anak perempuan."
Orang tadi lalu berkata: "Kahwinkan sajalah anak lelaki dengan anak perempuan itu dan belanjakanlah untuk kepentingan kedua anak itu dari emas ini dan bersedekahlah engkau berdua dengan harta itu." (Muttafaq 'alaih)
BERWUDHU UNTUK SETIAP SHALAT
BERWUDHU UNTUK SETIAP SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnatkan berwudhu untuk setiap shalat.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk memperbaharui wudhu wudhu pada setiap ingin mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Buraidah RA,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ على خَفَّيْهِ وصلَّى الصَّلَوَاتُ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ, فقال عُمَرَ : يا رسولَ اللَّه إنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ فقال : عَمَدً فَعَلْتُهُ يا عُمَرَ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat. Akan tetapi, pada hari penaklukkan Mekah beliau berwudhu, menyapu kedua sepatunya serta mengerjakan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu saja. Umar bertanya, ’Wahai Rasulullah, anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan selama ini’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ’Memang sengaja saya melakukan itu, wahai Umar” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lainnya).
Amar bin Amir Al-Anshari RA berkata, ”Anas bin Malik pernah mengatakan,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ قِيْلَ لَهُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ ما لَمْ نُحْدِثُ
’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu pada setiap ingin melakukan shalat’ Akupun bertanya kepadanya, ’Engkau sendiri bagaimana? Anas menjawab, ’Biasanya kami melakukan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu selama kami tidak berhadats” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah RA,
عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كلِّ وضوءٍ بِسِوَاكٍ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’ Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan).
Kemudian diriwayatkan pula dari Ibnu Umar RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول : من توضأَ على طَهْرٍ كَتَبَ له عَشْرَ حَسَنَاتٍ
” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Siapa yang berwudhu dalam keadaan suci, maka ia akan meraih sepuluh pahala kebaikan’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 74].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن أبي هريرةَ عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كل وضوءٍ بِسِوَاكٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang sahih).
وعن أنس قال: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يتوضأَ عند كلِّ صلاةٍ قيل له فأنتم كيف تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصلواتِ بوضوءٍ واحدٍ ما لم نُحْدِثُ
Dari Anas, ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu untuk setiap hendak shalat. Pernah Anas ditanya, ’kemudian kamu bagaimana?’ Ia menjawab, ’Kami mengerjakan beberapa kali shalat dengan wudhu sekali selama kami belum berhadats” (HR. Jamaah kecuali Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب الوضوء لكل صلاة وعدم وجوبه
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya wudhu untuk setiap shalat dan tidak wajib.
وعن عبد اللَّه بن حنظلةَ: أن النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم أَمَرَ بالوضوءِ لكل صلاةٍ طَاهِرًا كان أو غَيْرَ طَاهِرٍ فلما شَقَّ ذلك عليه أُمِرَ بالسواك ِعند كلِّ صلاةٍ وَوُضِعَ عنهُ الوضوءُ إلا مِنْ حَدِيْثٍ وكان عبدُ اللَّه بنُ عُمَرَ يرى أنَّ بِهِ قُوَّةً على ذلك كان يَفْعَلُهُ حتى مَاتَ
Dari Abdullah bin Handhalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wudhuuntuk setiap shalat, baik dalam keadaan masih suci atau tidak suci, tetapi setelah hal itu dirasa memberatkannya, lalu diperintahkan bersiwak untuk setiap hendak shalat, dan dicabutnya berwudhu (untuk setiap hendak shalat) kecuali karena berhadats. Sedangkan Abdullah bin Umar diketahui bahwa ia mempunyai kekuatan berbuat yang demikian itu (berwudhu untuk setiap hendak shalat), maka ia biasa mengerjakannya sampai ia meninggal dunia” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول فيه دليل على عدم وجوب الوضوء لكل صلاة وعلى استحبابه لكل صلاة مع الطهارة وقد تقدم الكلام عليه
Hadits Abdullah bin Handhalah menunjukkan tidak wajibnya wudhu untuk setiap shalat dan disunnahkannya untuk setiap shalat. Masalah ini telah kita bicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/175-176 (1/474-477)]
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnatkan berwudhu untuk setiap shalat.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk memperbaharui wudhu wudhu pada setiap ingin mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Buraidah RA,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ على خَفَّيْهِ وصلَّى الصَّلَوَاتُ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ, فقال عُمَرَ : يا رسولَ اللَّه إنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ فقال : عَمَدً فَعَلْتُهُ يا عُمَرَ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat. Akan tetapi, pada hari penaklukkan Mekah beliau berwudhu, menyapu kedua sepatunya serta mengerjakan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu saja. Umar bertanya, ’Wahai Rasulullah, anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan selama ini’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ’Memang sengaja saya melakukan itu, wahai Umar” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lainnya).
Amar bin Amir Al-Anshari RA berkata, ”Anas bin Malik pernah mengatakan,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ قِيْلَ لَهُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ ما لَمْ نُحْدِثُ
’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu pada setiap ingin melakukan shalat’ Akupun bertanya kepadanya, ’Engkau sendiri bagaimana? Anas menjawab, ’Biasanya kami melakukan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu selama kami tidak berhadats” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah RA,
عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كلِّ وضوءٍ بِسِوَاكٍ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’ Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan).
Kemudian diriwayatkan pula dari Ibnu Umar RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول : من توضأَ على طَهْرٍ كَتَبَ له عَشْرَ حَسَنَاتٍ
” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Siapa yang berwudhu dalam keadaan suci, maka ia akan meraih sepuluh pahala kebaikan’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 74].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن أبي هريرةَ عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كل وضوءٍ بِسِوَاكٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang sahih).
وعن أنس قال: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يتوضأَ عند كلِّ صلاةٍ قيل له فأنتم كيف تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصلواتِ بوضوءٍ واحدٍ ما لم نُحْدِثُ
Dari Anas, ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu untuk setiap hendak shalat. Pernah Anas ditanya, ’kemudian kamu bagaimana?’ Ia menjawab, ’Kami mengerjakan beberapa kali shalat dengan wudhu sekali selama kami belum berhadats” (HR. Jamaah kecuali Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب الوضوء لكل صلاة وعدم وجوبه
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya wudhu untuk setiap shalat dan tidak wajib.
وعن عبد اللَّه بن حنظلةَ: أن النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم أَمَرَ بالوضوءِ لكل صلاةٍ طَاهِرًا كان أو غَيْرَ طَاهِرٍ فلما شَقَّ ذلك عليه أُمِرَ بالسواك ِعند كلِّ صلاةٍ وَوُضِعَ عنهُ الوضوءُ إلا مِنْ حَدِيْثٍ وكان عبدُ اللَّه بنُ عُمَرَ يرى أنَّ بِهِ قُوَّةً على ذلك كان يَفْعَلُهُ حتى مَاتَ
Dari Abdullah bin Handhalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wudhuuntuk setiap shalat, baik dalam keadaan masih suci atau tidak suci, tetapi setelah hal itu dirasa memberatkannya, lalu diperintahkan bersiwak untuk setiap hendak shalat, dan dicabutnya berwudhu (untuk setiap hendak shalat) kecuali karena berhadats. Sedangkan Abdullah bin Umar diketahui bahwa ia mempunyai kekuatan berbuat yang demikian itu (berwudhu untuk setiap hendak shalat), maka ia biasa mengerjakannya sampai ia meninggal dunia” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول فيه دليل على عدم وجوب الوضوء لكل صلاة وعلى استحبابه لكل صلاة مع الطهارة وقد تقدم الكلام عليه
Hadits Abdullah bin Handhalah menunjukkan tidak wajibnya wudhu untuk setiap shalat dan disunnahkannya untuk setiap shalat. Masalah ini telah kita bicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/175-176 (1/474-477)]
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
WANITA AHLI SORGA
WANITA AHLI SORGA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya
Imam Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin mengutip hadits dari kitab Sahihain yang mengisahkan tentang seorang wanita yang berpenyakit ayan.
Dari 'Atha' bin Abu Rabah, katanya:
قال لي ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: أَلَا أُرِيْكَ امْرَأَةٌ مِنْ أهْلِ الْجَنَّةِ " فَقُلْتُ: بَلَى، قال: هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النبيَّ صلى الله عليه وسلم فقالت : إِنِّي أُصْرَعُ، و إني أتَكَشَّفَ، فَادْعُ اللهَ تعالى لِي قال: "إنْ شِئْتَ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وإنْ شِئْتَ دَعَوْتُ اللهَ تعالى أنْ يُعَافِيَكِ" فقالت: أصْبِرُ، فقالت: إني أتَكَشَّفَ ، فَادْعُ اللهَ أنْ لَا أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا. ((متفق عليه)) .
"Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan padaku: "Apakah engkau suka saya tunjukkan seorang wanita yang tergolong ahli syurga?" Saya berkata: "Baiklah." Ia berkata lagi: "Wanita hitam itu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya saya ini terserang oleh penyakit ayan dan oleh sebab itu lalu saya membuka aurat tubuhku. Oleh kerananya haraplah Tuan mendoakan untuk saya kepada Allah - agar saya sembuh." Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jikalau engkau suka hendaklah bersabar saja dan untukmu adalah syurga, tetapi jikalau engkau suka maka saya akan mendoakan untukmu kepada Allah Ta'ala agar penyakitmu itu disembuhkan olehNya." Wanita itu lalu berkata: "Saya bersabar," lalu katanya pula: "Sesungguhnya kerana penyakit itu, saya membuka aurat tubuh saya. Kalau begitu sudilah Tuan mendoakan saja untuk saya kepada Allah agar saya tidak sampai membuka aurat tubuh itu." Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mendoakan untuknya - sebagaimana yang dikehendakinya itu." (Muttafaq 'alaih)
*Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya
Imam Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin mengutip hadits dari kitab Sahihain yang mengisahkan tentang seorang wanita yang berpenyakit ayan.
Dari 'Atha' bin Abu Rabah, katanya:
قال لي ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: أَلَا أُرِيْكَ امْرَأَةٌ مِنْ أهْلِ الْجَنَّةِ " فَقُلْتُ: بَلَى، قال: هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النبيَّ صلى الله عليه وسلم فقالت : إِنِّي أُصْرَعُ، و إني أتَكَشَّفَ، فَادْعُ اللهَ تعالى لِي قال: "إنْ شِئْتَ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وإنْ شِئْتَ دَعَوْتُ اللهَ تعالى أنْ يُعَافِيَكِ" فقالت: أصْبِرُ، فقالت: إني أتَكَشَّفَ ، فَادْعُ اللهَ أنْ لَا أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا. ((متفق عليه)) .
"Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan padaku: "Apakah engkau suka saya tunjukkan seorang wanita yang tergolong ahli syurga?" Saya berkata: "Baiklah." Ia berkata lagi: "Wanita hitam itu pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: "Sesungguhnya saya ini terserang oleh penyakit ayan dan oleh sebab itu lalu saya membuka aurat tubuhku. Oleh kerananya haraplah Tuan mendoakan untuk saya kepada Allah - agar saya sembuh." Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jikalau engkau suka hendaklah bersabar saja dan untukmu adalah syurga, tetapi jikalau engkau suka maka saya akan mendoakan untukmu kepada Allah Ta'ala agar penyakitmu itu disembuhkan olehNya." Wanita itu lalu berkata: "Saya bersabar," lalu katanya pula: "Sesungguhnya kerana penyakit itu, saya membuka aurat tubuh saya. Kalau begitu sudilah Tuan mendoakan saja untuk saya kepada Allah agar saya tidak sampai membuka aurat tubuh itu." Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mendoakan untuknya - sebagaimana yang dikehendakinya itu." (Muttafaq 'alaih)
*Slawi, Maret 2011.
PEMBUNUH YANG BERTAUBAT
PEMBUNUH YANG BERTAUBAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya
Imam Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin mengutip hadits dari kitab Sahih Muslim yang mengisahkan tentang seorang pembunuh yang bertaubat.
Dari Sa’id Al-Khudry, dia berkata,
أنَّ نبيَّ اللهِ صلى الله عليه وسلم قال "كان فِيْمَنْ كَانَ قَبْلِكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا. فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فقال: إنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا. فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فقال: لا. فَقَتَلَهُ. فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً. ثم سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ. فقال: إنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ. فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقال: نَعَمْ. وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ اَنْطَلِقْ إلى أرضِ كَذَا وَكَذَا. فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ فَاعْبُدُ اللهَ مَعَهُمْ. ولا تَرْجِعْ إلى أرْضِكَ فإنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حتى إذا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أتَاهُ الْمَوْتُ. فَاخْتَصَمَتْ فيه مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ و مَلَائِكَةُ العَذَابِ. فقالت مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إلى اللهَ. وقالت مَلَائِكَةُ العَذَابِ: إنهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُ مَلَكٌ في صُوْرَةِ آدَمِيِّ. فَجَعَلُوْهُ بَيْنَهُمْ. فقال: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ. فَإِلَى أيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى، فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوْه فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إلى الأرضِ الَّتِي أَرَادَ. فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ "
Bahwa Nabi saw. bersabda: Di antara umat sebelum kamu sekalian terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Dia pun mendatangi pendeta tersebut dan mengatakan, bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah tobatnya akan diterima? Pendeta itu menjawab: Tidak! Lalu dibunuhnyalah pendeta itu sehingga melengkapi seratus pembunuhan. Kemudian dia bertanya lagi tentang penduduk bumi yang paling berilmu lalu ditunjukkan kepada seorang alim yang segera dikatakan kepadnya bahwa ia telah membunuh seratus jiwa, apakah tobatnya akan diterima? Orang alim itu menjawab: Ya, dan siapakah yang dapat menghalangi tobat seseorang! Pergilah ke negeri Anu dan Anu karena di sana terdapat kaum yang selalu beribadah kepada Allah lalu sembahlah Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu itu negeri yang penuh dengan kejahatan! Orang itu pun lalu berangkat, sampai ketika ia telah mencapai setengah perjalanan datanglah maut menjemputnya. Berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab mengenainya. Malaikat rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadap sepenuh hati kepada Allah. Malaikat azab berkata: Dia belum pernah melakukan satu perbuatan baik pun. Lalu datanglah seorang malaikat yang menjelma sebagai manusia menghampiri mereka yang segera mereka angkat sebagai penengah. Ia berkata: Ukurlah jarak antara dua negeri itu, ke negeri mana ia lebih dekat, maka ia menjadi miliknya. Lalu mereka pun mengukurnya dan mendapatkan orang itu lebih dekat ke negeri yang akan dituju sehingga diambillah ia oleh malaikat rahmat. (Shahih Muslim No.4967) [Riyadus Salikhin, hadits no. 20].
*Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya
Imam Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin mengutip hadits dari kitab Sahih Muslim yang mengisahkan tentang seorang pembunuh yang bertaubat.
Dari Sa’id Al-Khudry, dia berkata,
أنَّ نبيَّ اللهِ صلى الله عليه وسلم قال "كان فِيْمَنْ كَانَ قَبْلِكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا. فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فقال: إنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا. فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فقال: لا. فَقَتَلَهُ. فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً. ثم سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ. فقال: إنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ. فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقال: نَعَمْ. وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ اَنْطَلِقْ إلى أرضِ كَذَا وَكَذَا. فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ فَاعْبُدُ اللهَ مَعَهُمْ. ولا تَرْجِعْ إلى أرْضِكَ فإنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حتى إذا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أتَاهُ الْمَوْتُ. فَاخْتَصَمَتْ فيه مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ و مَلَائِكَةُ العَذَابِ. فقالت مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إلى اللهَ. وقالت مَلَائِكَةُ العَذَابِ: إنهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُ مَلَكٌ في صُوْرَةِ آدَمِيِّ. فَجَعَلُوْهُ بَيْنَهُمْ. فقال: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ. فَإِلَى أيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى، فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوْه فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إلى الأرضِ الَّتِي أَرَادَ. فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ "
Bahwa Nabi saw. bersabda: Di antara umat sebelum kamu sekalian terdapat seorang lelaki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu dia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Dia pun mendatangi pendeta tersebut dan mengatakan, bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah tobatnya akan diterima? Pendeta itu menjawab: Tidak! Lalu dibunuhnyalah pendeta itu sehingga melengkapi seratus pembunuhan. Kemudian dia bertanya lagi tentang penduduk bumi yang paling berilmu lalu ditunjukkan kepada seorang alim yang segera dikatakan kepadnya bahwa ia telah membunuh seratus jiwa, apakah tobatnya akan diterima? Orang alim itu menjawab: Ya, dan siapakah yang dapat menghalangi tobat seseorang! Pergilah ke negeri Anu dan Anu karena di sana terdapat kaum yang selalu beribadah kepada Allah lalu sembahlah Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu itu negeri yang penuh dengan kejahatan! Orang itu pun lalu berangkat, sampai ketika ia telah mencapai setengah perjalanan datanglah maut menjemputnya. Berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab mengenainya. Malaikat rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadap sepenuh hati kepada Allah. Malaikat azab berkata: Dia belum pernah melakukan satu perbuatan baik pun. Lalu datanglah seorang malaikat yang menjelma sebagai manusia menghampiri mereka yang segera mereka angkat sebagai penengah. Ia berkata: Ukurlah jarak antara dua negeri itu, ke negeri mana ia lebih dekat, maka ia menjadi miliknya. Lalu mereka pun mengukurnya dan mendapatkan orang itu lebih dekat ke negeri yang akan dituju sehingga diambillah ia oleh malaikat rahmat. (Shahih Muslim No.4967) [Riyadus Salikhin, hadits no. 20].
*Slawi, Maret 2011.
LAKI-LAKI AHLI SORGA
LAKI-LAKI AHLI SORGA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Banyak diantara kita yang menganggap suatu amal itu kecil, padahal di sisi Allah amalan tersebut sangat berharga dan dapat mengantarkan pelakunya ke surga.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dakam Musnad Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
كنا جلوسا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ اْلآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فطلع رجل من الأنصار تنطف لحيته من وضوئه قد تعلق نعليه في يده الشمال فلما كان الغد قال النبي صلى الله عليه وسلم مثل ذلك فطلع ذلك الرجل مثل المرة الأولى فلما كان اليوم الثالث قال النبي صلى الله عليه وسلم مثل مقالته أيضا فطلع ذلك الرجل على مثل حاله الأولى فلما قام النبي صلى الله عليه وسلم تبعه عبد الله بن عمرو بن العاص فقال إني لاحيت أبي فأقسمت أن لا أدخل عليه ثلاثا فإن رأيت أن تؤويني إليك حتى تمضي فعلت قال نعم قال أنس وكان عبد الله يحدث أنه بات معه تلك الليالي الثلاث فلم يره يقوم من الليل شيئا غير أنه تعار وتقلب على فراشه ذكر الله عز وجل وكبر حتى يقوم لصلاة الفجر قال عبد الله غير أني لم أسمعه يقول إلا خيرا فلما مضت الثلاث ليال وكدت أن أحتقر عمله قلت يا عبد الله إني لم يكن بين وبين أبي غضب ولا هجر ثم ولكن سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لك ثلاث مرار يطلع عليكم الآن رجل من أهل الجنة فطلعت أنت الثلاث مرار فأردت أن آوي إليك لأنظر ما عملك فأقتدي به فلم أرك تعمل كثير عمل فما الذي بلغ بك ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما هو إلا ما رأيت قال فلما وليت دعاني فقال ما هو إلا ما رأيت غير أني لا أجد في نفسي لأحد من المسلمين غشا ولا أحسد أحدا على خير أعطاه الله إياه فقال عبد الله هذه التي بلغت بك وهي التي لا نطيق.
“Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ“Sekarang akan muncul kepada kalian dari jalan ini, seorang lelaki dari penghuni surga.”
Anas radhiyallahu 'anhu berkata: “Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar, jenggotnya meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya di tangan kirinya. Orang itu pun mengucapkan salam. Keesokan harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan yang seperti itu. Muncul lagi lelaki itu seperti pada kali yang pertama. Hari ketiga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi lelaki itu seperti keadaannya yang pertama.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri, lelaki itu diikuti oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu 'anhuma. Kemudian Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku bertengkar dengan ayahku, lalu aku bersumpah untuk tidak masuk kepadanya selama tiga (hari). Jika engkau mempersilakan aku tinggal di rumahmu hingga lewat tiga hari, maka akan aku lakukan. Lelaki itu berkata: “Ya.”
Anas berkata: “Adalah Abdullah –yakni bin ‘Amr– bercerita bahwa ia menginap bersamanya tiga malam.” Anas berkata lagi: “Ia tidak melihat lelaki itu shalat malam sedikitpun. Hanya saja bila ia terbangun dari tidurnya di malam hari dan menggerakkan (tubuhnya) di atas kasurnya, ia berdzikir kepada Allah dan bertakbir, sampai ia bangun untuk shalat fajar. Hanya saja, jika ia terbangun di malam hari, ia tidak berucap kecuali kebaikan. Abdullah berkata: ‘Tatkala tiga malam itu lewat, dan aku hampir-hampir menganggap remeh amalannya, aku berkata: ‘Wahai hamba Allah, (sebenarnya) tidak ada ketegangan dan pemboikotan antara aku dengan ayahku. Namun aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap (tiga kali): ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang penduduk surga.’ Lalu engkau muncul, tiga kali. Saya ingin tinggal menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun aku tidak melihat engkau banyak beramal. Apa gerangan yang menyebabkan kedudukanmu sampai seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Dia menjawab: ‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.’ Abdullah berkata: ‘Aku pun meninggalkannya.’ Tatkala aku berpaling, ia memanggilku. Ia berkata: ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali apa yang engkau lihat. Hanya saja aku tidak dapatkan dalam diriku kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Dan aku tidak hasad kepadanya atas kebaikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.’ Abdullah berkata: ‘Inilah hal yang menyampaikan engkau kepada kedudukan itu. Dan inilah yang tidak dimampui (susah dilaksanakan)’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12/8-9, no. 6181, dan Ahmad dalam Al-Musnad, dan dishahihkan oleh Al-‘Iraqi rahimahullahu dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, 2/862, no. 3168)
*Slawi, Maret 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Banyak diantara kita yang menganggap suatu amal itu kecil, padahal di sisi Allah amalan tersebut sangat berharga dan dapat mengantarkan pelakunya ke surga.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dakam Musnad Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
كنا جلوسا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ اْلآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فطلع رجل من الأنصار تنطف لحيته من وضوئه قد تعلق نعليه في يده الشمال فلما كان الغد قال النبي صلى الله عليه وسلم مثل ذلك فطلع ذلك الرجل مثل المرة الأولى فلما كان اليوم الثالث قال النبي صلى الله عليه وسلم مثل مقالته أيضا فطلع ذلك الرجل على مثل حاله الأولى فلما قام النبي صلى الله عليه وسلم تبعه عبد الله بن عمرو بن العاص فقال إني لاحيت أبي فأقسمت أن لا أدخل عليه ثلاثا فإن رأيت أن تؤويني إليك حتى تمضي فعلت قال نعم قال أنس وكان عبد الله يحدث أنه بات معه تلك الليالي الثلاث فلم يره يقوم من الليل شيئا غير أنه تعار وتقلب على فراشه ذكر الله عز وجل وكبر حتى يقوم لصلاة الفجر قال عبد الله غير أني لم أسمعه يقول إلا خيرا فلما مضت الثلاث ليال وكدت أن أحتقر عمله قلت يا عبد الله إني لم يكن بين وبين أبي غضب ولا هجر ثم ولكن سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لك ثلاث مرار يطلع عليكم الآن رجل من أهل الجنة فطلعت أنت الثلاث مرار فأردت أن آوي إليك لأنظر ما عملك فأقتدي به فلم أرك تعمل كثير عمل فما الذي بلغ بك ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما هو إلا ما رأيت قال فلما وليت دعاني فقال ما هو إلا ما رأيت غير أني لا أجد في نفسي لأحد من المسلمين غشا ولا أحسد أحدا على خير أعطاه الله إياه فقال عبد الله هذه التي بلغت بك وهي التي لا نطيق.
“Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ“Sekarang akan muncul kepada kalian dari jalan ini, seorang lelaki dari penghuni surga.”
Anas radhiyallahu 'anhu berkata: “Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar, jenggotnya meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya di tangan kirinya. Orang itu pun mengucapkan salam. Keesokan harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan yang seperti itu. Muncul lagi lelaki itu seperti pada kali yang pertama. Hari ketiga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi lelaki itu seperti keadaannya yang pertama.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri, lelaki itu diikuti oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu 'anhuma. Kemudian Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku bertengkar dengan ayahku, lalu aku bersumpah untuk tidak masuk kepadanya selama tiga (hari). Jika engkau mempersilakan aku tinggal di rumahmu hingga lewat tiga hari, maka akan aku lakukan. Lelaki itu berkata: “Ya.”
Anas berkata: “Adalah Abdullah –yakni bin ‘Amr– bercerita bahwa ia menginap bersamanya tiga malam.” Anas berkata lagi: “Ia tidak melihat lelaki itu shalat malam sedikitpun. Hanya saja bila ia terbangun dari tidurnya di malam hari dan menggerakkan (tubuhnya) di atas kasurnya, ia berdzikir kepada Allah dan bertakbir, sampai ia bangun untuk shalat fajar. Hanya saja, jika ia terbangun di malam hari, ia tidak berucap kecuali kebaikan. Abdullah berkata: ‘Tatkala tiga malam itu lewat, dan aku hampir-hampir menganggap remeh amalannya, aku berkata: ‘Wahai hamba Allah, (sebenarnya) tidak ada ketegangan dan pemboikotan antara aku dengan ayahku. Namun aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap (tiga kali): ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang penduduk surga.’ Lalu engkau muncul, tiga kali. Saya ingin tinggal menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun aku tidak melihat engkau banyak beramal. Apa gerangan yang menyebabkan kedudukanmu sampai seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Dia menjawab: ‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.’ Abdullah berkata: ‘Aku pun meninggalkannya.’ Tatkala aku berpaling, ia memanggilku. Ia berkata: ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali apa yang engkau lihat. Hanya saja aku tidak dapatkan dalam diriku kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Dan aku tidak hasad kepadanya atas kebaikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.’ Abdullah berkata: ‘Inilah hal yang menyampaikan engkau kepada kedudukan itu. Dan inilah yang tidak dimampui (susah dilaksanakan)’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12/8-9, no. 6181, dan Ahmad dalam Al-Musnad, dan dishahihkan oleh Al-‘Iraqi rahimahullahu dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, 2/862, no. 3168)
*Slawi, Maret 2011.
MANDI KARENA KELUAR MANI
MANDI KARENA KELUAR MANI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat bahwa mandi itu wajib karena keluar mani atau sperma. Demikian dikatakan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid.
عن علي عليه السلام قال: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً, فَسَأَلْتُ النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال: في الْمَذِي الْوُضُوْءُ وفي الْمَنِي الْغَسْلُ
رواه أحمد وابن ماجه والترمذي وصححه.
ولأحمد فقال: إذا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ من الجنابةِ فإذا لم تكن حَاذِفًا فلا تَغْتَسِلْ
Dari Ali, ia berkata, “Aku adalah seorang laki-laki yang sering keluar madzi, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, kemudian ia menjawab, ‘Dalam madzi itu ada wudhu, dan di dalam mani ada mandi,” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengesahkannya. Bagi Ahmad (dikatakan), lalu beliau bersabda, “Kalau engkau mengeluarkan air (mani) maka mandilah karena janabat, dan apabila engkau tidak mengeluarkan mani maka jangan mandi”)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الغسل من المذي وأن الواجب الوضوء وقد تقدم الكلام في ذلك في باب ما جاء في المذي من أبواب تطهير النجاسات. ويدل على وجوب الغسل من المني قال الترمذي: وهو قول عامة أهل العلم من أصحاب النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم والتابعين وبه يقول سفيان والشافعي وأحمد وإسحاق.
Hadits di atas menunjukkan tidak wajibnya mandi karena keluar madzi, tetapi wajib wudhu. Pembicaraan maslah ini telah dikemukakan pada bab sesuci dari hadats. Dan, hadits di atas menunjukkan wajib mandi karena keluar mani. At-Tirmidzi mengatakan, pendapat ini adalah pendapat umumnya ahli ilmu dan para sahabat Nabi dan Tabi’in. Ini menurut Sufyan, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
[Nailul Authar 1/181 (1/495)].
وعن أم سلمةَ أن أم سليمٍ قالت: يا رسولَ اللَّه إن اللَّه لا يَسْتَحْيِي من الحقِّ فهل على الْمَرْأَةِ الْغُسْلُ إذا احْتَلَمَتْ قال: نعم إذا رَأَتِ الْمَاءَ فقالتْ أمُّ سلمةَ: وتَحْتَلِمُ المرأةُ؟ فقال: تَرِبَتْ يَدَاكَ فَبِمَا يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا؟
Dari Ummu Salamah, bahwa Ummu Sulaim berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu karena sesuatu yang haq (maka aku bertanya), ’Apakah wanita wajib mandi jinabat kalau ia bermimpi?’ Beliau menjawab, ’Ya, apabila melihat air’ Kemudian Ummu Sulaim bertanya lagi, ’Apakah perempuan juga bermimpi?’ ’Celaka engkau! Kalau tidak begitu dengan apa anaknya serupa degan dia?’” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على وجوب الغسل على المرأة بإنزالها الماء. قال ابن بطال والنووي: وهذا لا خلاف فيه . وفي الحديث رد على من قال أن ماء المرأة لا يبرز.
Hadits di atas menunjukkan bahwa mandi itu wajib bagi wanita yang keluar mani. Ibnu Baththal dan An-Nawawi mengatakan, tidak ada selisih pendapat dalam hal ini.
Hadits di atas juga menunjukkan sebagai sanggahan bagi orang yang berpendapat bahwa air (mani) wanita itu tidak tampak.
[Nailul Authar 1/ (1/496)].
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
واتفق العلماء على وجوب هذه الطهارة من حدثين: أحدهما خروج المني على وجه الصحة في النوم أو اليقظة من ذكر كان أو أنثى، إلا ما روي عن النخعي من أنه كان لا يرى على المرأة غسلا من الاحتلام، وإنما اتفق الجمهور على مساواة المرأة في الاحتلام للرجل لحديث أم سلمة
Para ulama sepakat bahwa mandi itu wajib karena terjadinya dua hadats. Pertama, Keluar mani atau sperma. Mani yang keluar secara normal, baik karena dorongan mimpi atau dalam keadaan terjada bagi laki-laki dan perempuan, wajib mandi. Menurut Nakhai, wanita yang bermimpi basah tidak wajib mandi. Tetapi jumhur ulama sepakat bahwa mimpi basah tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Ummu Salamah ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. (lihat hadits di atas)
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/87)]
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
فمن رأي الماء الدافق متلذذا أو غير متلذذ فعليه الغسل وكذلك لو جامع فخرج منه ماء دافق فاغتسل ثم خرج منه ماء دافق بعد الغسل أعاد الغسل وسواء كان ذلك قبل البول أو بعد ما بال إذا جعلت الماء الدافق علما لا لإيجاب الغسل وهو قبل البول وبعده سواء والماء الدافق الثخين الذي يكون منه الولد والرائحة التي تشبه رائحة الطلع
ولو وجد في ثوبه ماءا دافقا ولا يذكر أنه جاء منه ماء داف باحتلام ولا بغيره أحببت أن يغتسل ويعيد الصلاة ويتأخى فيعيد بقدر ما يرى أن ذلك الاحتلام كان أو ما كان من الصلوات بعد نوم رأى فيه شيئا يشبه أن يكون احتلم فيه
Barangsiapa melihat air yang memancar, baik terasa nikmat atau tidak, maka wajib baginya mandi. Demikian juga halnya apabila ia bersetubuh lalu mengeluarkan mani, maka ia harus mandi. Apabila keluar lagi air yang memancar setelah mandi, maka ia harus mengulangi mandinya, dan sama saja apakah sebelum membuang air kecil atau sesudahnya. Jadi, keluarnya air yang terpancar dari seseorang merupakan tanda bahwa ia harus mandi, baik sebelum membuang air kecil ataupun sesudahnya.
Air yang terpancar adalah yang hangat dan darinya terlahir seorang anak, serta baunya menyerupai serbuk kurma.
Jika ia mnemukan mani pada kainnya, tetapi lupa bahwa air mani itu berasal dari mimpi atau selainnya, maka saya lebih menyukai apabila ia mandi dan mengulangi shalatnya. Hendaknya seseorang bersikap teliti dengan mengulangi semua shalat yang diduga dilakukan setelah air mani itu keluar, atau ia mengulangi shalat yang dilakukannya setelah bangun tidur, dimana ia melihat sesuatu yang diduga telah menyebabkan air maninya keluar.
[Al-Umm 1/48 ; Ringkasan Kitab Al-Umm 1/55]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Disini ada beberapa persoalan yang sering terjadi dan memerlukan sebuah keteangan yang lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
1. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak mewajibkan mandi. Dalam hadits Ali RA disebutkan,
”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Jika air mani itu terpancar dengan kuat maka mandilah,” (HR. Abu Dawud)
Mujahid mengatakan, ”Ketika kami, yaitu sahabat-sahabat yakni, Ibnu Abbas, Thawus, Sa’id bin Jubair, dan Ikkrimah duduk melingkar di dalam masjid, sedang Ibnu Abbas sedang berdiri shalat, maka tiba-tiba muncullah di hadapan kami seorang laki-laki yang bertanya, ’Adakah diantara tuan-tuan yang dapat memberi fatwa?’ ’Keluarkanlah pertanyaan anda!’ ujar kami. Katanya, ’Setiap kali saya kencing maka air kencing itu senantiasa diiringi oleh air yang terpancar’
Kamipun bertanya, ’Apakah ia air yang menjadi asal kejadian anak?’
’Benar’ ujarnya. ’Kalau demikian, anda wajib mandi,’ ujar kami lagi.
Akan tetapi laki-laki itu tidak menampakkan kepuasannya dengan jawaban kami dan kemudian ia memalingkan dirinya untuk melangkah pergi. Sementara itu Ibnu Abbas menyegerakan shalatnya lalu mengatakan kepada Ikrimah supaya memanggil orang itu.
Ketika orang itu sedang berbalik, Ibnu Abbaspun bertanya kepada kami, ’Apakah fatwa anda terhadap laki-laki itu berdasarkan kitabullah?’ Ujar kami, ’Tidak’. Ibnu Abbas bertanya lagi, ’Apakah fatwa anda tadi berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?’. Kamipun menjawab, ’Tidak’. Ibnu Abbas bertanya lagi, ’Apakah fatwa anda tadi berdasarkan pendapat sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?’. ’Juga tidak’. ’Kalau begitu dari mana fatwa Anda itu?’ tanyanya lagi, ’Dari hasil pemikiran kami sendiri’, tegas kami.
Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Seorang ahli hukum lebih berat bagi setan dibandingkan dengan seribu orang ahli ibadah’.
Dalam pada itu, laki-laki tadipun tiba kembali dihadapan Ibnu Abbas, lalu beliau bertanya kepadanya, ’Bagaimanakah perasaanmu bila yang demikian itu terjadi, apakah disertai dengan syahwat pada kemaluanmu?’. Laki-laki itu menjawab, ’Tidak’. Tanya Ibnu Abbas pula, ’Apakah engkau merasakan kelesuan pada tubuhmu?’. ’Tidak’, ujarnya lagi.
’Kalau begitu, ia hanya karena pengaruh cuaca dingin,’ Kata Ibnu Abbas pula, ’Jadi, anda cukup berwudhu saja jika terjadi hal demikian itu’”
2. Bila seseorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib mandi.
Ibnu Mundzir mengatakan, ”Menurut ingatan saya, hal itu merupakan ijma’ ulama”. Dan dalam hadits Ummu Sulaim di atas ditegaskan, ’Apakah wanita wajib mandi jinabat kalau ia bermimpi?’ Beliau menjawab, ’Ya, apabila melihat air’. Berdasarkan keterangan hadits ini dapat diambil suatu kesimpulan, jika seseorang tidak melihat air mani, maka ia tidak wajib mandi. Akan tetapi, seandainya mani itu keluar setelah bangun, maka ia wajib mandi.
3. Bila seseorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada zahirnya, air mani keluar adalah karena mimpi, tetapi ia sudah tidak ingat lagi. Dan jika seseorang itu bimbang dan ragu, apakah itu mani atau bukan, ia wajib mandi demi menjaga diri.
Menurut Mujahid dan Qatadah, ia tidak wajib mandi hingga ia betul-betul yakin bahwa itu adalah air yang terpancar. Karena yang diyakini adalah masih dalam keadaan suci dan keadaan seperti ini tidak bisa dihapuskan hanya dengan kebimbangan semata.
4. Jika seseorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat, tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak wajib mandi. Karena berdasarkan hadits Nabi yang telah disebutkan bahwa kewajiban mandi itu dihubungkan dengan melihat air mani yang jelas.
Oleh karenanya, sekiranya seseorang tidak melihat air mani, maka ia pun tidak wajib mandi. Akan tetapi seandainya ia berjalan lalu mani keluar, maka wajiblah ia mandi.
5. Jika ia melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah shalat, maka ia wajib mengulangi shalat dari waktu tidurnya yang terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat dimana mani itu mungkin keluar.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 81-83].
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat bahwa mandi itu wajib karena keluar mani atau sperma. Demikian dikatakan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid.
عن علي عليه السلام قال: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً, فَسَأَلْتُ النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال: في الْمَذِي الْوُضُوْءُ وفي الْمَنِي الْغَسْلُ
رواه أحمد وابن ماجه والترمذي وصححه.
ولأحمد فقال: إذا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ من الجنابةِ فإذا لم تكن حَاذِفًا فلا تَغْتَسِلْ
Dari Ali, ia berkata, “Aku adalah seorang laki-laki yang sering keluar madzi, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, kemudian ia menjawab, ‘Dalam madzi itu ada wudhu, dan di dalam mani ada mandi,” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengesahkannya. Bagi Ahmad (dikatakan), lalu beliau bersabda, “Kalau engkau mengeluarkan air (mani) maka mandilah karena janabat, dan apabila engkau tidak mengeluarkan mani maka jangan mandi”)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الغسل من المذي وأن الواجب الوضوء وقد تقدم الكلام في ذلك في باب ما جاء في المذي من أبواب تطهير النجاسات. ويدل على وجوب الغسل من المني قال الترمذي: وهو قول عامة أهل العلم من أصحاب النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم والتابعين وبه يقول سفيان والشافعي وأحمد وإسحاق.
Hadits di atas menunjukkan tidak wajibnya mandi karena keluar madzi, tetapi wajib wudhu. Pembicaraan maslah ini telah dikemukakan pada bab sesuci dari hadats. Dan, hadits di atas menunjukkan wajib mandi karena keluar mani. At-Tirmidzi mengatakan, pendapat ini adalah pendapat umumnya ahli ilmu dan para sahabat Nabi dan Tabi’in. Ini menurut Sufyan, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
[Nailul Authar 1/181 (1/495)].
وعن أم سلمةَ أن أم سليمٍ قالت: يا رسولَ اللَّه إن اللَّه لا يَسْتَحْيِي من الحقِّ فهل على الْمَرْأَةِ الْغُسْلُ إذا احْتَلَمَتْ قال: نعم إذا رَأَتِ الْمَاءَ فقالتْ أمُّ سلمةَ: وتَحْتَلِمُ المرأةُ؟ فقال: تَرِبَتْ يَدَاكَ فَبِمَا يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا؟
Dari Ummu Salamah, bahwa Ummu Sulaim berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu karena sesuatu yang haq (maka aku bertanya), ’Apakah wanita wajib mandi jinabat kalau ia bermimpi?’ Beliau menjawab, ’Ya, apabila melihat air’ Kemudian Ummu Sulaim bertanya lagi, ’Apakah perempuan juga bermimpi?’ ’Celaka engkau! Kalau tidak begitu dengan apa anaknya serupa degan dia?’” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على وجوب الغسل على المرأة بإنزالها الماء. قال ابن بطال والنووي: وهذا لا خلاف فيه . وفي الحديث رد على من قال أن ماء المرأة لا يبرز.
Hadits di atas menunjukkan bahwa mandi itu wajib bagi wanita yang keluar mani. Ibnu Baththal dan An-Nawawi mengatakan, tidak ada selisih pendapat dalam hal ini.
Hadits di atas juga menunjukkan sebagai sanggahan bagi orang yang berpendapat bahwa air (mani) wanita itu tidak tampak.
[Nailul Authar 1/ (1/496)].
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
واتفق العلماء على وجوب هذه الطهارة من حدثين: أحدهما خروج المني على وجه الصحة في النوم أو اليقظة من ذكر كان أو أنثى، إلا ما روي عن النخعي من أنه كان لا يرى على المرأة غسلا من الاحتلام، وإنما اتفق الجمهور على مساواة المرأة في الاحتلام للرجل لحديث أم سلمة
Para ulama sepakat bahwa mandi itu wajib karena terjadinya dua hadats. Pertama, Keluar mani atau sperma. Mani yang keluar secara normal, baik karena dorongan mimpi atau dalam keadaan terjada bagi laki-laki dan perempuan, wajib mandi. Menurut Nakhai, wanita yang bermimpi basah tidak wajib mandi. Tetapi jumhur ulama sepakat bahwa mimpi basah tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat Ummu Salamah ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. (lihat hadits di atas)
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/87)]
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
فمن رأي الماء الدافق متلذذا أو غير متلذذ فعليه الغسل وكذلك لو جامع فخرج منه ماء دافق فاغتسل ثم خرج منه ماء دافق بعد الغسل أعاد الغسل وسواء كان ذلك قبل البول أو بعد ما بال إذا جعلت الماء الدافق علما لا لإيجاب الغسل وهو قبل البول وبعده سواء والماء الدافق الثخين الذي يكون منه الولد والرائحة التي تشبه رائحة الطلع
ولو وجد في ثوبه ماءا دافقا ولا يذكر أنه جاء منه ماء داف باحتلام ولا بغيره أحببت أن يغتسل ويعيد الصلاة ويتأخى فيعيد بقدر ما يرى أن ذلك الاحتلام كان أو ما كان من الصلوات بعد نوم رأى فيه شيئا يشبه أن يكون احتلم فيه
Barangsiapa melihat air yang memancar, baik terasa nikmat atau tidak, maka wajib baginya mandi. Demikian juga halnya apabila ia bersetubuh lalu mengeluarkan mani, maka ia harus mandi. Apabila keluar lagi air yang memancar setelah mandi, maka ia harus mengulangi mandinya, dan sama saja apakah sebelum membuang air kecil atau sesudahnya. Jadi, keluarnya air yang terpancar dari seseorang merupakan tanda bahwa ia harus mandi, baik sebelum membuang air kecil ataupun sesudahnya.
Air yang terpancar adalah yang hangat dan darinya terlahir seorang anak, serta baunya menyerupai serbuk kurma.
Jika ia mnemukan mani pada kainnya, tetapi lupa bahwa air mani itu berasal dari mimpi atau selainnya, maka saya lebih menyukai apabila ia mandi dan mengulangi shalatnya. Hendaknya seseorang bersikap teliti dengan mengulangi semua shalat yang diduga dilakukan setelah air mani itu keluar, atau ia mengulangi shalat yang dilakukannya setelah bangun tidur, dimana ia melihat sesuatu yang diduga telah menyebabkan air maninya keluar.
[Al-Umm 1/48 ; Ringkasan Kitab Al-Umm 1/55]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Disini ada beberapa persoalan yang sering terjadi dan memerlukan sebuah keteangan yang lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
1. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak mewajibkan mandi. Dalam hadits Ali RA disebutkan,
”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Jika air mani itu terpancar dengan kuat maka mandilah,” (HR. Abu Dawud)
Mujahid mengatakan, ”Ketika kami, yaitu sahabat-sahabat yakni, Ibnu Abbas, Thawus, Sa’id bin Jubair, dan Ikkrimah duduk melingkar di dalam masjid, sedang Ibnu Abbas sedang berdiri shalat, maka tiba-tiba muncullah di hadapan kami seorang laki-laki yang bertanya, ’Adakah diantara tuan-tuan yang dapat memberi fatwa?’ ’Keluarkanlah pertanyaan anda!’ ujar kami. Katanya, ’Setiap kali saya kencing maka air kencing itu senantiasa diiringi oleh air yang terpancar’
Kamipun bertanya, ’Apakah ia air yang menjadi asal kejadian anak?’
’Benar’ ujarnya. ’Kalau demikian, anda wajib mandi,’ ujar kami lagi.
Akan tetapi laki-laki itu tidak menampakkan kepuasannya dengan jawaban kami dan kemudian ia memalingkan dirinya untuk melangkah pergi. Sementara itu Ibnu Abbas menyegerakan shalatnya lalu mengatakan kepada Ikrimah supaya memanggil orang itu.
Ketika orang itu sedang berbalik, Ibnu Abbaspun bertanya kepada kami, ’Apakah fatwa anda terhadap laki-laki itu berdasarkan kitabullah?’ Ujar kami, ’Tidak’. Ibnu Abbas bertanya lagi, ’Apakah fatwa anda tadi berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?’. Kamipun menjawab, ’Tidak’. Ibnu Abbas bertanya lagi, ’Apakah fatwa anda tadi berdasarkan pendapat sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?’. ’Juga tidak’. ’Kalau begitu dari mana fatwa Anda itu?’ tanyanya lagi, ’Dari hasil pemikiran kami sendiri’, tegas kami.
Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Seorang ahli hukum lebih berat bagi setan dibandingkan dengan seribu orang ahli ibadah’.
Dalam pada itu, laki-laki tadipun tiba kembali dihadapan Ibnu Abbas, lalu beliau bertanya kepadanya, ’Bagaimanakah perasaanmu bila yang demikian itu terjadi, apakah disertai dengan syahwat pada kemaluanmu?’. Laki-laki itu menjawab, ’Tidak’. Tanya Ibnu Abbas pula, ’Apakah engkau merasakan kelesuan pada tubuhmu?’. ’Tidak’, ujarnya lagi.
’Kalau begitu, ia hanya karena pengaruh cuaca dingin,’ Kata Ibnu Abbas pula, ’Jadi, anda cukup berwudhu saja jika terjadi hal demikian itu’”
2. Bila seseorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib mandi.
Ibnu Mundzir mengatakan, ”Menurut ingatan saya, hal itu merupakan ijma’ ulama”. Dan dalam hadits Ummu Sulaim di atas ditegaskan, ’Apakah wanita wajib mandi jinabat kalau ia bermimpi?’ Beliau menjawab, ’Ya, apabila melihat air’. Berdasarkan keterangan hadits ini dapat diambil suatu kesimpulan, jika seseorang tidak melihat air mani, maka ia tidak wajib mandi. Akan tetapi, seandainya mani itu keluar setelah bangun, maka ia wajib mandi.
3. Bila seseorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada zahirnya, air mani keluar adalah karena mimpi, tetapi ia sudah tidak ingat lagi. Dan jika seseorang itu bimbang dan ragu, apakah itu mani atau bukan, ia wajib mandi demi menjaga diri.
Menurut Mujahid dan Qatadah, ia tidak wajib mandi hingga ia betul-betul yakin bahwa itu adalah air yang terpancar. Karena yang diyakini adalah masih dalam keadaan suci dan keadaan seperti ini tidak bisa dihapuskan hanya dengan kebimbangan semata.
4. Jika seseorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat, tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak wajib mandi. Karena berdasarkan hadits Nabi yang telah disebutkan bahwa kewajiban mandi itu dihubungkan dengan melihat air mani yang jelas.
Oleh karenanya, sekiranya seseorang tidak melihat air mani, maka ia pun tidak wajib mandi. Akan tetapi seandainya ia berjalan lalu mani keluar, maka wajiblah ia mandi.
5. Jika ia melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah shalat, maka ia wajib mengulangi shalat dari waktu tidurnya yang terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat dimana mani itu mungkin keluar.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 81-83].
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Selasa, 29 Maret 2011
BERWUDHU UNTUK MENGULANG BERSETUBUH
BERWUDHU UNTUK MENGULANG BERSETUBUH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau mengulangi bersetubuh dengan istrinya.
وعنْ أبي سعيدٍ الخُدريِّ رضي الله عنهُ قالَ: قالَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إذا أَتَى أَحَدُكُم أهْلَهُ، ثمَّ أرادَ أنْ يَعُود فَلْيَتَوَضَأَ بَيْنَهُمَا وُضُوءاً". رواه مسلم.
زادَ الْحَاكِمُ: "فإنّهُ أَنْشَطُ لِلعَوْدِ".
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi istrinya (bersetubuh) kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah ia berwudlu antara keduanya." Hadits riwayat Muslim 308, Tirmidzi 141, Abu Dawud 220..
Hakim menambahkan: "Karena wudlu itu memberikan semangat untuk mengulanginya lagi." Al-Hakim 152
[Bulughul Maram, hal. 50 , Fiqih Sunnah 1, hal. 72]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
كأنه أكده؛ لأنه قد يطلق على غسل بعض الأعضاء، فأبان التأكيد أنه أراد به الشرعي، وقد ورد في رواية ابن خزيمة، والبيهقي: "وضوءه للصلاة".
فيه دلالة على شرعية الوضوء لمن أراد معاودة أهله، وقد ثبت أنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم غشي نساءه، ولم يحدث وضوءاً بين الفعلين. وثبت أنه اغتسل بعد غشيانه عند كل واحدة، فالكل جائز.
Dalam hadits ini sepertinya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam ingin mempertegasnya, karena terkadang hanya dimaksudkan mencuci sebagian anggota wudhu. Maka dengan penegasan itu, beliau menerangkan bahwa yang dikehendakinya adalah menurut syariat. Dalam riwayat Ubnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi disebutkan, ”Seperti wudhunya untuk shalat”
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tersebut terdapat dalil disyariatkannya wudhu bagi yang ingin mengulangi berhubungan denga istrinya. Akan tetapi ada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallm setelah mencampuri istrinya, tidak memperbaharui wudhu antara keduanya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa beliau mandi junub setiap kali selesai bercampur dengan istrinya. Semuanya diperbolehkan, sekalipun berwudhu hukumnya sunnah, hanya saja, yang memalingkan perintah tersebut dari wajib ta’lil (pemberian alasan) dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam
[Subulussalam 1/59 (1/220)].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
والحديث يدل على أن غسل الجنابة ليس على الفور وإنما يتضيق على الإنسان عند القيام إلى الصلاة.
قال النووي: وهذا بإجماع المسلمين ولا شك في استحبابه قبل المعاودة
Hadits di atas menunjukkan bahwa mandi janabat tidak dengan segera, tetapi menjadi sempit bagi manusia ketika hendak berdiri shalat.
An-Nawawi mengatakan, ini telah menjadi ijma’ kaum Muslimin, dan tidak diragukan lagi akan sunnahnya wudhu sebelum mengulangi kembali persetubuhan.
[Nailul Authar 1/179 (1/489)].
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau mengulangi bersetubuh dengan istrinya.
وعنْ أبي سعيدٍ الخُدريِّ رضي الله عنهُ قالَ: قالَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إذا أَتَى أَحَدُكُم أهْلَهُ، ثمَّ أرادَ أنْ يَعُود فَلْيَتَوَضَأَ بَيْنَهُمَا وُضُوءاً". رواه مسلم.
زادَ الْحَاكِمُ: "فإنّهُ أَنْشَطُ لِلعَوْدِ".
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi istrinya (bersetubuh) kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah ia berwudlu antara keduanya." Hadits riwayat Muslim 308, Tirmidzi 141, Abu Dawud 220..
Hakim menambahkan: "Karena wudlu itu memberikan semangat untuk mengulanginya lagi." Al-Hakim 152
[Bulughul Maram, hal. 50 , Fiqih Sunnah 1, hal. 72]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
كأنه أكده؛ لأنه قد يطلق على غسل بعض الأعضاء، فأبان التأكيد أنه أراد به الشرعي، وقد ورد في رواية ابن خزيمة، والبيهقي: "وضوءه للصلاة".
فيه دلالة على شرعية الوضوء لمن أراد معاودة أهله، وقد ثبت أنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم غشي نساءه، ولم يحدث وضوءاً بين الفعلين. وثبت أنه اغتسل بعد غشيانه عند كل واحدة، فالكل جائز.
Dalam hadits ini sepertinya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam ingin mempertegasnya, karena terkadang hanya dimaksudkan mencuci sebagian anggota wudhu. Maka dengan penegasan itu, beliau menerangkan bahwa yang dikehendakinya adalah menurut syariat. Dalam riwayat Ubnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi disebutkan, ”Seperti wudhunya untuk shalat”
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tersebut terdapat dalil disyariatkannya wudhu bagi yang ingin mengulangi berhubungan denga istrinya. Akan tetapi ada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallm setelah mencampuri istrinya, tidak memperbaharui wudhu antara keduanya, juga ada hadits yang mengatakan bahwa beliau mandi junub setiap kali selesai bercampur dengan istrinya. Semuanya diperbolehkan, sekalipun berwudhu hukumnya sunnah, hanya saja, yang memalingkan perintah tersebut dari wajib ta’lil (pemberian alasan) dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam
[Subulussalam 1/59 (1/220)].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
والحديث يدل على أن غسل الجنابة ليس على الفور وإنما يتضيق على الإنسان عند القيام إلى الصلاة.
قال النووي: وهذا بإجماع المسلمين ولا شك في استحبابه قبل المعاودة
Hadits di atas menunjukkan bahwa mandi janabat tidak dengan segera, tetapi menjadi sempit bagi manusia ketika hendak berdiri shalat.
An-Nawawi mengatakan, ini telah menjadi ijma’ kaum Muslimin, dan tidak diragukan lagi akan sunnahnya wudhu sebelum mengulangi kembali persetubuhan.
[Nailul Authar 1/179 (1/489)].
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
BERWUDHU SEBELUM TIDUR
BERWUDHU SEBELUM TIDUR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau tidur, baik dalam keadaan suci, dalam keadaan berhadats, maupun dalam keadaan junub.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits berikut :
عن البراءِ بنِ عازبٍ: قال النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم: إذا أتَيْتَ مَضْجَعَكَ فتوضأْ وضوءَ كَ للصلاةِ ثم اضْطَجِعْ على شِقِّكَ الأَيْمَنِ ثم قُلْ
"اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إليكَ ووجَّهْتُ وجْهِيَ إليك وفَوَّضْتُ أَمْرِي إليك وألْجَأْتُ ظَهْرِي إليك رَغْبَةً ورَهْبَةً إليك لا مَلْجَأَ ولا مَنْجَى مِنْكَ إلا إليك اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ"
فَإِنْ مِتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ على الْفِطْرَةِ واجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ ما تَتَكَلَّمَ بِهِ قال: فَرَدَّدَهَا عليَّ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فلمَّا بَلَغْتُ اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ قُلْتُ: وَرَسُوْلِكَ قال: لا ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ
Dari Al Barra` bin ‘Azib r.a., Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: “Apabila kamu hendak tidur, maka berwudlulah sebagaimana kamu berwudlu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan, dan ucapkanlah:
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إليكَ ووجَّهْتُ وجْهِيَ إليك وفَوَّضْتُ أَمْرِي إليك وألْجَأْتُ ظَهْرِي إليك رَغْبَةً ورَهْبَةً إليك لا مَلْجَأَ ولا مَنْجَى مِنْكَ إلا إليك اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ
(Ya AIlah ya Tuhanku, aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dalam keadaan harap dan cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus).
‘Apabila kamu meninggal (pada malam itu) maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci). Dan jadikan bacaan tersebut sebagai penutup ucapanmu (menjelang tidur).’ Maka aku berkata; ‘Apakah saya menyebutkan; ‘Saya beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus? ‘ Beliau menjawab: ‘Tidak, namun saya beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ (HR.Bukhari:5836)
Asy-Syaukani berkata :
قوله: (فتوضأ) ظاهره استحباب تجديد الوضوء لكل من أراد النوم ولو كان على طهارة ويحتمل أن يكون مخصوصًا بمن كان محدثًا.
Perkataan : “maka wudhulah” itu, zhahirnya menunjukkan disunnatkannya memperbaharui wudhu untuk setiap orang yang hendak tidur, meskipun ia masih dalam keadaan suci, dan mungkin juga bahwa anjuran wudhu itu hanya khusus bagi orang yang berhadats.
قوله: (لا ونبيك) قال الخطابي: فيه حجة لمن منع رواية الحديث بالمعنى
كان في اللفظ سر ليس في الآخر ولو كان يرادفه في الظاهر أو لعله أوحي إليه بهذا اللفظ فرأى أن يقف عنده
Perkataan : ”laa, wanabiyyika” itu Al-Khattabi mengatakan, ini menjadi hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa meriwayatkan hadits dengan maksudnya itu dilarang.
Mungkin juga karena di dalam lafadz tersebut terkandung rahasia yang tidak terdapat di dalam lafadz yang lain, meskipun zhahirnya berbentuk sinonim. Atau mungkin diwahyukan kepadanya dengan lafadz tersebut, sehingga ia mengetahui agar ia tetap menggunakannya.
[Nailul Authar 1/177 (1/483)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Dan yang lebih utama bagi orang yang sedang junub adalah melakukan seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di bawah ini,
يا رسولَ اللَّه أَيَنَامُ أَحَدُنَا وهو جُنُبٌ قال: نعم إذَا تَوَضَّأَ
”Ya Rasulullah, bolehkah salah seorang diantara kami tidur dalam keadaan junub? Ia menjawab, ’Boleh apabila ia telah berwudhu’” (HR. Jamaah)
Dan dari Aisyah RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وهو جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ للصلاةِ
”Adalah Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam apabila hendak tidur –sedang ia dalam keadaan junub- maka ia menyuci kemaluannya lalu wudhu seperti wudhu untuk shalat” (HR. Jamaah).
[Fiqih Sunnah 1, hal. 71].
Kesimpulan:
1. Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau tidur, baik dalam keadaan suci, dalam keadaan berhadats, maupun dalam keadaan junub.
2. Tidak boleh mengganti lafadz hadits dengan lafadz yang lain meskipun mempunyai makna yang sama, karena, karena di dalam lafadz tersebut terkandung rahasia yang tidak terdapat dalam lafadz yang lain.
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau tidur, baik dalam keadaan suci, dalam keadaan berhadats, maupun dalam keadaan junub.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits berikut :
عن البراءِ بنِ عازبٍ: قال النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم: إذا أتَيْتَ مَضْجَعَكَ فتوضأْ وضوءَ كَ للصلاةِ ثم اضْطَجِعْ على شِقِّكَ الأَيْمَنِ ثم قُلْ
"اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إليكَ ووجَّهْتُ وجْهِيَ إليك وفَوَّضْتُ أَمْرِي إليك وألْجَأْتُ ظَهْرِي إليك رَغْبَةً ورَهْبَةً إليك لا مَلْجَأَ ولا مَنْجَى مِنْكَ إلا إليك اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ"
فَإِنْ مِتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ على الْفِطْرَةِ واجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ ما تَتَكَلَّمَ بِهِ قال: فَرَدَّدَهَا عليَّ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فلمَّا بَلَغْتُ اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ قُلْتُ: وَرَسُوْلِكَ قال: لا ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ
Dari Al Barra` bin ‘Azib r.a., Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: “Apabila kamu hendak tidur, maka berwudlulah sebagaimana kamu berwudlu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan, dan ucapkanlah:
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إليكَ ووجَّهْتُ وجْهِيَ إليك وفَوَّضْتُ أَمْرِي إليك وألْجَأْتُ ظَهْرِي إليك رَغْبَةً ورَهْبَةً إليك لا مَلْجَأَ ولا مَنْجَى مِنْكَ إلا إليك اللَّهم آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الذي أنْزَلْتُ ونَبِيِّكَ الذي أرْسَلْتَ
(Ya AIlah ya Tuhanku, aku berserah diri kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dalam keadaan harap dan cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus).
‘Apabila kamu meninggal (pada malam itu) maka kamu mati dalam keadaan fitrah (suci). Dan jadikan bacaan tersebut sebagai penutup ucapanmu (menjelang tidur).’ Maka aku berkata; ‘Apakah saya menyebutkan; ‘Saya beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus? ‘ Beliau menjawab: ‘Tidak, namun saya beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ (HR.Bukhari:5836)
Asy-Syaukani berkata :
قوله: (فتوضأ) ظاهره استحباب تجديد الوضوء لكل من أراد النوم ولو كان على طهارة ويحتمل أن يكون مخصوصًا بمن كان محدثًا.
Perkataan : “maka wudhulah” itu, zhahirnya menunjukkan disunnatkannya memperbaharui wudhu untuk setiap orang yang hendak tidur, meskipun ia masih dalam keadaan suci, dan mungkin juga bahwa anjuran wudhu itu hanya khusus bagi orang yang berhadats.
قوله: (لا ونبيك) قال الخطابي: فيه حجة لمن منع رواية الحديث بالمعنى
كان في اللفظ سر ليس في الآخر ولو كان يرادفه في الظاهر أو لعله أوحي إليه بهذا اللفظ فرأى أن يقف عنده
Perkataan : ”laa, wanabiyyika” itu Al-Khattabi mengatakan, ini menjadi hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa meriwayatkan hadits dengan maksudnya itu dilarang.
Mungkin juga karena di dalam lafadz tersebut terkandung rahasia yang tidak terdapat di dalam lafadz yang lain, meskipun zhahirnya berbentuk sinonim. Atau mungkin diwahyukan kepadanya dengan lafadz tersebut, sehingga ia mengetahui agar ia tetap menggunakannya.
[Nailul Authar 1/177 (1/483)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Dan yang lebih utama bagi orang yang sedang junub adalah melakukan seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di bawah ini,
يا رسولَ اللَّه أَيَنَامُ أَحَدُنَا وهو جُنُبٌ قال: نعم إذَا تَوَضَّأَ
”Ya Rasulullah, bolehkah salah seorang diantara kami tidur dalam keadaan junub? Ia menjawab, ’Boleh apabila ia telah berwudhu’” (HR. Jamaah)
Dan dari Aisyah RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وهو جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ للصلاةِ
”Adalah Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam apabila hendak tidur –sedang ia dalam keadaan junub- maka ia menyuci kemaluannya lalu wudhu seperti wudhu untuk shalat” (HR. Jamaah).
[Fiqih Sunnah 1, hal. 71].
Kesimpulan:
1. Disunnatkan berwudhu bagi orang yang mau tidur, baik dalam keadaan suci, dalam keadaan berhadats, maupun dalam keadaan junub.
2. Tidak boleh mengganti lafadz hadits dengan lafadz yang lain meskipun mempunyai makna yang sama, karena, karena di dalam lafadz tersebut terkandung rahasia yang tidak terdapat dalam lafadz yang lain.
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Senin, 28 Maret 2011
TERTAWA TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
TERTAWA TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tertawa terbahak-bahak tidak membatalkan wudhu
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
شذ أبو حنيفة فأوجب الوضوء من الضحك في الصلاة لمرسل أبي العالية، وهو أنَّ قَوْمًا ضَحِكُوْا في الصلاةِ فأمَرَهُمُ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بِإِعَادَةِ الوُضُوْءِ والصَّلَاةِ.
ورد الجمهور هذا الحديث لكونه مرسلا ولمخالفته للأصول، وهو أن يكون شيء ما ينقض الطهارة في الصلاة ولا ينقضها في غير الصلاة وهو مرسل صحيح
Abu Hanifah mengemukakan pendapat yang agak aneh, yaitu bahwa tertawa (terbahak-bahak) ketika shalat seang berlangsung itu membatalkan wudhu, berdasarkan hadits mursal riwayat Abu Aliyah :
أنَّ قَوْمًا ضَحِكُوْا في الصلاةِ فأمَرَهُمُ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بِإِعَادَةِ الوُضُوْءِ والصَّلَاةِ
”Bahwa suatu kaum tertawa ketika shalat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah kepada mereka untuk mengulangi wudhu dan shalat”
Jumhur ulama menolak hadits ini untuk dijadikan dalil dalam menetapkan hukum, karena nilai hadits ini mursal dan bertentangan dengan kaidah dasar, yakni sesuatu yang membatalkan shalat tidak membatalkan wudhu sekaligus.
Nilai hadits idatas adalah mursal dan sahih.
[Bidayatul Mujtahid 1/29 (1/72)]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Tertawa terbahak-bahak pada waktu mengerjakan shalat tidaklah membatalkan wudhu, disebabkan hadits-hadits yang meriwayatkan dalam masalah ini tidak sahih.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 68].
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tertawa terbahak-bahak tidak membatalkan wudhu
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
شذ أبو حنيفة فأوجب الوضوء من الضحك في الصلاة لمرسل أبي العالية، وهو أنَّ قَوْمًا ضَحِكُوْا في الصلاةِ فأمَرَهُمُ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بِإِعَادَةِ الوُضُوْءِ والصَّلَاةِ.
ورد الجمهور هذا الحديث لكونه مرسلا ولمخالفته للأصول، وهو أن يكون شيء ما ينقض الطهارة في الصلاة ولا ينقضها في غير الصلاة وهو مرسل صحيح
Abu Hanifah mengemukakan pendapat yang agak aneh, yaitu bahwa tertawa (terbahak-bahak) ketika shalat seang berlangsung itu membatalkan wudhu, berdasarkan hadits mursal riwayat Abu Aliyah :
أنَّ قَوْمًا ضَحِكُوْا في الصلاةِ فأمَرَهُمُ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بِإِعَادَةِ الوُضُوْءِ والصَّلَاةِ
”Bahwa suatu kaum tertawa ketika shalat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah kepada mereka untuk mengulangi wudhu dan shalat”
Jumhur ulama menolak hadits ini untuk dijadikan dalil dalam menetapkan hukum, karena nilai hadits ini mursal dan bertentangan dengan kaidah dasar, yakni sesuatu yang membatalkan shalat tidak membatalkan wudhu sekaligus.
Nilai hadits idatas adalah mursal dan sahih.
[Bidayatul Mujtahid 1/29 (1/72)]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Tertawa terbahak-bahak pada waktu mengerjakan shalat tidaklah membatalkan wudhu, disebabkan hadits-hadits yang meriwayatkan dalam masalah ini tidak sahih.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 68].
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
BERWUDHU UNTUK DZIKRULLAH
BERWUDHU UNTUK DZIKRULLAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnahkan berwudhu untuk berdzikir atau menyebut nama Allah.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن المهاجر بن قُنْفِذٍ: أنه سَلَّمَ على النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم وهو يتوضأُ فلم يَرُدَّ عليه حتى فَرَغَ مِنْ وضوئهِ وقال: إنه لم يَمْنَعْنِي أنْ أَرُدَّ عليك إلا أنِّي كَرِهْتُ أنْ أذْكُرَ اللَّهَ إلى على طهارةٍ
Dari Muhajir bin Qunfidz, bahwa ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Nabi sedang berwudhu, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya, dan ia bersabda, ”Sesungguhnya tidak ada yang menghalang-halangi aku untuk menjawab (salam) mu, kecuali karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali aku dalam keadaan suci” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan seperti itu juga).
وعن أبي جهيم بن الحارث قال: أَقْبَلَ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عليه فلم يَرُدَّ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم حتى أقْبَلَ على الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثم رَدَّ عليه السلامَ
Dari Abu Juhaim bin Al-Harits, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke jurusan sumur jamal, lalu ia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian orang laki-laki itu memberi salam kepadanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawabnya, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke dinding, kemudian ia mengusap wajah dan kedua tangannya, lalu ia menjawab salam itu” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
وفي الحديث دلالة على جواز التيمم من الجدار إذا كان عليه غبار. قال النووي: وهو جائز عندنا وعند الجمهور من السلف والخلف
وفي الحديث أن المسلم في حال قضاء الحاجة لا يستحق جوابًا وهذا متفق عليه
Hadits di atas menunjukkan bolehnya bertayamum pada dinding tembok jika terdapat debu di atasnya. An-Nawawi mengatakan, boleh bertayamum di atas dinding tembok menurut pendapat kami dan menurut pendapat Jumhur ulama salaf dan Ulama Khalaf.
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang sedang buang air tidak berhak memberikan jawaban kepada orang yang memberikan salam kepadanya. Ini menurut Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim.
An-Nawawi mengatakan, hukumnya makruh bagi orang yang sedang duduk membuang hajatnya menyebut asma Allah. Mereka yang berpendapat demikian mengatakan, sebaiknya ia tidak bertasbih, tidak bertahlil, tidak menjawab salam, tidak menjawab orang yang bersin, tidak menjawab Alhamdulillah ketika bersin, dan tidak mengucapkan seperti apa yang diucapkan Muadzin.
وعن عائشة رضي اللَّه عنها قالت: كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَذْكُرُ اللَّهَ على كلِّ أَحْيَانِهِ
Dari Aisyah, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut nama Allah dalam segala keadaannya” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i. Sedangkan Al-Bukhari menyebutkan hadits tersebut dengan tanpa sanad).
Asy-Syaukani berkata :
واعلم أنه يكره الذكر في حالة الجلوس على البول والغائط. وفي حالة الجماع
Ketahuilah bahwa dzikrullah itu makruh bagi orang yang sedang duduk buang air besar dan kecil, dan pada waktu bersetubuh.
[Nailul Authar 1/176-177 (1/477-482)]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Disunnatkan untuk berwudhu ketika berdzikir atau menyebut nama Allah, berdasarkan hadits Muhajir bin Qunfuz,
”ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Nabi sedang berwudhu, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya, dan ia bersabda, ’Sesungguhnya tidak ada yang menghalang-halangi aku untuk menjawab (salam) mu, kecuali karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali aku dalam keadaan suci’” Qatadah mengatakan, ”Itulah sebabnya Hasan tidak mau membaca Al-Quran atau menyebut nama Allah sebelum bersuci” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari Abu Juhaim bin Al-Harits, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke jurusan sumur jamal, lalu ia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian orang laki-laki itu memberi salam kepadanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawabnya, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke dinding, kemudian ia mengusap wajah dan kedua tangannya, lalu ia menjawab salam itu” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Inilah perbuatan yang lebih afdhal karena menyebut nama Allah azza wa jalla boleh bagi siapa saja, apakah ia dalam keadaan bersuci, berhadats maupun dalam keadaan junub, baik dalam keadaan berdiri maupun dalam keadaan duduk, berjalan maupun berbaring. Semua keadaan tersebut boleh berdzikir kepada Allah tanpa wujud hukum makruh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah RA,
”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut nama Allah dalam segala keadaannya” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i. Sedangkan Al-Bukhari menyebutkan hadits tersebut dengan tanpa sanad).
[Fiqih Sunnah 1, hal. 70].
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnahkan berwudhu untuk berdzikir atau menyebut nama Allah.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن المهاجر بن قُنْفِذٍ: أنه سَلَّمَ على النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم وهو يتوضأُ فلم يَرُدَّ عليه حتى فَرَغَ مِنْ وضوئهِ وقال: إنه لم يَمْنَعْنِي أنْ أَرُدَّ عليك إلا أنِّي كَرِهْتُ أنْ أذْكُرَ اللَّهَ إلى على طهارةٍ
Dari Muhajir bin Qunfidz, bahwa ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Nabi sedang berwudhu, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya, dan ia bersabda, ”Sesungguhnya tidak ada yang menghalang-halangi aku untuk menjawab (salam) mu, kecuali karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali aku dalam keadaan suci” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan seperti itu juga).
وعن أبي جهيم بن الحارث قال: أَقْبَلَ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عليه فلم يَرُدَّ النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم حتى أقْبَلَ على الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثم رَدَّ عليه السلامَ
Dari Abu Juhaim bin Al-Harits, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke jurusan sumur jamal, lalu ia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian orang laki-laki itu memberi salam kepadanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawabnya, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke dinding, kemudian ia mengusap wajah dan kedua tangannya, lalu ia menjawab salam itu” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
وفي الحديث دلالة على جواز التيمم من الجدار إذا كان عليه غبار. قال النووي: وهو جائز عندنا وعند الجمهور من السلف والخلف
وفي الحديث أن المسلم في حال قضاء الحاجة لا يستحق جوابًا وهذا متفق عليه
Hadits di atas menunjukkan bolehnya bertayamum pada dinding tembok jika terdapat debu di atasnya. An-Nawawi mengatakan, boleh bertayamum di atas dinding tembok menurut pendapat kami dan menurut pendapat Jumhur ulama salaf dan Ulama Khalaf.
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang sedang buang air tidak berhak memberikan jawaban kepada orang yang memberikan salam kepadanya. Ini menurut Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim.
An-Nawawi mengatakan, hukumnya makruh bagi orang yang sedang duduk membuang hajatnya menyebut asma Allah. Mereka yang berpendapat demikian mengatakan, sebaiknya ia tidak bertasbih, tidak bertahlil, tidak menjawab salam, tidak menjawab orang yang bersin, tidak menjawab Alhamdulillah ketika bersin, dan tidak mengucapkan seperti apa yang diucapkan Muadzin.
وعن عائشة رضي اللَّه عنها قالت: كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَذْكُرُ اللَّهَ على كلِّ أَحْيَانِهِ
Dari Aisyah, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut nama Allah dalam segala keadaannya” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i. Sedangkan Al-Bukhari menyebutkan hadits tersebut dengan tanpa sanad).
Asy-Syaukani berkata :
واعلم أنه يكره الذكر في حالة الجلوس على البول والغائط. وفي حالة الجماع
Ketahuilah bahwa dzikrullah itu makruh bagi orang yang sedang duduk buang air besar dan kecil, dan pada waktu bersetubuh.
[Nailul Authar 1/176-177 (1/477-482)]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Disunnatkan untuk berwudhu ketika berdzikir atau menyebut nama Allah, berdasarkan hadits Muhajir bin Qunfuz,
”ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Nabi sedang berwudhu, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya, dan ia bersabda, ’Sesungguhnya tidak ada yang menghalang-halangi aku untuk menjawab (salam) mu, kecuali karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali aku dalam keadaan suci’” Qatadah mengatakan, ”Itulah sebabnya Hasan tidak mau membaca Al-Quran atau menyebut nama Allah sebelum bersuci” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari Abu Juhaim bin Al-Harits, ia berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke jurusan sumur jamal, lalu ia bertemu dengan seorang laki-laki, kemudian orang laki-laki itu memberi salam kepadanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawabnya, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke dinding, kemudian ia mengusap wajah dan kedua tangannya, lalu ia menjawab salam itu” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim).
Inilah perbuatan yang lebih afdhal karena menyebut nama Allah azza wa jalla boleh bagi siapa saja, apakah ia dalam keadaan bersuci, berhadats maupun dalam keadaan junub, baik dalam keadaan berdiri maupun dalam keadaan duduk, berjalan maupun berbaring. Semua keadaan tersebut boleh berdzikir kepada Allah tanpa wujud hukum makruh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah RA,
”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut nama Allah dalam segala keadaannya” (HR. Imam yang lima kecuali An-Nasa’i. Sedangkan Al-Bukhari menyebutkan hadits tersebut dengan tanpa sanad).
[Fiqih Sunnah 1, hal. 70].
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, Maret 2011
BERWUDHU UNTUK SETIAP SHALAT
BERWUDHU UNTUK SETIAP SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnatkan berwudhu untuk setiap shalat.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk memperbaharui wudhu wudhu pada setiap ingin mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Buraidah RA,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ على خَفَّيْهِ وصلَّى الصَّلَوَاتُ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ, فقال عُمَرَ : يا رسولَ اللَّه إنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ فقال : عَمَدً فَعَلْتُهُ يا عُمَرَ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat. Akan tetapi, pada hari penaklukkan Mekah beliau berwudhu, menyapu kedua sepatunya serta mengerjakan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu saja. Umar bertanya, ’Wahai Rasulullah, anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan selama ini’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ’Memang sengaja saya melakukan itu, wahai Umar” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lainnya).
Amar bin Amir Al-Anshari RA berkata, ”Anas bin Malik pernah mengatakan,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ قِيْلَ لَهُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ ما لَمْ نُحْدِثُ
’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu pada setiap ingin melakukan shalat’ Akupun bertanya kepadanya, ’Engkau sendiri bagaimana? Anas menjawab, ’Biasanya kami melakukan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu selama kami tidak berhadats” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah RA,
عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كلِّ وضوءٍ بِسِوَاكٍ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’ Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan).
Kemudian diriwayatkan pula dari Ibnu Umar RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول : من توضأَ على طَهْرٍ كَتَبَ له عَشْرَ حَسَنَاتٍ
” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Siapa yang berwudhu dalam keadaan suci, maka ia akan meraih sepuluh pahala kebaikan’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 74].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن أبي هريرةَ عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كل وضوءٍ بِسِوَاكٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang sahih).
وعن أنس قال: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يتوضأَ عند كلِّ صلاةٍ قيل له فأنتم كيف تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصلواتِ بوضوءٍ واحدٍ ما لم نُحْدِثُ
Dari Anas, ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu untuk setiap hendak shalat. Pernah Anas ditanya, ’kemudian kamu bagaimana?’ Ia menjawab, ’Kami mengerjakan beberapa kali shalat dengan wudhu sekali selama kami belum berhadats” (HR. Jamaah kecuali Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب الوضوء لكل صلاة وعدم وجوبه
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya wudhu untuk setiap shalat dan tidak wajib.
وعن عبد اللَّه بن حنظلةَ: أن النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم أَمَرَ بالوضوءِ لكل صلاةٍ طَاهِرًا كان أو غَيْرَ طَاهِرٍ فلما شَقَّ ذلك عليه أُمِرَ بالسواك ِعند كلِّ صلاةٍ وَوُضِعَ عنهُ الوضوءُ إلا مِنْ حَدِيْثٍ وكان عبدُ اللَّه بنُ عُمَرَ يرى أنَّ بِهِ قُوَّةً على ذلك كان يَفْعَلُهُ حتى مَاتَ
Dari Abdullah bin Handhalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wudhuuntuk setiap shalat, baik dalam keadaan masih suci atau tidak suci, tetapi setelah hal itu dirasa memberatkannya, lalu diperintahkan bersiwak untuk setiap hendak shalat, dan dicabutnya berwudhu (untuk setiap hendak shalat) kecuali karena berhadats. Sedangkan Abdullah bin Umar diketahui bahwa ia mempunyai kekuatan berbuat yang demikian itu (berwudhu untuk setiap hendak shalat), maka ia biasa mengerjakannya sampai ia meninggal dunia” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول فيه دليل على عدم وجوب الوضوء لكل صلاة وعلى استحبابه لكل صلاة مع الطهارة وقد تقدم الكلام عليه
Hadits Abdullah bin Handhalah menunjukkan tidak wajibnya wudhu untuk setiap shalat dan disunnahkannya untuk setiap shalat. Masalah ini telah kita bicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/175-176 (1/474-477)]
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat disunnatkan berwudhu untuk setiap shalat.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk memperbaharui wudhu wudhu pada setiap ingin mengerjakan shalat, berdasarkan hadits Buraidah RA,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ على خَفَّيْهِ وصلَّى الصَّلَوَاتُ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ, فقال عُمَرَ : يا رسولَ اللَّه إنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ فقال : عَمَدً فَعَلْتُهُ يا عُمَرَ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berwudhu pada setiap kali ingin mengerjakan shalat. Akan tetapi, pada hari penaklukkan Mekah beliau berwudhu, menyapu kedua sepatunya serta mengerjakan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu saja. Umar bertanya, ’Wahai Rasulullah, anda melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan selama ini’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ’Memang sengaja saya melakukan itu, wahai Umar” (HR. Ahmad, Muslim dan lain-lainnya).
Amar bin Amir Al-Anshari RA berkata, ”Anas bin Malik pernah mengatakan,
كان النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَتَوَضَّأَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ قِيْلَ لَهُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ ما لَمْ نُحْدِثُ
’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudhu pada setiap ingin melakukan shalat’ Akupun bertanya kepadanya, ’Engkau sendiri bagaimana? Anas menjawab, ’Biasanya kami melakukan shalat-shalat itu dengan satu kali wudhu selama kami tidak berhadats” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Abu Hurairah RA,
عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كلِّ وضوءٍ بِسِوَاكٍ
” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’ Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan).
Kemudian diriwayatkan pula dari Ibnu Umar RA,
كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول : من توضأَ على طَهْرٍ كَتَبَ له عَشْرَ حَسَنَاتٍ
” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Siapa yang berwudhu dalam keadaan suci, maka ia akan meraih sepuluh pahala kebaikan’” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 74].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن أبي هريرةَ عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: لولا أن أَشَقَّ على أمتي لَأَمَرْتُهُمْ عند كلِّ صلاةٍ بوضوءٍ ومع كل وضوءٍ بِسِوَاكٍ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Kalau aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu mereka akuperintahkan berwudhu untuk setiap shalat, dan bersiwak untuk setiap hendak wudhu” (HR. Ahmad dengan sanad yang sahih).
وعن أنس قال: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يتوضأَ عند كلِّ صلاةٍ قيل له فأنتم كيف تَصْنَعُوْنَ قال: كُنَّا نُصلِّي الصلواتِ بوضوءٍ واحدٍ ما لم نُحْدِثُ
Dari Anas, ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu untuk setiap hendak shalat. Pernah Anas ditanya, ’kemudian kamu bagaimana?’ Ia menjawab, ’Kami mengerjakan beberapa kali shalat dengan wudhu sekali selama kami belum berhadats” (HR. Jamaah kecuali Muslim).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب الوضوء لكل صلاة وعدم وجوبه
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya wudhu untuk setiap shalat dan tidak wajib.
وعن عبد اللَّه بن حنظلةَ: أن النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم أَمَرَ بالوضوءِ لكل صلاةٍ طَاهِرًا كان أو غَيْرَ طَاهِرٍ فلما شَقَّ ذلك عليه أُمِرَ بالسواك ِعند كلِّ صلاةٍ وَوُضِعَ عنهُ الوضوءُ إلا مِنْ حَدِيْثٍ وكان عبدُ اللَّه بنُ عُمَرَ يرى أنَّ بِهِ قُوَّةً على ذلك كان يَفْعَلُهُ حتى مَاتَ
Dari Abdullah bin Handhalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wudhuuntuk setiap shalat, baik dalam keadaan masih suci atau tidak suci, tetapi setelah hal itu dirasa memberatkannya, lalu diperintahkan bersiwak untuk setiap hendak shalat, dan dicabutnya berwudhu (untuk setiap hendak shalat) kecuali karena berhadats. Sedangkan Abdullah bin Umar diketahui bahwa ia mempunyai kekuatan berbuat yang demikian itu (berwudhu untuk setiap hendak shalat), maka ia biasa mengerjakannya sampai ia meninggal dunia” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث الأول فيه دليل على عدم وجوب الوضوء لكل صلاة وعلى استحبابه لكل صلاة مع الطهارة وقد تقدم الكلام عليه
Hadits Abdullah bin Handhalah menunjukkan tidak wajibnya wudhu untuk setiap shalat dan disunnahkannya untuk setiap shalat. Masalah ini telah kita bicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/175-176 (1/474-477)]
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
*Slawi, Maret 2011
Minggu, 27 Maret 2011
BERWUDHU SETELAH MAKAN
BERWUDHU SETELAH MAKAN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk berwudhu setelah makan makanan yang yang dimasak dengan panasnya api.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 72].
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
اختلف الصدر الأول في إيجاب الوضوء من أكل ما مسته النار لاختلاف الآثار الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واتفق جمهور فقهاء الأمصار بعد الصدر الأول على سقوطه، إذ صح عندهم أنه عمل الخلفاء الأربعة، ولما ورد من حديث جابر أنه قال: " كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ" خرجه أبو داود. ولكن ذهب قوم من أهل الحديث أحمد وإسحاق وطائفة غيرهم أن الوضوء يجب فقط من أكل لحم الجزور لثبوت الحديث الوارد بذلك عنه عليه الصلاة والسلام
Pada era awal Islam terdapat perbedaan tentang wudhu seseorang itu batal lantaran makan makanan yang masak karena pi. Perbedaan itu terjadi karena banyaknya hadits yang membicarakan masalah ini.
Setelah era pertama Islam, mayoritas fuqaha Amshar sepakat bahwa itu tidak membatalkan wudhu. Sebab empat Khulafaur Rasyidin –menurut mereka- juga berpendapat tidak membatalkan. Pendapat ini juga diperkuat oleh hadits Jabir yang menyatakan :
كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ
”Adalah yang terakhir dari dua perkara dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu karena makan (makanan) yang disentuh oleh api” (HR. Abu Dawud)
Tetapi sebagian ulama hadits, seperti Ahmad, Ishaq, dan yang lain, menyatakan bahwa yang membatalkan wudhu itu hanya karena makan daging kambing berdasarkan ketetapan dan hadits sahih.
[Bidayatul Mujtahid 1/29 (1/71)]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن إبراهيمَ بن عبدِ اللَّه بن قَارِظٍ: (أنه وجد أبا هريرة يتوضأُ على المسجدِ فقال: إنما أتوضأُ من أَثْوَارِ أَقِطٍ أكَلْتُهَا لِأَنِّي سمعتُ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول: توضئوا مما مَسَّتِ النَّارِ
Dari Ibrahim bin Abdillah bin Qaridh, bahwa ia menjumpai Abu Hurairah sedang berwudhu di masjid, lalu Abu Hurairah berkata, ’Sebenarnya aku berwudhu karena beberapa potong keju yang saya makan, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Berwudulah karena makan (makanan) yang tersentuh api’” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
وعن عائشة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: توضؤا مما مَسَّتِ النَّارِ
Dari Aisyah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Berwudhulah karena makan (makanan) yang tersentuh api” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
وعن زيد بن ثابت: عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم مِثْلُهُ
Dari Zaid bin Tsabit, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti itu juga (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
Asy-Syaukani berkata :
والأحاديث تدل على وجوب الوضوء مما مسته النار
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api.
وعن ميمونة قالت: أكل النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم مَنْ كَتِفِ شاةٍ ثم قام فصلَّى ولم يتوضأُ
Dari Maimunah, ia berkata, ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah makan belikat kambing, kemudian ia berdiri dan shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
وعن عَمْرِو بن أُمَيَّةَ الضَّمَرِي قال: رأيتُ النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شاةٍ فأكل منها فَدُعِيَ إلى الصلاةِ فقام وَطَرَحَ السِّكِيْنَ وصلَّى ولم يتوضأُ
Dari Amr bin Umayah Al-Dhamari, ia berkata, ”Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memotong belikat kambing, lalu ia makan daripadanya, kemudian diseru adzan untuk shalat, lalu ia berdiri dan melemparkan pisaunya kemudian shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الوضوء مما مسته النار
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas tidak wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api.
وعن جابر قال: أكلتُ مع النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ومع أبي بكرٍ وعُمَرَ خُبْزًا ولَحْمًا فصلوا ولم يتوضئوا
Dari Jabir, ia berkata, ”Aku pernah makan roti dan daging bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, lalu mereka mengerjakan shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad)
وعن جابر قال: كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ
Dari Jabir, ia berkata, ”Adalah yang terakhir dari dua perkara dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu karena makan (makanan) yang disentuh oleh api” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الوضوء مما مسته النار وقد تقدم الكلام على ذلك.
قال المصنف رحمه اللَّه: وهذه النصوص إنما تنفي الإيجاب لا الاستحباب ولهذا قال للذي سأله: (أنتوضأ من لحوم الغنم قال: إن شئت فتوضأ وإن شئت فلا تتوضأ) ولولا أن الوضوء من ذلك مستحب لما أذن فيه لأنه إسراف وتضييع للماء بغير فائدة انتهى
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas tidak wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api dan masalah ini telah kita bicarakan dahulu.
Al-Musgannif rahimahullah mengatakan, nash-nash di atas meniadakan wajibnya wudhu dan tidak meniadakan sunnahnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab orang yang menanyakannya dengan jawaban, ”Jika anda suka silahkan berwudhu dan jika tidak maka tidak usah berwudhu”. Sekiranya wudhu karena makan (makanan) yang disentuh api itu tidak disunnahkan niscaya ia tidak mengijinkannya, karena wudhu sesudah makan (makanan) yang disentuh api itu termasuk berlebih-lebihan dan menghabis-habiskan air dengan tiada manfaat, selesai.
[Nailul Authar 1/173-175 (1/470-474)]
Kesimpulan :
Mayoritas ulama berpendapat disunnatkan untuk berwudhu setelah makan makanan yang yang dimasak dengan panasnya api.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Disunnatkan untuk berwudhu setelah makan makanan yang yang dimasak dengan panasnya api.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 72].
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
اختلف الصدر الأول في إيجاب الوضوء من أكل ما مسته النار لاختلاف الآثار الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واتفق جمهور فقهاء الأمصار بعد الصدر الأول على سقوطه، إذ صح عندهم أنه عمل الخلفاء الأربعة، ولما ورد من حديث جابر أنه قال: " كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ" خرجه أبو داود. ولكن ذهب قوم من أهل الحديث أحمد وإسحاق وطائفة غيرهم أن الوضوء يجب فقط من أكل لحم الجزور لثبوت الحديث الوارد بذلك عنه عليه الصلاة والسلام
Pada era awal Islam terdapat perbedaan tentang wudhu seseorang itu batal lantaran makan makanan yang masak karena pi. Perbedaan itu terjadi karena banyaknya hadits yang membicarakan masalah ini.
Setelah era pertama Islam, mayoritas fuqaha Amshar sepakat bahwa itu tidak membatalkan wudhu. Sebab empat Khulafaur Rasyidin –menurut mereka- juga berpendapat tidak membatalkan. Pendapat ini juga diperkuat oleh hadits Jabir yang menyatakan :
كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ
”Adalah yang terakhir dari dua perkara dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu karena makan (makanan) yang disentuh oleh api” (HR. Abu Dawud)
Tetapi sebagian ulama hadits, seperti Ahmad, Ishaq, dan yang lain, menyatakan bahwa yang membatalkan wudhu itu hanya karena makan daging kambing berdasarkan ketetapan dan hadits sahih.
[Bidayatul Mujtahid 1/29 (1/71)]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن إبراهيمَ بن عبدِ اللَّه بن قَارِظٍ: (أنه وجد أبا هريرة يتوضأُ على المسجدِ فقال: إنما أتوضأُ من أَثْوَارِ أَقِطٍ أكَلْتُهَا لِأَنِّي سمعتُ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول: توضئوا مما مَسَّتِ النَّارِ
Dari Ibrahim bin Abdillah bin Qaridh, bahwa ia menjumpai Abu Hurairah sedang berwudhu di masjid, lalu Abu Hurairah berkata, ’Sebenarnya aku berwudhu karena beberapa potong keju yang saya makan, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Berwudulah karena makan (makanan) yang tersentuh api’” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
وعن عائشة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: توضؤا مما مَسَّتِ النَّارِ
Dari Aisyah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, ”Berwudhulah karena makan (makanan) yang tersentuh api” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
وعن زيد بن ثابت: عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم مِثْلُهُ
Dari Zaid bin Tsabit, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti itu juga (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)
Asy-Syaukani berkata :
والأحاديث تدل على وجوب الوضوء مما مسته النار
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api.
وعن ميمونة قالت: أكل النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم مَنْ كَتِفِ شاةٍ ثم قام فصلَّى ولم يتوضأُ
Dari Maimunah, ia berkata, ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah makan belikat kambing, kemudian ia berdiri dan shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
وعن عَمْرِو بن أُمَيَّةَ الضَّمَرِي قال: رأيتُ النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شاةٍ فأكل منها فَدُعِيَ إلى الصلاةِ فقام وَطَرَحَ السِّكِيْنَ وصلَّى ولم يتوضأُ
Dari Amr bin Umayah Al-Dhamari, ia berkata, ”Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memotong belikat kambing, lalu ia makan daripadanya, kemudian diseru adzan untuk shalat, lalu ia berdiri dan melemparkan pisaunya kemudian shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الوضوء مما مسته النار
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas tidak wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api.
وعن جابر قال: أكلتُ مع النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ومع أبي بكرٍ وعُمَرَ خُبْزًا ولَحْمًا فصلوا ولم يتوضئوا
Dari Jabir, ia berkata, ”Aku pernah makan roti dan daging bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, lalu mereka mengerjakan shalat dengan tidak berwudhu” (HR. Ahmad)
وعن جابر قال: كان آخِرُ الْأمْرَيْنِ من رسولِ الله صلى الله عليه وسلم تَرْكَ الوضوءِ مِمَّا مَسَّتْهُ النَّارُ
Dari Jabir, ia berkata, ”Adalah yang terakhir dari dua perkara dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu karena makan (makanan) yang disentuh oleh api” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على عدم وجوب الوضوء مما مسته النار وقد تقدم الكلام على ذلك.
قال المصنف رحمه اللَّه: وهذه النصوص إنما تنفي الإيجاب لا الاستحباب ولهذا قال للذي سأله: (أنتوضأ من لحوم الغنم قال: إن شئت فتوضأ وإن شئت فلا تتوضأ) ولولا أن الوضوء من ذلك مستحب لما أذن فيه لأنه إسراف وتضييع للماء بغير فائدة انتهى
Hadits-hadits di atas menunjukkan atas tidak wajibnya wudhu karena makan (makanan) yang tersentuh api dan masalah ini telah kita bicarakan dahulu.
Al-Musgannif rahimahullah mengatakan, nash-nash di atas meniadakan wajibnya wudhu dan tidak meniadakan sunnahnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab orang yang menanyakannya dengan jawaban, ”Jika anda suka silahkan berwudhu dan jika tidak maka tidak usah berwudhu”. Sekiranya wudhu karena makan (makanan) yang disentuh api itu tidak disunnahkan niscaya ia tidak mengijinkannya, karena wudhu sesudah makan (makanan) yang disentuh api itu termasuk berlebih-lebihan dan menghabis-habiskan air dengan tiada manfaat, selesai.
[Nailul Authar 1/173-175 (1/470-474)]
Kesimpulan :
Mayoritas ulama berpendapat disunnatkan untuk berwudhu setelah makan makanan yang yang dimasak dengan panasnya api.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
*Slawi, Maret 2011
TIDUR MEMBATALKAN WUDHU
TIDUR MEMBATALKAN WUDHU
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tidur bagi orang yang telah berwudhu, apakah membatalkan wudhu atau tidak.
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
وأصل اختلافهم في هذه المسألة اختلاف الآثار الواردة في ذلك، وذلك أن ههنا أحاديث يوجب ظاهرها أنه ليس في النوم وضوء أصلا،
كحديث ابن عباس "أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل إلى مَيْمُوْنَةَ فَنَامَ عِنْدَهَا حتى سمعنا غَطِيْطَهُ ثم صلى ولم يتوضأْ"
وقوله عليه الصلاة والسلام "إذا نَعِسَ أحدُكم في الصلاةِ فَلْيَرْقُدْ حتى يذهبَ عنهُ النومَ، فإنه لَعَلَّهُ يذهبُ أن يستغفرَ رَبَّهُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ"
وما روي أيضا "أن أصحابَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم كانوا ينامون في المسجد حتى تَخْفَقَ رُؤُوْسُهُمْ ثم يصلون ولا يَتَوَضَّئُوْنَ"
وكلها آثار ثابتة وههنا أيضا أحاديث يوجب ظاهرها أن النوم حدث،
وأبينها في ذلك حديث صفوان بن عسال وذلك أنه قال "كُنَّا في سفر مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَمَرَنَا أن لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ ونومٍ ولا نَنْزِعُهَا إلا من جنابةٍ"
فسوى بين البول والغائط والنوم، صححه الترمذي.
ومنها حديث أبي هريرة المتقدم، وهو قوله عليه الصلاة والسلام "إذا اسْتَيْقَظَ أحدُكم من نومهِ فَلْيَغْسِلْ يدهُ قبلَ أن يُدْخِلَهَا في وضوئهِ"
فإن ظاهره أن النوم يوجب الوضوء قليله وكثيره،
فلما تعارضت ظواهر هذه الآثار ذهب العلماء فيها مذهبين: مذهب الترجيح، ومذهب الجمع؛
فمن ذهب مذهب الترجيح إما أسقط وجوب الوضوء من النوم أصلا على ظاهر الأحاديث التي تسقطه وإما أوجبه من قليله أو كثيره على ظاهر الأحاديث التي توجبه أيضا، أعني على حسب ما ترجح عنده من الأحاديث الموجبة، أو من الأحاديث المسقطة؛
ومن ذهب مذهب الجمع حمل الأحاديث الموجبة للوضوء منه على الكثير والمسقطة للوضوء على القليل،
وهو كما قلنا مذهب الجمهور، والجمع أولى من الترجيح ما أمكن الجمع عند أكثر الأصوليين.
وأما الشافعي فإنما حملها على أن استثنى من هيئات النائم الجلوس فقط لأنه قد صح ذلك عن الصحابة، أعني أنهم كانوا ينامون جلوسا ولا يتوضئون ويصلون.
وإنما أوجبه أبو حنيفة في النوم والاضطجاع فقط لأن ذلك ورد في حديث مرفوع، وهو أنه عليه الصلاة والسلام قال
"إنما الوضوءُ على من نَامَ مُضْطَجِعًا"
والرواية بذلك ثابتة عن عمر.
وأما مالك فلما كان النوم عنده إنما ينقض الوضوء من حيث كان غالبا سبب للحدث راعى فيه ثلاثة أشياء: الاستثقال أو الطول أو الهيئة، فلم يشترط في الهيئة التي يكون منها خروج الحدث غالبا لا الطول ولا الاستثقال، واشترط ذلك في الهيئات التي لا يكون خروج الحدث منها غالبا
Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan hadits dan atsasr yang mereka jadikan alas an dan pegangan. Sebab, ada beberapa hadits yang secara zhahir mengatakan, tidur itu sama sekali tidak membatalkan wudhu. Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
Hadits Ibnu Abbas,
أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل إلى مَيْمُوْنَةَ فَنَامَ عِنْدَهَا حتى سمعنا غَطِيْطَهُ ثم صلى ولم يتوضأْ
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Maemunah, lalu beliau tidur di rumah itu, sehingga kami mendengar suara dengkur beliau. Kemudian beliau bangun, lalu shalat tanpa berwudhu (terlebih dahulu). (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إذا نَعِسَ أحدُكم في الصلاةِ فَلْيَرْقُدْ حتى يذهبَ عنهُ النومَ، فإنه لَعَلَّهُ يذهبُ أن يستغفرَ رَبَّهُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
”Jika salah satu diantara kamu mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur sehingga rasa kantuk itu hilang, sebab bisa jadi ia hendak bermaksud mohon ampun kepada Tuhan, malah memaki dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Dan riwayat :
“Bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di masjid, sehingga kepala mereka bergerak-gerak, kemudian mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hadits-hadits di atas itu nyata terjadi dan diakui sahih. Tetapi, ada hadits lain yang lahirnya menjelaskan bahwa tidur membatalkan wudhu (hadas). Di sini dapat saya jelaskan diantaranya :
Hadits dari Shafwam bin ‘Assal, ia berkata,
كُنَّا في سفر مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَمَرَنَا أن لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ ونومٍ ولا نَنْزِعُهَا إلا من جنابةٍ
“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, maka beliau memerintah agar kami tidak melepas sepatu kami lantaran berak, kencing, dan tidur, kecuali jika kami janabat. (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Dalam hadits ini terdapat persamaan hukum antara berak, kencing dan tidur.
Hadits dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا اسْتَيْقَظَ أحدُكم من نومهِ فَلْيَغْسِلْ يدهُ قبلَ أن يُدْخِلَهَا في وضوئهِ
“Jika salah seorang diantara kamu bangun tidur, hendaklah ia mencuci tangannya ke dalam bejana air wudhu” (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Atas dasar beberapa hadits di atas, dalam masalah tidur dan wudhu, para ulama terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok tarjih dan kelompok metode perpaduan atau komprehensif.
Kelompok pertama (kelompok tarjih) ada yang menyatakan bahwa tidur sama sekali tidak membatalkan wudhu. Ini berdasarkan hadis yang lahirnya dapat dipahami bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Ada juga yang berpendapat bahwa tidur nyenyak atau tidur sebentar membatalkan wudhu berdasarkan hadits yang membatalkannya juga. Jadi, hadits yang kyat tidak tampak jelas, apakah hadits yang membatalkan atau yang tidak membatalkan wudhu.
Sedang kelompok kedua (kelompok perpaduan) merinci dengan menyatakan bahwa tidur nyenyak itu membatalkan wudhu, sedangkan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.
Metode prpaduan menurut ulama ushul lebih utama dibandingkan dengan metode tarjih selama perpaduan tersebut dapat dilakukan.
Syafi’i menyatakan bahwa cara tidur yang tidak membatalkan wudhu itu hanya tidur sambil duduk berdasarkan hadits dan atsar dalam poin 3.
Abu Hanifah menyatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu aníllala ‘tidur miring’ berdasarkan hadits marfu’ yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنما الوضوءُ على من نَامَ مُضْطَجِعًا
“Wudhu hanya wajib dilaksanakan oleh orang yang tidur miring” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini nyata dan sahih dari riwayat Umar.
Menurut Malik, tidur yang membatalkan wudhu hádala tidur yang biasanya mendatangkan hadats. Sehingga, dalam hal ini, ia memperhatikan tiga segi, yaitu kenyenyakan, lama, dan cara tidur. Dengan demikian, ia tidak menyaratkan dengan tiga segi di atas. Yang prinsip baginya, jika hadas biasanya dapat terjadi ketika tidur, berarti ia memtalakna wudhu. Hal itu ia kemukakan, karena biasanya cara tidur itu tidak menentukan terjadinya hadats.
[Bidayatul Mujtahid 1/27 (1/65)]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن صفوان بن عسال قال: (كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يأمرنا إذا كنا سفرًا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة لكن من غائط وبول ونوم
Dari Shafwam bin ‘Assal, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami apabila kami dalam bepergian, yaitu hendaknya kami tidak melepaskan kasut-kasut kami selama tiga hari tiga malam, kecuali jika kami janabat. Tetapi (hendaknya tidak perlu melepaskan) karena buang air besar, kencing dan tidur” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i).
Asy-Syaukani berkata :
وقد اختلف الناس في ذلك على مذاهب ثمانية ذكرها النووي في شرح مسلم:
[الأول] أن النوم لا ينقض الوضوء على أي حال كان قال: وهو محكي عن أبي موسى الأشعري وسعيد بن المسيب وأبي مجلز وحميد الأعرج والشيعة يعني الإمامية وزاد في البحر عمرو بن دينار واستدلوا بحديث أنس الآتي.
[المذهب الثاني] أن النوم ينقض الوضوء بكل حال قليله وكثيره
[المذهب الثالث] أن كثير النوم ينقض بكل حال وقليله لا ينقض بكل حال
[المذهب الرابع] إذا نام على هيئة من هيئات المصلي كالراكع والساجد والقائم والقاعد لا ينتقض وضوءه سواء كان في الصلاة أو لم يكن وإن نام مضطجعًا أو مستلقيًا على قفاه انتقض
[المذهب الخامس] أنه لا ينقض إلا نوم الراكع والساجد
[المذهب السادس] أنه لا ينقض إلا نوم الساجد
[المذهب السابع] أنه لا ينقض النوم في الصلاة بكل حال وينقض خارج الصلاة
[المذهب الثامن] أنه إذا نام جالسًا ممكنًا مقعدته من الأرض لم ينقض سواء قل أو كثر وسواء كان في الصلاة أو خارجها
Di dalam Syarh Muslim, An-Nawawi menyebutkan bahwa tidur itu diperselisihkan dan terpecah menjadi delapan madzhab :
Pertama, tidur itu tidak membatalkan wudhu dalam keadaan dan bentuk apapun.
Kedua, tidur itu membatalkan wudhu dalam keadaan dan bentuk apapun, sedikit atau banyak.
Ketiga, tidur banyak membatalkan wudhu dalam bentuk apapun, dan tidur sedikit tidak membatalkannya.
Keempat, jika tidur seperti gerakan dari gerakan-gerakan shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan duduk, maka itu semua tidak membatalkan wudhu baik dalam keadaan shalat atau tidak. Jika tidur terlentang atau berbaring di atas kuduknya maka membatalkan wudhu.
Kelima, tidur itu tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang ruku’ dan sujud.
Keenam, tidur itu tidak membatalkan wudhu, kecuali tidurnya orang sujud.
Ketujuh, tidur di dalam shalat itu tidak membatalkan wudhu dalam bentuk dan gerakan apapun, dan membatalkannya jika diluar shalat.
Kedelapan, jika seseorang tidur menetap pada tempat duduknya di atas tanah maka tidak membatalkan wudhu baik tidur sedikit atau banyak, dan baik di dalam shalat atau diluar shalat.
وعن علي رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم: اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السُّهِ فمن نَاَم فليتوضأُ
وعن معاوية قال: قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم العين وكاء السه فإذا نامت العينان استطلق الوكاء
رواه أحمد والدارقطني. السه اسم لحلقة الدبر. وسئل أحمد عن حديث علي ومعاوية في ذلك فقال: حديث علي أثبت وأقوى
Dan dari Ali RA, ia berkata, ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Mata itu tutupnya dubur, maka barangsiapa telah tidur, hendaklah wudhu’” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dan Muawiyah RA, ia berkata, ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Mata itu tutupnya dubur, maka apabila dua mata telah tidur, maka terbukalah tutup itu’” (HR. Ahmad dan Ad-Daruquthni. Ahmad ditanya tentang hadits Ali dan Mu’awiyah, lalu ia menjawab bahwa hadits Ali lebih tetap dan lebih kuat.).
Asy-Syaukani berkata :
منه والحديثان يدلان على أن النوم مظنة للنقض لا أنه بنفسه ناقض. وقد تقدم الكلام على ذلك في الذي قبله
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa tidur diduga menjadi penyebab yang membatalkan wudhu, meskipun tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu. Hal itu telah kita bicarakan sebelumnya.
وعن ابن عباس قال: بِتُّ عند خَالَتِيْ ميمونةَ فقام رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقمتُ إلى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ فأخذ بِيَدِي فَجَعَلَنِي من شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فجعلتُ إذا أَغْفَيْتُ يَأْخُذُ بِشَحْمَةِ أُذُنِي قال: فصلَّى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Saya pernah bermalam di di rumah bibiku, Maimunah radliyallahu anha lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian beliau berdiri (shalat), maka akupun berdiri di sebelah kirinya maka beliau memegang tangnku, kemudian memindahkannya di sebelah kanannya, maka apabila aku mengantuk ia memegang daun telingaku” Ibnu Abbas berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sebelas rekaat’” (HR. Bukhari 726, Muslim 763).
Asy-Syaukani berkata :
وفي الحديث دلالة على أن النوم اليسير حال الصلاة غير ناقض وقد تقدم الكلام على ذلك
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur sedikit pada waktu shalat tidak membatalkan wudhu. Pembicaraan itupun telah dibicarakan sebelumnya.
وعن أنس قال: كان أصحابُ رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَنْتَظِرُوْنَ العشاءَ الآخِرَةَ حتى تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ ثم يصلون ولا يتوضئونَ
Dan dari Anas, ia berkata, “Bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bila menunggu isya’ yang akhir, sehingga kepala mereka menunduk, kemudian mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على أن يسير النوم لا ينقض الوضوء إن ثبت التقرير لهم على ذلك من النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم وقد تقدم الكلام في الخلاف في ذلك.
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur sedikit tidak membatalkan wudhu, jika taqrir (ketetapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bagi mereka itu tetap. Adapun masalah khilaf tentang hal itu telah dibicarakan sebelumnya.
وعن يَزِيْدَ بن عبد الرحمن عن قتادة عن أبي العاليةِِ عن ابن عباسٍ: أن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: ليس على من نام ساجِدًا وضوءٌ حتى يَضْطَجِعُ فإنه إذا اضْطَجَعَ اسْتَرَخَتْ مفاصِلُهُ
Dan dari Yazid bin Abdurrahman dari Qatadah dan Abil Aliyah dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dengan sujud, sampai ia tidur miring, karena apabila ia tidur miring lemaslah sendi-sendinya” (HR. Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على أن النوم لا يكون ناقضًا إلا في حالة الاضطجاع وقد سلف أنه الراجح.
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur itu tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam keadaan berbaring. Hal tersebut telah dibicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/157-161 (1/425-434)]
Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm :
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 26]
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
وفي قول لا ينقض النوم على هيئة من هيئآت الصلاة وإن لم يكن في صلاة وفي قول لا ينقض في الصلاة كيف كان وفي قول لا ينقض النوم قائما وفي قول ينقض وإن كان ممكنا مقعده وهذه أقوال شاذة قلت لا فرق عندنا بين قليل النوم وكثيره ولو نام محتبيا فثلاثة أوجه أصحها لا ينتقض
قال الشافعي والأصحاب يستحب الوضوء من النوم ممكنا للخروج من الخلاف والله أعلم
Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i, tidur dalam satu posisi dari berbagai posisi shalat tidak membatalkan wudhu meskipun si empunya tidak shalat. Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i yang lain, tidur dalam shalat tidak membatalkan wudhu walau bagaimanapun adanya. Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i yang lain, tiduedengan berdiri tidak membatalkan wudhu. Dan menurut satu Qaul, wudhu seseorang menjadi batal meskipun tempat duduknya tetap pada posisinya. Dan ini adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang aneh.
Saya katakana, “Menurut kami tidak ada bedanya antara tidur lama dengan sbentar. Seandainya seseorang tidur dalam keadaan duduk dengan dua pantatnya sementara dua betis dalam keadaan berdiri dan dua paha ditempelkan dengan perut, maka disini terdapat tiga pendapat pengikut madzhab Syafi’i. Menurut pendapat yang paling ashah bahwa tidur seperti itu ridak membatalkan wudhu.
Imam Syafi’i dan para pengikut madzhab Syafi’I mengatakan, “Hukum orang melakukan wudhu dari tidur yang keadaan pantatnya standar adalah sunnah demi keluar dari perbedaan pendapat. Wallahu a’lam”
[Raudhatuth Thalibin 1/58 (1/240)].
Kesimpulan :
Dari berbagai pendapat ulama diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidur banyak membatalkan wudhu dalam bentuk apapun, dan tidur sedikit tidak membatalkannya.
2. Tidur seperti gerakan dari gerakan-gerakan shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan duduk, maka itu semua tidak membatalkan wudhu baik dalam keadaan shalat atau tidak.
3. Tidur di dalam shalat itu tidak membatalkan wudhu dalam bentuk dan gerakan apapun.
4. Jika seseorang tidur menetap pada tempat duduknya di atas tanah maka tidak membatalkan wudhu baik tidur sedikit atau banyak, dan baik di dalam shalat atau diluar shalat.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, Maret 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tidur bagi orang yang telah berwudhu, apakah membatalkan wudhu atau tidak.
Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid mengatakan :
وأصل اختلافهم في هذه المسألة اختلاف الآثار الواردة في ذلك، وذلك أن ههنا أحاديث يوجب ظاهرها أنه ليس في النوم وضوء أصلا،
كحديث ابن عباس "أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل إلى مَيْمُوْنَةَ فَنَامَ عِنْدَهَا حتى سمعنا غَطِيْطَهُ ثم صلى ولم يتوضأْ"
وقوله عليه الصلاة والسلام "إذا نَعِسَ أحدُكم في الصلاةِ فَلْيَرْقُدْ حتى يذهبَ عنهُ النومَ، فإنه لَعَلَّهُ يذهبُ أن يستغفرَ رَبَّهُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ"
وما روي أيضا "أن أصحابَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم كانوا ينامون في المسجد حتى تَخْفَقَ رُؤُوْسُهُمْ ثم يصلون ولا يَتَوَضَّئُوْنَ"
وكلها آثار ثابتة وههنا أيضا أحاديث يوجب ظاهرها أن النوم حدث،
وأبينها في ذلك حديث صفوان بن عسال وذلك أنه قال "كُنَّا في سفر مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَمَرَنَا أن لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ ونومٍ ولا نَنْزِعُهَا إلا من جنابةٍ"
فسوى بين البول والغائط والنوم، صححه الترمذي.
ومنها حديث أبي هريرة المتقدم، وهو قوله عليه الصلاة والسلام "إذا اسْتَيْقَظَ أحدُكم من نومهِ فَلْيَغْسِلْ يدهُ قبلَ أن يُدْخِلَهَا في وضوئهِ"
فإن ظاهره أن النوم يوجب الوضوء قليله وكثيره،
فلما تعارضت ظواهر هذه الآثار ذهب العلماء فيها مذهبين: مذهب الترجيح، ومذهب الجمع؛
فمن ذهب مذهب الترجيح إما أسقط وجوب الوضوء من النوم أصلا على ظاهر الأحاديث التي تسقطه وإما أوجبه من قليله أو كثيره على ظاهر الأحاديث التي توجبه أيضا، أعني على حسب ما ترجح عنده من الأحاديث الموجبة، أو من الأحاديث المسقطة؛
ومن ذهب مذهب الجمع حمل الأحاديث الموجبة للوضوء منه على الكثير والمسقطة للوضوء على القليل،
وهو كما قلنا مذهب الجمهور، والجمع أولى من الترجيح ما أمكن الجمع عند أكثر الأصوليين.
وأما الشافعي فإنما حملها على أن استثنى من هيئات النائم الجلوس فقط لأنه قد صح ذلك عن الصحابة، أعني أنهم كانوا ينامون جلوسا ولا يتوضئون ويصلون.
وإنما أوجبه أبو حنيفة في النوم والاضطجاع فقط لأن ذلك ورد في حديث مرفوع، وهو أنه عليه الصلاة والسلام قال
"إنما الوضوءُ على من نَامَ مُضْطَجِعًا"
والرواية بذلك ثابتة عن عمر.
وأما مالك فلما كان النوم عنده إنما ينقض الوضوء من حيث كان غالبا سبب للحدث راعى فيه ثلاثة أشياء: الاستثقال أو الطول أو الهيئة، فلم يشترط في الهيئة التي يكون منها خروج الحدث غالبا لا الطول ولا الاستثقال، واشترط ذلك في الهيئات التي لا يكون خروج الحدث منها غالبا
Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan hadits dan atsasr yang mereka jadikan alas an dan pegangan. Sebab, ada beberapa hadits yang secara zhahir mengatakan, tidur itu sama sekali tidak membatalkan wudhu. Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
Hadits Ibnu Abbas,
أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل إلى مَيْمُوْنَةَ فَنَامَ عِنْدَهَا حتى سمعنا غَطِيْطَهُ ثم صلى ولم يتوضأْ
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumah Maemunah, lalu beliau tidur di rumah itu, sehingga kami mendengar suara dengkur beliau. Kemudian beliau bangun, lalu shalat tanpa berwudhu (terlebih dahulu). (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إذا نَعِسَ أحدُكم في الصلاةِ فَلْيَرْقُدْ حتى يذهبَ عنهُ النومَ، فإنه لَعَلَّهُ يذهبُ أن يستغفرَ رَبَّهُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ
”Jika salah satu diantara kamu mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur sehingga rasa kantuk itu hilang, sebab bisa jadi ia hendak bermaksud mohon ampun kepada Tuhan, malah memaki dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Dan riwayat :
“Bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di masjid, sehingga kepala mereka bergerak-gerak, kemudian mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hadits-hadits di atas itu nyata terjadi dan diakui sahih. Tetapi, ada hadits lain yang lahirnya menjelaskan bahwa tidur membatalkan wudhu (hadas). Di sini dapat saya jelaskan diantaranya :
Hadits dari Shafwam bin ‘Assal, ia berkata,
كُنَّا في سفر مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَمَرَنَا أن لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ ونومٍ ولا نَنْزِعُهَا إلا من جنابةٍ
“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, maka beliau memerintah agar kami tidak melepas sepatu kami lantaran berak, kencing, dan tidur, kecuali jika kami janabat. (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Dalam hadits ini terdapat persamaan hukum antara berak, kencing dan tidur.
Hadits dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا اسْتَيْقَظَ أحدُكم من نومهِ فَلْيَغْسِلْ يدهُ قبلَ أن يُدْخِلَهَا في وضوئهِ
“Jika salah seorang diantara kamu bangun tidur, hendaklah ia mencuci tangannya ke dalam bejana air wudhu” (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Atas dasar beberapa hadits di atas, dalam masalah tidur dan wudhu, para ulama terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok tarjih dan kelompok metode perpaduan atau komprehensif.
Kelompok pertama (kelompok tarjih) ada yang menyatakan bahwa tidur sama sekali tidak membatalkan wudhu. Ini berdasarkan hadis yang lahirnya dapat dipahami bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Ada juga yang berpendapat bahwa tidur nyenyak atau tidur sebentar membatalkan wudhu berdasarkan hadits yang membatalkannya juga. Jadi, hadits yang kyat tidak tampak jelas, apakah hadits yang membatalkan atau yang tidak membatalkan wudhu.
Sedang kelompok kedua (kelompok perpaduan) merinci dengan menyatakan bahwa tidur nyenyak itu membatalkan wudhu, sedangkan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.
Metode prpaduan menurut ulama ushul lebih utama dibandingkan dengan metode tarjih selama perpaduan tersebut dapat dilakukan.
Syafi’i menyatakan bahwa cara tidur yang tidak membatalkan wudhu itu hanya tidur sambil duduk berdasarkan hadits dan atsar dalam poin 3.
Abu Hanifah menyatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu aníllala ‘tidur miring’ berdasarkan hadits marfu’ yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنما الوضوءُ على من نَامَ مُضْطَجِعًا
“Wudhu hanya wajib dilaksanakan oleh orang yang tidur miring” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini nyata dan sahih dari riwayat Umar.
Menurut Malik, tidur yang membatalkan wudhu hádala tidur yang biasanya mendatangkan hadats. Sehingga, dalam hal ini, ia memperhatikan tiga segi, yaitu kenyenyakan, lama, dan cara tidur. Dengan demikian, ia tidak menyaratkan dengan tiga segi di atas. Yang prinsip baginya, jika hadas biasanya dapat terjadi ketika tidur, berarti ia memtalakna wudhu. Hal itu ia kemukakan, karena biasanya cara tidur itu tidak menentukan terjadinya hadats.
[Bidayatul Mujtahid 1/27 (1/65)]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengutip dan menjelaskan hadits-hadits berikut :
عن صفوان بن عسال قال: (كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يأمرنا إذا كنا سفرًا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة لكن من غائط وبول ونوم
Dari Shafwam bin ‘Assal, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami apabila kami dalam bepergian, yaitu hendaknya kami tidak melepaskan kasut-kasut kami selama tiga hari tiga malam, kecuali jika kami janabat. Tetapi (hendaknya tidak perlu melepaskan) karena buang air besar, kencing dan tidur” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i).
Asy-Syaukani berkata :
وقد اختلف الناس في ذلك على مذاهب ثمانية ذكرها النووي في شرح مسلم:
[الأول] أن النوم لا ينقض الوضوء على أي حال كان قال: وهو محكي عن أبي موسى الأشعري وسعيد بن المسيب وأبي مجلز وحميد الأعرج والشيعة يعني الإمامية وزاد في البحر عمرو بن دينار واستدلوا بحديث أنس الآتي.
[المذهب الثاني] أن النوم ينقض الوضوء بكل حال قليله وكثيره
[المذهب الثالث] أن كثير النوم ينقض بكل حال وقليله لا ينقض بكل حال
[المذهب الرابع] إذا نام على هيئة من هيئات المصلي كالراكع والساجد والقائم والقاعد لا ينتقض وضوءه سواء كان في الصلاة أو لم يكن وإن نام مضطجعًا أو مستلقيًا على قفاه انتقض
[المذهب الخامس] أنه لا ينقض إلا نوم الراكع والساجد
[المذهب السادس] أنه لا ينقض إلا نوم الساجد
[المذهب السابع] أنه لا ينقض النوم في الصلاة بكل حال وينقض خارج الصلاة
[المذهب الثامن] أنه إذا نام جالسًا ممكنًا مقعدته من الأرض لم ينقض سواء قل أو كثر وسواء كان في الصلاة أو خارجها
Di dalam Syarh Muslim, An-Nawawi menyebutkan bahwa tidur itu diperselisihkan dan terpecah menjadi delapan madzhab :
Pertama, tidur itu tidak membatalkan wudhu dalam keadaan dan bentuk apapun.
Kedua, tidur itu membatalkan wudhu dalam keadaan dan bentuk apapun, sedikit atau banyak.
Ketiga, tidur banyak membatalkan wudhu dalam bentuk apapun, dan tidur sedikit tidak membatalkannya.
Keempat, jika tidur seperti gerakan dari gerakan-gerakan shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan duduk, maka itu semua tidak membatalkan wudhu baik dalam keadaan shalat atau tidak. Jika tidur terlentang atau berbaring di atas kuduknya maka membatalkan wudhu.
Kelima, tidur itu tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang ruku’ dan sujud.
Keenam, tidur itu tidak membatalkan wudhu, kecuali tidurnya orang sujud.
Ketujuh, tidur di dalam shalat itu tidak membatalkan wudhu dalam bentuk dan gerakan apapun, dan membatalkannya jika diluar shalat.
Kedelapan, jika seseorang tidur menetap pada tempat duduknya di atas tanah maka tidak membatalkan wudhu baik tidur sedikit atau banyak, dan baik di dalam shalat atau diluar shalat.
وعن علي رضي اللَّه عنه قال: قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم: اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السُّهِ فمن نَاَم فليتوضأُ
وعن معاوية قال: قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم العين وكاء السه فإذا نامت العينان استطلق الوكاء
رواه أحمد والدارقطني. السه اسم لحلقة الدبر. وسئل أحمد عن حديث علي ومعاوية في ذلك فقال: حديث علي أثبت وأقوى
Dan dari Ali RA, ia berkata, ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Mata itu tutupnya dubur, maka barangsiapa telah tidur, hendaklah wudhu’” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dan Muawiyah RA, ia berkata, ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’Mata itu tutupnya dubur, maka apabila dua mata telah tidur, maka terbukalah tutup itu’” (HR. Ahmad dan Ad-Daruquthni. Ahmad ditanya tentang hadits Ali dan Mu’awiyah, lalu ia menjawab bahwa hadits Ali lebih tetap dan lebih kuat.).
Asy-Syaukani berkata :
منه والحديثان يدلان على أن النوم مظنة للنقض لا أنه بنفسه ناقض. وقد تقدم الكلام على ذلك في الذي قبله
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa tidur diduga menjadi penyebab yang membatalkan wudhu, meskipun tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu. Hal itu telah kita bicarakan sebelumnya.
وعن ابن عباس قال: بِتُّ عند خَالَتِيْ ميمونةَ فقام رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقمتُ إلى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ فأخذ بِيَدِي فَجَعَلَنِي من شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فجعلتُ إذا أَغْفَيْتُ يَأْخُذُ بِشَحْمَةِ أُذُنِي قال: فصلَّى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Saya pernah bermalam di di rumah bibiku, Maimunah radliyallahu anha lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian beliau berdiri (shalat), maka akupun berdiri di sebelah kirinya maka beliau memegang tangnku, kemudian memindahkannya di sebelah kanannya, maka apabila aku mengantuk ia memegang daun telingaku” Ibnu Abbas berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sebelas rekaat’” (HR. Bukhari 726, Muslim 763).
Asy-Syaukani berkata :
وفي الحديث دلالة على أن النوم اليسير حال الصلاة غير ناقض وقد تقدم الكلام على ذلك
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur sedikit pada waktu shalat tidak membatalkan wudhu. Pembicaraan itupun telah dibicarakan sebelumnya.
وعن أنس قال: كان أصحابُ رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَنْتَظِرُوْنَ العشاءَ الآخِرَةَ حتى تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ ثم يصلون ولا يتوضئونَ
Dan dari Anas, ia berkata, “Bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bila menunggu isya’ yang akhir, sehingga kepala mereka menunduk, kemudian mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على أن يسير النوم لا ينقض الوضوء إن ثبت التقرير لهم على ذلك من النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم وقد تقدم الكلام في الخلاف في ذلك.
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur sedikit tidak membatalkan wudhu, jika taqrir (ketetapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bagi mereka itu tetap. Adapun masalah khilaf tentang hal itu telah dibicarakan sebelumnya.
وعن يَزِيْدَ بن عبد الرحمن عن قتادة عن أبي العاليةِِ عن ابن عباسٍ: أن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: ليس على من نام ساجِدًا وضوءٌ حتى يَضْطَجِعُ فإنه إذا اضْطَجَعَ اسْتَرَخَتْ مفاصِلُهُ
Dan dari Yazid bin Abdurrahman dari Qatadah dan Abil Aliyah dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dengan sujud, sampai ia tidur miring, karena apabila ia tidur miring lemaslah sendi-sendinya” (HR. Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على أن النوم لا يكون ناقضًا إلا في حالة الاضطجاع وقد سلف أنه الراجح.
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidur itu tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam keadaan berbaring. Hal tersebut telah dibicarakan sebelumnya.
[Nailul Authar 1/157-161 (1/425-434)]
Imam Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm :
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 26]
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
وفي قول لا ينقض النوم على هيئة من هيئآت الصلاة وإن لم يكن في صلاة وفي قول لا ينقض في الصلاة كيف كان وفي قول لا ينقض النوم قائما وفي قول ينقض وإن كان ممكنا مقعده وهذه أقوال شاذة قلت لا فرق عندنا بين قليل النوم وكثيره ولو نام محتبيا فثلاثة أوجه أصحها لا ينتقض
قال الشافعي والأصحاب يستحب الوضوء من النوم ممكنا للخروج من الخلاف والله أعلم
Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i, tidur dalam satu posisi dari berbagai posisi shalat tidak membatalkan wudhu meskipun si empunya tidak shalat. Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i yang lain, tidur dalam shalat tidak membatalkan wudhu walau bagaimanapun adanya. Menurut satu pendapat dari Imam Syafi’i yang lain, tiduedengan berdiri tidak membatalkan wudhu. Dan menurut satu Qaul, wudhu seseorang menjadi batal meskipun tempat duduknya tetap pada posisinya. Dan ini adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang aneh.
Saya katakana, “Menurut kami tidak ada bedanya antara tidur lama dengan sbentar. Seandainya seseorang tidur dalam keadaan duduk dengan dua pantatnya sementara dua betis dalam keadaan berdiri dan dua paha ditempelkan dengan perut, maka disini terdapat tiga pendapat pengikut madzhab Syafi’i. Menurut pendapat yang paling ashah bahwa tidur seperti itu ridak membatalkan wudhu.
Imam Syafi’i dan para pengikut madzhab Syafi’I mengatakan, “Hukum orang melakukan wudhu dari tidur yang keadaan pantatnya standar adalah sunnah demi keluar dari perbedaan pendapat. Wallahu a’lam”
[Raudhatuth Thalibin 1/58 (1/240)].
Kesimpulan :
Dari berbagai pendapat ulama diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidur banyak membatalkan wudhu dalam bentuk apapun, dan tidur sedikit tidak membatalkannya.
2. Tidur seperti gerakan dari gerakan-gerakan shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan duduk, maka itu semua tidak membatalkan wudhu baik dalam keadaan shalat atau tidak.
3. Tidur di dalam shalat itu tidak membatalkan wudhu dalam bentuk dan gerakan apapun.
4. Jika seseorang tidur menetap pada tempat duduknya di atas tanah maka tidak membatalkan wudhu baik tidur sedikit atau banyak, dan baik di dalam shalat atau diluar shalat.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...
-
MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUDHU Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sha...
-
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU? Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalia...
-
TALKIN (Sebelum Meninggal) Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ و...