Jumat, 25 Februari 2011

MENGQASHAR SHALAT (MERINGKAS SHALAT

MENGQASHAR SHALAT (MERINGKAS SHALAT)
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com


Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
صلاة المسافر كغيره إلا أن له الترخص بالقصر والجمع فالقصر جائز بالاجماع
والسبب المجوز له السفر الطويل المباح فأما السفر القصير فلا بد فيه من ربط القصد بمقصد معلوم فلا رخصة لهائم لا يدري أين يتوجه وإن طال سفره
Shalat bagi orang yang bepergian (musafir) seperti shalat biasanya, hanya saja ada keringanan (rukhsah) baginya untuk mengqahar dan menjama’. Qashar hukumnya diperbolehkan berdasarkan ijma’ ulama. Adapun sebab diperbolehkannya shalat Qashar adalah bepergian jarak jauh. Sedangkan untuk bepergian jarak dekat, maka harus disertai tujuan yang jelas. Bagi orang yang bepergian tanpa tujuan yang jelas, maka tidak ada keringanan sekalipun jaraknya jauh.
[Raudhatuth Thalibin 2/16(1/ 781)].

Hukum Shalat Qashar
Ibnu Ruysd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
فأما حكم القصر فإنهم اختلفوا فيه على أربعة أقوال: فمنهم من رأى أن القصر هو فرض المسافر المتعين عليه. ومنهم من رأى أن القصر والإتمام كلاهما فرض مخير له كالخيار في واجب الكفارة. ومنهم من رأى أن القصر سنة. ومنهم من رأى أنه رخصة وأن الإتمام أفضل، وبالقول الأول قال أبو حنيفة وأصحابه والكوفيون بأسرهم: أعني أنه فرض متعين، وبالثاني قال بعض أصحاب الشافعي وبالثالث "أعني أنه سنة" قال مالك في أشهر الروايات عنه. وبالرابع "أعني أنه رخصة" قال الشافعي في أشهر الروايات عنه، وهو المنصور عند أصحابه
Ada empat pendapat tentang hukum Qashar.
1. Pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah bahwa hukumnya fardhu ’ain.
2. Pendapat sebagian pengikut Syafi’i boleh dipilih antara qashar dengan tidak, nilainya sama.
3. Pendapat Malik hukumnya sunnat.
4. Pendapat Syafi’i bahwa qashar itu sebagai dispensasi, dan tanpa qashar adalah lebih utama.
Bidayatul Mujtahid 1/119(1/373)].

Dasar Hukum
Firman Allah Ta’ala dalam QS. An-Nisa 4 : 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوّاً مُّبِيناً
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Dari Ya'la bin Umayah,
Aku bertanya kepada Umar Ibnul Khattab, "Baigaimanakah pendapatmu tentang mengqosor shalat?, sedang Allah berfirman, '….kalau kamu khawatir diganggu orang-orang kafir…' Umar menjawab,
عَجبْتُ مِمَّا عَجبْتَ مِنْهُ فذكرْتُ ذلِكَ لِرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال : صَدَقة تصَدَّقَ اللهُ بهَا عَليْكمْ فاقبَلوْا صَدَقتهُ
"Hal yang engkau kemukakan itu juga menjadi pertanyaan bagi aku sehingga aku sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sabda beliau, 'Itu merupakan sedekah yang diberikan Allah kepadamu semua. Karena itu, terimalah sedekahNya itu!' (HR.Jama'ah)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 427]

'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata:
"أول ما فُرضَت الصلاةُ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّت صَلاةُ السّفَر وَأُتِمّتْ صَلاةُ الحضَر" مُتّفَقٌ عَلَيه، وللبُخاريِّ "ثم هَاجَرَ فَفُرضَتْ أرْبعاً وأُقِرّت صَلاةُ السّفَر على الأوّل"
زَادَ أَحْمَدُ "إلَّا المغْربَ فإنّها وتْرُ النّهار، وَإلَّا الصُّبْحَ فإنّها تطَوَّلُ فِيها القِراءَةُ".
Sholat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai sholat dalam perjalanan, dan sholat di tempat disempurnakan (ditambah). Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Bukhari: Kemudian beliau hijrah, lalu diwajibkan sholat empat rakaat, dan sholat dalam perjalanan ditetapkan seperti semula.
Ahmad menambahkan: Kecuali Maghrib karena ia pengganjil sholat siang dan Shubuh karena bacaannya dipanjangkan.

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
في هذا الحديث دليل على وجوب القصر في السفر لأن "فرضت" بمعنى وجبت، ووجوبه مذهب الهادوية والحنفية وغيرهم.
وقال الشافعي وجماعة: إنه رخصة والتمام أفضل وقالوا: فرضت بمعنى قدرت أو فرضت لمن أراد القصر. واستدلوا بقوله تعالى: {فليسَ عليكمْ جناحٌ أن تقصروا من الصلاة}. وبأنه سافر أصحاب رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم معه فمنهم من يقصر ومنهم من يتم ولا يعيب بعضهم على بعض، وبأن عثمان كان يتم، وكذلك عائشة أخرج ذلك مسلم.
وردَّ بأن هذه أفعال صحابة لا حجة فيها، وبأنه أخرج الطبراني في الصغير من حديث ابن عمر موقوفاً "صلاة السفر ركعتان نزلتا من السماء فإن شئتم فردوهما" قال الهيثمي: رجاله موثوقون، وهو توقيف إذ لا مسرح فيه للاجتهاد، وأخرج أيضاً عنه في الكبير برجال الصحيح "صلاة السفر ركعتان من خالف السنة كفر".
وفي قوله "السنة" دليل على رفعه كما هو معروف، قال ابن القيم في الهدى النبوي: كان يقصر صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم الرباعية فيصليها ركعتين من حين يخرج مسافراً إلى أن يرجع إلى المدينة ولم يثبت عنه أنه أتم الرباعية في السفر البتة.
وفي قولها "إلا المغرب" دلالة على أن شرعيتها في الأصل ثلاثاً لم تتغير.
وقولها "إنها وتر النهار" أي صلاة النهار كانت شفعاً والمغرب آخرها لوقوعها في آخر جزء من النهار فهي وتر صلاة النهار، كما أنه شرع الوتر لصلاة الليل، والوتر محبوب إلى الله تعالى كما تقدم في الحديث "إن الله وتر يحب الوتر".
وقولها: "إلا الصبح فإنها تطوَّل فيها القراءة". تريد أن لا يقصر في صلاتها، فإنها ركعتان حضراً وسفراً، لأنه شرع فيها تطويل القراءة ولذلك عبر عنها في الآية بقرآن الفجر لما كانت معظم أركانها لطولها فيها فعبر عنها بها من إطلاق الجزء الأعظم على الكل.
Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya mengqshae di dalam perjalanan karena kata furidhat semakna dengan ujibat. Kewajban mengqashae shalat ini adalah madzhab Al-Hadawiyah, Al-Hanafiah dan selain mereka. Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat sesungguhnya mengqashar itu adalah rukhsah (keringanan) dan menyempurnakan lebih utama. Mereka berkata, “Fueidhat dimaknai dengan qaddirat yaitu difardhukan bagi yang menginginkan qashar.” Mereka berdalilkan pada firman Allah Ta’ala :
“Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu)”…(QS. An-Nisa 4 : 101].
Dan sesungguhnya shahabat-shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melakukan perjalanan bersama beliau. Diantara mereka ada yang mengqashar dan ada pula yang menyempurnakannya. Dan mereka tidak mencaci sebagian yang lain. Sesungguhnya Utsman RA adalah orang yang menyempurnakan shalat. Begitu pula Aisyah RA. Riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim. (HR. Muslim 685)
Pendapat ini ditolak, karena hal itu merupakan perbuatan shabat yang tidak dapat dijadikan hujjah. Telah dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shaghir dari hadits Ibnu Umar secara mauquf, “Shalat dalam perjalanan itu dua rekaat yang diturunkan dari langit, jika kalian mau maka tolaklah keduanya,”. Al-Haitsami berkata, “Rijall hadits ini semuanya tsiqoh dan hadits ini hadits mauquf, karenanya tidak ada tempat untuk berijtihad di dalamnya”. Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dengan rijal yang sahih, “Shalat dalam perjalanan itu dua rekaat, barangsiapa yang menentang sunnah maka ia kafir,” Di dalam sabda beliau “As-Sunnah” menunjukkan bahwa hadits itu marfu’ sebagaimana yang diketahui.
Ibnul Qayyim juga berkata dalam Al-Hadyu An-Nabawi, “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengqashar shalat yang empat rekaat, beliau melakukannya dengan dua rekaat ketika akan keluar dalam perjalanan sampai beliau kembali ke Madinah dan tidak pernah ada riwayat yang tetap bahwa beliau menyempurnakan shalat empat rekaat dalam perjalanan sama sekali”
Dan di dalam ucapan Aisyah ‘kecuali maghrib’ menunjukkan disyariatkannya Maghrib pada asalnya tiga rekaat dan tidak beubah. Dan ucapannya, “Sesungguhnya ia adalah witir siang hari” menunjukkan bahwa shalat siang itu dilakukan dengan genap, dan maghrib adalah shalat yang paling akhir karena ia terletak di penghujung siang. Maka ia menjadi shalat witir di shalat siang. Sebagaimana disyariatkannya shalat witir untuk shalat malam dan witir itu dicintai Allah sebagaimana yang telah lalu di dalam hadits, “Sesungguhnya Allah itu witir, menyukai yang witir,”.
Ucapannya ‘kecuali shubuh” karena sesungguhnya shalat shubuh dipanjangkan bacaannya. Ia menginginkan bahwa pada asalnya shalat shubuh itu dua rekaat. Ia tidak berubah baik dalam waktu hadir maupun dalam perjalanan karena disyariatkan di dalamnya memanjangkan bacaan, karenanya al-Quran mengungkapkannya dalam ayat,
“Dan dirikanlah pula shalat shubuh” (QS. Al-Israa 17 : 78)
Jadikanlah bacaan menjadi rukunnya yang terbesar karena panjangnya bacaan tersebut dalam shalat shubuh, maka jadikanlah itu cirri khasnya untuk mengungkapkan bagian yang paling besar dari keseluruhan.
[Subulussalam 1/110 (1/ 669)]

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha,
"أَنَّ النّبيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم كانَ يَقْصُر في السّفَر وَيُتمُّ وَيّصُوم وَيفْطِرُ" رَوَاهُ الدَّارَقُطْنيُّ ورُوَاتُهُ ثِقاتٌ إلَّا أنّهُ مَعْلُولٌ، وَالمحْفُوظُ عَنْ عَائشةَ مِنْ فِعْلِهَا، وَقالَتْ: "إنّهُ لا يَشُقُّ عليَّ" أَخْرَجَهُ البَيْهَقِيُّ
“Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adakalanya mengqashar sholat dalam perjalanan dan adakalanya tidak, kadangkala puasa dan kadangkala tidak”. Riwayat Daruquthni. Para perawinya dapat dipercaya, hanya saja hadits ini ma'lul. Adapun yang mahfudh dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha adalah dari perbuatannya, dan dia berkata: Sesungguhnya hal itu tidak berat bagiku.

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
هذا وحديث الباب قد اختلف في اتصاله فإنه من رواية عبد الرحمن بن الأسود عن عائشة قال الدارقطني: إنه أدرك عائشة وهو مراهق قال المصنف رحمه الله: هو كما قال ففي تاريخ البخاري وغيره ما يشهد لذلك، وقال أبو حاتم: أدخل عليها وهو صغير ولم يسمع منها وادعى ابن أبي شيبة والطحاوي ثبوت سماعه منها
وقال ابن القيم بعد روايته لحديث عائشة هذا ما لفظه: وسمعت شيخ الإسلام يقول: هذا كذب على رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أهـ. يريد رواية يَقْصر ويُتم بالمثناة التحتية وجعل ذلك من فعله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم فإنه ثبت عنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم بأنه لم يُتم رباعية في سفر ولا صام فيه فرضاً
Hadits bab ini telah diperselisihkan kemaudguannya, karena hadits ini dari riwayat Abdurrahman bin Al-Aswad dari Aisyah. Ad-Daruquthni berkata, “Abdurrahman berjumpa dengan Aisyah, sedang ia baru berusia menjelang remaja. Pengarang mengatakan, “Dia sebagaimana yang diketahui dalam Tarikh Al-Bukhari dan lainnya menyaksikan hal demikian. Abu Hatim berkata, “Ia masuk menjumpai Aisyah sedang ia masih kecil, ia tidak mendengar darinya, “Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thahawy mengaku bahwa betul ia mendengar dari Aisyah.
Ibnul Qayyim berkata, -setelah meriwayatkan hadits ini lafadz- “Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ia berkata, “Ini adalah kebohongan atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau menginginkan riwayat “mengqashar di perjalanan dan menyempurnakan”, dan menjadikan hal ini perbuatan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Sesungguhnya telah tetap dari beliau, bahwa beliau tidak pernah menyempurnakan shalat empat rekaat di dalam perjalanan dan tidak pula berpuasa wajib.
Kami telah mendalami masalah ini dalam pembahasannya pada sebuah risalah tersendiri dan kami telah memilih untuk masalah ini bahwa qashar shalat adalah rukhsah (keringanan) bukan azimah (hokum asal).
[Subulussalam 1/111 (1/ 671)]

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu , dia berkata,
قالَ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إنَّ الله يُحِبُّ أنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كما يكرَهُ أن تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ" رواهُ أَحمدُ وَصَحّحَهُ ابْنُ خُزيْمَةَ وابْنُ حِبّان، وفي روايةٍ "كما يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah suka bila rukhshoh (keringanan)-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci bila maksiatnya dilaksanakan." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Dalam suatu riwayat: "Sebagaimana Dia suka bila perintah-perintah-Nya yang keras dilakukan."

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
فسرت محبة الله برضاه وكراهتُه بخلافها.وعند أهل الأصول أن الرخصة ما شرع من الأحكام لعذر والعزيمة مقابلها، والمراد بها هنا ما سهله لعباده ووسعه عند الشدة من ترك بعض الواجبات وإباحة بعض المحرمات...
والحديث دليل على أن فعل الرخصة أفضل من فعل العزيمة، كذا قيل وليس فيه على ذلك دليل، بل يدل على مساواتها للعزيمة، والحديث يوافق قوله تعالى: يريدُ اللهُ بكمْ اليسرَ ولا يريدُ بكمْ العُسرَ
Mahabbatullah ditafsirkan dengan ridhoNya, dan kebenciannya ditafsirkn dengan menentang ridhoNya. Menurut ahli ushul, yang dimaksud dengan rukhsah adalah sesuatu yang disyariatkan dari hokum-hukum karena udzur tertentu sedangkan azimah adalah lawan katanya.
Sedangkan yang dimaksud rukhsah dalam hadits ini adalah apa yang dimudahkan Allah bagi hambaNya dan diluaskan dari masa-masa yang sulit dari meninggalkan sebagian kewjiban dan membolehkan sebagian yang diharamkan. Hadits ini menunjukkan bahwa sesungguhnya rukhsah adalah lebih utama daripada azimah. Demikian dikatakan dan tidak ada dalil tentang hal itu. Bahkan yang dimaksud hadits ini adalah samanya antara rukhsah dan azimah. Hadits ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah 2 : 185].
[Subulussalam 1/111 (1/ 671)]

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata :
وأحب أن يفعل قصر الصلاة في الخوف والسفر وفي السفر بلا خوف ومن أتم الصلاة فيهما لم تفسد عليه صلاته جلس في مثنى قدر التشهد أو لم يجلس وأكره ترك القصر وأنهى عنه إذا كان رغبة عن السنة
Yang lebih saya sukai adalah, hendaknya meringkas shalat dilakukan ketika dalam keadaan takut dari bahaya serta dalam perjalanan. Jika dalam perjalanan tidak ada rasa takut akan bahaya, namun ia menyempurnakan (tidak meringkas) salatnya, maka tidaklah hal itu merusak shalatnya. Namun saya memandang makruh meninggalkan meringkas shalat, karena itu termasuk perbuatan membenci sunnah.
[Al-Umm, 1/263; Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 253]

Syarat-syarat Salat Qasar menurut Zainuddin Al-Malibari :
1. Berniat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Tidak bermakmum walaupun sebentar kepada seseorang yang salat secara sempurna, walaupun dia seorang musafir.
3. Memelihara diri dari hal-hal yang membatalkan niat qasar selama salat.
4. Selama salat dalam perjalanan.
[Fat-hul Mu’in 1, hal. 480]

Jarak yang Diperbolehkan Mengqashar
Sayyid Sabiq berkata :
Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bin Yazid, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat, ia menjawab:
كانَ رَسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إذا خرجَ مَسيرةَ ثَلاثَةِ أَمْيالٍ أَوْ فَرَاسِخَ صَلّى رَكْعَتَيْنِ

Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila keluar bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau sholat dua rakaat. Riwayat Muslim.
Sayyid Sabiq berkata : Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fat-hul Barri, "Inilah hadits yang paling sahih dan paling tegas menjelaskan tentang perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat"

Dari Sa'id Al-Khudri, dia berkata,
كانَ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذا سَافرَ فرَسَخًا يُقصِرُ الصَّلاة
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bepergian sejauh satu farsakh, beliau mengqashar shalat. (HR.Said bin Mansyur)
Sebagaimana yang telah diketahui, satu farsakh itu sama dengan tiga mil. Satu farsakh ialah 5.541 meter, sedangkan 1 mil 1.748 meter.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 429].

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
قيل في حد الميل هو أن ينظر إلى الشخص في أرض مستوية فلا يدرك أهو رجل أم امرأة أو غير ذلك وقال النووي: هو ستة آلاف ذراع، والذراع أربعة وعشرون أصبعاً معترضة متعادلة، والأصبع ست شعيرات معترضة متعادلة
وأما الفرسخ فهو ثلاثة أميال وهو فارسي معرب.
واعلم أنه قد اختلف العلماء في المسافة التي تقصر فيها الصلاة على نحو عشرين قولاً ــــ حكاها ابن المنذر ــــ
والأقوال متعارضة كما سمعت والأدلة متقاومة قال في زاد المعاد: ولم يحدّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لأمته مسافة محددة للقصر والفطر بل أطلق لهم ذلك في مطلق السفر والضرب في الأرض كما أطلق لهم التيمم في كل سفر؛ وأما ما يروى عنه من التحديد باليوم واليومين والثلاثة فلم يصح منها شيء البتة والله أعلم، وجواز القصر والجمع في طويل السفر وقصيره مذهب كثير من السلف
Dikatakan batasan mil yaitu sejauh pandangan mta seseorang di alam terbuka, ia tidak mengetahui apakah yang dilihatnya perempuan atau laki-laki atau selainnya. An-Nawawi berkata, “Satu mil sama dengan enam puluh ribu hasta dan satu hasta itu sama dengan dua puluh empat jari yang besar dan seimbang dan satu jari itu sama dengan enam biji gandum biasa yang dihamparkan”
Adapun farsakh sama dengan tiga mil. Ini merupakan bahasa Arab serapan dari bahasa Persia.
Ketahuilah, sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat tentang jarak yang diperbolehkan mengqashar shalat mencapai dua puluh pendapat.
Berkata Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Mad, “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah membatasi jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka, tetapi beliau memutlakkan kepada mereka yang demikian dengan kemutlakkan perjalanan di bumi sebagaimana beliau memutlakkan bagi mereka bertayamum pada setiap perjalanan. Adapun riwayat-riwayat yang disandarkan kepada beliau tentang pembatasan dengan sehari, dua hari atau tiga hari maka tidak ada yang sah sedikitpun hal itu dari beliau. Wallahu a’lam. Dan kebolehan mengqashar dan menjamak baik dalam perjalanan yang panjang maupun yang pendek, ini adalah madzhab mayoritas ulama salaf.
[Subulussalam 1/111 (1/ 676)]

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata:
وَعَنْهُ قَالَ: { خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَةِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ .
“Pernah kami keluar bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dari Madinah ke Mekkah. Beliau selalu sholat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah”. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وفيه دلالة على أنه لم يتم مع إقامته في مكة، وهو كذلك كما يدل عليه الحديث الآتي:
وفيه دليل على أن نفس الخروج من البلد بنية السفر يقتضي القصر ولو لم يجاوز من البلد ميلاً ولا أقل، وأنه لا يزال يقصر حتى يدخل البلد ولو صلى وبيوتهما بمرأى منه
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau tidak menyempurnakan shalat selama mukim beliau di Makkah, begitu juga Anas.
Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa keluar dari negeri dengan niat perjalanan telah dibolehkan mengqashar, walaupun tidak melampaui satu mil dan tidak juga kurang. Dan sesungguhnya ia tetap mengqashar shalatnya sampai ia masuk ke negerinya, walaupun jika shalat rumahnya tampak dalam pandangannya.
[Subulussalam 1/111 (1/ 676)]

Dari Anas Rhadiallahu ‘anhu, dia berkata :
صَلَّيْتُ الظَّهَرَ مَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا، وَالْعَصْرِ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.
“Aku shalat dhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah empat rekaat dan akupun shalat ashar di Dzil Hulaifah dua rekaat” (HR. Bukhari no. 1039)

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Ucapan perawi (dan akupun shalat ashar di Dzil Hulaifah dua rekaat) : Ini sebagai dalil bolehnya mengqashar di dalam perjalanan yang berjarak pendek, karena jarak antara Madinah dan Dzulhulaifah hanya enam mil. Lain dari itu, Dzulhulaifah bukan merupakan tempat tujuan akhir, karena saat itu perjalanan beliau sedang menuju Mekah, lalu diputuskan untuk singgah di Dzulhulaifah, lalu saat itu tiba waktu Ashar kemudian beliau mengqasharnya. Kemudian beliau terus mengqashar shalat hingga kembali.
[Nailul Authar 2, hal. 7].

Zainudin Al-Malibari berpendapat perjalan yang ditempuh adalah perjalanan sehari semalam dengan jarak 2 marhalah – 16 farsakh x 3 mil x 1,6 km = 76,8 km.
[Fat-hul Mu’in 1, hal. 479]

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata :
Maka menurut pendapat saya, boleh bagi seseorang meringkas shalat bila melakukan perjalanan yang menghabiskan waktu selama dua hari (46 mil = 73,6 km). Dan tidak boleh meringkas salat kurang dari itu.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 256]

Ibnu Rusyd berkata tentang jarak yang diperbolehkan mengqashar :
فذهب مالك والشافعي وأحمد وجماعة كثيرة إلى أن الصلاة تقصر في أربعة برد، وذلك مسيرة يوم بالسير الوسط.
وقال أبو حنيفة وأصحابه والكوفيون: أقل ما تقصر فيه الصلاة ثلاثة أيام، وإن القصر إنما هو لمن سار من أفق إلى أفق. وقال أهل الظاهر: القصر في كل سفر قريبا كان أو بعيدا. والسبب في اختلافهم معارضة المعنى المعقول من ذلك اللفظ، وذلك أن المعقول من تأثير السفر في القصر أنه لمكان المشقة الموجودة فيه مثل تأثيره في الصوم، وإذا كان الأمر على ذلك فيجب القصر حيث المشقة. وأما من لا يراعي في ذلك إلا اللفظ فقط، فقالوا: قد قال النبي عليه الصلاة والسلام "إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة" فكل من انطلق عليه اسم مسافر جاز له القصر والفطر، وأيدوا ذلك بما رواه مسلم عن عمر بن الخطاب "أن النبي عليه الصلاة والسلام كان يقصر في نحو السبعة عشر ميلا"
Jarak yang diperbolehkan mengqashar, menurut Malik, Syadi’i, Ahmad, dan segolongan ulama, minimal 4 pos, yaitu ditempuh selama perjalanan sehari dengan perjalana n sedang.
Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah, minimal jaraknya ditempuh perjalanan selama tiga hari, dan qasar itu hanya boleh dilakukan oleh orang yang bepergian sangat jauh.
Menurut mazhab Zhahiri, bepergian dekat atau jauh boleh mengqashar shalat.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya pertentangan antara pemahaman, qashar secara logis dengan lafal nash.
Secara logis, qashar itu diperbolehkan agar tidak memberatkan atau merepotkan. Sedangkan perjalanan yang memberatkan adalah perjalanan jauh. Seperti bepergian atau perjalanan yang diperbolehkan tidak berpuasa adalah bepergian jauh.
Ulama yang hanya memperhatikan lafal (kata) mengajukan argumentasi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi :
”Sesungguhnya Allah melepaskan orang musafir dari kewajiban puasa dan separoh shalat” (HR. Muslim).
Jadi, setiap orang yang dikatakan sebagai musafir, ia diperbolehkan mengqashar shalat dan berbuka puasa.
[Bidayatul Mujtahid 1/121(1/377)]

Dari Nafi, yang menceritakan :
Bahwa ia pernah bepergian dengan Ibnu Umar sejauh satu barid, ternyata Ibnu Umar tidak mengqashar shalatnya. (Musnad Syafi’i)

Syekh Muhammad Abid As-Sindi menjelaskan :
Satu barid sama dengan empat farsakh, dan satu farsakh sama dengan tiga mil, ssatu mil sama dengan enam ribu hasta atau kurang dari itu. Satu hasta sama dengan dua puluh empat jari. Sesungguhnya shalat tidak boleh diqashar dalam perjalanan satu barid, karena jarak satu barid bukanlah jarak perjalanan qashar. Atsar ini merupakan dalil lainnya bagi jumhur ulama dan sebagai bantahan terhadap mazhab Zhahiri.
[Musnad Syafi’i 1, 429].

Waktu Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Sayyid Sabiq berkata :
Seorang musafir itu boleh terus mengqasar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika dia bermukim di suatu tempat karena suatu keperluan yang hendak diselesaikan, ia tetap boleh mengqasar sebab masih terhitung dalam bepergian walaupun bermukim di sana selama bertahun-tahun lamanya.
Ibnu Abbas r.a. berkata,
اقامَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى بَعْض اسْفارهِ تِسْع عَشرَة يُصَلى رَكعَتيْن فنحْنُ اِذا اقمْنا تِسْع عَشرَة نُصَلى رَكعَتيْن وَانْ زدْنا عَلىَ ذلِكَ اتمَمْنا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rekaat. Kamipun kalau bermukim dalam perjalanan selama sembilan belas hari, kami akan tetap mengqashar, dan kalau lebih dari itu, kami mengerjakan shalat dengan sempurna. (HR. Ahmad, Bukhari)

Menurut riwayatnya pula dari Jabir Radliyallaahu 'anhu :
وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ: { أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ اَلصَّلَاةَ } وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, إِلَّا أَنَّهُ اُخْتُلِفَ فِي وَصْلِه ِ
Beliau menetap di Tabuk 20 hari mengqashar sholat. Para perawinya dapat di percaya tetapi diperselisihkan maushul-nya.
Miswar bin Markhamah mengatakan, “Kami bermukim dengan Sa’ad di salah satu desa di wilayah Syam selama empat puluh hari. Selama itu Sa’as tetap mengqashar, tetapi kami melaksanakan shalat seperti biasanya”.
Nafi’ mengatakan, Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), sesungguhnya ia bermukim di Azerbaizan selama enam bulan dan tetap mengerjakan shalat dua rekaat ketika tertahan oleh salju pada saat memasuki kota tersebut”.
Hafash bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan shalat sebagaimana biasanya seorang musafirtap mengqashar shalat. Menurut Anas, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim di Ramhurmus selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.
Menurut Hasan, ia bermukim bersama Abdurrahman bin Samurah pernah bermukim di Kabul selama dua tahun dan terus mengqashar shalatnya, tetapi tidak menjamak.
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ulama telah berijma bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap mengqashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat walaupun waktu bermukimnya itu terus menerus selama bertahun-tahun.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 431-433]

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata:
أقامَ النّبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم تسعة عَشَرَ يَقْصُرُ" وفي لَفْظٍ "بمكّةَ تسْعَةَ عَشَرَ يَوْماً" رَوَاهُ البخاريُّ، وفي روايةٍ لأبي داوُدَ "سَبْعَ عشرةَ" وفي أُخرى "خَمْس عشْرَةَ
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetap selama 19 hari, beliau mengqashar sholat. Dalam lafadz hadits lain: Di Mekkah selama 19 hari. Riwayat Bukhari. Dan dalam suatu riwayat menurut Abu Dawud: Tujuh belas hari. Dalam riwayat lain: Lima belas hari.
وَلَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ: ثَمَانِيَ عَشْرَةَ
Menurut riwayat Bukhari dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu : Delapan belas hari.
وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ: أَقَامَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ اَلصَّلَاةَ وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, إِلَّا أَنَّهُ اُخْتُلِفَ فِي وَصْلِه ِ
Menurut riwayatnya pula dari Jabir Radliyallaahu 'anhu : Beliau menetap di Tabuk 20 hari mengqashar sholat. Para perawinya dapat di percaya tetapi diperselisihkan maushul-nya.
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وقد اختلف العلماء في قدر مدّة الإقامة التي إذا عزم المسافر على إقامتها أتم فيها الصلاة على أقوال.
فقال ابن عباس وإليه ذهب الهادوية: إن أقل مدة الإقامة عشرة أيام لقول علي عليه السلام: "إذا أقمت عشراً فأتم الصلاة"
وقالت الحنفية: خمسة عشر يوماً مستدلين بإحدى روايات ابن عباس وبقوله وقول ابن عمر: إذا قدمت بلدة وأنت مسافر وفي نفسك أن تقيم خمس عشرة ليلة فأكمل الصلاة.
وذهبت المالكية والشافعية إلى أن أقلها أربعة أيام وهو مروي عن عثمان والمراد غير يوم الدخول والخروج، واستدلوا بمنعه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم المهاجرين بعد مضي النسك أن يزيدوا عن ثلاثة أيام في مكة فدل على أنه بالأربعة الأيام يصير مقيماً؛
وذهب أبو حنيفة وأصحابه وهو قول للشافعي وقال به الإمام يحيى إلى أنه يقصر أبداً إذ الأصل السفر، ولفعل ابن عمر فإنه أقام بأذربيجان ستة أشهر يقصر الصلاة، وروي عن أنس بن مالك أنه أقام بنيسابور سنة أو سنتين يقصر الصلاة،
Para Ulama berbeda pendapat dalam batasan masa menetap yang apabila seorang musafir menginginkan untuk menetap yang mengharuskan ia menyempurnakan shalat dalam beberapa pendapat :
Ibnu Abbas berkata –juga merupakan madzhabnya Al-Hadawiyah- sesungguhnya masa menetap adalah sepuluh hari berdasarkan ucapan Ali Alaihissalam, “Jika kamu bermukim selama sepuluh ahri maka sempurnakanlah shalat”.
Al-Hanafiyah berkata, “Lima belas hari, mereka berdalilkan dengan salah satu riwayat Ibnu Abbas, dengan ucapannya dan ucapan Ibnu Umar, “Jika engkau sampai di suatu negeri sedang kamu seorang mussafir, dan dalam hatimu engkau ingin menetap selama lima belas malam, maka sempurnakanlah shalat”
Al-Malikiyah dan Asy-Syafiiyah berpendapat bahwa waktu paling sedikit untuk menetap adalah empat hari, ini diriwayatkan dari Utsman, yang dimaksud adalah selain dua hari masuk dan keluar. Mereka berdalil dengan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada kaum Muhajirin setelah menyelesaikan ibadah haji untuk menambah lebih dari tiga hari di Makkah, menunjukkan bahwa sesungguhnya empat hari akan menjadikan mereka orang yang mukim.
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat yang juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i sebagaimana juga diucapkan oleh Imam Yahya, “Sesungguhnya ia mengqashar selamanya karena hokum asal adalah dalam perjalanan berdasarkan perbuatan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), sesungguhnya ia bermukim di Azerbaizan selama enam bulan dan tetap mengqashar shalatnya.
Diriwyatkan dari Anas bin Malik , sesungguhnya ia bermukim di Naisabur selama setahun atau dua tahun dan tetap mengqashar shalat
[Subulussalam 1/111 (1/ 679)]
.
Imam Syafi’i berkata :
سأل عمر بن عبد العزيز جلساءه ما سمعتم في مقام المهاجر بمكة قال السائب بن يزيد حدثني العلاء بن الحضرمي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال يمكث المهاجر بعد قضاء نسكه ثلاثا
فبهذا قلنا إذا أزمع المسافر أن يقيم بموضع أربعة أيام ولياليهن ليس فيهن يوم كان فيه مسافرا فدخل في بعضه ولا يوم يخرج في بعضه أتم الصلاة
Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang yang duduk bersama beliau, “Apa yang anda dengar tentang masa mukim orang-orang Muhajirin di Mekah?” As-Saib bin Yazid menjawab, “Telah menceritakan kepadaku Al ‘Ala bin Al Hadhrami, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
‘Orang-orang Muhajir mukim setelah hajinya selesai selama tiga malam’ (HR. Nasa’i , pembahasan tentang menqasar shalat, bab “Tempat yang boleh dilakukan Qashar shalat”)
Oleh karena itu kami mengatakan bahwa apabila musafir menetapkan untuk mukim pada suatu tempat selama empat hari dan empat malam, tidak termasuk di dalamnya hari dimana dia mengadakan perjalanan lalu masuk ke negeri itu pada sebagian hari tersebut, dan tidak pula hari dimana dia keluar dari negeri itu, maka ia harus menyempurnakan (tidak meringkas) shalat.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 258]

Jenis Bepergian yang Boleh Mengqashar
Ibnu Rusyd berkata tentang macam atau jenis bepergian yang bagaimana yang membuat shalatnya boleh diqashar :
فرأى بعضهم أن ذلك مقصور على السفر المتقرب به كالحج والعمرة والجهاد، وممن قال بهذا القول أحمد. ومنهم من أجازه في السفر المباح دون سفر المعصية، وبهذا القول قال مالك والشافعي. ومنهم من أجازه في كل سفر قربة كان أو مباحا أو معصية وبه قال أبو حنيفة وأصحابه والثوري وأبو ثور
Menurut Ahmad, bepergian untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), seperti pergi haji, umroh, dan jihad.
Menurut Malik dan Syafi’i, bepergian yang mubah dan tidak maksiat.
Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta Tsauri dan Abu Tsur, bepergian untuk taqarrub kepada Allah, bepergian mubah, atau bepergian maksiat, semuanya boleh mengqashar shalat.
[Bidayatul Mujtahid 1/121(1/379)]

Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Sayyid Sabiq berkata :
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengqashar shalat itu dapat dimulai setelah meninggalkan kota dan keluar dari daerah perkampungan. Ini merupakan syarat utama. Seorang musafir diharuskan menyempurnakan shalatnya terlebih dahulu sebelum melintasi perumahan yang berada di perbatasan. Ibnu Mundzir mengatakan, “Aku tidak menemukan sebuah keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar dalam bepergian kecuali setelah keluar dari Madinah”
Anas berkata,
صَليْت مَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظهر بالمدينة اربعا، وَصَليْتُ مَعَهُ العَصْرَ بذِى الحُليْفة رَكعَتيْن
Aku mengerjakan shalat zhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah empat rekaat dan aku juga pernah shalat ashar dua rekaat bersamanya di Dzul Hulaifah. (HR.Jamaah)
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa seseorang yang telah berniat hendak bepergian, maka ia telah diperbolehkan mengqashar shalatnya walaupun ia masih berada di rumahnya.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 430]

Ibnu Rusyd berkata :
فإن مالكا قال في الموطأ: لا يقصر الصلاة الذي يريد السفر حتى يخرج من بيوت القرية ولا يتم حتى يدخل أول بيوتها. وقد روي عنه أنه لا يقصر إذا كانت قرية جامعة حتى يكون منها بنحو ثلاثة أميال
Malik Mengatakan dalam kitab Al-Muwatha’ bahwa mulainya setelah musafir berada di laur perkampungan atau perkotaan tempat tinggalnya. Kalau perkampungan atau perkotaan itu bersifat kompleks tidak memencar, musafir tersebut mulai mengqasar shalat setelah berada di luar perkampungan itu minimal sejarak 3 mil. (1 mil = 30 km).
[Bidayatul Mujtahid 1/121(1/379)]

Kesimpulam
1. Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengqashae shalat. Ada yang berpendapat fardhu ‘ain, ada yang sunnah dan ada yang mubah.
2. Para Ulama berbeda pendapat tentang jarak yang diperbolehkan mengqashar shalat.
3. Para Ulama berbeda pendapat tentang jenis perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat
4. Para Ulama berbeda pendapat tentang waktu tinggal yang diperbolehkan mengqashar shalat.
5. Para Ulama berbeda pendapat tentang tempat yang diperbolehkan mengqashar shalat

Catatan :
Mengingat banyaknya pendapat para ulama tentang mengqashar shalat yang masing-masing disertai dengan dalil yang kuat, maka penulis menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, pendapat mana yang dipilih untuk diamalkan.

Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syufa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
- Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, 2006.


*Slawi, Februari 2011.

3 komentar:

  1. Maaf Pak Masnun, Mau tanya kalau sholat Jamak tanpa Qasar apakah boleh? Misalakan 4 rakaat dzuhur dan 4 rakaat asar dikerjakan dalam satu waktu? Terima Kasih. Antok Ex. PG Pangka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mengqasar shalat merupakan keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepada hambaNya yang sedang dalam perjalanan atau tinggal di perantauan (bukan kampong halaman). Jadi boleh dikerjakan, boleh tidak dikerjakan.
      Jadi, kalau kita mau menjamak shalat (misal : dhuhur dengan ashar) di perjalanan, maka kita boleh memilih : mengqasar atau tidak mengqasar, keuda-duanya boleh. Wallahu a’lam.

      Hapus

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...