MAKMUM WAJIB MENGIKUTI IMAM
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
تجب متابعة الإمام وتحرم مسابقته لحديث أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال : إِنَّمَا جُعِلَ اَلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ,فَلَا تُحَلِّفُوْا عَلَيْهِ, فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا, وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا, وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ, وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اَللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, فَقُولُوا: اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اَلْحَمْدُ, وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا, وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ, وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا, وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعِينَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَهَذَا لَفْظُه
Makmum wajib mengikuti imam dan haram mendahuluinya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah Shollallahu'alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyelisihinya. Maka apabila ia telah bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan bertakbir sebelum ia bertakbir. Apabila ia telah ruku', maka ruku'lah kalian dan jangan ruku' sebelum ia ruku'. Apabila ia mengucapkan (sami'allaahu liman hamidah) maka ucapkanlah (allaahumma rabbanaa lakal hamdu). Apabila ia telah sujud, sujudlah kalian dan jangan sujud sebelum ia sujud. Apabila ia sholat berdiri maka sholatlah kalian dengan berdiri dan apabila ia sholat dengan duduk maka sholatlah kalian semua dengan duduk." ((HR. Abu Dawud. 603,604; Bukhari 722, 734; Muslim 414)
[Fiqih Sunnah 1, hal. 165/341; lihat Bulughul Maram hadits no. 430].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan :
والحديث دل على أن شرعية الإمامة ليقتدى بالإمام، ومن شأن التابع والمأموم أن لا يتقدم متبوعه، ولا يساويه، ولا يتقدم عليه في موقفه، بل يراقب أحواله ويأتي على أثرها بنحو فعله، ومقتضى ذلك أن لا يخالفه في شيء من الأحوال، وقد فصل الحديث ذلك بقوله فإذا كبر إلى آخره.
Hadits ini sebagai dalil disyariatkannya imamah dan perintah untuk mengikuti imam. Diantara atau aturan bagi taabi’ (orang yang mengikuti) dan makmum adalah tidak mendahului orang yang diikutinya, tidak juga menyamainya, serta tidak berdiri lebih depan darinya. Akan tetapi makmum harus memperhatikan perbuatan imam dan mengikuti gerakannya. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak menyelisihi sedikitpun dari perbuatan dan gerakan imam, sebagaimana telah diulas secara rinci dalam ssabdanya, “jika ia bertakbir…..”.
ويقاس ما لم يذكر من أحواله كالتسليم على ما ذكر فمن خالفه في شيء مما ذكر فقد أثم ولا تفسد صلاته بذلك، إلا أنه إن خالف في تكبيرة الإحرام بتقديمها على تكبيرة الإمام فإنها لا تنعقد معه صلاته لأنه لم يجعله إماماً إذ الدخول بها بعده وهي عنوان الاقتداء به واتخاذه إماماً
Gerakan yang lainnya –seperti salam- diqiyaskan dengan hal-hal yang telah disebutkan. Barangsiapa yang menyelisihi imam sedikitpun dari yang telah disebutkan maka ia telah berdosa. Akan tetapi shalatnya tidak rusak dengan hal tersebut, kecuali jika ia menyelisihi dalam takbiratul ihram dengan mendahului imam, maka ia tidak terhitung shalat bersama imam. Karena ia tidak menjadikannya sebagai imam. Jika ia masuk –mengerjakan- shalat setelah masuknya imam dalam shalat, itu adalah pertanda bahwa ia mengikuti imam dan menjadikannya sebagai imam.
واستدل على عدم فساد الصلاة بمخالفته لإمامه لأنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم توعد من سابق الإمام في ركوعه أو سجوده بأن الله يجعل رأسه رأس حمار ولم يأمره بإعادة صلاته ولا قال فإنه لا صلاة له
Tidak rusaknya shalat orang yang menyelisihi imam dilandaskan pada hadits, bahwa Rasulullah Shollallahu'alaihi wa Sallam mengancam orang yang mendahului imam dalam ruku’ dan sujudnya. Allah akan merubah kepalanya dengan kepala keledai, akan tetapi Allah tidak memerintahkan untuk mengulangi shalatnya. Dan Rasulullah tidak mengucapkan “Sesungguhnya tidak ada shalat bagimu”.
[Subulussalam 1, hal. 98/626].
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
قوله: (إنما جعل الإمام ليؤتم به) والمراد بالحصر هنا حصر الفائدة في الإقتداء بالإمام والإتباع له ومن شأن التابع أن لا يتقدم على المتبوع ومقتضى ذلك أن لا يخالفه في شيء من الأحوال التي فصلها الحديث ولا في غيرها قياسًا عليها ولكن ذلك مخصوص بالأفعال الظاهرة لا الباطنة وهي ما لا يطلع عليه المأموم كالنية فلا يضر الاختلاف فيها فلا يصح الاستدلال به
Sabda beliau (Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyelisihinya. Maka apabila ia telah bertakbir, bertakbirlah kalian.....) penyebutan secara rinci di sini mengindikasikan keharusan mengikuti dan meniru imam. Sudah semestinya, yang mengikuti tidak mendahului yang diikutinya, sehingga konsekwensinya tidak menyelesihinya dalam hal-hal yang dijelaskan oleh hadits ini, tidak juga dalam hal lainnya bila dikiaskan dengan ini. Namun hal ini sebatas perbuatan yang lahir, bukan yang batin. Karena perbuatan batin tidak dapat diketahui oleh makmum, seperti : niat imam. Jika ada perbedaan dengan imam, maka hal ini tidak apa-apa, karena niat bukan perbuatan lahir.
[Nailul Authar 1, hal. 731].
Dari Abu Hurairah, dimana Rasulullah Shollallahu'alaihi wa Sallam bersabda,
أَماَ يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِماَمِ أَنْ يَحُوْلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
“Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut, apabila mengangkat kepalanya sebelum imam, maka Allah akan merubah bentuknya menjadi bentuk keledai”(HR. Jamaah)
Dari Anas, ia berkata
Rasulullah Shollallahu'alaihi wa Sallam bersabda,
إِنِّي إِماَمُكُمْ. فَلاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ. وَلاَ بِالْقِياَمِ وَلاَ بِاْلاِنْصِرَافِ
“Aku adalah imam kalian maka janganlah kalian mendahuluiku pada waktu ruku’ , sujud, berdiri dan juga pada waktu mengakhiri shalat” (HR. Ahmad dan Muslim).
Hadits di atas lengkapnya sebagai berikut :
Dari Anas RA ,
صَلَّى بِناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ. فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ أَقْبَلَ عَلَيْناَ بِوَجْهِهِ، فَقاَلَ “أَيُّهاَ النَّاسُ! إِنِّي إِماَمُكُمْ. فَلاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ. وَلاَ بِالْقِياَمِ وَلاَ بِاْلاِنْصِرَافِ. فَإِنِّي أَرَاكُمْ أَماَمِي وَمَنْ خَلْفِي” ثُمَّ قَالَ “وَالَّذِي نَفْسِ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَوْ رَأَيْتُمْ مَا رَأَيْتُ لَضَحَكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَّيْتُمْ كَثِيْرًا” قَالُوْا: وَماَ رَأَيْتَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ “رَأَيْتُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ”.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sholat mengimami kami suatu hari. Setelah selesai sholat beliau menghadap kami dengan wajah beliau. Kemudian beliau berkata: “Hai orang banyak, Aku adalah imam kalian maka janganlah kalian mendahuluiku pada waktu ruku’ , sujud, berdiri dan juga pada waktu mengakhiri shalat. Sesungguhnya aku dapat melihat kalian yang didepanku dan yang di belakangku. Kemudian beliau bersabda: “Demi Dzat yang Muhammad berada di bawah kekuasaanNya, Jika kalian melihat apa yang aku lihat, maka sungguh kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Mereka berkata :”Apa yang Engkau lihat ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Aku melihat surga dan neraka.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dari Anas, ia berkata
Rasulullah Shollallahu'alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ اَلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ ولا تَرْفَعُوْا حَتَّى يَرْفَعْ
"Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Karena itu Janganlah ruku' sebelum ia ruku', dan janganlah kalian mengangkat kepala sebelum ia mengangkat kepala” (HR. Bukhari)
Imam Asy-Syaukani berkata :
قوله: (أَماَ يَخْشَى( وظاهر الحديث يقتضي تحريم الرفع قبل الإمام لكونه توعد عليه بالمسخ وهو أشد العقوبات وبذلك جزم النووي في شرح المهذب ومع القول بالتحريم فالجمهور على أن فاعله يأثم وتجزئه صلاته
Sabda beliau (Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut...)
konteksnya hadits ini mengangkat kepala sebelum imam, demikian yang tersirat dari ancaman tersebut yang merupakan ancaman yang sangat berat. Namun jumhur berpendapat, bahwa makmum yang melakukannya berdosa, shalatnya tetap sah.
[Nailul Authar 1, hal. 731].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatull Mujtahid berkata :
وأجمع العلماء على أنه يجب على المأموم أن يتبع الإمام في جميع أقواله وأفعاله إلا في قوله: سمع الله لمن حمده، وفي جلوسه إذا صلى جالسا لمرض عند من أجاز إمامة الجالس
Ulama sepakat bahwa makmum harus mengikuti imam, baik perkataan maupun perbuatan, kecuali kalimat yang diucapkan imam sami’allahu liman hamidah, imam yang shalat duduk lantaran sakit. Ini berlaku bagi fuqaha yang memperbolehkan imam shalat duduk.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 107/338].
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
فالسنة للمأموم أن يتأخر ابتداء فعله عن ابتداء فعل الامام، ويتقدم على فراغه منه،
Yang disunatkan bagi makmum ialah awal pekerjaannya hendaklah di belakang awal pekerjaan imam (sesudah imam memulai, baru makmum mengikutinya), dan pekerjaan imam lebih dahulu selesai daripada makmum (pendeknya, makmum harus mengikuti imam).
والاكمل من هذا أن يتأخر ابتداء فعل المأموم عن جميع حركة الامام، ولا يشرع حتى يصل الامام لحقيقة المنتقل إليه،
Adapun yang paling sempurna dari yang tersebut tadi ialah hendaklah awal pekerjaan makmum dikerjakan setelah selesai semua gerakan imam. Makmum tidak bergerak (berpindah) sebelum imam sampai pada pekerjaan yang dipindahinya.
فلا يهوي للركوع والسجود حتى يستوي الامام راكعا، أو تصل جبهته إلى المسجد.
Makmum tidak turun untuk rukuk atau sujud, sehingga imam sudah rata rukunya atau sudah meletakkan dahinya pada tempat sujud.
ولو قارنه بالتحرم أو تبين تأخر تحرم الامام لم تنعقد صلاته ولا بأس بإعادته التكبير سرا بنية ثانية إن لم يشعروا،
Apabila makmum menyamai imam saat takbiratul ihram atau takbiratul ihram imam tampak lebih akhir (daripada makmum), maka tidak sah shalat makmum. Tidak apa-apa imam yang mengulangi takbiratul ihramnya secara perlahan-lahan dengan niat kedua kalinya, kalau makmum tidak mengetahuinya.
ولا بالمقارنة في السلام
Bersamaan ketika salam tidak menjadi masalah (tetapi makruh hukumnya).
[Fathul Mu’in 1, hal. 406-407].
Wallahu a’lam.
Kesimpulan :
1. Makmum wajib mengikuti imam dalam gerakan yang nampak (dhahir) dan tidak wajib mengikuti gerakan yang tidak nampak (batin).
2. Disunnahkah bagi makmum untuk mengikuti gerakan imam setelah imam menyempurnakan satu gerakan.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Ebook.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Ebook.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
*Slawi, Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...
-
MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUDHU Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sha...
-
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU? Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalia...
-
TALKIN (Sebelum Meninggal) Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ و...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar