IMAM MERINGANKAN SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam.
Shalat jamaah adalah ibadah yang sangat utama. Karena begitu besar keutamaan shalat jamaah, maka bagi orang yang mendapati shalat jamaah di masjid dianjurkan untuk mengikuti shalat jamaah meskipun dia sudah melakukan shalat sebelumnya. Meskipun demikian seorang Imam shalat jama’ah harus bijaksana untuk tidak memanjangkan bacaan shalatnya, karena diantara makmumnya mungkin ada yang mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak.
Hadits-hadits dalam kitab Al-Muntaqa :
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda
إذَا صَلَّى أحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ الضَّعِيْفَ وَالسَّقِيْمَ وَالْكَبِيْرَ فإذا صلى لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
,“Jika salah seorang diantara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankan (shalat) karena diantara mereka terdapat orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang sudah lanjut usia. Tapi jika ia shalat sendirian maka ia boleh memanjangkan sekehendaknya” (HR, Jamaah kecuali Ibnu Majah).
Dari Anas, dia berkata,
كان النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم يُؤْخِرُ الصَّلَاةَ وَيُكَمِّلُهَا. وفي رواية: مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ إِمَامٍ قَطٌّ أَخَفَّ صَلَاةً وَلَا أَتَمَّ صَلَاةً مِنَ النبي صلى اللَّه عليه وسلم
Bahwasanya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mempersingkat (memperingan) shalat dan menyempurnakannya”
Dalam riwayat lain, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada shalatnya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam” (Muttafaq ‘alaih).
Dari Anas, Dari Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabdal
عَنِ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: إني لَأَدْخُلُ في الصلاةِ وأنا أُرِيْدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ في صلاتي مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ
”Sungguh aku memasuki shalat dan ingin menyempurnakannya, kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku percepat karena aku mengetahui perasaan ibunya yang sangat pilu karena tangisannya,” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud dan An-Nasa’i)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
وأحاديث الباب تدل على مشروعية التخفيف للأئمة وترك التطويل للعلل المذكورة من الضعف والسقم والكبر والحاجة واشتغال خاطر أم الصبي ببكائه ويلحق بها ما كان فيه معناها.
قال أبو عمر ابن عبد البر: التخفيف لكل إمام أمر مجمع عليه مندوب عند العلماء إليه إلا أن ذلك إنما هو أقل الكمال. وأما الحذف والنقصان فلا لأن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم قد نهى عن نقر الغراب ورأى رجلًا يصلي فلم يتم ركوعه فقال له: ارجع فصل فإنك لم تصل وقال: لا ينظر اللَّه إلى من لا يقيم صلبه في ركوعه وسجوده
Hadits-hadits di atas menunjukkan disyariatkannya meringankan shalat bagi imam dan tidak memperpanjangnya karena alasan-alasan tersebut, yaitu adanya orang yang lemah, orang yang sakit, orang yang sudah lanjut usia, orang yang mempunyai keperluan mendesak, gangguan konsentrasi seorang ibu karena tangisan anaknya dan hal-hal lain yang semakna.
Abu Umar bin Abdil Barr mengatakan : Meringankan shalat bagi setiap imam adalah perkara yang telah disepakati, dan hukumnya sunnah menurut para ulama. Hanya saja dalam hal ini, batasannya adalah batas minimal kesempurnaan. Adapun menghilangkan atau mengurangi, maka tidak termasuk katagori meringankan, karena Raulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam melarang shalat seperti mematuknya burung gagak, yaitu ketika beliau melihat seorang laki-laki yang shalat dengan tidak menyempurnakan rukunya, beliau berkata kepadanya, ”Kembalilah dan shalat lagi, karena sesungguhnya engkau belum shalat”. Beliau juga telah bersabda, ”Allah tidak akan memandang kepada orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya di dalam ruku dan sujudnya”
[Nailul Authar 1, hal. 728].
Dari Jabir radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:
صَلىَّ مُعَاذٌ بِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ: أَتُرِيْدُ أَنْ تَكُونَ يَا مُعَاذُ فَتَّانًا؟ إِذَا أَمَّمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَ سَبِحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَ اقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ وَ وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
“Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi wa dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra` bismi rabbika, atau Wal-laili idza yaghsya’.” (HR. Muslim 465, Bukhari 705)
[Bulughul Maram, hadits 269]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والحديث دليل على صحة صلاة المفترض خلف المتنفل فإن معاذاً كان يصلي فريضة العشاء معه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم ثم يذهب إلى أصحابه فيصليها بهم نفلاً. وقد أخرج عبد الرزاق والشافعي والطحاوي من حديث جابر بسند صحيح وفيه "هي له تطوع"
والحديث أفاد أنه يخفف الإمام في قراءته وصلاته وقد عين صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم مقدار القراءة ويأتي حديث "إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف
Hadits ini menjadi dalil sahnya shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah. Sesungguhnya Muadz shalat Isya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian setelah selesai ia pergi menjumpai sahabat-sahabatnya dan dhalat –fardhu- bersama mereka, sedang shalat yang ia lakukan dianggap sunnah, karena ia telah shalat fardhu bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abdurrazaq, Asy-Syafi’i dan Ath-Thahawi mengeluarkan hadits jabir dengan sanad yang sahih dengan lafadz, “Dan shalat itu menjadi sunnah baginya”
Hadits ini memberikan faedah bahwa seorang imam harus meringankan bacaannya dalam shalatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan ukuran bacaan.
[Subulussalam 1, hal. 634; lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 230].
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ اَلنَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ اَلصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا اَلْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
"Apabila seorang di antara kamu mengimami orang-orang maka hendaknya ia memperpendek sholatnya, karena sesungguhnya di antara mereka ada yang kecil, besar, lemah, dan yang mempunyai keperluan. Bila is sholat sendiri, maka ia boleh sholat sekehendaknya." Muttafaq Alaihi.
[Bulughul Maram, hadits 271]
Imam Ash-Shan’ani berkata :
وفيه دليل على جواز تطويل المنفرد للصلاة في جميع أركانها ولو خشي خروج الوقت، وصححه بعض الشافعية، ولكنه معارض بحديث أبي قتادة "إنما التفريط أن تؤخر الصلاة حتى يدخل وقت الأخرى"
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya orang yang shalat sendiri memanjangkan shalat di setiap rukunnya, walaupun ia khawatir akan keluar dari waktunya. Pendapat ini didukung oleh sebagian Asy-Syafi’iyah, tetapi ini bertentangan dengan hadits Abu Qatadah, “Sesungguhnya termasuk sikap yang berlebihan adalah mengahirkan shalat sampai masuk waktu shalat yang lain” (HR. Muslim 681).
[Subulussalam 1, hal. 638].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
قال أبو عمر بن عبد البر : التحفيف لكل إمام أمر مجمع عليه مندوت عند العلماء إليه إلا أن ذلك إنما هو أقل الكمال . وأما الحذ ف والنقصان فلا, فإن رسول الله صلى اللَّه عليه وآله وسلم قد نهى عن نقر الغراب. ورأى رجلا يصلى فلم يتم ركوعه فقال له : "إرجع فصل فإنك لم تصل" وقال : "لا ينظر الله إلى من لا يقيم صلبه فى ركوعه وسجوده". ثم قال : لا أعلم خلافا بين أهل العلم فى استحباب التحفيف لكل من أم قوما على ماشرطنا من الإتمام, فقد روي عمر أنه قال : لا تبغضوا الله إلى عباده, يطول أحدكم فى صلاته حتى يشق على من خلفه
Umar bin Abdul Bar mengatakan, ”Meringankan shalat bagi seorang imam merupakan persoalan yang telah disepakati para ulama, bahkan disunnahkan, tetapi dengan syarat bahwa imam tidak mengurangi atau membuang kesempurnaan yang minimal dalam shalat. Jika imam sampai mengurangi kesempurnaan minimal shalat, perkara semacam ini tidak boleh dilakukan sebab Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam melarang mengerjakan shalat seperti seekor burung gagak terhadap makanannya. Hal ini pernah terjadi ketika beliau melihat seseorang mengerjakan shalat dengan ruku yang tidak sempurna. Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Ulangilah shalatmu itu! Sebab dengan cara seperti itu, sebenarnya engkau belum shalat,” Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda lagi, ”Allah tidak akan peduli terhadap shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang rusuknya pada saat ruku’ atau sujud”.
Aku belum pernah mendengar pendapat yang menegaskan bahwa ada seorang ulama yang memperselisihkan masalah hukum sunnah meringankan shalat bagi seorang imam, tetapi dengan syarat kesempurnaan minimal pelaksanaan shalat tetap dijaga dan dipelihara”
Diriwayatkan pula dari Umar, ”Janganlah kamu melakukan perbuatan yang menyebabkan Allah benci terhadap hambaNya, yaitu dengan memanjangkan shalat sehingga terasa berat bagi para makmum di belakang”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 340].
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
وكره له تطويل، وإن قصد لحوق آخرين. ولو رأى مصل نحو حريق خفف، وهل يلزم أم لا ؟ وجهان، والذي يتجه أنه يلزمه لانقاذ حيوان محترم، ويجوز له لانقاذ نحو مال كذلك،
Imam dimakruhkan melamakan shalatnya, walaupun dengan maksud agar jamaah yang lain dapat menyamainya. Apabila seseorang yang shalat melihat kebakaran, maka ringkaskanlah shalatnya. Apakah meringankan itu wajib atau tidak? Hukumnya ada dua jalan. Adapun yang berlaku adalah wajib meringankannya untuk menyelamatkan hewan yang dimuliakan (oleh syara’). Boleh juga meringankan shalat untuk menyelamatkan harta benda (menjaga kerusakan).
ومن رأى حيوانا محترما يقصده ظالم أو يغرق لزمه تخليصه وتأخير صلاة، أو إبطالها إن كان فيها، أو مالا جاز له ذلك. وكره له تركه. وكره ابتداء نفل بعد شروع المقيم في الاقامة، ولو بغير إذن الامام، فإن كان فيه أتمه، إن لم يخش بإتمامه فوت جماعة، وإلا قطعه ندبا ودخل فيها، ما لم يرج جماعة أخرى
Barangsiapa yang melihat hewan yang dimuliakan akan disakiti atau diambil oleh orang zalim (pencuri dan sebagainya), atau tenggelam, maka wajib menyelamatkannya dan mengakhiri shalat atau membatalkan shalatnya, kalau ia sedang shalat. Atau melihat harta (yang akan dirusak atau dicuri dan sebagainya) maka orang itu boleh menyelamatkannya dengan cara yang tersebut tadi, dan makruh bagi yang melihat kejadian itu bila tidak berusaha menyelamatkannya.
[Fathul Mu’in 1, hal/ 372].
Wallahu a’lam
Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i , Sinar Baru Algesindo, 2006.
*Slawi, Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...
-
MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUDHU Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sha...
-
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU? Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalia...
-
TALKIN (Sebelum Meninggal) Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ و...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar