MUSAFIR MENGIMAMI ORANG MUKIM
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat bahwa orang yang mukim boleh bermakmum kepada musafir. Namun mereka berbeda pendapat tentang bolehkah musafir bermakmum kepada orang yang mukim.
Dari Imran bin Hushain, ia menuturkan,
ما سافر رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم سفرًا إلا صلى ركعتين حتى يرجعَ وأنه أقام بِمَكَّةَ زَمَانَ الْفَتْحِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ ليلةً يصلي بالناسِ ركعتين ركعتين إلا المغرب ثم يقول: يا أهلَ مَكَّةَ قُوْمُوْا فَصَلُّوا ركعتين أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
“Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak pernah melakukan perjalanan (safar) kecuali beliau melakukan shalat dua rekaat-dua rekaat (yakni diqashar) hingga kembali. Pernah suatu ketika beliau menginap di Makkah selama delapan belas malam pada saat penaklukkan Mekkah, selama itu beliau shalat mengimami orang-orang dua rekaat-dua rekaat kecuali Maghrib. Kemudian beliau bersabda, “Wahai penduduk Mekkah, berdirilah kalian dan shalat lagi dua rekaat, karena kami ini orang-orang musafir’” (HR. Ahmad).
Imam Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar :
والحديث يدل على جواز ائتمام المقيم بالمسافر وهو مجمع عليه كما في البحر.
واختلف في العكس . ويدل للجواز مطلقًا ما أخرجه أحمد ابن حنبل في مسنده عن ابن عباس: (أنه سئل ما بال المسافر يصلي ركعتين إذا انفرد وأربعًا إذا ائتم بمقيم تلك السنة) وفي لفظ تلك سنة أبي القاسم صلى اللَّه عليه وسلم
Hadits ini menunjukkan bolehnya yang mukim bermakmum kepada musafir, dan itu sudah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama). Namun mereka berbeda pendapat mengenai sebaliknya, yakni musafir bermakmum kepada orang yang mukim. Dalil yang menunjukkan bolehnya hal tersebut adalah yang dikeluarkan oleh Ahmad bin Hambal di dalam kitab Musnadnya. Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia ditanya, “Mengapa musafir shalat dua rekaat sendirian dan empat rekaat bila bermakmum kepada orang yang mukim?” Ia menjawab, “Itu sunnah”. Dalam lafadz lainnya : “Itu sunnah Abu Al-Qasim Shallallahu alaihi wassalam”
[Nailul Authar 1, hal. 733].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
وهكذا أحب للامام أن يصلى مسافرا أو مقيما ولا يوكل غيره ويأمر من وراءه من المقيمين أن يتموا إلا أن يكونوا قد فقهوا فيكتفى بفقههم إن شاء الله تعالى
Saya menyukai seorang yang layak menjadi imam agar mengerjakan shalat sebagai imam dan tidak mewakilkannya, baik dia sebagai musafir atau mukim. Ia memerintahkan orang yang mukim bermakmum di belakangnya untuk menyempurnakan shalat (yakni tidak meringkasnya), kecuali apabila mereka telah mengetahui ilmu fiqih, maka cukuplah hal itu bagi mereka, insya Allah.
وإذا اجتمع مسافرون ومقيمون فإن كان الوالي من أحد الفريقين صلى بهم مسافرا كان أو مقيما وإن كان مقيما فأقام غيره فصلى بهم فأحب إلي أن يأمر مقيما ولا يولى الإمامة إلا من ليس له أن يقصر فإن أمر مسافرا كرهت ذلك له إذا كان يصلى خلفه مقيم ويبنى المقيم على صلاة المسافر ولا إعادة عليه
Apabila para musafir dan orang-orang mukim berkumpul untuk melaksanakan shalat berjamaah, jika wali adalah salah satu dari dua kelompok tersebut, maka ia harus shalat mengimami mereka. Apabila wali di pihak yang mukim, lalu yang lain membacakan iqamat, maka hendaknya ia shalat bersama mereka. Saya lebih menyukai agar ia memerintahkan yang mukim untuk memimpin shalat, dan hendaknya ia tidak menunjuk menjadi imam orang yang berhak meringkas (qahar) shalatnya. Namun apabila ia menunjuk musafir, maka saya memandangnya makruh jika diantara makmum terdapat orang-orang mukim. Apabila orang mukim bermakmum pada musafir, maka ia harus meneruskan shalat setelah musafir menyelesaikan shalatnya dan ia tidak perlu mengulanginya.
فإن لم يكن فيهم وال فأحب إلي أن يؤمهم المقيم لتكون صلاتهم كلها بإمام ويؤخر المسافرون عن الجماعة وإكمال عدد الصلاة فإن قدموا مسافرا فأمهم أجزأ عنهم وبنى المقيمون على صلاة المسافر إذا قصر وإن أتم أجزأتهم صلاتهم وإن أم المسافر المقيمين فأتم الصلاة أجزأته وأجزأت من خلفه من المقيمين والمسافرين صلاتهم
Apabila tidak ada wali diantara mereka, maka saya lebih menyukai orang mukim yang menjadi imam, agar semua menyelesaikan shalatnya bersama imam, lalu para musafir menyempurnakan bilangan rekaat shalatnya (yakni tidak meringkasnya). Apabila mereka mempersilahkan musafir menjadi imam, maka hal itu tidak mengapa, namun orang-orang yang mukim meneruskan shalat yang telah dikerjakan bersama musafir apabila musafir tersebut meringkas shalatnya. Jika imam musafir mengerjakan shalat tanpa meringkas, maka hal itu lebih memadai.
[Al-Umm 1, 236 ,Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 231].
Kesimpulan
1. Para ulama sepakat bahwa orang yang mukim boleh bermakmum kepada musafir. Namun mereka berbeda pendapat tentang bolehkah musafir bermakmum kepada orang yang mukim.
2. Jika musafir mengimami orang yang mukim, musafir boleh meringkas shalatnya, sedang mukim menyempurnakan shalatnya.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
*Slawi, Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...
-
MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUDHU Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sha...
-
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU? Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalia...
-
TALKIN (Sebelum Meninggal) Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ و...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar