Minggu, 06 Februari 2011

SHALAT BERJAMAAH BAGI WANITA

SHALAT BERJAMAAH BAGI WANITA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Shalat berjamaah di masjid sangat dianjurkan bagi kaum laki-laki, namun tidak dianjurkan bagi kaum wanita. Uraian berikut ini membahas tentang shalat jamaah bagi wanita dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

Kehadiran Wanita untuk Shalat Berjamaah di Masjid
Hadits-hadits dalam kitab Al-Muntaqa :
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
إذا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوْا لَهُنَّ
“Bila istri-istri kalian meminta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah).

Dalam lafadz lain :
لَا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Jangan kalian melarang para wanita untuk pergi ke masjid, walaupun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا إمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ
“Janganlah kamu melarang wanita-wanita itu datang ke masjid-masjid Allah. Jika mereka hendak ke masjid hendaklah mereka itu keluar tanpa memakai wangi-wangian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
أَيُّماَ امْرَأَةٌ أَصَابَتْ بُخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدْ مَعَناَ الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ
“Perempuan manapun yang memakai minyak wangi-wangian, maka jaganlah ia ikut mengerjakan shalat isya’ bersama kami” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dengan sanad yang hasan)

Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
خَيْرٌ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوْتِهِنَّ
”Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya” (HR. Ahmad)

Dari Yahya bin Sa’id, dari Umrah, dari Aisyah, ia berkata,
لَوْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ. كَمَا مُنَعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ. قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ: أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
Seandainya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam melihat apa yang diperbuat wanita saat ini, tentu beliau melarang mereka pergi ke mesjid, seperti dilarangnya wanita Bani Israel. Yahya berkata: Aku bertanya kepada Amrah: Apakah wanita Bani Israel dilarang pergi ke mesjid (tempat ibadah mereka)? Ia menjawab: Ya. (Muttafaq ‘alaih)

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Sabda beliau (Bila istri-istri kalian meminta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin)
Dikhususkannya penyebutan malam hari, karena biasanya tertutup dengan kegelapan. Sedangkan lebih utamanya kaum wanita shalat di rumah adalah karena lebih terjaga dari fitnah.
Sabda beliau (Dan hendaklah mereka itu keluar tanpa memakai wangi-wangian) Termasuk dalam katagori ath-thib adalah semua yang semakna dengannya, yaitu yang bisa membangkitkan syahwat, seperti : pakaian indah, mengenakan perhiasan, bersolek; karena aromanya, perhiasannya, bentuknya dan penampilannya yang menampakkan keindahannya adalah fitnah bagi wanita, dan fitnah bagi laki-laki terhadapnya.
[Nailul Authar 1, hal. 721]

Syekh Muhammad Abid As-Sindi dalam kitab Musnad Syafi’i berkata :
Al-Imaa-a, bentuk jamak dari amatun. Makna asalnya adalah hamba wanita, tetapi makna yang dimaksud dalam hadits ini ialah wanita. Janganlah kalian mencegah kaum wanita pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 224].

Sayyid Sabiq berkata :
يجوز للنساء الخروج إلى المسجد وشهود بشرط أن يتجنين مايشير الشهوة ويجعو إلى الفتنة من الزينة والطيب
Sebenarnya kaum wanita diperbolehkan datang ke masjid untuk mengikuti shalat jamaah, dengan syarat harus menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya syahwat ataupun fitnah, baik karena perhiasan maupun karena harum-haruman yang digunakan.

والافضل لهن الصلاة في بيوتهن لما رواه احمد والطبرانى عن ام حميد الساعدية انها جاءت الى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رَسُوْلَ اللهِ إنى اَحَبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : قَدْ عَلِمْتُ , وَصَلَاتِكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صلَاتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ , وصَلَاتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِى مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ
Kaum wanita lebih utama mengerjakan shalat di rumah saja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani dari Ummu Humaid as-Sa’diyah,
Ia datang menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, aku suka sekali mengerjakan shalat bersamamu” Beliaupun menjawab, “Aku tahu hal itu, tetapi shalatmu di rumahmu adalah lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Adapun shalatmu di masjid kaummu adalah lebih baik daripada shalatmu di masjid umum”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 337-338]

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
ولا يتأكد الندب للنساء تأكده للرجال، فلذلك يكره تركها لهم، لا لهن.
Bagi kaum wanita, berjamaah tidak merupakan sunnah muakkad, tidak seperti laki-laki.. Kaum laki-laki makruh meninggalkan berjamaah, sedangkan bagi kaum wanita tidaklah makruh.
[Fathul Mu’in 1, hal. 359].

Wanita Mengimami Kaum Laki-laki
Imam Syafi’i berkata :
وإذا صلت المرأة برجال ونساء وصبيان ذكور فصلاة النساء مجزئة وصلاة الرجال والصبيان الذكور غير مجزئة لأن الله عز وجل جعل الرجال قوامين على النساء وقصرهن عن أن يكن أولياء وغير ذلك ولا يجوز أن تكون امرأة إمام رجل في صلاة بحال أبدا
Apabila seorang wanita menjadi imam kaum laki-laki, kaum wanita, dan sekelompok anak laki-laki, maka shalat kaum wanita itu sah namun shalat kaum laki-laki dan sekelompok anak laki-laki menjadi tidak sah, karena Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita, maka tidak boleh bagi seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam keadaan bagaimanapun.

وهكذا لو كان ممن صلى مع المرأة خنثى مشكل لم تجزه صلاته معها ولو صلى معها خنثى مشكل ولم يقض صلاته حتى بان أنه امرأة أحببت له أن يعيد الصلاة وحسبت أنه لا تجزئه صلاته لأنه لم يكن حين صلى معها ممن يجوز له أن يأتم بها
Begitu juga apabila ada diantara mereka wanita khuntsa musykil (banci yang sulit diketahui ataukah lebih menyerupai laki-laki atau wanita), maka ia tidak boleh shalat bersama wanita itu. Apabila ia banci shalat bersama wanita dan ia tidak mengganti shalatnya hingga diketahui dengan jelas bahwa banci itu lebih menyerupai wanita, maka saya menyukai agar ia mengulangi shalatnya.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 232].

Ibnu Rusy dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وإنما اتفق الجمهور على منعها أن تؤم الرجال، لأنه لو كان جائزا لنقل ذلك عن الصدر الأول، ولأنه أيضا لما كانت سنتهن في الصلاة التأخير عن الرجال علم أنه ليس يجوز لهن التقدم عليهم، لقوله عليه الصلاة والسلام
"أَخِّرُوْهُنَّ حَيْثُ أَخْرَهُنَّ اللهُ"
ولذلك أجاز بعضهم إمامتها النساء إذ كن متساويات في المرتبة في الصلاة، مع أنه أيضا نقل ذلك عن بعض الصدر الأول
Jumhur fuqaha sepakat melarang wanita menjadi imam bagi kaum lelaki. Sebab, jika wanita menjadi imam bagi kaum lelaki, sudah terkenal sejak awal Islam, lebih-lebih ajaran shalat bagi wanita terjadi setelah kaum lelaki. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa wanita tidak boleh mendahului kaum laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam,
”Akhirkanlah mereka (wanita) lantaran Allah telah mengakhirkan mereka” (HR. Ahmad).
Berdasarkan pemikiran di atas, sebagian fuqaha membolehkan kaum wanita menjadi imam atas kaum wanita, karena persamaan derajat di dalam shalat. Lebih-lebih kenyataan seperti itu sudah banyak diriwayatkan sejak permulaan Islam.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 324-235].

Wanita Menjadi Imam Bagi Wanita
Sayyid Sabiq berkata :
فقد كانت عائشة رضي الله عنها تؤم النساء وتقف معهن فى الصف, وكانت أم سلمة تفعله, وجعل رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لأم ورقة مؤذنا لها وأمرها أن تؤم أهل دار هافى الفرائض
Aisyah RA sering menjadi imam bagi kaum wanita dan berdiri bersama mereka dalam satu barisan shaf. Demikian pula halnya Ummu Salamah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bahkan mengangkat seorang muadzin yang bernama Ummu Waraqah dan beliau memerintahkannya supaya menjadi imam bagi keluarganya pada saat mengerjakan shalat-shalat fardhu.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 350].

Imam Syafi’i berkata :
عن عمار الدهنى عن امرأة من قومه يقال لها حجيرة أن أم سلمة أمتهن فقامت وسطا
Diriwayatkan dari Ammar Ad-Duhani dari seorang wanita yang berasal dari kaumnya, yang bernama Hajirah, bahwasanya Ummu Salamah mengimami kaum wanita dan ia berdiri di tengah-tengah mereka. (HR. Abu Daud No. 315).
Imam Syafi’i berkata :
عن عائشة أنه صلت بنسوة العصر فقامت في وسطهن
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia mengerjakan shalat dengan kaum wanita pada shalat Ashar, dan ia berdiri di tengah-tengah mereka.
Imam Syafi’i berkata :
إن من السنة أن تصلى المرأة بالنساء تقوم في وسطهن
Adalah sunah apabila seorang wanita shalat bersama kaum wanita, ia berdiri di tengah-tengah mereka.
وتؤم المرأة النساء في المكتوبة وغيرها وآمرها أن تقوم في وسط الصف وإن كان معها نساء كثير أمرت أن يقوم الصف الثاني خلف صفها
وتخفض صوتها بالتكبير والذكر الذي يجهر به في الصلاة من القرآن وغيره
Wanita dapat mengimami sesama wanita pada shalat fardhu dan lainnya. Saya menyuruh agar dia berdiri di tengah shaf.
Apabila bersama wanita itu terdapat banyak wanita, maka saya menyuruhnya untuk berdiri pada shaf kedua yang ada di belakangnya; ia merendahkan suaranya ketika takbir dan dzikir, baik membaca Al-Quran dan yang lainnya.
فإن قامت المرأة أمام النساء فصلاتها وصلاة من خلفها مجزئة عنهن
Apabila wanita itu berdiri di depan shaf dengan mengerjakan shalat sebagai imam bagi kaum wanita, maka shalat mereka yang ada di belakangnya telah memadai.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 233].

Lelaki Menjadi Imam Bagi Wanita
Sayyid Sabiq berkata :
روي أبو يعلى والطبرانى فى الأوسط بسند حسن أن أبى بن كعب جاء الى النبى صلى الله عليه وسلم فقال : يا رَسُوْلَ اللهِ عملت الليلة عملا. قال : ما هو؟ قال : نسوة معى فى الدار, قلن إنك تقرأ فصل بنا؟ فصليت ثمانيا والوتر. فسكت النبى صلى الله عليه وسلم قال : فرأينا سكوته رضا
Abu Ya’la dan Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan,
“Ubai bin Kaab pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan berkata, ‘Ya Rasulullah, semalam aku mengerjakan sesuatu amal’. Nabi Shallallahu alaihi wassalam bertanya, ‘Amal apakah itu?’ Ubai berkata, ‘Di rumah ada beberapa orang wanita. Mereka mengatakan, “Anda dapat membaca Al-Quran dengan baik, sedangkan kami tidak. Karena itu shalatlah sebagai imam bagi kami” Akhirnya akupun mengerjakan shalat dekapan rekaat lalu berwitir’. Ketika mendengar serita tersebut, Nabi Shallallahu alaihi wassalam diam saja. Diamnya itu kami anggap sebagai tanda ridha dan pengakuannya’”
[Fiqih Sunnah 1, hal. 350].

Posisi Makmum Wanita
Hadits-hadits dalam kitab Al-Muntaqa :
Dari Abdurrahman bin Ghanam, dari Abu Malik Al-Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam:
‏‏عن رسولِ اللَّهِ صلى اللَّه عليه وآله وسلم أنه كان يُسَوِّي بَيْنَ الْأرْبَعِ رَكَعَاتٍ في الْقِرَاءَةِ وَيَجْعَلُ الرَّكْعَةَ الْأُوْلَى هِيَ أَطْوَلُهُنَّ لَكَيْ يَثُوْبَ النَّاسُ وَيَجْعَلُ الرِّجَالَ قُدَّامَ الْغِلْمَانِ وَالْغِلْمَانَ خَلْفَهُمْ وَالنِّسَاءَ خَلْفَ الْغِلْمَانِ
Bahwasanya beliau menyeimbangkan bacaan dan berdiri di keempat rekaatnya, yang mana rekaat pertama merupakan rekaat yang paling panjang, agar orang-orang sempat mendapatkannya. Beliau mengedepankan kaum laki-laki (dewasa) daripada anak-anak, sementara anak-anak di belakang mereka, dan kaum wanita di belakang anak-anak. (HR. Ahmad)

Dari Anas, ia menuturkan,
‏‏صَلَّيْتُ أَنَا وَالْيَتِيْمُ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم وَأُمِّيْ خَلْفَنَا أُمُّ سُلَيْمٍ
”Aku dan seorang anak yatim yang tinggal di rumah kami mengerjakan shalat di belakang Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sementara ibuku, yakni Ummu Sulaim, di belakang kami (HR. Bukhari).

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
”Sebaik-baiknya shaf laki-laki ialah yang pertama dan seburuk-buruknya ialah shaf yang terakhir, sedang sebaik-baiknya shaf lwanita ialah yang terakhir dan seburuk-buruknya ialah shaf yang pertama” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
قوله‏:‏ ‏(‏ويجعل الرجال قدام الغلمان‏)‏ الخ فيه تقديم صفوف الرجال على الغلمان والغلمان على النساء
Ucapan perawi : (Beliau mengedepankan kaum laki-laki (dewasa) daripada anak-anak) menunjukkan bahwa shaf kaum laki-laki dewasa paling depan, lalu shaf anak-anak, kemudian shaf kaum wanita.
[Nailul Authar 1, hal. 785]

Kesimpulan
1. Wanita tidak dilarang shalat berjamaah di masjid, tetapi lebih baik shalat di rumahnya.
2. Wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
3. Laki-laki boleh menjadi imam bagi wanita.
4. Posisi Wanita yang menjadi imam bagi wanita adalah di tengah-tengah shaf
5. Jika wanita menjadi makmum, maka posisinya adalah dibelakang shaf anak laki-laki.
6. Shaf yang paling baik bagi wanita adalah yang paling belakang.

Wallahu a’lam

Sumber rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i , Sinar Baru Algesindo, 2006.

*Slawi, Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...