Selasa, 15 Februari 2011

TEMPAT IMAM LEBIH TINGGI

TEMPAT IMAM LEBIH TINGGI
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Para Ulama berbeda pendapat tentang Bolehkan menempati tempat imam lebih tinggi dari pada makmum. Ada yang berpendapat boleh, ada yang berpendapat tidak boleh. Ada pula yang berbeda pendapat boleh kalau ada alasan untuk memberi pelaharan kepada makmum.

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
يكره أن يقف الإمام أعلى من المأموم, فعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِي قَالَ نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يَقُوْمَ اْلإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ
وعَنْ هَمَّامٍ أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتَنِي. روه أبو داود واشافعى والبيهقى وصححه الحاكم وابن خزيمة وابن حبان.
فإن كان للإمام غرض من ارتفاعه على المأموم فإنه لا كراهة حينئذ فعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَلَسَ عَلَى اْلمِنْبَرِ فِى أَوَّلِ يَوْمٍ وُضِعَ فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ اْلقَهْقَرِى فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ مَعَهُ, ثُمَّ عَادَ ثُمَّ فَرَغَ, فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا فعلت هَذَا لِتَأْتَمُّوا بى وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي. رواه أحمد والبخارى ومسلم.
وأما ارتفاع المأموم على الإمام فجائز. لما رواه سعيد بن منصور واشافعى والبيهقى وذكره البخارى تعليقا عن أبى هريرة أنه صلى على ظهر المسجد بصلاة الإمام. وعَنْ أنس ‏(‏أنه كان يجمع في دار أبي نافع عن يمين المسجد في غرفة قدر قامة منها لها باب مشرف على المسجد بالبصرة فكان أنس يجمع فيه ويأتم بالإمام, وسكت عليه الصحابة. رواه سعيد بن منصور فى سننه.
Seorang imam dimakruhkan berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari,
“Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam melarang seorang imam itu berdiri di atas sesuatu, sedangkan makmum berada di bawahnya atau lebih rendah darinya” (HR. Daruquthni, tetapi tidak disebutkan oleh Al-Hafidz dalam kitab At-Talkhis).
Diriwayatkan dari Hammam bin Harits,
”Sesungguhnya Hudzaifah mengimami orang-orang di Madain di atas dukan (tempat yang tinggi) Lalu Abu Mas’ud memegang gamisnya dan menariknya, ketika selesai salat ia berkata: Tidakkah kamu tahu bahwa sesungguhnya mereka (para sahabat) melarang dari hal itu. Dia menjawab: tentu saja saya tahu, sungguh saya ingat ketika kamu menarikku”. (HR Abu Daud, Syafi’i, Baihaqi, dan disahkan oleh Hakim, Imam Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)
Akan tetapi kalau meninggikan tempat itu memiliki sesuatu maksud, tidaklah dimakruhkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi,
”Aku pernah melihat Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam duduk di atas mimbar pada siang hari lalu takbir di atasnya kemudian ruku’ kemudian turun (dari mimbar) dengan mundur lalu sujud dan orang-orang sujud mengikuti beliau, lalu mengulanginya sampai selesai, ketika selesai salat beliau bersabda: Wahai orang-orang! Sesungguhnya saya melakukan ini agar kamu dapat mengikutiku dan mempelajari salatku. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Adapun tingginya tempat makmum melebihi imam, maka hal itu dibolehkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Syafi’i, Baihaqi, dan disebutkan pula oleh Bukhari sebagai keterangan dari Abu Hurairah bahwa ia pernah mengerjakan shalat di sebelah atas masjid dengan mengikuti seorang imam.
Diriwayatkan pula dari Anas bahwa ia pernah mengerjakan shalat dalam sebuah kamar di rumah milik Abu Nafi’ yang terletak di sebelah kanan masjid. Tempatnya agak tinggi, dan kamar itu mempunyai sebuah pintu yang menghadap ke masjid. Dari tempat itulah, ia mengikuti shalat imam. Hal ini didiamkan saja oleh para sahabat. (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunannya).
[Fiqih Sunnah 1, hal. 171/354].

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Kesimpulandari dalil-dalil tadi, adalah dilarangnya imam berada di tempat yang lebih tinggi dari pada makmum, baik itu di masjid ataupun lainnya, yang sejajar dengan tingginya masjid, di bawahnya atau di atasnya.
Adapun shalatnya Nabi di atas mimbar, ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah untuk mengajarkan sebagaimana yang dinyatakan oleh sabda beliau, ”dan mempelajari shalatku”, dapat dipahami dari ini, bahwa imam boleh berdiri di tempat yang lebih tinggi daripada makmum bila bermaksud mengajari mereka.
[Nailul Authar 1, hal. 745].

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
وأختار للامام الذي يعلم من خلفه أن يصلى على الشيء المرتفع ليراه من وراءه فيقتدون بركوعه وسجوده
وإن كان الإمام قد علم الناس مرة أحببت أن يصلى مستويا مع المأمومين
ولو كان أرفع منهم أو أخفض لم تفسد صلاته
ولا بأس أن يصلى المأموم من فوق المسجد بصلاة الإمام في المسجد إذا كان يسمع صوته أو يرى بعض من خلفه
Saya memilih agar imam mengajari para makmum mengenai cara mengerjakan shalat di tempat yang agak tinggi, agar ia dapat dilihat oleh makmum yang ada di belakangnya, kemudian mereka mengikuti ruku’ dan sujudnya.
Apabila imam telah mengajarkan manusia, maka saya menyukai jika ia mengerjakan shalat pada tempat yang rata bersama para makmum. Namun apabila tempat imam lebih tinggi atau lebih rendah dari makmum, maka hal itu tidak membatalkan shalat imam dan makmum.
Tidak mengapa makmum mengerjakan shalat di atas masjid (lantai satu dan seterusnya) dan imam shalat di dalam masjid, apabila ia dapat mendengar suaranya atau melihat sebagian orang yang ada di belakang imam.
[Al-Umm 1, 251; Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 243].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وأما موضع الإمام فإن قوما أجازوا أن يكون أرفع من موضع المأمومين، وقوم منعوا ذلك، وقوم استحبوا من ذلك اليسير، وهو مذهب مالك
Tempat imam, menurut sebagian fuqaha berada di tempat yang lebih tinggi dari pada tempat makmum. Tetapi sebagian fuqaha melarang. Sedang Malik menganjurkan agar tempat imam lebih tinggi sedikit dibanding makmum.
[Bidayatul Mujtahid 1, 105/330].

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
1. Makruh imam menempati tempat yang lebih tinggi dari pada makmum jika tidak ada keperluan.
2. Jika imam mau mengajarkan makmum tentang shalat, dibolehkan imam menempari tempat yang tinggi dari pada makmum.
3. Tempat makmum boleh lebih tinggi dari imam.
Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Ebook.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Ebook.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.

*Slawi, Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...